PENDAHULUAN Product development of coconut palm sugar enriched with CPO and RPO as alternative food to overcome vitamin a deficiency

3 maupun retynil acetate, karena provitamin A karotenoid tidak mengakibatkan hypervitaminosis A ataupun keracunan meskipun dikonsumsi dalam jumlah yang berlebih Benade, 2003. Sementara itu, Manorama dan Rukmini 1991 dalam hasil penelitiannya menyimpulkan berdasarkan evaluasi mutagenik menunjukkan bahwa CPO aman untuk dikonsumsi manusia. Perumusan Masalah dan Kebaruan Novelty Penelitian Kurang vitamin A KVA masih menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia, meskipun telah dilakukan berbagai upaya penanggulangan seperti suplementasi kapsul vitamin A pada balita dan ibu nifas. Rendahnya asupan vitamin A dari konsumsi pangan harian juga merupakan salah satu penyebab masih tingginya prevalensi KVA di Indonesia. Kualitas konsumsi pangan penduduk Indonesia masih rendah, yang ditunjukkan dengan skor Pola Pangan Harapan PPH sebesar 80,6 masih di bawah standar yang diharapkan. Hal ini berakibat pada masih terjadinya masalah kekurangan gizi masyarakat termasuk kurang vitamin A KVA yang berdampak pada tingginya angka kesakitan dan kematian anak, gangguan fungsi penglihatan dan gangguan pertumbuhan Bappenas, 2011. Vitamin A mempunyai peran penting, selain untuk fungsi penglihatan juga dalam menjaga sistem imun. Oleh karena itu perlu dikembangkan pangan tinggi kandungan vitamin A sebagai langkah untuk meningkatkan akses masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan akan vitamin A. Gula kelapa merupakan produk makanan yang dikonsumsi secara luas di masyarakat sehingga potensial digunakan sebagai wahana vehicle pembawa zat gizi dalam rangka penanggulangan kurang vitamin A KVA di Indonesia. Dalam salah satu tahapan proses pengolahan gula kelapa ada penambahan minyak sayurminyak goreng untuk tujuan defoaming penurunan buih. Modifikasi pengolahan melalui penambahan baik CPO maupun RPO yang mengandung - karoten antara 500-700 ppm, akan dihasilkan gula kelapa yang berpotensi sebagai pangan sumber provitamin A. Selain itu, ketersediaan sawit di Indonesia yang cukup berlimpah akan menjamin kontinuitas sumberdaya tersebut. Namun demikian belum ada penelitian tentang penambahan CPO maupun RPO sebagai sumber provitamin A pada gula kelapa dan masih perlu dikaji tentang bioavailabilitasnya terhadap peningkatan status vitamin A dan respon imun. Gula kelapa merupakan produk yang mempunyai umur simpan lama, sedangkan provitamin A adalah senyawa yang mudah mengalami kerusakan baik karena oksidasi maupun isomerisasi dan rentan terhadap oksigen maupun cahaya. Oleh karena itu selama distribusi maupun penyimpanan gula kelapa kemungkinan terjadi penurunan kadar vitamin A. Teknik pengemasan yang memadai diharap akan mampu mempertahankan retensi vitamin A dalam gula kelapa. Bioavailabilitas vitamin A antara lain dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk vitamin A dalam makanan, adanya komponen-komponen lain dalam makanan sebagai inhibitor maupun penunjang vitamin A, serta kondisi fisiologis individu. Menurut Olson 1999, faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas karotenoid adalah: 1 spesies dari karotenoid, 2 ikatan dari tingkat molekuler, 3 jumlah karotenoid dalam makanan, 4 matriks dimana karotenoid terikat, 5 faktor yang mempengaruhi absorbsi karotenoid seperti lemak, oksidan dan antioksidan 4 6 status gizi individu, 7 faktor genetik, 8 faktor yang berkaitan dengan individu, 9 interaksi diantara faktor-faktor tersebut. Ketersediaan vitamin A yang cukup dalam tubuh selain berpengaruh terhadap proses penglihatan dan pertumbuhan juga terhadap pembentukan sel-sel imun antara lain sel T dan sel B termasuk produk yang dihasilkan yaitu sitokin maupun imunoglobulin. Di dalam sistem imun, imunoglobulin G IgG merupakan salah satu komponen pertahanan adaptif humoral yang paling banyak beredar di dalam tubuh. Beberapa masalah penting yang berkaitan dengan penambahan CPO dan RPO pada gula kelapa sebagai alternatif penanggulangan KVA berbasis pangan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah potensi gula kelapa bila digunakan sebagai wahana untuk pembawa zat gizi provitamin A didasarkan pada retensi karoten, sifat fisik, kimia dan sensori? 2. Bagaimanakah pengaruh jenis kemasan terhadap perubahan sifat fisik, kimia dan retensi karoten selama penyimpanan gula kelapa yang diperkaya minyak sawit merah? 3. Bagaimanakah pengaruh pemberian gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO terhadap peningkatan status vitamin A dan imun tikus defisien vitamin A? Tujuan Umum Mengkaji potensi gula kelapa sebagai wahana pembawa zat gizi pro-vitamin A dari minyak sawit guna mengatasi masalah kurang vitamin A KVA. Tujuan Khusus: 1. Menganalisis retensi karoten, sifat fisik, kimia dan sensori gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO. 2. Mengevaluasi pengaruh tehnik pengemasan terhadap perubahan sifat fisik, kimia dan retensi karoten selama penyimpanan gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO. 3. Menganalisis pengaruh pemberian gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO terhadap status vitamin A dan imun tikus percobaan. Manfaat Penelitian Manfaat hasil penelitian antara lain: 1. Dihasilkan produk pangan alternatif sumber provitamin A yang murah dan mudah diakses masyarakat yaitu gula kelapa tinggi provitamin A karoten. 2. Membantu program pemerintah dalam mengatasi masalah kurang vitamin A KVA. 5 3. Sebagai masukan bagi pemerintah dan pengambil kebijakan tentang kemungkinan alternatif bahan pangan lain yang potensial untuk wahana pembawa zat gizi provitamin A dan penggunaan sawit merah sebagai sumber provitamin A untuk mengentaskan masalah KVA di Indonesia. Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka hipotesis yang diajukan yaitu: 1. H 1: terdapat perbedaan pengaruh jumlah penambahan minyak sawit pada gula kelapa yang dihasilkan dari aspek fisik, kimia dan sensori. 2. H 1 : terdapat perbedaan pengaruh jenis kemasan terhadap perubahan sifat fisik, kimia dan retensi karoten selama penyimpanan gula kelapa 3. H 1 : terdapat perbedaan pengaruh pemberian gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO serta kontrol retinyl palmitat terhadap peningkatan status vitamin A dan respon imun tikus percobaan. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian pengembangan produk gula kelapa sebagai wahana pembawa zat gizi provitamin A karoten yang ditambahkan dari minyak sawit yaitu CPO dan RPO terhadap retensi karoten, sifat fisik, kimia dan sensori gula kelapa yang dihasilkan serta evaluasi terhadap penurunan mutu produk selama penyimpanan dan uji pengaruh pemberiannya terhadap status vitamin A dan imun tikus percobaan. 6

2. TINJAUAN PUSTAKA Dampak Kurang Vitamin A

Kurang vitamin A KVA merupakan salah satu masalah gizi mikro yang hingga saat ini belum teratasi di Indonesia, yang diakibatkan karena kurangnya asupan vitamin A harian. Kurang vitamin A pada anak balita dapat menurunkan daya tahan tubuh, meningkatkan resiko kebutaan, dan meningkatkan resiko kematian akibat infeksi. Pada tahun 1992, Indonesia telah dinyatakan bebas dari xeropthalmia, namun masih dijumpai 50 persen balita mempunyai kadar serum retinol kurang dari β0 g100 ml, sebagai pertanda Kurang Vitamin A Sub-Klinik. Kejadian tersebut diduga diakibatkan kurang berhasilnya penyuluhan untuk mengkonsumsi sumber vitamin A alami SUVITAL dan rendahnya cakupan distribusi kapsul Vitamin A 80 persen. Pada tahun 2000, dilaporkan dari Nusa Tenggara Barat adanya kasus baru xerophthalmia. Hal serupa bisa terjadi di provinsi lain jika cakupan distribusi kapsul Vitamin A di wilayah tersebut kurang dari 80 persen. Kementrian Kesehatan melaporkan bahwa KVA klinis yang ditandai dengan xerophthalmia pada anak balita telah turun bermakna dari 1.3 persen pada tahun 1978, menjadi 0.35 persen pada tahun 1992 dan semakin membaik menjadi 0.13 persen pada tahun 2007. Walaupun demikian, KVA subklinis yang ditandai dengan rendahnya kadar retinol dalam darah β0 gdl masih terjadi pada 14.6 persen anak balita yang akan berakibat pada meningkatnya resiko kesakitan dan kematian Bappenas, 2011. Data Riskesdas 2010 menyebutkan bahwa cakupan vitamin A pada balita secara nasional sebesar 69.8 persen dan terjadi disparitas antar propinsi dengan jarak 49.3 – 91.1 persen. Prevalensi kurang zat gizi mikro mencapai angka 50-60 persen, dan 9 persen angka kematian anak dan 13 persen angka kematian ibu disebabkan karena kurang vitamin A Soekirman 2008. Lebih lanjut Villamor dan Fawzi 2005, menyebutkan bahwa defisiensi vitamin A masih menjadi masalah kesehatan publik yang serius yang diperkirakan diderita oleh sekitar 127 juta anak pra sekolah dan 7.2 juta wanita hamil di dunia. Pada anak anak, defisiensi vitamin A meningkatkan resiko mortalitas dan morbiditas terhadap infeksi diare dan cacar air, kebutaan dan anemi Sembadan Bloem 2002. Stipanuk 2000 menyebutkan bahwa vitamin A dan metabolismenya dalam spektrum yang luas mempunyai fungsi biologis antara lain: 1 essensial untuk penglihatan, 2 reproduksi, 3 fungsi imun, 4 berperan penting dalam diferensiasi selluler, proliferasi dan pemberian isyarat signaling. Vitamin A juga berperan penting dalam proliferasi dan aktivasi limfosit. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan impaired defence di permukaan epitelial yang disebabkan karena rusaknya struktur epitel, selain itu juga terjadi perubahan mucous, dan menurunnya secretory IgA sIgA dan juga menurunnya fungsi neutrofil, makrofag dan natural killer. Kondisi defisiensi vitamin A juga akan merubah proliferasi sel B dan T Rimbawan et al. 2007. Kebutuhan vitamin A untuk pria dan wanita dewasa berturut-turut 625 dan 500 g RAE. Recommended Dietary Allowance RDA untuk vitamin A didasarkan pada kebutuhan ditambah dua kali koefisien variasi dengan value rounded sampai mendekati 100 g. Angka Kecukupan Gizi AKG vitamin A 7 untuk pria dan wanita dewasa berturut- turut λ00 dan 700 g RAE. Selama kehamilan dan menyusui, RDA untuk wanita dewasa berturut turut 770 dan 1300 g RAE Gropper et al. 2009. Tanda-tanda dan gejala defisiensi vitamin A antara lain: xerophthalmia, anorexia, pertumbuhan yang terhambat, mudah terkena infeksi dan keratinisasi sel epithel kulit. Xerophthalmia ditandai dengan mengeringnya mata karena ketidak cukupan produksi mucous dan abnormalitas konjungtiva dan kornea mata xerosis pada konjungtiva dan kornea, bercak Bitot, parut pada kornea dan ulserasi, dan buta senja Bender. 2003, Gropper et al. 2009, Stipanuk 2000. Menurut Semba 1998, defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap pembentukan derivat asam retinoid, perubahan dalam keratin epidermis yang dapat meningkatkan infeksi kulit, apoptosis, kerusakan neutrofil, penurunan jumlah sel NK, aktivitas makrofag sebagai proses fagositosis, kerusakan limfosit T, limfosit B dan respnon antibodi. Hasil studi meta analisis dari 15 studi yang dilakukan oleh Thurham et al 2003 menunjukkan bahwa defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap morbiditas dan kelangsungan hidup anak dan merupakan penyebab terbesar kasus morbiditas dan mortalitas pada anak balita di beberapa negara berkembang. Disimpulkan bahwa retinol serum dapat menurunkan infeksi klinis dan sub klinis yang berpengaruh terhadap kesehatan anak. Menurut Maqsood et al. 2004, vitamin A esensial untuk kenormalan fungsi imun, hematopoiesis, pertumbuhan dan penglihatan. Menurut Semba 2002, anak anak yang defisiensi vitamin A akan mengalami perubahan patologis dalam fungsi sel T dan sel B. Perbaikan gizi merupakan suatu investasi yang sangat menguntungkan. Setidaknya ada tiga alasan suatu negara perlu melakukan intervensi di bidang gizi. Pertama, perbaikan gizi memiliki keuntungan ekonomi economic returns yang tinggi; kedua, intervensi gizi terbukti mendorong pertumbuhan ekonomi; dan ketiga, perbaikan gizi membantu menurunkan tingkat kemiskinan melalui perbaikan produktivitas kerja, pengurangan hari sakit, dan pengurangan biaya pengobatan Bank Dunia 2006. Fortifikasi Pangan Fortifikasi pangan dengan zat gizi mikro diketahui telah banyak berperan dalam mengatasi kekurangan vitamin dan mineral di negara-negara maju seperti Kanada, Swiss, Inggris, dan Amerika Serikat. Fortifikasi margarin dengan vitamin D berperan untuk mengatasi ricket di Jnggris, Kanada, dan Eropa Utara. Fortifikasi tepung terigu dengan besi di Swedia, dan Amerika Serikat menurunkan prevalensi penderita anemi gizi besi secara dramatis. Iodisasi garam, yang dimulai sejak tahun 1922 menunjukkan hasil yang spektakuler Burgi et al. 1990. Hasil penelitian Klemm et al. 2010, menunjukkan bahwa fortifikasi tepung terigu dengan vitamin A pada level 4.5 mgkg tepung yang digunakan untuk membuat roti dan diberikan kepada anak-anak sekolah di Philipina yang defisien vitamin A, ternyata mampu memperbaiki status vitamin A dilihat dari peningkatan kadar serum retinol. Fortifikasi adalah pendekatan kesehatan masyarakat dalam upaya penanggulangan malnutrisi khususnya gizi mikro. Fortifikasi dimaksudkan untuk meningkatkan intake gizi mikro agar kebutuhannya terpenuhi tanpa merubah pola 8 makan setempat. Program fortifikasi dapat meliputi satu atau lebih pangan yang secara umum dikonsumsi luas atau fortifikasi pangan yang didesain untuk sub group populasi khusus, dan atau fortifikasi pangan untuk penyediaan pasar. Sasaran fortifikasi adalah satu atau lebih sekelompok masyarakat yang diindikasikan secara klinis defisiensi gizi mikro. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam fortifikasi diantaranya: 1 Pangan yang akan difortifikasi merupakan makanan yang paling sering dan banyak dikonsumsi penduduk termasuk penduduk miskin, 2 Pangan hasil fortifikasi mempunyai sifat organoleptik yang tidak banyak berubah dari aslinya, 3 Pangan yang difortifikasi aman untuk dikonsumsi, dan ada jaminan terhadap kemungkinan efek samping yang negatif, 4 Pangan untuk fortifikasi diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas jumlahnya, 5 Tersedia teknologi fortifikasi sesuai dengan pangan pembawa dan fortifikan yang digunakan, 6 Harus ada sistem monitoring yang tegas terhadap pabrik-pabrik fortifikasi, 7 Ada kerjasama yang nyata antara pihak pemerintah, non pemerintah dan swasta, 8 Perlu mekanisme untuk melakukan pengawasan dan evaluasi program fortifikasi, 9 Pangan hasil fortifikasi, harganya tetap terjangkau oleh kelompok target, 10 Dari sisi konsumen diyakini tidak akan terjadi konsumsi berlebihan dan diperhitungkan berdasarkan AKG nya. Dalam fortifikasi pangan, karakteristik pangan pembawa sangat menentukan keberhasilannya. Sifat fisik pangan pembawa vehicle ada yang berupa padat, cair atau semi padat. Sifat fisik pangan pembawa akan menentukan jenis fortifikan apa yang dikehendaki baik sensorik maupun bioavailabilitas zat gizi yang ditambahkan. Syarat pangan pembawa menurut Lotfi et al. 1996 diantaranya adalah: 1 pangan pembawa dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk dan dikonsumsi secara teratur dalam jumlah yang relatif konstan, 2 pengolahan dilakukan secara terpusat, 3 tidak mengalami perubahan sensorik warna, bau, stabilitas dan bioavailabilitas mikronutrien tinggi pada produk akhir dan selama penyimpanan. Menurut Benade 2003, didasarkan pada laporan terbaru bahwa prevalensi global untuk defisiensi vitamin A klinis pada anak sekolah tahun 1995 diperkirakan mencapai 1.2 persen. Pada basis global diperkirakan 140 juta anak pra sekolah menderita defisiensi vitamin A subklinis. Prevalensi defisiensi vitamin A klinis maupun subklinis terjadi di Asia Selatan dan Sub Saharan Afrika dimana 30-40 persen anak pra sekolah berisiko menderita sakit dan kematian akibat defisiensi tersebut. Beberapa strategi yang diterapkan dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut antara lain: 1 suplementasi kapsul vitamin A dosis tinggi, 2 fortifikasi pangan dan 3 diversifikasi pangan dan pendidikan gizi. Salah satu langkah penyediaan pangan kaya akan vitamin A di masyarakat dapat dilakukan dengan memanfaatkan pangan lokal yang dikonsumsi secara luas sebagai pangan pembawa zat gizi. Salah satu diantara jenis pangan yang potensial untuk dikembangkan sebagai alternatif dalam pengentasan masalah KVA berbasis pangan adalah gula kelapa.