Pengertian Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM

2.1 Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana

2.1.1 Pengertian Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu delik atau strafbaar feit. Kata strafbaar feit kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. 28 Beberapa perkataan yang digunakan untuk menerjemahkan kata strafbaar feit oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain: tindak pidana, delict, dan perbuatan pidana. Sementara di dalam berbagai perundang- undangan digunakan istilah untuk menunjukkan pengertian kata strafbaar feit. Beberapa istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut antara lain: peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang diancam dengan hukum, dan tindak pidana. Seperti halnya Utrecht, Moeljatno, dan Tirtaamidjaja dalam buku Wirjono Prodjodikoro memakai istilah peristiwa pidana sebagai jalan tengah agar tidak menimbulkan persepsi yang tidak tepat. 29 Menurut Tongat, penggunaan berbagai istilah tersebut pada hakekatnya tidak menjadi persoalan sepanjang penggunaanya disesuaikan dengan konteksnya dan dipahami maknanya. Karena itu berbagai istilah tersebut digunakan bergantian 28 Wirjono Prodjodikoro,op.cit, h.57 29 Ibid. 29 Wirjono Prodjodikoro , loc.cit. 25 bahkan dalam konteks yang lain istilah kejahatan untuk menunjukkan maksud yang sama. 30 Pengertian tindak pidana menurut Wirjono Prodjodikoro, yaitu tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tindak hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana. 31 Simons memberikan pendapatnya mengenai delict yaitu, delik merupakan suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum. Menurut d.Simons dalam bukunya C.S.T Kansil tindak pidana merupakan perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab. 32 Adapun Van Hamel dalam bukunya Lamintang yang merumuskan strafbaar feit sebagai suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain, kemudian menurut Pompe dalam buku yang sama menyatakan perkataan strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma gangguan terhadap tata tertib hukum yang dengan sengaja ataupun tidak dengan segaja telah 30 Ismu Gunadi W. dan Jonaedi Effendi, 2011, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 40. 31 Wirjono Prodjodikoro, op.cit, h.1. 32 C.S.T. Kansil dan Kristine S.T. Kansil, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cet. Kedua, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 38. Selanjutnya disingkat C.S.T.Kansil II. dilakukan oleh seseorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 33 Menurut Moeljatno yang menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan. 34 Menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan dapat dipersalahkan kepada pelakunya. Tambahan terhadap syarat-syarat ini adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus merupakan seseorang yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Sesuai dengan penjelasan di atas, maka pendapat Bambang Poernama sejalan dengan pendapat J.E Jonkers dalam buku Bambang Poernama, yang telah memberikan defenisi mengenai strafbaar feit menjadi dua pengertian, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Poernomo yaitu: a. Definisi dalam arti sempit yaitu strafbaar feit merupakan suatu kejadian feit yang dapat diancam pidana oleh undang-undang. b. Definisi dalam arti luas yaitu strafbaar feit merupakan suatu kelakuan yang melawan hukum berhubungan dengan dilakukannya suatu perbuatan dengan sengaja atau alfa oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan. 35 33 P.A.F. Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h. 172. 34 Moeljatno, op.cit, h. 54. 35 Bambang Poernomo, 1983, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,h. 91. Menurut definisi dalam arti sempit pada hakekatnya menyatakan bahwa untuk setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dan pendapat umum tidak dapat menentukan lain dari pada apa yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Definisi dalam arti luas lebih menitik beratkan kepada sifat melawan hukum dan pertanggungjawaban yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara tegas didalam setiap delik atau unsur yang tersembunyi secara diam-diam dianggap ada. 36 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar peraturan-peraturan pidana, diancam dengan hukuman oleh undang-undang sanksi pidana dan dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan dan dapat dipertanggungjawabkan. Adanya suatu tindak pidana tidak dapat terlapas dari akibat yang ditimbulkan tindakan tersebut. Selain merugikan orang lain, tindak pidana juga akan berakibat pada adanya pertanggungjawaban pidana yaitu berupa hukuman, vonis atau penjatuhan sanksi pidana dimuka pengadilan kepada pelaku tindak pidana atau kejahatan tersebut. Pada umumnya tidak semua tindak pidana atau kejahatan dapat dijatuhi pidana, oleh karena itu di dalam hukum pidana berlaku suatu asas yaitu tidak dipidana jika ada kesalahan atau sering disebut dengan Geen Starf Zonder Schuld. 37 36 Ibid. 37 Andi Hamzah dan Siti Rahayu, 1983, Suatu Tinjauan Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, h. 40. Selanjutnya disingkat Andi Hamzah II. Andi Hamzah mengemukakan dalam bukunya bahwa ada empat tujuan pidana, yaitu : 1. Reformasi adalah memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat; 2. Restraint adalah mengasingkan pelanggar dari masyarakat; 3. Retribution adalah pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan; 4. Deterrence adalah memberikan efek jera atau mencegah sehingga baik terdakwa maupun orang lain yang mempunyai potensial menjadi penjahat akan jera dan takut melakukan kejahatan karena melihat pidana yang dijatuhkan. Sedangkan tujuan pidana yang banyakberkembang saat ini adalah variasi dari tujuan pidana reformasi dan deterrence. 38 Berdasarkan sudut pandang terjadinya suatu tindakan yang dilarang, maka seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan yang dilakukanya tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Menurut Moeljatno dalam perbuatan yang dilarang disitu yang terpenting adalah guilty mind yaitu sikap batin yang jahat dari si pelaku. Selain itu perbuatan tersebut menghambat cita-cita bangsa Indonesia yaitu datangnya masyarakat yang adil, makmur sehingga perbuatan tersebut merupakan bahaya bagi keselamatan masyarakat. Alf Ross dalam bukunya Moeljatno mengemukakan pendapatnya mengenai apa yang dimaksud dengan seseorang yang bertanggungjawab atas pebuatannya, yaitu: Pertanggungjawaban pidana dinyatakan dengan adanya suatu hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat akibat dan akibat hukum yang diisyaratkan. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya suatu perbuatan dengan pidana. Ini tergantung dari persoalan, apakah dalam melakukan perbuatan itu dia mempunyai kesalahan, sebab asas dalam 38 Andi Hamzah I, op.cit, h. 28. pertanggungjawaban dalamhukum pidana ialah: tidak dipidana jika tidak ada kesalahan Geen starf zonder schuld: Actus non facit reum mens rea. 39 Pertanggungjawaban pidana bagi seseorang, harus mempunyai kemampuan bertanggungjawab atau keadaan batin orang itu harus normal dan sehat. Simons dalam bukunya Tongat menyatakan bahwa “ kesalahan adalah keadaan batin psychis yang tertentu dari si pembuat dan hubungan antara keadaan batin si pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. 40 Kemampuan untuk bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka dari itu untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi, mengingat hal ini susah untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggungjawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya mampu bertanggungjawab, kecuali jika ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal, maka hakim akan memerintahkan untuk dilakukan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, maka berarti bahwa kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. 41 39 Moeljatno, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, h. 150. Selanjutnya disingkat Moeljatno II. 40 Tongat, 2008, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UUM Press, Malang, h. 222. 41 Ibid, h. 223. Selain itu untuk menentukan adanya pertanggungjawaban seseorang dalam melakukan suatu tindak pidana harus ada sifat melawan hukum dari tindak pidana, yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Mengenai sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan keadaan psikis atau jiwa pembuat tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa kesengajaan atau karena kelalaian. Akan tetapi kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian. Bachtiar Agus Salim dalam bukunya Djoko Prokoso menyatakan bahwa ada beberapa syarat agar dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya yang harus dipenuhi, antara lain: 1. Tenang melakukan perbuatan pidana, perbuatan yang bersifat melawan hukum; 2. Mampu bertanggungjawab; 3. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaannya; 4. Tidak adanya alasan pemaaf. 42

2.1.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana