Hukum Acara yang berlaku

3. Hukum Acara yang berlaku

Untuk memberikan ketegasan Pasal 299 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang menyatakan bahwa kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara perdata.Dalam hal ini berarti yang berlaku adalah Het Herziene Inlandsch Reglement HIR Reglemenet Indonesia yang diperbaharui RIB untuk Jawa dan Madura, dan Rechtstreglement Buitengewesten RBG untuk daearah luar Jawa dan Madura dan RV Reglement of de Rechtvordering seberapa jauh dianggap perlu dan relevan. 50 Jika di dalam undang-undang tentang kepailitan, maka pada prinsipnya asas-asas umum dari kepailitan adalah sebagai berikut, sifat dapat dilaksanakan lebih dahulu Uit Voor Baar Bij Voor Raad.Asas dapat dilaksanakan lebih dahulu dapat kita lihat di dalam Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa, putusan atas permohonan pailit dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum dan Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang yang mewajibkan kurator kepailitan untuk melaksanakan segala tugas dan kewenangannya untuk mengurus dan membereskan harta pailit terhitung sejak putusan pernyataan pailit ditetapkan, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Sifat tersebut makin diperkuat oleh ketentuan Pasal 16 ayat 2 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa meskipun putusan pailit tersebut kemudian dikoreksi atau dibatalkan oleh suatu putusan yang secara hierarki lebih tinggi, semua kegiatan pengurusan dan pemberesan oleh kurator yang telah dilakukan terhitung putusan kepailitan dijatuhkan hingga putusan tersebut dibatalkan, baik dalam bentuk putusan kasasi 50 J.C.T. Simorangkir, Hukum Dan Konstitusi Indonesia, Bagian 3, Cet. I, Jakarta : Haji Masagung, 1998, hal.79. Universitas Sumatera Utara maupun karena peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung tetap dinyatakan sah oleh undang- undang sebagaisifat pembuktian sederhana. 51 Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang menyatakan bahwa setiap permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit oleh terpenuhi. 52 Syarat itu tercantum dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, yaitu orang yang hendak dinyatakan pailit mempunyai lebih dari dua kreditur dan memiliki utang yang tidak dibayar dan dapat ditagih. Asas publisitas artinya harus ada suatu permohonan pernyataan pailit yang diajukan baik oleh kreditur maupun debitur sendiri kepada pengadilan, agar pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui keadaan dari debitur yang tidak mampu membayar utang-utangnya Pasal 6 UUK dan PKPU. Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan jika persyaratan kepailitan sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU telah terpenuhi yaitu: 1. Debitur tersebut mempunyai dua atau lebih kreditur. 2. Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. 53 Untuk memahami dari persyaratan kepailitan di atas, maka akan dipaparkan secara lebih lengkap sebagai berikut: 51 Ibid, hal. 85. 52 Ibid, hal. 90. 53 Munir Fuady, Hukum Pailit DalamTeori Dan Praktek, Jakarta : Citra Aditya Bakti, 1999, hal 59. Universitas Sumatera Utara 1. Keharusan adanya dua kreditur Keharusan adanya dua kreditur merupakan persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbanganyaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan untuk didahulukan. Rumusan tersebut memberitahukan pada kita semua, bahwa pada dasarnya setiap kebendaan yang merupakan sisi positif harta kekayaan seseorang harus dibagi secara adil kepada setiap orang yang berhak atas pemenuhan perikatan individu ini, yang disebut dengan namakreditur. Dimaksud dengan adil di sini adalah bahwa harta kekayaan tersebut harus dibagi secara: 1. Pari passu, dengan pengertian bahwa harta kekayaan tersebut harus dibagikan secara bersama-sama diantara para kreditur tersebut. 2. Pro rata, sesuai dengan besarnya imbangan piutang masing-masing kreditur terhadap utang debitur secara keseluruhan. Sehubungan dengan eksistensi dari sekurangnya dua orang kreditur merupakan suatu syarat mutlak karena jika hanya ada satu kreditur tidak perlu kepailitan karena tidak perlu pengaturan pembagian hasil eksekusi harta pailit kepada beberapa kreditur. 54 54 Ibid, hal. 65. Universitas Sumatera Utara 2. Pengertian Utang Yang Jatuh Waktu Di dalam Ketentuan Umum Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang di dalam Pasal 1 ayat 6 disebutkan bahwa pengertian “Utang” adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Pengertian dari jatuh waktu dapat kita lihat di dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur bahwa pihak yang berhutang dianggap lalai apabila ia dengan surat teguran telah dinyatakan pailit dan dalam surat tersebut debitur diberi waktu tertentu untuk melunasi hutangnya. 55 Rumusan Pasal 1238 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat dilihat bahwa dalam perikatan untuk menyerahkan atau memberikan sesuatu. Undang-undang membedakan kelalaian berdasarkan adanya ketetapan waktu dalam perikatannya, dimana: 1. Dalam hal terdapat ketetapan waktu, maka terhitung sejak lewatnya jangka waktu yang telah ditentukan dalam perikatannya tersebut, debitur dianggap telah lalai untuk melaksanakan kewajibannya. 2. Dalam hal tidak ditentukan terlebih dahulu saat mana debitor berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya tersebut, maka debitor baru dianggap lalai jika iatelah ditegur untuk memenuhi atau menunaikan kewajibannya yang terutang tersebut masih 55 Ibid, hal. 70. Universitas Sumatera Utara juga belum memenuhi kewajibannya yang terutang tersebut. Dalam hal yang demikian maka bukti tertulis dalam bentuk teguran yang disampaikan oleh kreditur kepada debitur mengenai kelalaian debitur untuk memenuhi kewajibannya menjadi dan merupakan satu- satunya bukti debitur yang lalai. Dalam konstruksi hukum tersebut berarti: 1. Dalam hal terdapat ketetapan waktu, maka saat jatuh tempo adalah saat atau waktu yang telah ditentukan dalam perikatannya, yang juga merupakan saat pemenuhan kewajiban oleh debitur. 2. Dalam hal tidak ditentukan waktu pelaksanaan kewajiban oleh debitur dalam perikatannya, maka saat jatuh tempo adalah saat dimana debitur telah ditegur oleh kreditur untuk memenuhi kewajibannya. Tanpa adanya teguran tersebut maka kewajiban atau utang debitur kepada kreditur belum dapat dianggap jatuh tempo. Dengan demikian berarti atas perikatan untuk atau memberikan sesuatu dalam bentuk uang tunai yang telah ditentukan saat penyerahannya, maka terhitung dengan lewatnya jangka waktu tersebut, utang tersebut demi hukum telah jatuh tempo dan dapat ditagih. 56 Dalam konteks ini berarti jika kreditur bermaksud untuk memajukan kepailitan atas diri debitur, maka kreditur tidak perlu lagi mengajukan bukti lain selain perjanjian yang menentukan saat jatuh temponya yang telah terlewati tadi. Disebut dengan harta pailit adalah harta milik debitur yang dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan. Ketentuan Pasal 21 Undang-undang Kepailitan dan Penundaan 56 Rudhy, Lontoh, A Kailimang, Denny Ponto, Benny, ed, Penyelesaian Utang-Piutang : Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2001, hal. 184. Universitas Sumatera Utara Pembayaran Utang secara tegas menyatakan, bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur yang ada pada saat pernyataan pailit itu dijatuhkan oleh pengadilan dan meliputi juga seluruh kekayaan yang diperoleh selama kepailitan berlangsung. Walau demikian ketentuan Pasal 20 Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang mengecualikan beberapa macam harta kekayaan debitur dari harta pailit. 57 Khusus bagi individu atau debitur perorangan yang dinyatakan pailit, maka seluruh akibat dari pernyataan pailit tersebut yang berlaku untuk debitur pailit juga berlaku untuk suami atau isteri yang menikah dalam persatuan harta dengan debitur pailit tersebut. Ketentuan ini sejalan dengan ketentuan Pasal 3 ayat 1 jo Pasal 3 ayat2 Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang mewajibkan adanya persetujuan dari suami atau isteri, dalam hal seorang debitur yang menikah dengan percampuran harta ingin mengajukan permohonan kepailitan. 58 Ini berarti bahwa kepailitan tersebut juga meliputi seluruh harta kekayaan dari pihak suami atau isteri debitur perorangan dari debitur yang dinyatakan pailit tersebut, yang menikah dalam persatuan harta kekayaan.Harta kekayaan tersebut meliputi harta yang telah ada pada saat pernyataan pailit diumumkan dan harta kekayaan yang diperoleh selama kepailitan.

4. Hakekat Kepailitan