Product development of coconut palm sugar enriched with CPO and RPO as alternative food to overcome vitamin a deficiency

(1)

PENGEMBANGAN PRODUK GULA KELAPA DIPERKAYA

CPO DAN RPO SEBAGAI PANGAN ALTERNATIF UNTUK

PENANGGULANGAN KURANG VITAMIN A

HIDAYAH DWIYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengembangan Produk Gula Kelapa Diperkaya CPO dan RPO sebagai Pangan Alternatif untuk Penanggulangan Kurang Vitamin A adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Pebruari 2014

Hidayah Dwiyanti NIM I162090031


(4)

RINGKASAN

HIDAYAH DWIYANTI Pengembangan Produk Gula Kelapa Diperkaya CPO dan RPO sebagai Pangan Alternatif untuk Penanggulangan Kurang Vitamin A, Dibimbing oleh HADI RIYADI, RIMBAWAN, EVY DAMAYANTHI, AHMAD SULAEMAN, dan EKOWATI HANDHARYANI

Kurang vitamin A (KVA) masih menjadi salah satu masalah gizi di Indonesia yang belum dapat dituntaskan meskipun telah dilakukan berbagai upaya penanggulangan. KVA merupakan penyebab kebutaan dan kematian dini dan banyak dijumpai pada wanita dan anak-anak. Kurang vitamin A juga berperan penting pada penurunan fungsi kekebalan tubuh dan akan berdampak pada peningkatan angka morbiditas dan mortalitas yang akhirnya pada penurunan kualitas sumberdaya manusia. Penambahan minyak sawit mentah (CPO/crude palm oil) maupun minyak sawit merah (RPO/red palm oil) yang mengandung karoten (provitamin A) pada pembuatan gula kelapa merupakan salah satu alternatif upaya penanggulangan KVA berbasis pangan. Tujuan penelitian ini adalah menentukan jumlah penambahan CPO maupun RPO yang menghasilkan gula kelapa kaya karoten dan diterima secara sensori, 2) menganalisis retensi provitamin A (karoten) selama proses pembuatan dan penyimpanan gula kelapa yang diperkaya provitamin A bersumber minyak sawit merah, 3) mengevaluasi efek pemberian gula kelapa yang diperkaya minyak sawit merah terhadap peningkatan status vitamin A dan level imunoglobulin G tikus deplesi vitamin A.

Pada pembuatan gula kelapa kaya karoten digunakan crude palm oil (CPO) dan red palm oil (RPO) yang ditambahkan pada 3 (tiga) konsentrasi yaitu 30 ml, 60 ml dan 90 ml per 10 liter nira kelapa dan dikemas dengan 2 (dua) teknik pengemasan, yaitu pengemas primer (plastik polypropylene) dan pengemas ganda (plastik polypropylene dan kertas payung/coklat).

Hasil terbaik didasarkan pada aspek sensori adalah gula kelapa yang dibuat dengan penambahan baik CPO maupun RPO sejumlah 30 ml/10 L nira. Gula yang dihasilkan mempunyai tingkat kesukaan terhadap rasa dan tekstur serta kesukaan secara keseluruhan yang tinggi serta tidak berbeda dengan gula kontrol serta mempunyai kadar total karoten dan retensi karoten masing-masing 3946

g/100 g dan 6γ.γ8 persen untuk gula CPO dan1γγ7 g/100 g dan β5.γ0 persen untuk gula RPO. Semakin banyak penambahan minyak sawit merah, total karoten dan retensi karoten semakin meningkat, sebaliknya tekstur gula semakin berkurang kekerasannya dan penerimaan terhadap produk semakin menurun.

Selama penyimpanan, kadar total karoten gula kelapa mengalami penurunan. Setelah disimpan selama 2 bulan, kadar total karoten gula kelapa yang diperkaya karoten dari CPO maupun RPO turun antara 4.89 persen hingga 49.79 persen dengan kadar karoten antara 703 µg/100 g hingga 13383 µg/100 g. Semakin banyak jumlah penambahannya, persentase penurunan total karoten selama penyimpanan semakin kecil. Penurunan kadar total karoten bulan ke-1 dan ke-2 pada gula kelapa yang diperkaya RPO lebih tinggi (17.48 dan 24.47 persen) dibandingkan gula CPO (7.47 dan 12.95 persen) (p<0.05). Penggunaan kemasan ganda plastik polypropylen dengan kertas coklat (payung) mampu menghambat penurunan total karoten hingga 4 sampai 6.67 persen lebih baik


(5)

dibandingkan kemasan tunggal. Semakin lama penyimpanan kadar air produk semakin meningkat. Namun demikian hingga penyimpanan selama 2 bulan, kadar air produk pada semua perlakuan masih dalam kisaran standar SNI-01-3743-1995 (< 10 persen), yaitu antara 8.55 hingga 9.94 persen.

Uji untuk mengevaluasi pemberian gula kelapa yang diperkaya CPO maupun RPO terhadap status vitamin A dan imun, dilakukan pada tikus Sprague Dawley jantan sejumlah 30 ekor berusia 6 minggu. Setelah masa adapatasi selama 2 minggu, tikus diberi pakan bebas vitamin A selama 10 minggu sebagai masa deplesi, selanjutnya dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok dan menerima perlakuan yang berbeda selama 4 (empat) minggu sebagai masa replesi, masing-masing: 1) kelompok CPO yang menerima gula kelapa CPO, 2) kelompok RPO yang menerima gula kelapa RPO, dan kelompok RE yang menerima retinyl palmitate. Masing-masing perlakuan mengandung setara 40 µg -karoten/hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian baik gula CPO, gula RPO maupun retinyl palmitate selama 2-4 minggu periode replesi, secara nyata meningkatkan kadar retinol hati maupun kadar IgG tikus defisien vitamin A. Peningkatan konsentrasi retinol hati pada tikus yang diberikan retinyl palmitate lebih tinggi dibandingkan tikus yang diberi gula CPO maupun RPO (p=0.0136). Namun demikian, pemberian gula kelapa yang diperkaya baik CPO maupun RPO selama 2 hingga 4 minggu dapat memperbaiki status vitamin A hingga diatas cut-off point, yaitu meningkat dari 0.063 µmol/g hati menjadi 0.107- 0.117 µmol/g hati pada kelompok tikus yang diberikan gula CPO dan 0.079 – 0.102 µmol/g hati pada kelompok yang diberikan gula RPO. Sebaliknya, level imunoglobulin G pada kelompok yang diberi gula CPO maupun RPO mengalami peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok retinyl palmitate (p= 0.0073). Selama 4 minggu intervensi, status imun tikus meningkat yang ditandai dengan meningkatnya level immunoglulin G (IgG) serum pada kelompok yang diberikan gula CPO, gula RPO dan retinyl palmitate (RE) yaitu masing-masing sebesar 225.99, 216.01, dan 59.98 persen. Penelitian yang telah dilakukan memberikan kesimpulan bahwa gula kelapa yang diperkaya dengan CPO maupun RPO berpotensi sebagai pangan alternatif untuk mengatasi KVA dan memperbaiki status imun.


(6)

SUMMARY

HIDAYAH DWIYANTI. Product Development of Coconut Palm Sugar Enriched with CPO and RPO as Alternative Food to Overcome Vitamin A Deficiency. Supervised by HADI RIYADI, RIMBAWAN, EVY DAMAYANTHI, AHMAD SULAEMAN, and EKOWATI HANDHARYANI

Vitamin A deficiency (VAD) is still prevalent in Indonesia which can not be solved after even prevention efforts. VAD is an important cause of blindness and premature death and is widely prevalent amongst women and children. Vitamin A deficiency also plays an important role on reducing immune function and will impact on increasing morbidity and mortality. Red palm oil (RPO) and crude palm oil (CPO) is the richest naturally occurring source of -carotene, a carotenoids that the human body can convert into usable vitamin A (retinol). Addition of red palm oil on palm sugar is one of the alternatives food-based VAD prevention efforts. The aim of this research were: 1) to determine the amount of the addition of RPO or CPO which produces carotene rich coconut palm sugar and acceptable sensory, 2) to analyze carotene retention over the processing and storage of coconut palm sugar, 3) to evaluate the effect of feeding red palm oil enriched palm sugar on vitamin A status and level of immunoglobulin G (IgG) of vitamin A depletion rats.

Two types of provitamin A enriched coconut palm sugar were made by adding RPO or CPO each of 30 ml, 60 ml, 90 ml/ 10 L of toddy and packaged by two technique of packaging, i.e.: single packaging ( polypropylene/PP plastics) and double packaging (polypropylene plastics + brown paper). Addition of 30 ml/10 L of toddy was the best result based on sensory aspects and had the highest acceptance in taste, texture and overall acceptability which is similar with the control sugar and used in the next step of this research. The total carotene content and carotene retention increased with the increasing addition of red palm oil, but in the other hand the texture were softened. The total carotene content and carotene retention of CPO and RPO enriched coconut palm sugar were 1337

g/100 g and 25.30 percent and 3946 g/100 g and 6γ.γ8 percent, respectively. After stored for 2 months, the level of total carotenoids of red palm oil enriched coconut palm sugar decreased between 4.89 to 49.79 percent with carotene content between 703 µg/100 g up to 13383 µg/100 g. The decreased level of total carotene in one-month and two-month storage of palm sugars enriched with RPO was higher (17.48 and 24.47 percent) compared to CPO enriched coconut palm sugar (7.47 and 12.95 percent) (p<0.05). The use of double packaging (polypropylene plastic + brown paper) is able to inhibit the decrease in total carotenoid up to 4 to 6.67 percent, better than the single packaging. The longer the storage, moisture content of product increased. However, after stored up to 2 months, the water content in all treatments was in range of SNI-01-3743-1995 standard (< 10 percent) which is between 8.55 up to 9.94 percent.

Study to evaluate the effect of feeding coconut palm sugar enriched with RPO or CPO on improving status of vitamin A and immune was done by using thirty six-weeks old-male Sprague Dawley rats. After 2 weeks of adaptation period, rats were given vitamin A deficient diet for 10 weeks as depletion period,


(7)

and then divided into 3 groups and received the different treatment for 4 weeks as repletion period: 1) CPO group which received crude palm oil enriched coconut palm sugar, 2) RPO group which received red palm oil enriched coconut palm sugar and 3) RE group which received retinyl palmitate. Each treatment contained approximately 40 µg beta carotene/day. Increasing on liver retinol concentration in rat administered retinyl-palmitat was higher than in rat administered CPO or RPO enriched coconut palm sugar (p=0.0136). On the other hand, serum immunoglobulin G ((IgG) level of animal administered brown sugar containing CPO or RPO were higher than in rat administered retinyl palmitate (p=0.0073). However, administering of fortified coconut palm sugar both of CPO and RPO for 2 - 4 weeks can improve vitamin A status to above cut off point which increase from 0.063 µmol/g liver up to 0.107- 0.117 µmol/g liver in CPO group and 0.079 – 0.102 µmol/g liver in RPO group. Likewise, the immune status were increased during 4 weeks intervention, which is indicated by increasing levels of serum IgG in both groups of CPO and RPO, that is equal to 225 and 216.01 percent, respectively. From this research we conclude that coconut palm sugar enriched with CPO or RPO were potentially as food-based intervention to overcome vitamin A deficiency.


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(9)

PENGEMBANGAN PRODUK GULA KELAPA DIPERKAYA

CPO DAN RPO SEBAGAI PANGAN ALTERNATIF UNTUK

PENANGGULANGAN KURANG VITAMIN A

HIDAYAH DWIYANTI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Gizi Manusia

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014


(10)

Penguji pada Ujian Tertutup:

Penguji pada Ujian Terbuka:

1. Dr Sandjaja

2. Dr Ir Sri Anna Marliyati, MS

1. Prof Komari, MSc PhD


(11)

Judul Disertasi : Pengembangan Produk Gula Kelapa Diperkaya CPO dan RPO sebagai Pangan Alternatif untuk Penanggulangan Kurang Vitamin A

Nama : Hidayah Dwiyanti NIM : I162090031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Hadi Riyadi, MS Ketua

Dr Rimbawan Prof Dr Ir Evy Damayanthi, MS

Anggota Anggota

Prof Dr Ir Ahmad Sulaeman, MS Anggota

Prof drh Ekowati Handharyani, MS PhD Anggota

Diketahui oleh

Tanggal Ujian: 29-01-2014 Tanggal Lulus:

Ketua Program Studi Ilmu Gizi Manusia

Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana


(12)

Kurang Vitamin A

Nama : Hidayah Dwiyanti

NIM : I162090031

Disetujui oleh Komisi Pemqimbing

Jy

Dr Ir Hadi Riyadi , MS

Ketua

WG |@

ry

Dr Rimbawan Prof Dr Ir Evy Damayanthi, MS

Anggota Anggota

q

セセ@

C

セセセ@

Prof Dr Ir Ahmad Sulaeman, MS Prof drh Ekowati Handharyani, MS PhD

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi TImu Gizi Manusia

Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS


(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih untuk serangkaian penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2012 hingga

Juni β01γ adalahμ “Pengembangan Produk Gula Kelapa Diperkaya CPO dan RPO sebagai Pangan Alternatif untuk Penanggulangan Kurang Vitamin A”.

Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada Dr Ir Hadi Riyadi, MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing, beserta Anggota Pembimbing yaitu Dr Rimbawan, Prof Dr Ir Evy Damayanthi, MS, Prof Dr Ir Ahmad Sulaeman, MS dan Prof drh Ekowati Handharyani, MS PhD yang telah memberi masukan, arahan, bimbingan dan dorongan moril selama penelitian dan penulisan disertasi ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr Sandjaja dan Dr Ir Sri Anna Marliyati, MS selaku penguji luar komisi pada saat ujian tertutup serta kepada Prof Komari, MSc PhD dan Prof drh M Rizal M Damanik, MRepSc PhD selaku penguji luar komisi saat ujian terbuka.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan juga kepada Prof Dr Hardinsyah, MS dan Dr Ir Arif Satria, MS sebagai Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Prof Dr Ir Evy Damayanthi, MS, Dr Ir Budi Setiawan, MS dan Dr Rimbawan selaku Kepala Departemen Gizi Masyarakat dan Prof drh M Rizal M Damanik MRepSc PhD dan Dr Dodik Briawan M.CN selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Gizi Manusia FEMA IPB. Juga kepada Guru Besar dan Bapak/Ibu Dosen Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB yang telah memberikan wawasan keilmuan selama penulis menuntut ilmu di IPB, serta kepada pengelola dan staf yang sudah banyak membantu dan memberikan layanan yang baik selama penulis menjadi mahasiswa di Program Studi Ilmu Gizi Manusia IPB.

Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada Rektor Universitas Jenderal Soedirman pada waktu itu (Prof Dr Ir Sudjarwo), Dekan Fakultas Pertanian (Dr Ir Achmad Iqbal, MS), Ketua Jurusan Teknologi Pertanian dan KaProdi Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menempuh studi di Sekolah Pasca Sarjana IPB serta teman-teman dosen khususnya dilingkungan Prodi ITP Faperta dan Prodi Gizi FKIK yang telah memberikan dukungan serta menggantikan tugas selama saya menempuh studi S3.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Rektor dan Direktur Program Hibah Kompetensi Institusi (PHKI) Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan dukungan dana pendidikan melalui bantuan beasiswa PHKI serta kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, yang telah memberikan bantuan dana penelitian melalui Program Penelitian Hibah Disertasi Doktor dan Hibah Bersaing serta memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Sandwich-Like di University of Adelaide Australia yang telah menambah pengalaman dan wawasan pengetahuan kepada penulis. Terimakasih juga disampaikan kepada Dr John Carragher atas bimbingan, saran dan bantuan selama penulis mengikuti Program Sandwich maupun dalam penulisan untuk publikasi internasional. Tak lupa penulis menyampaikan terimakasih kepada Yayasan Supersemar yang juga telah memberikan bantuan berupa dana penelitian.

Terimakasih tak lupa penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Herastuti Sri Rukmini MS atas bimbingan, saran, masukan dan dukungannya selama penulis


(14)

menempuh studi S3, juga kepada Prof Dr Ir Fransiska Zakaria, MS yang telah memberikan arahan, wawasan dan bantuan selama penulis melakukan penelitian dan penulisan disertasi.

Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Direktur Rumah Sakit Hewan IPB beserta staf atas ijin dan pelayanan yang baik selama penulis melakukan penelitian disana, serta kepada pimpinan dan segenap staf Laboratorium Terpadu Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Lab. Balai Besar Industri Agro, dan Lab. Kesehatan Daerah Bogor. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Dr Fitrah Ernawati MSc, atas kemudahan dan keringanan yang diberikan ketika penulis melakukan analisis di Labdu PTTK&EK. Terimakasih dan penghargaan yang tinggi juga disampaikan kepada Ibu Nina, Ibu Neneng, Ibu Yeti dan pak Soleh atas segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian dan analisa di laboratorium. Juga kepada para mahasiswa Prodi ITP Unsoed yang telah membantu dan terlibat dalam penelitian ini, khususnya Hera Dwi Sari serta Nofri, Agy dan Lely.

Terimakasih juga penulis sampaikan atas kebaikan, ketulusan, dukungan dari para sahabat tercinta dan teman-teman seperjuangan di pendidikan S3 IPB, khususnya bu Dewi dan pak Mansur, juga ibu Iskari, bu Katrin, pak Ali dan pak Arif, serta adik-adik kelasku bu Betty, bu Dara, bu Teti, bu Trini, dan bu Nia. Terimakasih atas persahabatan yang indah dan semoga tetap terjalin meskipun kita sudah kembali ke institusi masing-masing. Juga terimakasih kepada Warte dan Yudi yang telah membantu dalam penelitian saya. Tak lupa, ucapan terimakasih juga disampaikan kepada CV Berkah Cahaya Abadi (mas Dirman dan Lihun) atas dukungan dan fasilitas yang diberikan selama penulisan disertasi ini.

Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada pihak pengelola jurnal ilmiah yaitu Jurnal Teknologi Industri Pertanian dan Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan, serta Pakistan Journal of Nutrition yang telah menerima sebagian karya ini untuk dipublikasikan.

Ungkapan terimakasih yang tulus penulis sampaikan kepada Ibunda Siti Sarmonah Hasanah dan almarhum Ayahanda Parwondo, atas doa, kasih sayang dan bekal ilmu yang cukup yang diberikan kepada ananda sehingga ananda dapat mencapai strata pendidikan tertinggi ini. Juga kepada Ayah mertua yaitu Bapak Sumitro HP, serta kepada kakak ku Mbak Wanti dan Mas Andrie, mbak Suksmi dan mas Sodik, mas Dodo, serta adik-adikku Dik Kokok dan dik Eva, dik Tutik dan dik Wawan, dik Narty dan dik Joko, dik Nuning dan dik Heru, dik Evy dan dik Tio, dik Tiyok dan dik Dwi, dik Yanti, dik Teguh dan dik Mamek. Terimakasih atas doa, kasih sayang dan dukungannya selama ini.

Terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada suamiku tercinta Unggul Warsiadi dan anak-anakku Gumintang Ratna Ramadhan dan Galang Lazuardi, atas doa, cinta dan kasih sayang, kesabaran, dukungan dan perhatiannya selama penulis menempuh studi S3.

Penulis menyadari disertasi ini masih belum sempurna, saran dan masukan dari berbagai pihak untuk penyempurnaan hasil penelitian ini sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Pebruari 2014 Hidayah Dwiyanti


(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

1. PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah dan Kebaruan (Novelty) Penelitian ... 3

Tujuan Umum ... 4

Tujuan Khusus ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

Hipotesis ... 5

Ruang Lingkup Penelitian ... 5

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Dampak Kurang Vitamin A ... 6

Fortifikasi Pangan ... 7

Gula Kelapa ... 9

Potensi Minyak Sawit Merah ... 12

Absorbsi dan Metabolisme Vitamin A ... 15

Interaksi Vitamin A dan Karotenoid dengan Zat Gizi yang Lain ... 21

Vitamin A dan Imunitas ... 21

Respon Imun ... 22

Respon Imun Non-Spesifik ... 23

Respon Imun Spesifik ... 24

Antigen dan Antibodi ... 25

Penilaian Status Vitamin A ... 27

3. METODE PENELITIAN ... 30

Kerangka Pendekatan Studi ... 30

Metode Analisis ... 33

Karya Ilmiah ... 38

4. PENAMBAHAN CPO DAN RPO SEBAGAI SUMBER PROVITAMIN A TERHADAP RETENSI KAROTEN, SIFAT FISIK DAN SENSORI GULA KELAPA. ... 40

Pendahuluan... 40

Metode ... 41

Hasil Dan Pembahasan ... 42

Pengaruh penambahan CPO dan RPO terhadap kadar dan retensi karoten gula kelapa ... 43

Pengaruh penambahan minyak sawit merah terhadap sifat fisik (tekstur) gula kelapa ... 45

Simpulan ... 46

5. PENGARUH JENIS KEMASAN TERHADAP RETENSI KAROTEN, SIFAT FISIK, DAN KIMIA GULA KELAPA YANG DIPERKAYA CPO DAN RPO SELAMA PENYIMPANAN ... 48

Pendahuluan... 48

Metode ... 49

Hasil Dan Pembahasan ... 49


(16)

6. EFEK PEMBERIAN GULA KELAPA YANG DIPERKAYA MINYAK SAWIT MERAH TERHADAP STATUS VITAMIN A DAN STATUS

IMUN TIKUS ...55

Pendahuluan ...55

Metode ...56

Tempat dan Waktu Penelitian ...56

Bahan dan alat ...56

Disain Penelitian ...56

Hasil dan Pembahasan ...58

Simpulan...69

7. PEMBAHASAN UMUM ...70

Implikasi Hasil dan Keterbatasan Penelitian ...75

Simpulan...76

Saran ...76


(17)

DAFTAR GAMBAR

1. Diagram alir pengembangan produk gula kelapa yang diperkaya CPO

dan RPO 11

2. Produksi CPO di Malaysia (1980 -2010) 12

3. Produksi CPO di Indonesia (1980 -2010) 12

4. (a) Buah Sawit, (b) tandan buah segar (TBS) dan (c) CPO, RPO 13 5. Kandungan vitamin E pada beberapa jenis minyak (Aziz 2006) 14 6. Pencernaan dan absorbsi karotenoid dan vitamin A dan reesterifikasi

retinol di dalam sel intestinal (Gropper et al. 2009) 16 7. Model hipotesis aksi retinoic acid pada ekspresi gene

(Gropper et al. 2009) 17

8. Struktur α- dan - karoten (Britton et al. 2009) 18

9. Struktur immunoglobulin G (Virella 2007) 27

10. Kerangka pemikiran 32

11. Kandungan total karoten gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO

pada berbagai jumlah penambahannya 43

12. Retensi karoten pada gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO pada

berbagai jumlah penambahannya. 44

13. Penurunan kadar total karoten gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO setelah disimpan selama 1 bulan dengan menggunakan kemasan

tunggal (P1) dan kemasan ganda (P2) 53

14. Perubahan berat badan tikus periode adaptasi (nilai rerata ± SE) 58 15. Perubahan berat badan periode deplesi pada tikus defisien vitamin A

berat (nilai rerata±SE) 59

16. Perubahan kadar retinol hati periode deplesi pada tikus defisien

vitamin A berat (nilai rerata±SE) 60

17. Perubahan kadar retinol hati periode deplesi pada tikus defisien

vitamin A moderat (nilai rerata±SE) 60

18. Perubahan kadar retinol serum periode deplesi pada tikus defisien

vitamin A berat (nilai rerata±SE) 61

19. Perubahan kadar retinol serum periode deplesi pada tikus defisien

vitamin A moderat (nilai rerata±SE) 61

20. Perubahan BB tikus defisien vitamin A berat selama 2-4 minggu

periode replesi (nilai rerata±SE) 62

21. Perubahan BB tikus defisien vitamin A moderat selama 2 minggu

periode replesi (nilai rerata±SE) 63

22. Level imunoglobulin G periode deplesi dan replesi pada kelompok tikus yang diberi gula CPO, gula RPO dan retinyl palmitate (RE) 63 23. Persentase peningkatan imunoglobulin G (IgG) pada kelompok tikus

defisien vitamin A berat yang diberi gula CPO, gula RPO dan retinyl

esters 64

24. Persentase peningkatan imunoglobulin G (IgG) pada kelompok tikus defisien vitamin A moderat yang diberi gula CPO, gula RPO dan


(18)

25. Perubahan kadar retinol hati pada kelompok tikus defisien vitamin A berat yang diintervensi dengan gula kelapa CPO, gula kelapa RPO

dan retinyl palmitate (RE) 66

26. Perubahan kadar retinol hati pada tikus defisien vitamin A sedang (moderate) yang diintervensi dengan gula kelapa CPO, RPO dan

retinyl palmitat (RE) 67

27. Perubahan kadar retinol serum tikus defisien vitamin A berat setelah

2 minggu periode replesi (nilai rerata±SE) 68

28. Perubahan kadar retinol serum tikus defisien vitamin A sedang setelah

2 minggu periode replesi (nilai rerata±SE) 68

29. Perubahan kadar retinol hati periode deplesi pada tikus defisien

vitamin A berat dan sedang (moderat) 72

30. Peningkatan kadar retinol hati setelah intervensi selama 2 minggu pada kelompok tikus deplesi berat dan sedang (moderat) 73

DAFTAR TABEL

1. Standar mutu gula kelapa menurut SNI-01-3743-1995 11 2. Komposisi asam lemak CPO, RBD palm oil, RBD palm olein, RBD

palm stearin dan Super olein (Che Man et al. 1999) 14

3. Komposisi karotenoid dalam sawit merah 15

4. Daftar publikasi dari sebagian hasil disertasi 39 5. Karakteristik fisiko kimia gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO 43 6. Nilai rerata hasil pengamatan sensori hedonik gula kelapa (skala 1-9) 46 7. Perubahan kadar air dan tekstur selama penyimpanan gula kelapa

yang diperkaya CPO dan RPO 50

8. Perubahan kadar gula reduksi dan FFA selama penyimpanan gula

kelapa yang diperkaya CPO dan RPO 51

9. Perubahan kadar total karoten dan persentase penurunan karoten selama penyimpanan gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO 52 10. Karakteristik fisik dan kimia gula kelapa yang diperkaya CPO dan


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Susunan dan komposisi diet (Reeves et al. 1993) 85 2. Ringkasan data hasil statistik selama penyimpanan gula kelapa

yang diperkaya CPO dan RPO 87

3. Hasil analisis data penelitian tikus defisien vitamin A sedang 96 4. Bukti-bukti Publikasi sebagian dari disertasi 97

5. Dokumentasi Penelitian 101


(20)

1.PENDAHULUAN

Latar Belakang

Di Indonesia, kurang vitamin A (KVA) masih menjadi salah satu masalah gizi mikro yang hingga saat ini belum bisa teratasi. Berbagai upaya penanggulangan telah dilakukan diantaranya dengan berbagai program intervensi gizi, misalnya distribusi kapsul vitamin A pada balita dan ibu nifas, namun indikasi kuat menunjukkan bahwa masalah gizi ini secara nasional belum terselesaikan. Hasil survey vitamin A (SUVITA), menunjukkan bahwa meskipun Indonesia dinyatakan bebas Xerophthalmia, namun 50 persen balita di Indonesia masih mengalami defisiensi vitamin A yang ditunjukkan dengan kadar vitamin A dalam serum < 20 mcg/dl (Depkes, 2003). Berdasarkan hasil studi masalah gizi mikro di 10 provinsi tahun 2006 ditemukan bahwa prevalensi KVA pada balita sebesar 0.13 persen dan indeks serum retinol adalah 14.6 persen, yang mengindikasikan masih menjadi masalah kesehatan (Bappenas, 2011). Sementara itu, berdasarkan hasil Riskesdas 2010 menunjukkan terjadinya penurunan cakupan suplementasi vitamin A secara nasional pada anak umur 6-59 bulan, dari 71.5 persen pada tahun 2007 menjadi 69.8 persen pada tahun 2010. Defisiensi vitamin A seperti halnya zat gizi mikro lainnya akan berdampak pada penurunan kualitas sumberdaya manusia, yang akhirnya akan menghambat pembangunan bangsa, dan merupakan penyebab terbesar kasus morbiditas dan mortalitas pada anak-anak balita di beberapa negara berkembang (Thurnham et al, 2003). Berbagai hasil studi menyebutkan bahwa KVA pada bayi dan anak balita dapat menurunkan daya tahan tubuh, meningkatkan resiko kesakitan dan kematian akibat infeksi dan meningkatkan resiko kebutaan (Bappenas 2011; Villamor and Fawzi 2000; Christian et al. 2000; Witcher et al. 2001). Status gizi baik pada anak balita merupakan prasyarat dasar untuk meningkatkan daya saing bangsa karena status gizi akan mempengaruhi tingkat kesehatan fisik dan kecerdasan anak yang akhirnya akan mempengaruhi tingkat produktivitas mereka.

Mengingat dampak kekurangan vitamin A sangat luas terhadap masa depan suatu bangsa, maka diperlukan upaya yang terintegrasi untuk penanggulangannya. Upaya penanggulangan KVA merupakan prioritas dalam bidang kesehatan dan gizi masyarakat yang tercantum dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2010-2014. Secara teoritis, strategi penanggulangan KVA dapat ditempuh melalui 3 pendekatan yaitu: 1) perbaikan konsumsi pangan dengan gizi seimbang, 2) suplementasi kapsul vitamin A dan 3) fortifikasi pangan, dengan fokus meningkatkan akses kepada masyarakat. Lebih lanjut disebutkan oleh Soekirman (2008), bahwa secara universal program perbaikan gizi terdiri dari 4 (empat) macam yang saling mengisi (komplementer), yaitu: pertama, perbaikan konsumsi pangan keluarga, sehingga setiap anggota keluarga dapat makan yang memenuhi syarat pedoman gizi seimbang; kedua program suplementasi misalnya pemberian kapsul vitamin A untuk balita; ketiga adalah program fortifikasi pangan, dan keempat adalah pelayanan kesehatan dasar termasuk air bersih dan sanitasi lingkungan. Lebih lanjut dikatakan bahwa fortifikasi pangan dipandang paling cost effective dalam penaggulangan masalah gizi. Di Amerika Latin,


(21)

fortifikasi gula dengan vitamin A, dalam 5 tahun berhasil menurunkan prevalensi kurang vitamin A dari 40 persen menjadi 13 persen.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka penanggulangan kurang vitamin A di Indonesia, maka penyediaan pangan yang mengandung vitamin A tinggi untuk pemenuhan kecukupan vitamin A di masyarakat perlu untuk ditingkatkan melalui program fortifikasi pangan untuk memudahkan akses masyarakat terhadap vitamin A. Jenis bahan pangan yang juga potensial untuk wahana fortifikasi vitamin A adalah gula kelapa karena dikonsumsi secara luas di masyarakat baik untuk keperluan rumah tangga maupun industri. Konsumsi gula kelapa per kapita per hari sekitar 12.5 gram (BPS, 2008) atau setara dengan 48.25 Kkal (Persagi 2009). Menurut Supriadi (2004), perkiraan perbandingan pemakaian gula kelapa untuk keperluan rumah tangga menyerap 50 persen, industri kecap 30 persen, industri makanan 10 persen dan industri lainnya 10 persen .

Hasil penelitian tentang penggunaan minyak berkaroten dari sumber wortel pada proses pengolahan gula kelapa menghasilkan produk dengan kadar total karoten paling tinggi, dan aplikasinya pada skala pengrajin menunjukkan bahwa teknologi pengkayaan (enrichment) pro-vitamin A pada gula kelapa dapat diterapkan. Berdasarkan hasil pengujian menunjukkan tidak terdapat keragaman diantara pengrajin gula yang diteliti dilihat dari aspek kandungan -karoten, pH, kadar gula reduksi dan sifat-sifat sensorik gula kelapa meliputi kekerasan tekstur, aroma, flavor dan warna (Dwiyanti et al. 2005; Dwiyanti 2006).

Sumber provitamin A (karotenoid) yang cukup potensial adalah minyak sawit merah (RPO) dan juga minyak sawit mentah (CPO), karena mengandung -karoten antara 500-700 ppm serta memiliki bioavailabilitas yang lebih baik

daripada -karoten yang terdapat pada bayam dan wortel (Darnoko et al. 2002). Beta karoten pada RPO maupun CPO merupakan provitamin A yang berada pada kondisi larut dalam minyak serta memiliki bioavailabilitas yang lebih baik

daripada -karoten dalam bentuk kristal atau ikatan protein kompleks, sebagaimana yang terdapat pada bayam dan wortel (Het Hof, et al. 2000, Rice and Burn 2010) dan telah diuji kemampuannya dalam memperbaiki status vitamin A pada berbagai studi pada manusia (Lietz et al. 2001; Zagre et al. 2003; Canfields et al. 2001; Radhika et al. 2003; Zeba et al. 2006).

Penggunaan minyak sawit sebagai sumber provitamin A yang ditambahkan pada tahapan proses pembuatan gula kelapa, akan meningkatkan pemanfaatan potensi sumberdaya lokal yang ketersediaannya cukup melimpah di Indonesia. Produksi sawit Indonesia mencapai 20.75 juta ton per tahun (KARVY, 2010). Oleh karena itu, pengkayaan (enrichment) gula kelapa melalui penambahan RPO merupakan alternatif penyediaan pangan tinggi provitamin A berbasis potensi lokal dan merupakan salah satu terobosan baru untuk mempercepat penghantaran vitamin A pada masyarakat dalam upaya penanggulangan KVA di Indonesia.

Tersedianya gula kelapa tinggi provitamin A di masyarakat akan meningkatkan akses terhadap zat gizi tersebut sehingga akan menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap vitamin A. Akses masyarakat terhadap provitamin A juga akan semakin luas mengingat gula kelapa merupakan bahan baku pada beberapa industri makanan seperti kecap, dodol dan beberapa makanan tradisional serta minuman. Provitamin A dalam sawit merah relatif aman dibandingkan dengan fortifikan vitamin A yang lain seperti retynil palmitate


(22)

maupun retynil acetate, karena provitamin A (karotenoid) tidak mengakibatkan hypervitaminosis A ataupun keracunan meskipun dikonsumsi dalam jumlah yang berlebih (Benade, 2003). Sementara itu, Manorama dan Rukmini (1991) dalam hasil penelitiannya menyimpulkan berdasarkan evaluasi mutagenik menunjukkan bahwa CPO aman untuk dikonsumsi manusia.

Perumusan Masalah dan Kebaruan (Novelty) Penelitian

Kurang vitamin A (KVA) masih menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia, meskipun telah dilakukan berbagai upaya penanggulangan seperti suplementasi kapsul vitamin A pada balita dan ibu nifas. Rendahnya asupan vitamin A dari konsumsi pangan harian juga merupakan salah satu penyebab masih tingginya prevalensi KVA di Indonesia. Kualitas konsumsi pangan penduduk Indonesia masih rendah, yang ditunjukkan dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 80,6 masih di bawah standar yang diharapkan. Hal ini berakibat pada masih terjadinya masalah kekurangan gizi masyarakat termasuk kurang vitamin A (KVA) yang berdampak pada tingginya angka kesakitan dan kematian anak, gangguan fungsi penglihatan dan gangguan pertumbuhan (Bappenas, 2011). Vitamin A mempunyai peran penting, selain untuk fungsi penglihatan juga dalam menjaga sistem imun. Oleh karena itu perlu dikembangkan pangan tinggi kandungan vitamin A sebagai langkah untuk meningkatkan akses masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan akan vitamin A.

Gula kelapa merupakan produk makanan yang dikonsumsi secara luas di masyarakat sehingga potensial digunakan sebagai wahana (vehicle) pembawa zat gizi dalam rangka penanggulangan kurang vitamin A (KVA) di Indonesia. Dalam salah satu tahapan proses pengolahan gula kelapa ada penambahan minyak sayur/minyak goreng untuk tujuan defoaming (penurunan buih). Modifikasi pengolahan melalui penambahan baik CPO maupun RPO yang mengandung -karoten antara 500-700 ppm, akan dihasilkan gula kelapa yang berpotensi sebagai pangan sumber provitamin A. Selain itu, ketersediaan sawit di Indonesia yang cukup berlimpah akan menjamin kontinuitas sumberdaya tersebut. Namun demikian belum ada penelitian tentang penambahan CPO maupun RPO sebagai sumber provitamin A pada gula kelapa dan masih perlu dikaji tentang bioavailabilitasnya terhadap peningkatan status vitamin A dan respon imun.

Gula kelapa merupakan produk yang mempunyai umur simpan lama, sedangkan provitamin A adalah senyawa yang mudah mengalami kerusakan baik karena oksidasi maupun isomerisasi dan rentan terhadap oksigen maupun cahaya. Oleh karena itu selama distribusi maupun penyimpanan gula kelapa kemungkinan terjadi penurunan kadar vitamin A. Teknik pengemasan yang memadai diharap akan mampu mempertahankan retensi vitamin A dalam gula kelapa.

Bioavailabilitas vitamin A antara lain dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk vitamin A dalam makanan, adanya komponen-komponen lain dalam makanan sebagai inhibitor maupun penunjang vitamin A, serta kondisi fisiologis individu. Menurut Olson (1999), faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas karotenoid adalah: 1) spesies dari karotenoid, 2) ikatan dari tingkat molekuler, 3) jumlah karotenoid dalam makanan, 4) matriks dimana karotenoid terikat, 5) faktor yang mempengaruhi absorbsi karotenoid seperti lemak, oksidan dan antioksidan


(23)

6) status gizi individu, 7) faktor genetik, 8) faktor yang berkaitan dengan individu, 9) interaksi diantara faktor-faktor tersebut.

Ketersediaan vitamin A yang cukup dalam tubuh selain berpengaruh terhadap proses penglihatan dan pertumbuhan juga terhadap pembentukan sel-sel imun antara lain sel T dan sel B termasuk produk yang dihasilkan yaitu sitokin maupun imunoglobulin. Di dalam sistem imun, imunoglobulin G (IgG) merupakan salah satu komponen pertahanan adaptif humoral yang paling banyak beredar di dalam tubuh.

Beberapa masalah penting yang berkaitan dengan penambahan CPO dan RPO pada gula kelapa sebagai alternatif penanggulangan KVA berbasis pangan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah potensi gula kelapa bila digunakan sebagai wahana untuk pembawa zat gizi provitamin A didasarkan pada retensi karoten, sifat fisik, kimia dan sensori?

2. Bagaimanakah pengaruh jenis kemasan terhadap perubahan sifat fisik, kimia dan retensi karoten selama penyimpanan gula kelapa yang diperkaya minyak sawit merah?

3. Bagaimanakah pengaruh pemberian gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO terhadap peningkatan status vitamin A dan imun tikus defisien vitamin A?

Tujuan Umum

Mengkaji potensi gula kelapa sebagai wahana pembawa zat gizi pro-vitamin A dari minyak sawit guna mengatasi masalah kurang vitamin A (KVA).

Tujuan Khusus:

1. Menganalisis retensi karoten, sifat fisik, kimia dan sensori gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO.

2. Mengevaluasi pengaruh tehnik pengemasan terhadap perubahan sifat fisik, kimia dan retensi karoten selama penyimpanan gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO.

3. Menganalisis pengaruh pemberian gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO terhadap status vitamin A dan imun tikus percobaan.

Manfaat Penelitian

Manfaat hasil penelitian antara lain:

1. Dihasilkan produk pangan alternatif sumber provitamin A yang murah dan mudah diakses masyarakat yaitu gula kelapa tinggi provitamin A (karoten). 2. Membantu program pemerintah dalam mengatasi masalah kurang vitamin A


(24)

3. Sebagai masukan bagi pemerintah dan pengambil kebijakan tentang kemungkinan alternatif bahan pangan lain yang potensial untuk wahana pembawa zat gizi provitamin A dan penggunaan sawit merah sebagai sumber provitamin A untuk mengentaskan masalah KVA di Indonesia.

Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka hipotesis yang diajukan yaitu:

1. H1: terdapat perbedaan pengaruh jumlah penambahan minyak sawit

pada gula kelapa yang dihasilkan dari aspek fisik, kimia dan sensori. 2. H1: terdapat perbedaan pengaruh jenis kemasan terhadap perubahan

sifat fisik, kimia dan retensi karoten selama penyimpanan gula kelapa

3. H1: terdapat perbedaan pengaruh pemberian gula kelapa yang

diperkaya CPO dan RPO serta kontrol retinyl palmitat terhadap peningkatan status vitamin A dan respon imun tikus percobaan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian pengembangan produk gula kelapa sebagai wahana pembawa zat gizi provitamin A (karoten) yang ditambahkan dari minyak sawit yaitu CPO dan RPO terhadap retensi karoten, sifat fisik, kimia dan sensori gula kelapa yang dihasilkan serta evaluasi terhadap penurunan mutu produk selama penyimpanan dan uji pengaruh pemberiannya terhadap status vitamin A dan imun tikus percobaan.


(25)

2.TINJAUAN PUSTAKA Dampak Kurang Vitamin A

Kurang vitamin A (KVA) merupakan salah satu masalah gizi mikro yang hingga saat ini belum teratasi di Indonesia, yang diakibatkan karena kurangnya asupan vitamin A harian. Kurang vitamin A pada anak balita dapat menurunkan daya tahan tubuh, meningkatkan resiko kebutaan, dan meningkatkan resiko kematian akibat infeksi.

Pada tahun 1992, Indonesia telah dinyatakan bebas dari xeropthalmia, namun masih dijumpai 50 persen balita mempunyai kadar serum retinol kurang

dari β0 g/100 ml, sebagai pertanda Kurang Vitamin A Sub-Klinik. Kejadian tersebut diduga diakibatkan kurang berhasilnya penyuluhan untuk mengkonsumsi sumber vitamin A alami (SUVITAL) dan rendahnya cakupan distribusi kapsul Vitamin A (< 80 persen). Pada tahun 2000, dilaporkan dari Nusa Tenggara Barat adanya kasus baru xerophthalmia. Hal serupa bisa terjadi di provinsi lain jika cakupan distribusi kapsul Vitamin A di wilayah tersebut kurang dari 80 persen. Kementrian Kesehatan melaporkan bahwa KVA klinis yang ditandai dengan xerophthalmia pada anak balita telah turun bermakna dari 1.3 persen pada tahun 1978, menjadi 0.35 persen pada tahun 1992 dan semakin membaik menjadi 0.13 persen pada tahun 2007. Walaupun demikian, KVA subklinis yang ditandai dengan rendahnya kadar retinol dalam darah (<β0 g/dl) masih terjadi pada 14.6 persen anak balita yang akan berakibat pada meningkatnya resiko kesakitan dan kematian (Bappenas, 2011). Data Riskesdas (2010) menyebutkan bahwa cakupan vitamin A pada balita secara nasional sebesar 69.8 persen dan terjadi disparitas antar propinsi dengan jarak 49.3 – 91.1 persen.

Prevalensi kurang zat gizi mikro mencapai angka 50-60 persen, dan 9 persen angka kematian anak dan 13 persen angka kematian ibu disebabkan karena kurang vitamin A (Soekirman 2008). Lebih lanjut Villamor dan Fawzi (2005), menyebutkan bahwa defisiensi vitamin A masih menjadi masalah kesehatan publik yang serius yang diperkirakan diderita oleh sekitar 127 juta anak pra sekolah dan 7.2 juta wanita hamil di dunia. Pada anak anak, defisiensi vitamin A meningkatkan resiko mortalitas dan morbiditas terhadap infeksi diare dan cacar air, kebutaan dan anemi (Sembadan Bloem 2002). Stipanuk (2000) menyebutkan bahwa vitamin A dan metabolismenya dalam spektrum yang luas mempunyai fungsi biologis antara lain: (1) essensial untuk penglihatan, (2) reproduksi, (3) fungsi imun, (4) berperan penting dalam diferensiasi selluler, proliferasi dan pemberian isyarat (signaling). Vitamin A juga berperan penting dalam proliferasi dan aktivasi limfosit.

Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan impaired defence di permukaan epitelial yang disebabkan karena rusaknya struktur epitel, selain itu juga terjadi perubahan mucous, dan menurunnya secretory IgA (sIgA) dan juga menurunnya fungsi neutrofil, makrofag dan natural killer. Kondisi defisiensi vitamin A juga akan merubah proliferasi sel B dan T (Rimbawan et al. 2007).

Kebutuhan vitamin A untuk pria dan wanita dewasa berturut-turut 625 dan

500 g RAE. Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk vitamin A didasarkan pada kebutuhan ditambah dua kali koefisien variasi dengan value rounded sampai mendekati 100 g. Angka Kecukupan Gizi (AKG) vitamin A


(26)

untuk pria dan wanita dewasa berturut-turut λ00 dan 700 g RAE. Selama kehamilan dan menyusui, RDA untuk wanita dewasa berturut turut 770 dan 1300

g RAE (Gropper et al. 2009).

Tanda-tanda dan gejala defisiensi vitamin A antara lain: xerophthalmia, anorexia, pertumbuhan yang terhambat, mudah terkena infeksi dan keratinisasi sel epithel kulit. Xerophthalmia ditandai dengan mengeringnya mata karena ketidak cukupan produksi mucous dan abnormalitas konjungtiva dan kornea mata (xerosis pada konjungtiva dan kornea, bercak Bitot, parut pada kornea dan ulserasi, dan buta senja) (Bender. 2003, Gropper et al. 2009, Stipanuk 2000).

Menurut Semba (1998), defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap pembentukan derivat asam retinoid, perubahan dalam keratin epidermis yang dapat meningkatkan infeksi kulit, apoptosis, kerusakan neutrofil, penurunan jumlah sel NK, aktivitas makrofag sebagai proses fagositosis, kerusakan limfosit T, limfosit B dan respnon antibodi.

Hasil studi meta analisis dari 15 studi yang dilakukan oleh Thurham et al (2003) menunjukkan bahwa defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap morbiditas dan kelangsungan hidup anak dan merupakan penyebab terbesar kasus morbiditas dan mortalitas pada anak balita di beberapa negara berkembang. Disimpulkan bahwa retinol serum dapat menurunkan infeksi klinis dan sub klinis yang berpengaruh terhadap kesehatan anak. Menurut Maqsood et al. (2004), vitamin A esensial untuk kenormalan fungsi imun, hematopoiesis, pertumbuhan dan penglihatan. Menurut Semba (2002), anak anak yang defisiensi vitamin A akan mengalami perubahan patologis dalam fungsi sel T dan sel B.

Perbaikan gizi merupakan suatu investasi yang sangat menguntungkan. Setidaknya ada tiga alasan suatu negara perlu melakukan intervensi di bidang gizi. Pertama, perbaikan gizi memiliki keuntungan ekonomi (economic returns) yang tinggi; kedua, intervensi gizi terbukti mendorong pertumbuhan ekonomi; dan ketiga, perbaikan gizi membantu menurunkan tingkat kemiskinan melalui perbaikan produktivitas kerja, pengurangan hari sakit, dan pengurangan biaya pengobatan (Bank Dunia 2006).

Fortifikasi Pangan

Fortifikasi pangan dengan zat gizi mikro diketahui telah banyak berperan dalam mengatasi kekurangan vitamin dan mineral di negara-negara maju seperti Kanada, Swiss, Inggris, dan Amerika Serikat. Fortifikasi margarin dengan vitamin D berperan untuk mengatasi ricket di Jnggris, Kanada, dan Eropa Utara. Fortifikasi tepung terigu dengan besi di Swedia, dan Amerika Serikat menurunkan prevalensi penderita anemi gizi besi secara dramatis. Iodisasi garam, yang dimulai sejak tahun 1922 menunjukkan hasil yang spektakuler (Burgi et al. 1990). Hasil penelitian Klemm et al. (2010), menunjukkan bahwa fortifikasi tepung terigu dengan vitamin A pada level 4.5 mg/kg tepung yang digunakan untuk membuat roti dan diberikan kepada anak-anak sekolah di Philipina yang defisien vitamin A, ternyata mampu memperbaiki status vitamin A dilihat dari peningkatan kadar serum retinol.

Fortifikasi adalah pendekatan kesehatan masyarakat dalam upaya penanggulangan malnutrisi khususnya gizi mikro. Fortifikasi dimaksudkan untuk meningkatkan intake gizi mikro agar kebutuhannya terpenuhi tanpa merubah pola


(27)

makan setempat. Program fortifikasi dapat meliputi satu atau lebih pangan yang secara umum dikonsumsi luas atau fortifikasi pangan yang didesain untuk sub group populasi khusus, dan atau fortifikasi pangan untuk penyediaan pasar.

Sasaran fortifikasi adalah satu atau lebih sekelompok masyarakat yang diindikasikan secara klinis defisiensi gizi mikro. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam fortifikasi diantaranya: 1) Pangan yang akan difortifikasi merupakan makanan yang paling sering dan banyak dikonsumsi penduduk termasuk penduduk miskin, 2) Pangan hasil fortifikasi mempunyai sifat organoleptik yang tidak banyak berubah dari aslinya, 3) Pangan yang difortifikasi aman untuk dikonsumsi, dan ada jaminan terhadap kemungkinan efek samping yang negatif, 4) Pangan untuk fortifikasi diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas jumlahnya, 5) Tersedia teknologi fortifikasi sesuai dengan pangan pembawa dan fortifikan yang digunakan, 6) Harus ada sistem monitoring yang tegas terhadap pabrik-pabrik fortifikasi, 7) Ada kerjasama yang nyata antara pihak pemerintah, non pemerintah dan swasta, 8) Perlu mekanisme untuk melakukan pengawasan dan evaluasi program fortifikasi, 9) Pangan hasil fortifikasi, harganya tetap terjangkau oleh kelompok target, 10) Dari sisi konsumen diyakini tidak akan terjadi konsumsi berlebihan dan diperhitungkan berdasarkan AKG nya.

Dalam fortifikasi pangan, karakteristik pangan pembawa sangat menentukan keberhasilannya. Sifat fisik pangan pembawa (vehicle) ada yang berupa padat, cair atau semi padat. Sifat fisik pangan pembawa akan menentukan jenis fortifikan apa yang dikehendaki baik sensorik maupun bioavailabilitas zat gizi yang ditambahkan. Syarat pangan pembawa menurut Lotfi et al. (1996) diantaranya adalah: 1) pangan pembawa dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk dan dikonsumsi secara teratur dalam jumlah yang relatif konstan, 2) pengolahan dilakukan secara terpusat, 3) tidak mengalami perubahan sensorik (warna, bau), stabilitas dan bioavailabilitas mikronutrien tinggi pada produk akhir dan selama penyimpanan.

Menurut Benade (2003), didasarkan pada laporan terbaru bahwa prevalensi global untuk defisiensi vitamin A klinis pada anak sekolah tahun 1995 diperkirakan mencapai 1.2 persen. Pada basis global diperkirakan 140 juta anak pra sekolah menderita defisiensi vitamin A subklinis. Prevalensi defisiensi vitamin A klinis maupun subklinis terjadi di Asia Selatan dan Sub Saharan Afrika dimana 30-40 persen anak pra sekolah berisiko menderita sakit dan kematian akibat defisiensi tersebut.

Beberapa strategi yang diterapkan dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut antara lain: 1) suplementasi kapsul vitamin A dosis tinggi, 2) fortifikasi pangan dan 3) diversifikasi pangan dan pendidikan gizi. Salah satu langkah penyediaan pangan kaya akan vitamin A di masyarakat dapat dilakukan dengan memanfaatkan pangan lokal yang dikonsumsi secara luas sebagai pangan pembawa zat gizi. Salah satu diantara jenis pangan yang potensial untuk dikembangkan sebagai alternatif dalam pengentasan masalah KVA berbasis pangan adalah gula kelapa.


(28)

Gula Kelapa

Gula kelapa (coconut palm sugar), disebut juga sebagai gula merah adalah jenis gula yang dibuat dari nira bunga kelapa secara tradisional. Gula kelapa umumnya diproduksi pada skala industri rumah tangga meskipun saat ini sudah banyak bermunculan gula kelapa pada skala yang lebih besar dengan kapasitas produksi mencapai 700 kg/hari. Produksi gula kelapa di Jawa tengah mencapai 218.235 ton/tahun. Kabupaten Banyumas merupakan salah satu sentra produksi gula kelapa dengan jumlah produksi tahun 2001 sebesar 46.991,75 ton (BPS 2002). Pada tahun 2004 produksi gula kelapa Banyumas mencapai 250 ton per bulan (Dishutbun 2005).

Dalam pemanfaatannya, gula kelapa banyak dipergunakan sebagai pemanis, pembentuk rupa (appearance), tekstur, warna dan aroma/flavor. Peran gula kelapa dalam pengolahan jenis makanan tertentu sering tidak dapat digantikan dengan gula lain, misalnya pada pembuatan kecap, dodol, getuk goreng ataupun pada beberapa jenis makanan tradisional lainnya. Teknologi pengolahan gula kelapa sangat sederhana dan dalam salah satu tahapannya adalah penambahan minyak sayur ketika memasuki fase jenuh, yang dimaksudkan untuk menurunkan buih (defoaming). Jumlah minyak yang biasa digunakan perajin berkisar 10 ml – 30 ml setiap pengolahan 10 liter nira. Penggunaan minyak yang mengandung pro vitamin A tinggi seperti minyak sawit merah (RPO) untuk defoaming dapat meningkatkan nilai nutrisional gula yang dihasilkan terutama kandungan pro vitamin A.

Hasil penelitian Dwiyanti et al. (2005), menunjukkan bahwa penggunaan sumber karoten wortel yang dilarutkan dalam minyak sawit pada suhu 700 C selama 72 jam dengan jumlah penambahan 10 ml/L nira menghasilkan gula dengan kadar total karoten paling tinggi, yaitu 9020 g/100g bahan. Namun demikian, setelah disimpan selama 2 minggu terjadi penurunan kadar karoten 51,08 persen, yaitu menjadi 4413 g/100 g bahan atau setara dengan vitamin A 367 RE. Kecukupan vitamin A untuk anak dan dewasa berkisar 400 – 600 RE per hari (Gropper 2009), sehingga bila diasumsikan konsumsi gula per hari 25 gram, maka mampu menyumbangkan kebutuhan vitamin A per hari 15-25 persen.

Gula kelapa cetak dihasilkan dari proses pemanasan nira bunga kelapa, hingga mencapai kondisi lewat jenuh sehingga akan terjadi proses kristalisasi sukrosa yang ditandai dengan terjadinya pemadatan gula. Nira kelapa merupakan cairan jernih yang diperoleh dari penyadapan mayang (bunga kelapa) yang belum mekar. Proses penyadapan nira kelapa meliputi tahapan: 1) pememaran mayang yang bertujuan untuk melancarkan aliran nira, pengikatan dan pembengkokan mayang yang ditujukan untuk memudahkan penampungan nira dalam wadah penampung (pongkor), dan pengirisan pucuk mayang. Nira yang dihasilkan ditampung dalam wadah bambu yang disebut pongkor.

Meskipun dapat berasal dari pohon palma yang lain, pohon kelapa adalah sumber yang utama. Negara penghasil gula kelapa terutama adalah Indonesia dan Philipina. Beberapa jenis tanaman palmae lain yang juga menghasilkan nira dan diolah lebih lanjut menjadi gula antara lain: aren (Arenga pinata), siwalan (Borasus sp), sagu (Caryota urens) dan nipah (Nypa fruticans). Proses penyadapan nira dan pengolahan nira menjadi gula juga melalui tahapan yang


(29)

sama dengan proses pembuatan gula kelapa. Perbedaannya terutama terletak pada tekstur dan rasa gula yang dihasilkan. Gula aren mempunyai warna yang lebih gelap dan tekstur lebih keras. Beberapa istilah untuk gula aren antara lain: Sugar Palm, Arenga palm, Areng palm, Black fiber palm, Gomuti Palm, Aren,Enau,Irok, dan Kaong. Di Indonesia dikenal dengan nama gula aren, sedangkan di India

dikenal dengan nama “gur”.

Gula nipah, berasal dari nira tanaman nipah yang biasa tumbuh di lingkungan hutan bakau atau daerah pasang surut dekat tepi laut dengan salinitas yang tinggi, sehingga mengakibatkan rasa gula menjadi sedikit asin. Nira nipah selain diolah menjadi gula juga dapat difermentasi untuk menghasilkan tuak atau tuba dalam bahasa Philipina dan fermentasi lanjut akan dihasilkan cuka. Di Malaysia, nira nipah banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku etanol (Heyne 1987).

Secara umum proses pengolahan gula palmae adalah sama. Tahap pertama pengolahan gula kelapa adalah pemurnian nira. Di dalam nira terkandung komponen-komponen seperti: air, gula, protein, lemak, mineral, dan juga vitamin C, serta kotoran (impurities) (Brekhman dan Nestrenko 1983). Adanya kotoran (impurities) dalam nira mengakibatkan kristalisasi sukrosa/gula yang terdapat dalam nira menjadi terhambat, sehingga tekstur gula menjadi lembek (Tjahjaningsih 1991). Oleh karena itu, semaksimal mungkin kotoran-kotoran yang terdapat dalam nira harus dihilangkan. Pemurnian nira kelapa terdiri atas dua tahap, yaitu pemisahan kotoran yang tidak larut seperti bunga kelapa, serangga, dan lain-lain dengan cara penyaringan dan tahap yang kedua adalah memisahkan nira jernih dari impurities yang berupa koloid yang telah bereaksi dengan kapur/kalsium membentuk endapan.

Menurut Brekhman dan Nestrenko (1983), mutu gula kelapa ditentukan oleh bentuk, warna dan kekerasannya (tekstur). Kekerasan tekstur gula kelapa terutama ditentukan oleh gula reduksi, pektin, dan protein yang terkandung dalam nira. Komponen-komponen seperti karbohidrat dan lemak juga merupakan impurities yang berpengaruh pada tekstur gula yang dihasilkan. Makin besar kadarnya, tekstur gula yang dihasilkan makin lembek. Untuk menghilangkan senyawa-senyawa impurities tersebut dapat dilakukan dengan pemberian air kapur. Kalsium dalam larutan kapur akan bereaksi dengan senyawa impurities membentuk endapan, sehingga memudahkan dalam proses pemurnian nira. Adanya impurities dalam nira akan menghalangi kristalisasi sukrosa, yang akan berpengaruh terhadap kekerasan tekstur gula yang dihasilkan.

Hal lain yang penting dalam pemasakan gula kelapa adalah penentuan suhu akhir pemasakan (end point). Menurut Tjahjaningsih (1991) suhu akhir pemasakan pengolahan gula kelapa (gula cetak) berkisar 117 oC. Sebelum tercapai end point, nira yang dipanaskan akan mengalami pembuihan (foaming). Untuk penurunan buih (defoaming), ditambahkan minyak sayur antara 10-20 ml setiap 10 liter nira. Penggunaan minyak yang mengandung karoten (pro vitamin A), misalnya CPO atau RPO untuk penurunan buih, akan meningkatkan mutu fungsional gula kelapa yang dihasilkan. Diagram alir pengembangan produk gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO disajikan pada Gambar 1.

Mutu gula kelapa bervariasi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti, teknik pengolahan dan pengalaman perajin gula kelapa itu sendiri dan kualitas nira yang digunakan. Nira yang telah mengalami kerusakan, apabila diolah


(30)

menjadi gula akan menghasilkan produk dengan kualitas yang rendah, terutama teksturnya yang lembek, bahkan bila tingkat kerusakan niranya tinggi, gula yang dihasilkan tidak dapat dicetak. Selain itu juga kadar gula reduksinya tinggi. Berikut ini adalah standar mutu gula kelapa menurut SNI-01-3743-1995 (Tabel 1).

Tabel 1 Standar mutu gula kelapa menurut SNI-01-3743-1995

No Kriteria uji Satuan Gula Cetak

Bentuk Normal

Warna Kuning kecoklatan sampai

coklat

Rasa Normal dan khas

Bahan tak larut air % bb Maks 1

Air % bb Maks 10

Abu % bb Maks 2

Gula pereduksi % bb Maks 10.

Jmlh gula sbg sukrosa Mineral:

% bb Min 77

Timbal mg/kg Maks 2

Tembaga mg/kg Maks 10

Seng mg /kg Maks 40

Timah mg/kg Maks 40

Air raksa mg/kg Maks 0.03

Nira kelapa Penyaringan Pemasakan nira Fase Jenuh (1100C) Penambahan minyak sayur

(Modifikasi dengan CPO/RPO)

Penurunan buih (defoaming) End Point (1180C–119 0C)

Tahap Solidifikasi Pencetakan Pengemasan

Gambar 1 Diagram alir pengembangan produk gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO


(31)

Potensi Minyak Sawit Merah

Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini mencapai 5,5 juta hektar dan lahannya tersebar di 16 propinsi dan 52 kabupaten. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia memproduksi Crude Palm Oil (CPO) atau minyak kelapa sawit kasar sebanyak minimal 16 juta ton per tahun. Kapasitas produksi yang besar ini menjadikan Indonesia sebagai produsen minyak sawit kedua setelah Malaysia (GAPKI 2007).

Indonesia dan Malaysia merupakan dua produsen CPO terbesar di dunia. Namun sejak tahun 2003-2004, Indonesia menjadi penghasil kelapa sawit terbesar pertama mengungguli Malaysia. Produksi kelapa sawit Malaysia meningkat dari 2,57 juta ton di tahun 1980-1981 menjadi 18.50 juta ton pada tahun 2009-2010, sedangkan Indonesia mencatat laju kenaikan produksi yang lebih tinggi dibanding Malaysia, yaitu meningkat dari 0,75 juta ton tahun 1980-1981 menjadi 20,75 juta ton tahun 2009-2010, atau dengan laju pertumbuhan tahunan (annual growth rate) 12,80% (KARVY 2010).

Gambar 2 Produksi CPO di Malaysia (1980 -2010)


(32)

Crude palm oil (CPO) berasal dari mesokarp buah sawit (Elaeis guineensis), diperoleh dari proses pengepresan, netralisasi dan purifikasi mesokarp buah sawit merah dan masih mengandung gum (Gambar 4)

Gambar 4 (a) Buah Sawit, (b) tandan buah segar (TBS) dan (c) CPO, RPO Melalui proses degumming dan netralisasi CPO, akan dihasilkan red palm oil (RPO) ( Morad et al. 2006). CPO akan mengalami proses yang intensif sebelum sampai ke konsumen antara lain adsorption bleaching untuk menghasilkan refined, bleached and deodorized palm oil (RBD palm oil). Proses fraksinasi akan memisahkan fraksi cair olein atau super olein yang umum digunakan untuk minyak goreng dari fraksi padat stearin yang umum digunakan untuk shortening dan margarin (Che Man et al. 1999).

Secara alamiah minyak sawit mengandung berbagai zat gizi yang sangat penting untuk peningkatan kesehatan, seperti asam lemak, karotenoid, tokoferol, ubiquinon dan sterol. Crude Palm Oil mengandung 50 persen asam lemak jenuh dan 50 persen asam lemak tak jenuh. Trigliserida fraksi olein adalah C50(42,58

persen) dan C52(45,66 persen) dengan bilangan iodin sekitar 56. Fraksi stearin

terdiri dari C48(22,3 persen), C50(40 persen) dan C52(29 persen) dengan bilangan

iodin sekitar 44 (Tan et al. 1981). Menurut Aziz (2006), asam lemak penyusun sawit merah adalah: asam lemak tak jenuh, yaitu asam oleat (40%), asam linoleat (10 persen), asam linolenat (0,4 persen) dan asam lemak jenuh , yaitu asam palmitat (44 persen), asam stearat (4,6 persen), asam mirystat (1,1 persen) dan asam laurat (0,2 persen).

Kandungan karoten di dalam minyak sawit adalah yang tertinggi dibandingkan dengan tanaman lain, yaitu berkisar antara 600 – 1000 ppm (Naibaho 1990) dan tokoferol serta tokotrienol (vitamin E) berkisar antara 800-1000 ppm (Nasaretman 1999). Tokotrienol merupakan bentuk vitamin E yang sangat kuat yang berperan sebagai super-antioksidan (Aziz 2006). Menurut Kamsiah et al. (2001), komposisi CPO berbeda dengan RBD (refined, bleached and deodorized) palm oil. CPO mengandung karoten konsentrasi tinggi dengan 60 – 70 persen adalah -karoten dan 30 – 35 persen nya adalah α- karoten. Refined palm oil (golden oil), secara normal mengandung vitamin E tinggi, tetapi tidak dengan karoten. Berbeda dengan RPO (minyak sawit merah) yang merupakan non bleached palm oil, mengandung sekitar 400 ppm karoten dan700 ppm vitamin E.


(33)

Tabel 2 Komposisi asam lemak CPO, RBD palm oil, RBD palm olein, RBD palm stearin dan Super olein (Che Man et al. 1999)

Asam Lemak

Komposisi asam lemak (%)

CPO RBD palm

oil

RBD olein RBD stearin

Superolein Jenuh

Miristat 0.93 0.92 0.89 1.21 0.81

Palmitat 45.48 46.30 41.54 61.21 38.47

Stearat 3.49 3.52 3.51 4.00 3.14

Total 49.91 50.74 45.94 66.42 42.42

Tak jenuh

Oleat 40.17 39.58 43.63 27.54 45.77

Linoleat 9.92 9.68 10.43 6.05 11.81

Total 50.09 49.26 54.06 33.59 57.58

Manorama et al. (1999) melaporkan bahwa konsumsi RPO menurunkan TC (total cholesterol), LDL-cholesterol, TG (triasil gliserol) dan meningkatkan HDL-cholesterol. Lebih lanjut Kamsiah et al. (2001), melaporkan bahwa konsumsi RPO dalam keadaan segar (fresh) maupun dipanaskan (heating), tidak berpengaruh terhadap profil lipid dan MDA serum, karena adanya karoten dan vitamin E yang mempunyai kemampuan antioksidan dan berperan sebagai antiatherogenic.

Warna merah pada CPO maupun RPO karena adanya karotenoid yang cukup tinggi (karoten, lycopen dan xanthophylls), dan rata-rata 13-15 kali lebih tinggi dari karoten dalam wortel serta 40 sampai 50 kali dari karoten dalam tomat. Komposisi karotenoid dalam sawit merah disajikan dalam Tabel 3.

Gambar 5 Kandungan vitamin E pada beberapa jenis minyak (Aziz 2006)


(34)

Tabel 3 Komposisi karotenoid dalam sawit merah

Karotenoid % mg/kg (dalam RPO)

α- karoten 36,2

500 - 700

- karoten 54,4

Lycopen 3,8

Xanthophylls 2,2

Sebagai bahan baku untuk pembuatan minyak goreng, minyak sawit mengalami tahapan proses pemucatan atau bleaching, yang akan merusak dan menghilangkan komponen gizi dan biologi dalam minyak sawit. Jika produksi minyak sawit di Indonesia mencapai minimal 16 juta ton per tahun, sedangkan kandungan karoten dalam minyak sawit mencapai 600 ppm atau 600 mg/kg minyak, maka bisa dibayangkan jumlah karoten yang dihancurkan setiap tahunnya sangatlah besar. Oleh karena itu perlu suatu terobosan baru untuk memanfaatkan potensi alam Indonesia (pro vitamin A dalam minyak sawit), yang sebenarnya sangat diperlukan guna menunjang kesehatan masyarakat.

Absorbsi dan Metabolisme Vitamin A

Vitamin A terikat dengan komponen makanan yang lain, dimana retinol terikat dengan ester asam lemak umumnya dalam bentuk retinyl palmitate, juga membentuk kompleks dengan protein. Kompleks protein karotenoid maupun protein retinyl ester, terlebih dahulu dicerna oleh protease lambung yaitu pepsin. Di dalam duodenum pelepasan protein dari karotenoid dan retinyl ester dilanjutkan oleh protease duodenum. Hasil kerja enzim pankreatik hidrolase dan esterase akan menghasilkan karotenoid dan retinol bebas, yang selanjut bergabung dengan garam empedu dan fraksi lemak lainnya membentuk misel yang selanjutnya melewati membrane brush border microvilli masuk ke dalam enterocyte (Gropper et al.2009). Menurut Bender (2003), retinyl ester dihidrolisis oleh lipase pankreas dan karboksil ester lipase dalam misel lemak di dalam lumen usus halus, dan juga oleh satu atau lebih retinyl ester hidrolase di dalam membrane intestinal mucosal brush border. Pada level intake fisiologis, uptake retinol kedalam enterocyte adalah dengan difusi terfasilitasi dari misel lipid. Ketika protein transport di dalam sel intestinal mucosal brusborder dalam keadaan jenuh, juga terjadi uptake pasif dari retinol. Proses pencernaan dan absorbsi vitamin A dan karotenoid disajikan pada Gambar 6.

Sekitar 70 – 90 persen dietary retinol diabsorbsi. Sekitar 90 persen vitamin A tubuh disimpan sebagai retinyl ester di dalam hati, dan hati mempunyai kapasitas untuk menyimpan cukup vitamin A untuk beberapa bulan, dengan kapasitas penyimpanan lebih besar pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak (Semba 2002).


(35)

Gambar 6 Pencernaan dan absorbsi karotenoid dan vitamin A dan reesterifikasi retinol di dalam sel intestinal (Gropper et al. 2009)

Keterangan:

1. Cellular retinol binding protein (CRBP II) terikat baik pada retinol maupun retinal di dalam sel intestinal

2. Retinal yang terikat pada CRBP II dikonversi menjadi retinol dalam bentuk CRBP II retinol

3. Lechitin retinol acyl transferase (LRAT) mengeserifikasi asam lemak (asam palmitat) pada CRBP II retinol membentuk CRBPII-retinyl palmitat.

4. Retinyl ester bergabung bersama dengan fosfolipid, triasil gliserol, kolesterol ester, carotenoid dan apoprotein membentuk kilomikron.

5. Kilomikron meninggalkan sel intestinal dan masuk ke dalam sistem limfatik.

6. Asam retinoat dapat secara langsung masuk ke dalam aliran darah dan akan terikat pada albumin untuk ditransport ke hati.

Di dalam enterocyte, retinol terikat pada cellular retinol binding protein (CRBP II) dan diesterifikasi oleh lecithin retinol acyltransferase (LRAT) yang mempergunakan phosphatidilcholin sebagai donor asam lemak, terutama menghasilkan palmitat, meskipun sejumlah kecil stearat dan oleat juga dibentuk. Pada unphysiologically level retinol tinggi, ketika CRBP II dalam keadaan jenuh, acyl CoA:retinol acyltransferase (ARAT) mengesterifikasi retinol bebas yang terakumulasi di dalam membrane interselluler. Selanjutnya retinyl ester masuk ke dalam sirkulasi lymphatic dan kemudian ke aliran darah (di dalam kilomikron), bersama dengan dietary lipid dan karotenoid (Harrison and Hussain, 2001).

Sejumlah kecil dietary retinol dioksidasi menjadi asam retinoat, yang kemudian diabsorbsi kedalam sirkulasi portal dan terikat pada albumin serum. Beberapa retinyl ester juga ditransfer ke dalam sirkulasi portal. Pasien dengan abetalipoproteinemia, yang mana tidak punya kemampuan untuk mensintesis kilomikron, namun demikian dapat menjaga status vitamin A yang memadai asalkan dengan intake retinol yang relative tinggi (Bender, 2003).

Bentuk vitamin A yang dapat diutilisasi terbaik adalah ester retinol dalam larutan minyak. Ester masuk secara utuh melewati mulut dan lambung, dan dihidrolisis menjadi retinol pada intestin bagian atas, dan diabsorbsi sebagai misel


(36)

ke dalam mukosa intestinal. Retinol selanjutnya tersesterifikasi dengan asam lemak rantai panjang dan terutama dengan asam palmitat, bergabung menjadi kilomikron dan disekresikan ke dalam limpa. Trigliserida dalam kilomikron dihidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak oleh lipoprotein lipase, dan sisanya yaitu kilomikron remnant diambil oleh hati dan sebagian kecil oleh jaringan lain. Di dalam hati, retinol mengalami reesterifikasi dan disimpan untuk digunakan selanjutnya. Pada kondisi diet normal, preformed vitamin A diserap dengan baik dan disimpan secara efisien. Preformed vitamin A terutama bersumber dari pangan hewani (Olson 1999).

Vitamin A mengerahkan efeknya melalui reseptor asam retinoat dan reseptor retinoid yang dijumpai dalam nukleus sel (Benade, 1999). Di dalam sitoplasma, retinol dikonversi menjadi all-trans retinoic acid dan 9-cis-retinoic acid. Retinoic acid mempengaruhi ekspresi gen melalui reseptor spesifik. Retinoic acid receptor (RARs) berperan sebagai aktivator transkripsi untuk beberapa target gene yang spesifik. RAR diekspresikan sebagai beberapa isoform yaitu α, , dan . dan juga retinoid–x-reseptor (RXR), yaitu RXR α, , dan . RARs dan RXRs membentuk heterodimer yang terikat pada DNA dan mengontrol ekspresi gene. Asam retinoat (retinoic acid) adalah ligand untuk RARs, sedangkan 9-cis retinoic acid adalah ligand untuk RARs dan RXRs. Sequens DNA yang berinteraksi dengan RARs maupun RXRs dikenal sebagai retinoic acid response elemen (RARE) (Gambar 7). Vitamin A memodulasi banyak aspek yang berbeda dari fungsi imun, meliputi komponen imun non spesifik (innate) ( contoh: fagositosis dan pemeliharaan permukaan mucosa), dan komponen imun spesifik/adaptive (yaitu pembangunan respon antibodi).

Gambar 7 Model hipotesis aksi retinoic acid pada ekspresi gene (Gropper et al. 2009)


(37)

Jaringan dapat mengambil retinyl ester dari kilomikron, tetapi kebanyakan di dalam kilomikron remnant yang diambil ke dalam hati melalui endositosis. Retinyl ester dihidrolisis di dalam membran sel hepatocyt, dan retinol bebas ditransfer ke reticulum endoplasmic kasar, dimana akan terikat pada apo-RBP. Holo RBP selanjutnya akan bergerak melalui RE halus menuju ke Golgi dan disekresikan sebagai komplek 1:1 dengan thyroid hormone binding protein yaitu trasthyretin.

Studi replesi vitamin A pada hewan menunjukkan bahwa kebanyakan retinol ditransfer dari hepatocyt ke sel-sel perisinusoidal stellate dari hati. Selanjutnya diesterifikasi oleh LRAT menjadi retinyl palmitat (76-80%), dengan sejumlah kecil stearat (9-12%), oleat (5-7%) dan linoleat (3-4%). Sel-sel stellate mengandung vitamin A hepatik 90-95% sebagai droplet lemak cytoplasmic yang terdiri sekitar 12-65% retinyl ester.

Meskipun simpanan utama vitamin A adalah di dalam hati (50-80% dari total kandungan tubuh), jaringan adipose mengandung sekitar 15-20% dari total kandungan vitamin A tubuh. Kebanyakan dari vitamin A tersebut diambil dari kilomikron, retinyl ester dihidrolisis oleh lipoprotein lipase, tetapi sebagian vitamin A juga diambil dari sirkulasi vitamin yang terikat pada RBP. Pelepasan retinol dari jaringan adipose adalah melalui hidrolisis retinyl ester simpanan, yang dikatalisis oleh (cAMP-stimulated) hormone-sensitive lipase, terikat pada RBP, yang disintesis oleh jaringan adipose. Konsentrasi vitamin A plasma dijaga relatif konstan melalui kontrol homeostatic interchange vitamin A antara plasma, liver dan jaringan ekstra hepatik.

Absorbsi dan Metabolisme Karotenoid.

Vitamin A juga dapat dibentuk dari pigmen tanaman yaitu karotenoid. Beberapa sumber karotenoid yaitu wortel, ubi jalar, buah-buahan dan sayuran daun yang berwarna hijau. Kandungan karotenoid dalam buah dan sayuran dipengaruhi antara lain oleh: varietas tanaman, tingkat kematangan, iklim, penanganan pasca panen dan prosesing. Karotenoid yang mempunyai aktivitas vitamin A (provitamin A), yaituμ -karoten, α- karoten dan -kriptosantin. Struktur karotenoid disajikan pada Gambar 8. Karena strukturnya yang sangat tidak jenuh, karotenoid mudah mengalami isomerisasi dari bentuk trans- menjadi cis- isomer serta mengalami oksidasi baik ensimatis maupun non enzimatis yang mengakibatkan terjadi penurunan/hilangnya warna dan aktivitas provitamin A.


(38)

Karotenoid mempunyai bioavailabilitas yang lebih rendah dari pada preformed vitamin A. Hal tersebut karena: 1) karotenoid terikat secara kuat di dalam matriks sayuran atau buah-buahan, dan harus dilepaskan melalui proses pencernaan, 2) penyerapannya kedalam sel intestin lebih banyak persyaratannya dari pada vitamin A, 3) harus di lepaskan secara ensimatis menjadi vitamin A di dalam sel intestin atau sel di jaringan lain, 4) disimpan sebagai vitamin A atau sebagai karotenoid itu sendiri di dalam berbagai jaringan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas karotenoid antara lain: 1) Spesies dari karotenoid ; 2) Linkage (ikatan) di tingkat molekuler; 3) Amount (jumlah) karotenoid dalam makanan; 4) Matriks dimana karotenoid terikat; 5)Absorbtion modifiers factors ( faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan), seperti lemak. ; 6) Nutrient status of the host ( status gizi inang). Aktivitas ensim dioksigenase yang berperan dalam biokonversi karotenoid ke vitamin A meningkat ketika status vitamin A rendah; 7) Faktor genetik ; 8) Host related factors/faktor-faktor yang berhubungan dengan inang. Diantaranya adalah adanya parasit intestinal dan athropic gastritis, yaitu kondisi yang umum pada manula dimana sekresi asam lambung sedikit atau tidak ada; dan 9) Interaksi diantara faktor-faktor tersebut.

Karotenoid diabsorbsi secara pasif dan terlarut dalam misel lemak/lipid. Beberapa studi memperkirakan ketersediaan biologis dan absorbsi dietary carotene sekitar 5-60 persen, tergantung pada alami dari pangan (apakah dimasak atau mentah) dan jumlah lemak dalam makanan. Umumnya, kebanyakan karoten dalam pangan berada dalam bentuk kristal yang sulit larut (Bender 2003).

Menurut Semba (β00β), karotenoid provitamin A seperti -karoten kemungkinan dikonversi menjadi retinaldehyde melalui pemecahan oleh carotenoid-15,15’ -dioxygenase (symetric cleavage) atau melalui jalur pemecahan asymetrical yang keduanya terjadi di dalam enterocyte. Pemecahan simetris -karoten pada ikatan

rangkap 15,15’ menghasilkan dua molekul retinaldehida, sedangkan karotenoid

provitamin A yang lain hanya menghasilkan satu molekul retinaldehida. Kebanyakan retinaldehida yang dibentuk dari karotenoid akan terikat pada cellular retinol binding protein II (CRBP-II) dan secara reversibel direduksi menjadi retinol oleh retinaldehyde reductase. Kompleks retinol-CRBP-II selanjutnya digunakan sebagai substrat untuk esterifikasi (Ball 2006).

Karotenoid remnant tidak terakumulasi dalam hati, tetapi dilepaskan kedalam sirkulasi sebagai komponen very low density lipoprotein (VLDL) yang selanjutnya didelipidasi menjadi LDL. Pada fasted state, LDL merupakan carier utama karotenoid non polar. Karotenoid dilepaskan dari LDL dan diambil oleh beberapa jaringan terutama adiposa dan disimpan.

Menurut Benade (1999), beberapa faktor yang mempengaruhi konversi -karoten dan -karotenoid provitamin A yang lain adalah: 1) faktor yang

mempengaruhi aktivitas ensim pemecah yang utama yaitu 15,15’-dioxygenase, dan 2) faktor yang mempengaruhi absorbsi karotenoid provitamin A dalam

saluran pencernaan. -karoten dioxygenase meningkat aktivitasnya dengan adanya intake yang tinggi dari lemak (terutama lemak tak jenuh ganda), protein

dan -karoten. Aktivitasnya akan meningkat dengan baik ketika status vitamin A buruk. Terkait dengan absorbsi, umumnya karotenoid hidrokarbon agak baik diabsorbsi sebagai xanthophyll dan apo-carotenoid. All-trans isomer diabsorbsi lebih baik dari pada cis-isomer. Ketika berada dalam saluran pencernaan


(39)

bertendensi untuk berkompetesi dengan yang lainnya. -karoten menghambat absorbsi lutein dan canthaxanthin, sekurang-kurangnya ketika bersama-sama berada dalam jumlah besar, tetapi akan mempertinggi absorbsi lycopene. Hal-hal yang mempengaruhi absorbsi dan utilisasi karotenoid sebagai sumber vitamin A antara lain: jumlah yang di intik, struktur karotenoid, kompetisi diantara karotenoid, keadaan fisik dari karotenoid, dimana karotenoid dalam minyak atau berupa beadlets adalah sangat mudah diabsorbsi, sedangkan yang terdapat dalam sayuran maupun buah-buahan lebih sulit diabsorbsi. Adanya lemak dan

antioksidan dalam saluran pencernaan akan memperbaiki stabilitas dan absorbsi -karoten, sedangkan adanya serat dan oksidan akan berdampak sebaliknya. Faktor lain yang menghambat absorbsi karotenoid adalah sindroma malabsorbsi lemak yang akan menurunkan absorbsi dan adanya infeksi parasit pada saluran pencernaan yang akan menurunkan uptake karotenoid. Faktor-faktor genetik secara nyata mempengaruhi semua aspek metabolisme karotenoid dan vitamin A (Olson 1999). Lebih lanjut dikatakan bahwa ratio konversi maksimum -karoten dalam minyak ke vitamin A in vivo adalah 2:1.

Menurut Gropper et al. (2009), karotenoid diserap sekitar <5 persen untuk yang berasal dari sayuran atau buah-buahan yang tidak mengalami pemanasan, dan sekitar 60 persen jika terdapat cukup minyak/lemak atau yang berasal dari

suplemen. Di dalam enterocyte, -karoten akan diubah menjadi 2 retinal dan selanjutnya dikonversi menjadi retinol dengan bantuan retinal reduktase (retinal oksidase). Didalam intestin, sebagian retinal juga dioksidasi menjadi asam retinoat (retinoic acid), dan sebagian asam retinoat dikonjugasi menjadi retinoyl

β-glucuronide (RAG). RAG dan retinoic acid masuk ke sirkulasi melalui vena porta sedangkan retinol melalui sistem limfatik.

Menurut Benade (1999), untuk mendapatkan jumlah kontribusi dari karotenoid, kandungan total vitamin A pangan diekspresikan sebagai microgram dari retinol equivalen, yaitu jumlah yang disediakan oleh retinoid dan karotenoid. Karena absorbsi karoten yang relatif rendah dan metabolism yang tidak lengkap untuk menghasilkan retinol, maka 6 g -karoten adalah 1 g retinol equivalen, yang merupakan rasio molar dari γ,β mol -karoten equivalen terhadap 1 mol

retinol. Β-karoten diabsorbsi lebih baik pada susu dibandingkan dari makanan lain. Di dalam susu, β g -karoten adalah 1 g retinol equivalen (1.07 mol equivalen terhadap 1 mol retinol). Provitamin A karotenoid yang lain

menghasilkan setengah retinol dari beta karoten dan 1β g dari komponen tersebut = 1 g retinol equivalen). Pada basis ini, 1 IU vitamin A activity = 1.8 g -karoten atau 3.6 g dari karotenoid provitamin A yang lain.

US/Canadian Dietary Reference memperkenalkan istilah retinol activity equivalent (RAE) untuk mendapatkan jumlah dari incomplete absorbs and metabolism dari karotenoid. 1 RAE = 1 g trans retinol; 1β g -karoten dan 24

g α-karoten atau - cryptoxanthin. Pada basis tersebut 1 IU vitamin A activity = 3.6 g -karoten atau 7.β g dari karotenoid provitamin A yang lain.

Karotenoid berbeda dengan vitamin A yaitu memiliki efek samping yang minimal dan tidak mengakibatkan keracunan bila dikonsumsi dalam jumlah berlebih. -karoten dicantumkan pada generally recognized as safe (GRAS) tercantum dengan FDA untuk digunakan sebagai suplemen gizi dan diet, juga untuk pewarna makanan, kosmetik dan obat. Asupan oleh dewasa hingga 180 mg -karoten setiap hari selama beberapa bulan menunjukkan tidak ada efek samping


(40)

yang serius. Hypercarotenosis dapat terjadi pada individu yang mengkonsumsi

sekitar γ0 mg atau lebih -karoten per hari yang berakibat pigmentasi kulit menjadi kekuningan, dan kondisi tersebut akan menghilang ketika karotenoid ditiadakan dari diet (Gropper et al. 2009).

Interaksi Vitamin A dan Karotenoid dengan Zat Gizi yang Lain

Vitamin A dan karotenoid dapat berinteraksi dengan vitamin E dan K. Asupan vitamin A yang berlebihan dapat mengganggu absorbsi vitamin K,

sedangkan intake -karoten yang tinggi dapat menurunkan konsentrasi vitamin E plasma. Menurut Gropper et al. (β00λ), adanya vitamin E dapat melindungi -karoten dan produknya dari oksidasi. Akan tetapi, dosis vitamin E yang tinggi dapat menghambat absorbsi -karoten dan konversinya menjadi retinol di dalam usus halus.

Protein dan zink berpengaruh terhadap status dan transport vitamin A. Intake protein yang tidak memadai dapat menurunkan aktivitas ensim carotenoid dioxygenaseyang berperan memecah -karoten. Seluruh metabolisme vitamin A berhubungan erat dengan status protein dan zinc karena transport dan penggunaan vitamin A tergantung pada beberapa protein pengikat vitamin A, dan zinc diperlukan untuk sintesis protein. Gangguan dalam sintesis protein, termasuk protein pengikat retinol dan transthyetin, akan mengurangi mobilisasi retinol dari hati (Gropper et al. 2009). Status zat besi dengan vitamin A juga berhubungan. Defisiensi vitamin A menurunkan penyatuan zat besi ke dalam sel darah merah dan meminimalkan mobilisasi zat besi dari simpanan sehingga defisiensi vitamin A dapat dihubungkan dengan microcytic iron deficiency anemia.

Vitamin A dan Imunitas

Defisiensi vitamin A merupakan masalah gizi kesehatan masyarakat yang serius dan merupakan penyebab paling penting terjadinya kebutaan pada anak-anak di negara berkembang. Defisiensi vitamin A marginal merupakan faktor yang signifikan yang mengakibatkan anak anak terkena infeksi dan merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas di negara berkembang, meskipun dinegara maju vitamin A (bersama dengan zat besi) adalah zat gizi yang sering disuplai dalam jumlah yang marginal. Pada kenyataannya, defisiensi vitamin A pertama disebabkan karena defisiensi vitamin, dan kedua, defisiensi vitamin A dihasilkan dari KEP, karena terganggunya sintesis RBP yang diperlukan untuk transport vitamin dari hati.

Bentuk aktif fisiologis yang utama dari vitamin A adalah retinaldehyde dan asam retinoat, keduanya berasal dari retinol. Fungsi retinaldehyde dalam sistem visual (penglihatan) sebagai gugus prostetik dari opsin yang berperan sebagai sinyal transducers antara penerimaan cahaya di dalam retina dan inisisasi impuls syaraf. Asam retinoat memodulasi ekspresi gene dan diferensiasi jaringan dan bekerja melalui jalur reseptor nuclear.


(1)

(2)

Lampiran 5 Dokumentasi Penelitian

Pengembangan produk gula kelapa yang diperkaya CPO dan RPO


(3)

(4)

Dokumentasi penelitian uji pada tikus percobaan

Kondisi tikus setelah periode deplesi selama 10 minggu

Perubahan tikus setelah diintervensi dengan gula kelapa CPO

Perubahan tikus setelah diintevensi dengan gula RPO


(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah Dosen pada Prodi Ilmu dan Teknologi Pangan Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto sejak tahun 1987. Dilahirkan di Kebumen pada tanggal 6 September 1962 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Parwondo (alm.) dan Ibu Siti Sarmonah Hasanah. Pada tanggal 8 Agustus 1988 menikah dengan Unggul Warsiadi, SH, MH dan dikaruniai 2 orang anak yaitu Gumintang Ratna Ramadhan, S.TP dan Galang Lazuardi. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto, lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1994 penulis mendapatkan beasiswa dari Bank Dunia CHN-III dan diterima di departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Gizi Manusia dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2009. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Program Hibah Kompetensi Institusi (PHKI) Universitas Jenderal Soedirman. Penulis juga mendapatkan bantuan berupa dana penelitian dari Dirjen Pendidikan Tinggi melalui Dana desentralisasi Unsoed Program Hibah Disertasi Doktor dan Hibah Bersaing serta dari Yayasan Supersemar.

Selama mengikuti program S-3 penulis berkesempatan mengikuti Program Sandwich-Like di University of Adelaide Australia, yaitu pada bulan Oktober hingga Desember 2012. Karya ilmiah berjudul Efek Pemberian Gula Merah yang Diperkaya Provitamin A Bersumber Minyak Sawit Merah terhadap Status Vitamin A dan Status Imun telah disajikan pada Simposium Nasional 100 Hasil Penelitian Terkini Pangan dan Gizi 2013 di Jakarta pada bulan Juni 2013. Sebuah artikel dengan judul Efek Pemberian Gula Kelapa yang Diperkaya Minyak Sawit Merah terhadap Pertumbuhan dan Kadar Retinol Serum Tikus Sprague Dawley siap terbit pada Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan Volume 36 Nomor 2 (Desember) Tahun 2013. Artikel dengan judul Penambahan Minyak Sawit Merah sebagai Sumber Provitamin A terhadap Retensi Karoten, Sifat Fisik dan Sensori Gula Kelapa juga sudah diajukan pada jurnal nasional terakreditasi dan akan diterbitkan pada Jurnal Teknologi Industri Pertanian Volume 24 Tahun 2014. Sebagian dari disertasi juga telah diajukan pada jurnal internasional terakreditasi, yaitu jurnal Nutrition Research and Practice dan sudah sampai pada tahap review.