Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Terhadap Tindak Pidana Malpraktek

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Ali Chidir, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987

Astuti, Kusuma, Endang, Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis

di Rumah Sakit, 2009, Bandung, Citra Aditya Bakti

Azwar, Ridwan,Kiat Sukses Di Bidang Jasa, 1996, Jakarta, Andi Offset

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2008

Chazawi, Adami, Malpraktik Kedokteran, 2007, Malang, Bayumedia Publishing Guswandi, J, Hukum Medik (Medical Law), 2004, FK-UI, Jakarta

Hariyani Safitri, Sengketa Medik: Alternatif Penyelesaian Perselisihan antara

Dokter dengan Pasien, Jakarta, Diadid Media, 2005

Hartanti,Evi,Tindak Pidana Korupsi, 2005, Jakarta, Sinar Grafika

Hanafiah, M. Jusuf & Amir, Amri, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan, 1999, Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Isfandyarie, Anny, Malpraktek & Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana, 2005, Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher

Kansil, CST, Pokok-Pokok Hukum Pidana, 2004, Pradnya Paramitha, Jakarta Koeswadji, HadiatI, Hermien, Hukum Kedokteran (Study tentang Hubungan

Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), 1998, Bandung, Citra Aditya Bakti

Komalasari, D. Veronika, Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter, 1989, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan

Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, 1997, Citra Aditya Bakti, Bandung

Marpaung, Leden, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, 2005, Jakarta, Sinar Grafika


(2)

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, 1995, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang

Muladi dan Prijatna Dwipa, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum

Pidana, 1991, Bandung Press, Bandung

Mulyadi, Mahmud dan Surbakti, Antoni Feri, Politik Hukum Pidana Terhadap

Kejahatan Korporasi, 2010, Jakarta, PT.Sofmedia

Nasution, Bahder Johan, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, 2005, Rineka Cipta, Jakarta

Notoatmodjo, Soekidjo , Etika Hukum dan Kesehatan, 2010, Jakarta, Mandar Maju

Poernomo, Bambang, Hukum Kesehatan, Program Pendidikan Pasca Sarjana, Fakultas Kedokteran, Magister Manajemen Rumah Sakit, Universitas Gadjah Mada

Praptianingsih, Sri, Kedudukan Hukum Perawat Dalam Upaya Pelayanan

Kesehatan di Rumah Sakit, 2006, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Prodjodikuro, Wirjono, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, 1997, Pradnya Paramitha, Jakarta

Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung

Rasyid Deddy, Perbuatan Malpraktek Dokter dalam Perspektif Hukum Pidana

di Indonesia, Tesis UI

Ruba’I, Maschruchin, Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, 1997, IKIP, Malang

Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan PertanggungJawaban Pidana, 1980, Centra, Jakarta

Soemitro,Ronny Hanitijo, Meteodologi Penelitian Hukum, 1990, Jakarta, Ghalia Indonesia

Soekanto, Soerjono, Pengantar Hukum Kesehatan,1987, Remadia Karya, Bandung

________________, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 1986, Rajawali, Jakarta


(3)

Sudarto, Suatu Dilema Dalam Pembaruan Sistem Pidana Indonesia, 1979, Semarang, FH Undip

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, 1981, Alumni, Bandung

Suratno S Wiji, Pengenalan dan Pencegahan Kejahatan Korporasi, Indonesia Crime Prevention Foundation

Syahrul, Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter

Yang Diduga Melakukan Malpraktek, 2008, Mandar Maju, Bandung

Whiradharmaidharma, Danny, Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum

Kesehatan, 1999, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC

_________________, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, 1996, Jakarta, Bina Rupa Aksara

Wisnoewardono, Harjo, Fungsi Medical Record sebagai Alat

Pertanggungjawaban Pidana Dokter terhadap Tuntutan

Malpraktek, 2002, Malang, Arena Hukum No. 17, FH Unbraw

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang No. 29 Tahun 2004

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Rumah Sakit, Undang-Undang No. 44 Tahun 2009

INTERNET


(4)

A. Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Sebagai Badan Hukum dalam Hukum Pidana Positif di Indonesia

1. Pertanggungjawaban Korporasi Sebagai Badan Hukum Dalam Hukum Pidana Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum atau dalam bahasa Belanda disebut rechtpersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal persoon atau legal body.

Dalam sistem hukum Perdata Belanda yang sampai saat ini masih dianut oleh sistem hukum Indonesia, yaitu dikenal sebagai subjek hukum terjadi menjadi dua bentuk, yaitu pertama manusia (persoon) dan kedua, badan hukum

(rechtpersoon). Dari pembagian subjek hukum tersebut di atas, apabila subjek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum, korporasi termasuk dalam kualifikasi badan hukum (rechtpersoon). Sementara korporasi yang bukan badan hukum berarti dapat dikualifikasikan sebagai manusia.

Menurut Andi Hamzah makna badan hukum (recht persoon) adalah merupakan himpunan orang atau suatu organisasi yang diberikan sifat subyek hukum secara tegas. Badan hukum atau kata lain dalam bahasa Indonesia adalah


(5)

bahasa Belanda disebut corporatie, dan dalam bahasa Jerman disebut

Korporation, secara etimologis berasal dari kata corporatio.

Dalam kamus hukum Black’s atau Black’s Law Dictionary menyebutkan badan hukum sebagai corporation. Black’s mendefinisikan corporation adalah sebagai berikut:

“an artificial person or legal entity created by or under the authority of the laws of the state or nation, composed, in some rare instances, of a single person an his successors, being the incumbents of a particular office, but ordinarily consisting of an association of numerous, individuals.

A.Z Abidin memberikan pengertian korporasi adalah sebagai berikut:47

Senada dengan pendapat tersebut di atas yaitu sebagaimana dikemukakan oleh Utrech dan M Soleh Djindang yang mengungkapkan bahwa:

Korporasi dipandang sebagai realita sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu.

48

Sebagaimana diketahui kejahatan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Semakin maju dan berkembangnya peradaban umat manusia, maka akan semakin mewarnai corak dan bentuk kejahatan yang muncul dalam kehidupan ini. Munculnya bentuk-bentuk kejahatan baru yang begitu kompleks, seperti “kejahatan korporasi” sesungguhnya merupakan konsekuensi Korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri sebagai suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban tersendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing.

47


(6)

yang logis dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat menimbulkan efek positif maupun efek negatif.

Peranan-peranan korporasi dalam kenyataannya sangat menentukan kebijakan-kebijakan publik yang cenderung berpihak kepada korporasi ketimbang kepentingan publik itu sendiri, sehingga menghasilkan kebijakan-kebijakan yang sangat merugikan kepentingan masyarakat. Misalnya, setiap menyaksikan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan korporasi yang merugikan dan membahayakan masyarakat, hampir tidak tersentuh oleh hukum. Kalaupun sempat mencuat ke permukaan, maka dalam pelbagai cara dilakukan seperti membantah, mengklarifikasikan atau seakan-akan mengambil tindakan namun tidak ada kelanjutannya.

Motivasi dari korporasi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya merupakan dorongan yang kuat, sehingga seringkali dalam memutuskan strategi dan operasi niaganya secara langsung atau tidak langsung mengarah pada keterlibatan atau melibatkan diri dalam kejahatan. Miliar, dalam bukunya White Collar Crime, menyatakan kejahatan korporasi terbagi kedalam empat kategori, yaitu:49

1) Kejahatan perusahaan (corporate crime), yakni pelakunya adalah kalangan eksekutif dengan melakukan kejahatan untuk kepentingan korporasi dalam mencapai keuntungan;

2) Kejahatan yang pelakunya adalah para pejabat atau birokrat yang melakukan kejahatan untuk kepentingan dan atas persetujuan atau perintah negara;

3) Kejahatan malpraktek, atau dikategorikan profesional occupational crime, pelakunya adalah kalangan profesional seperti dokter,

49

S.Wiji Suratno, Pengenalan dan Pencegahan Kejahatan Korporasi, Indonesia Crime Prevention Foundation


(7)

psikiater, akuntan adjuster serta berbagai profesi lainnya yang memiliki kode etik profesi.

4) Perilaku yang menyimpang yang dilakukan oleh pengusaha, pemilik modal yang tidak tinggi status sosial ekonominya.

Berdasarkan bentuk kejahatan sosio-ekonomi yang memiliki tipe dan karateristik yang berbeda dengan kejahatn konvensional pada umumnya, maka mengutip tulisan Steven Box, ruang lingkup kejahatan korporasi adalah sebagai berikut:50

1) Crimes for corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha atau tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan (profit);

2) Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan;

3) Crimes agains corporations, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi. Dalam hal ini korporasi sebagai korban.

Seiring dengan semakin besar peranan korporasi dalam berbagai bidang dan adanya kecenderungan korporasi melakukan tindak pidana dalam mencapai tujuannya, maka sekarang ini telah terjadi pergeseran pandangan bahwa korporasi juga merupakan subjek tindak pidana selain daripada manusia alamiah. Penolakan pemidanaan terhadap korporasi yang dilatarbelakangi dengan adanya doktrin

Universitas delinguere non potest sudah mengalami perubahan dengan menerima konsep pelaku fungsional (functioneel daderschap).51

Penempatan pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai subjek hukum pidana atau pelaku tindak pidana dalam hukum pidana, tampaknya telah menjadi tuntutan zaman yang tidak terelakkan untuk meningkatkan tanggungjawab negara dalam mengelola kehidupan masyarakat yang semakin kompleks. Kitab

50

Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap


(8)

Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini, hanya mengenal tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh orang-perorangan. Tindak pidana (criminal act), tidak hanya dapat dilakukan oleh manusia alamiah (natuurlijk persoon), melainkan badan hukum (korporasi) dapat juga melakukan tindak pidana. Bahkan perbuatan korporasi dapat mengakibatkan kerugian yang lebih parah bagi kehidupan masyarakat.

Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) 1999-2000 telah menjadikan korporasi sebagai pelaku pidana. Disebutkan dalam Pasal 44 korporasi dapat dipertanggung jawabkan dalam melakukan tindak pidana. Kemudian dipertegas dalam Pasal 161 yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang perorangan, termasuk korporasi.

Dalam Konsep Rancangan KUHP 2004-2005, korporasi diatur dalam Pasal 47 sampai dengan Pasal 53.

Pasal 49 menyatakan, jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

Pasal 50 Konsep Rancangan KUHP menyatakan bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika pebuatan tersebut termasuk dalam lingkup usaha sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain.

Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan yang fungsional dalam struktur organisasi korporasi. Adapun Pasal 52 ayat (1): “Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan


(9)

perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi.” Ayat (2): ”Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim.”

Pasal 53 Konsep menyatakan, alasan pemaaf atau alasan pembenar yang diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan korporasi.

Terhadap korporasi yang dapat diajukan atau dituntut pidana, terdapat beberapa ajaran atau doktrin atau prinsip atau teori yang dapat dijadikan landasan untuk membenarkan korporasi dibebani pertanggungjawaban pidana serta ajaran-ajaran yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana. Ajaran-ajaran-ajaran tersebut adalah sebagai berikut :

1. Doctrine of Strict Liability

Menurut ajaran ini pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya. Karena menurut ajaran strict liability ini pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya tidak dipermasalahkan apakah perbuatan pidana itu dilakukan dengan terdapat pada pelakunya unsur pertanggungjawaban pidana yang berupa kesalahan

(mens rea), maka strict liability disebut juga absolute liability atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan pertanggungjawaban mutlak.

Dalam RUU KUHP 1999-2000 telah memasukkan ajaran strict liability ini dalam Pasal 32 ayat (3), yang berbunyi sebagai berikut :”Untuk tindak


(10)

pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa adanya kesalahan.”

2. Doctrine of Vicarious Liabillity

Teori atau ajaran atau doktrin ini diambil dari hukum perdata dalam konteks pertanggungjawaban melawan hukum yang diterapkan dalam hukum pidana. Vicarious Liabillty biasanya berlaku dalam hukum pidana tentang perbuatan melawan hukum berdasarkan doctrine of respondeat superior. Dalam perbuatan perdata, seorang majikan bertanggungjawab untuk kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya sepanjang hal itu terjadi dalam rangka pekerjaannya.

Ajaran vicarious liability (ajaran pertanggungjawaban vikaruis)

merupakan pengembangan yang terjadi dalam hukum pidana, karena ajaran ini menyimpang dari asas umum yang berlaku dalam sistem

common law bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan tanpa sepengetahuannya atau tanpa otorisasi.

Maka berdasarkan ajaran vicarious liability pihak lain dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatan pihak lain. Berkaitan dengan korporasi, maka korporasi dimungkinkan bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya, atau mandatarisnya atau siapapun yang bertanggungjawab kepada korporasi tersebut.


(11)

Penerapan doktrin ini hanya dilakukan setelah dapat dibuktikan bahwa memang terdapat hubungan subordinasi antara majikan (employer) dan orang yang melakukan tindak pidana tersebut. Harus dapat dipastikan apakah seorang pegawai atau kuasa dari korporasi yang bukan merupakan pegawai dalam arti yang sebenarnya, dalam melakukan tindak pidana itu telah bertindak dalam rangka tugasnya apabila korporasi itu memang harus memikul tanggung jawab atas perbuatannya.

3. Doctrine of Delegation

Doktrin ini merupakan salah satu alasan untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana secara vikarius. Karena adanya pendelegasian wewenang dari seseorang kepada orang lain untuk melaksanakan kewenangan yang dimiliknya. Pendelegasian wewenang oleh majikan kepada bawahannya ini merupakan alasan pembenar bagi dapat dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada majikannya atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh bawahannya yang memperoleh pendelegasian wewenang itu.

4. Doctrine of Identification

Teori atau doktrin ini mengajarkan bahwa untuk dapat

mempertanggungjawabkan pidana kepada suatu korporasi harus mampu diidentifikasi siapa yang melakukan tindak pidana tersebut dan apabila tindak pidana itu dilakukan oleh mereka yang merupakan dari directing mind dari korporasi tersebut, maka baru pertangggungjawaban dari tindak pidana itu dapat dibebankan kepada korporasi.


(12)

5. Doctrine of Aggregation

Doktrin atau ajaran agregasi ini mengajarkan bahwa seseorang dianggap mengagregasikan (mengkombinasikan) semua perbuatan dan semua unsur mental (sikap kalbu) dari berbagai orang yang terkait secara relevan dalam lingkungan perusahaan untuk dapat memastikan bahwa semua perbuatan dan unsur mental tersebut adalah suatu tindak pidana seperti seakan-akan semua perbuatan dan unsure mental itu telah dilakukan oleh satu orang saja.

Ajaran ini muncul karena ajaran identifikasi dianggap tidak cukup untuk dapat digunakan mengatasi realitas proses pengambilan keputusan dalam banyak perusahaan modern. Oleh karena itu dimunculkan metode alternatif untuk dapat mempertanggungjawabkan suatu korporasi secara pidana, salah satunya adalah teori agregasion ini.

6. Reactive Corporate Fault

Doktrin atau ajaran ini mengajarkan bahwa korporasi yang menjadi terdakwa diberi kesempatan oleh Pengadilan untuk melakukan sendiri pemeriksaan, siapa yang dianggap paling bersalah dan tindakan apa yang telah diberikan perusahaan kepada orang yang dianggap bersalah tersebut.

Hukuman yang dapat diberikan Pengadilan kepada korporasi dapat berupa publisitas yang tidak menguntungkan bagi korporasi (court ordered adverse publicity), korporasi harus melakukan kegiatan-kegiatan pelayanan tertentu kepada masyarakat (community service), dan hukuman


(13)

berupa tindakan disiplin terhadap korporasi yang bersangkutan (punitive injunctive sentences).

Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat model pertanggungjawaban korporasi, sebagai berikut:

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab.

b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab. c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab. Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Adapun dasar pemikirannya adalah: korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, tetapi selalu penguruslah yang melakukan delik itu. Dan karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.

Dalam hal korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab, maka ditegaskan bahwa korporasi mungkin sebagai pembuat. Pengurus ditunjuk sebagai yang bertanggung jawab yang dipandang dilakukan oleh korporasi adalah apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya.


(14)

Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana seseorang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum tersebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi bertanggung jawab pidana, terlepas dari apakah ia tahu ataukah tidak tentang dilakukannya perbuatan itu.

Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri, yaitu bahwa ternyata untuk beberapa delik tertentu, ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak cukup.

Untuk menentukan kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai subjek tindak pidana, hal tersebut tidaklah mudah karena korporasi sebagai subjek tindak pidana tidak mempunyai sifat kejiwaan (kerohanian) seperti halnya manusia alamiah (natuurlijk persoon).

Oleh karena korporasi sebagai subjek tindak pidana tidak mempuntai sifat kejiwaan (kerohanian) seperti halnya manusia alamiah (natuurlijkpersoon),

persoalan tersebut diatas dapat kita terima apabila kita menerima konsep perlakuan fungsional (functioneel daderschap). Menurut Wolter, perlakuan fungsional (functioneel daderschap) adalah karya interpretasi kehakiman. Hakim menginterpretasi tindak pidana itu sedemikian rupa sehingga pemidanaannya memenuhi persyaratannya dari masyarakat.52

Apabila kita menerima konsep functioneel daderschap, kemampuan bertanggung jawab masih berlaku dalam mempertanggungjawabkan korporasi

52


(15)

dalam hukum pidana. Sebab keberadaan korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian tujuan korporasi tersebut selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Oleh karena itu, kemampuan bertanggung jawab orang-orang berbuat untuk dan atas nama korporasi dialihkan menjadi kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai subjek tindak pidana.53

2) Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Sebagai Badan Hukum Dalam Hukum Pidana Positif Indonesia

Lebih lanjut, dikemukakan supaya korporasi dapat dimintai pertanggung jawaban dari apa yang telah dilakukan agen-agennya, yang dikenal dengan istilah “actus reus”, artinya perbuatan itu dilakukan harus di dalam lingkup kekuasaannya, yang dengan kata lain dalam menjalankan tugas itu dalam cakupan tugas korporasi. Unsur yang lain ialah bahwa perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja (mens rea) dan perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang cakap jiwanya atau mentalnhya.

Namun, dalam hal-hal tertentu korporasi dapat pula dikecualikan untuk dimintakan pertanggungjawabannya apabila tindakannya termasuk klasifikasi tindak pidana sepanjang tindakan korporasi tersebut dianggap patut dan wajar serta demi kepentingan umum dan bangsa.

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdawa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi


(16)

atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, diisyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang.

Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada unsur pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidanya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.

Masalah pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan unsur kesalahan, membicarakan unsur kesalahan dalam hukum pidana ini berarti mengenai jantungnya, demikian dikatakan oleh Idema.54 Konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seseorang pembuat tindak pidana. Proses tersebut bergantung pada dapat dipenuhinya syarat dan keadaan dapat dicelanya pembuat tindak pidana, sehingga sah jika dijatuhi pidana.55

Sudarto menyatakan dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat

54

Sudarto, Suatu Dilema Dalam Pembaruan Sistem Pidana Indonesia, 1979, Semarang, FH Undip, hal 6

55


(17)

melawan hukum. Jadi meskipun pembuatnya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.

Disini berlaku apa yang disebut asas “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” ( Geen straf zonder schuld). Asas ini merupakan hukum yang tidak tertulis, tetapi berlaku di masyarakat dan juga berlaku dalam KUHP, misalnya Pasal 44 KUHP tidak memberlakukan pemidanaan bagi perbuatan yang dilakukan orang yang tidak mampu bertanggungjawab, Pasal 48 KUHP tidak memberikan ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa. Oleh karena itu, untuk dapat dipidananya suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban dalam hukum pidana haruslah memenuhi 3 unsur, sebagai berikut:56

a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada petindak, artinya keadaan jiwa petindak harus normal

b. Adanya hubungan bathin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa)


(18)

Sehubungan dengan masalah pertanggungjawaban pidana, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana tertentu. Masalah ini menyangkut masalah subjek tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk tindak pidana yang bersangkutan.

Selanjutnya, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa setelah pembuat ditentukan, bagaimana selanjutnya mengenai pertanggungjawaban pidananya? Masalah pertanggungjawaban pidana ini merupakan segi lain dari subjek tindak pidana yang dapat dibedakan dari masalah si pembuat (yang melakukan tindak pidana). Artinya, pengertian subjek tindak pidana dapat meliputi dua hal, yaitu siapa yang melakukan tindak pidana (si pembuat) dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada umumnya yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana adalah si pembuat, tetapi tidaklah selalu demikian. Masalah ini tergantung juga pada cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban yang dapat ditempuh oleh pembuat undang-undang.

Rumah sakit sebagai sebuah korporasi menurut hukum perdata merupakan legal person (rechtspersoon) yaitu badan hukum yang sifatnya legal personality. Pada awalnya, pembuat undang-undang pidana berpandangan hanya manusia yang dapat menjadi subjek tindak pidana, namun, seiring perkembangan zaman, korporasi juga bisa menjadi subjek tindak pidana.


(19)

Rumah sakit adalah organisasi penyelenggara pelayanan publik yang mempunyai tanggung jawab atas setiap pelayanan jasa publik kesehatan yang diselenggarakannya. Tanggung jawab tersebut yaitu, menyelenggarakan kesehatan yang bermutu dan terjangkau berdasarkan prinsip aman, menyeluruh, non diskriminatif, partisipatif, dan memberikan perlindungan bagi masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan demi untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setingi-tingginya.

Sebagai pusat penyelenggara publik, maka rumah sakit sebagai sebuah organisasi dituntut untuk menyelenggarakan jasa pelayanan medis yang bermutu bagi masyarakat. Penyelenggaraan fungsi pelayanan publik rumah sakit sangat ditentukan oleh aspek internal dan eksternal dari rumah sakit tersebut.57

1. Aspek Internal Rumah Sakit

Aspek internal rumah sakit sangat terkait dengan pengembangan sistem manajemen sumber daya manusia (SDM) rumah sakit, yang mengatur peran dan fungsi masing-masing jenis tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit. Penyelenggaraan pelayanan publik yang bermutu merupakan harmonisasi dari peran dan fungsi tenaga profesional yang terlibat pada rumah sakit dalam menyelenggarakan jasa pelayanan kesehatan. Fungsi pelayanan kesehatan oleh rumah sakit akan menjadi optimal jika setiap tenaga kesehatan menurut jenis profesinya bekerja sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit, standar operasional prosedur dan standar


(20)

profesinya sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

2. Aspek eksternal Rumah Sakit

Aspek eksternal rumah sakit adalah, faktor yang berpengaruh terhadap efektifitas fungsi pelayanan rumah sakit yaitu faktor lingkungan rumah sakit. Faktor lingkungan rumah sakit tersebut yaitu meliputi lingkungan hukum dan perundang-undangan, politik, ekonomi dan sosial budaya, sebagai kekuatan eksternal yang dapat memacu atau menghambat pelaksanaan fungsi sakit.

a. Lingkungan Hukum

Hukum dan perundang-undangan memegang peranan penting dalam mengatur fungsi-fungsi pelayanan rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat. Hukum dapat memainkan perannya sebagai sarana sosial kontrol dalam masyarakat yang melakukan pengawasan terhadap rumah sakit dalam menjalankan fungsinya dan juga hukum dapat berperan sebagai sarana pengubah (social engineering) bagi rumah sakit dalam menjalankan fungsi pelayanannya sesuai dengan standar-standar pelayanan kesehatan dan kedokteran nasional dan internasional yang harus diterima oleh pasien dan masyarakat sebagai pengguna pelayananan rumah sakit.

b. Lingkungan Politik

Lingkungan politik juga tidak kalah pentingnya dalam pengembangan fungsi-fungsi pelayanan kesehatan rumah sakit. Perwujudan dari


(21)

lingkungan politik diwujudkan dengan political wiil pemerintah dalam membuat aturan-aturan huku yang terkait dengan fungsi pelayanan kesehatan rumah sakit. Upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan derajat kesehatan dengan memberikan subsidi pembiayaan kesehatan tidaklah berarti bahwa harus melanggar norma-norma hukum dan aturan yang melekat pada pelayanan kesehatan. Haruslah dipahami bahwa aturan-aturan yang berlaku dalam pelayanan kesehatan (rule of game) rumah sakit cenderung bersifat lex specialist, sehingga harus ada sinkronisasi antara kepentingan pasien disatu pihak dan rumah sakit di pihak lain. Antara kepentingan politik dan kepentingan hukum seyogyanya berjalan sering.

c. Lingkungan Ekonomi

Lingkungan ekonomi memberikan kontribusi dalam pengembangan fungsi pelayananan rumah sakit. Bagi rumah sakit yang padat modal lebih leluasa untuk mengembangkan pelayanan rumah sakit melalui penyediaan alat-alat kedokteran dan kesehatan mukhtahir, melakukan kerja sama dengan pihak ketiga dalam hal pengembangan sarana dan prasarana rumah sakit, melakukan riset dan penelitian ilmiah serta pengembangan sumber daya manusia kesehatan yang bekerja pada rumah sakit tersebut. Dampak dari pengembangan tersebut adalah besarnya beban pembiayaan kesehatan yang harus dikeluarkan oleh pasien dan masyarakat untuk menikmati pelayanan kesehatan yang


(22)

bermutu. Meskipun pelayanan kesehatan yang disajikan oleh rumah sakit sedemikian canggih namun tidak dimamfaatkan oleh sebagian besar orang karena tingginya biaya kesehatan merupakan sebuah kesia-siaan.

d. Lingkungan Budaya Masyarakat

Lingkungan budaya masyarakat khususnya dalam perilaku mencari pelayanan kesehatan juga berperan dalam pengembangan fungsi pelayanan kesehatan. Adanya budaya masyarakat tertentu yang menganggap tabu untuk bersentuhan dengan rumah sakit atau budaya memilih rumah sakit sebagai alternatif terakhir untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, sangat mempengaruhi efektifitas fungsi pelayanan rumah sakit di daerah tersebut.

Kasus hukum dalam pelayanan medis umumnya terjadi di rumah sakit dimana tenaga kesehatan bekerja. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/SK/XII/2002 tentang Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital By Lawys) bahwa rumah sakit merupakan suatu yang pada pokoknya dapat dikelompokkan menjadi: pelayanan medis dalam arti luas yang menyangkut kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif pendidikan dan latihan tenaga medis penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran.

Dahulu warga masyarakat yang sakit dan dirawat di sebuah rumah sakit pribadi (private hospital) tidak dapat menuntut ganti rugi apabila menderita cedera karena rumah sakit merupakan suatu lembaga yang terlindungi oleh doktrin charitable community. Doktrin tersebut ditegakkan terutama karena


(23)

lembaga derma tidak akan mungkin menanggung ganti rugi yang harus dibayarkannya (karena putusan pengadilan mengenai perkara gugatan pasien)

Peranan rumah sakit yang tidak mencari keuntungan berubah dengan cepatnya. Lembaga tersebut bukan lagi merupakan suatu gedung yang berisi tenaga-tenaga kesehatan yang bekerja secara individual untuk merawat pasien. Rumah sakit menjadi suatu lembaga yang berperan sebagai suatu organisasi yang merupakan suatu pusat pelayanan kesehatan atau unit pelayanan kesehatan. Tugasnya adalah merencanakan dan mengoordinasi pelayanan kesehatan secara menyeluruh.

Terdapat beberapa jenis dan klasifikasi rumah sakit yang ada di Indonesia. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit memberikan klasifikasi atau jenis-jenis rumah sakit sebagai berikut:

(1) Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah Sakit dikategorikan dalam Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus.

Pasal 19 Undang-Undang No.44 Tahun 2009

(2) Rumah Sakit Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit.

(3) Rumah Sakit Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.


(24)

(1) Berdasarkan pengelolaannya Rumah Sakit dapat dibagi menjadi Rumah Sakit publik dan Rumah Sakit privat.

Pasal 20 Undang-Undang No.44 Tahun 2009

(2) Rumah Sakit publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. (3) Rumah Sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah

diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Rumah Sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dialihkan menjadi Rumah Sakit privat.

(1) Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan Rumah Sakit.

Pasal 24 Undang-Undang No.44 Tahun 2009

(2) Klasifikasi Rumah Sakit Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. Rumah Sakit Umum Kelas A, adalah rumah sakit umum yang

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 5 (lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis lain dan 13 (tiga belas) subspesialis.


(25)

b. Rumah Sakit Umum Kelas B, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4 (empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis lain dan 2 (dua) subspesialis dasar.

c. Rumah Sakit Umum Kelas C, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik.

d. Rumah Sakit Umum Kelas D, adalah rumah sakit umum yang

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis dasar.

(3) Klasifikasi Rumah Sakit khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. Rumah Sakit Khusus Kelas A, adalah rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang lengkap.

b. Rumah Sakit Khusus Kelas B, adalah rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang terbatas.

c. Rumah Sakit Khusus Kelas C, adalah rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik


(26)

spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang minimal.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Dan adapun yang menjadi Fungsi dan Tanggung Jawab Rumah Sakit, yakni :

1. Fungsi Rumah Sakit

Secara normatif fungsi-fungsi pelayanan rumah sakit telah diatur pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yaitu antara lain :

a. Penyelenggara pelayaanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.

c. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan.

d. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

2. Tanggung Jawab Rumah Sakit

Sedangkan tanggung jawab publik rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan diatur dalam ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, tentang pelayanan publik yaitu mengatur tentang tujuan pelaksanaan pelayanan publik , antara lain :

a. Terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban dan kewenanangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.


(27)

b. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik.

c. Terpenuhinya penyelengaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

d. Terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Selain pengaturan tanggung jawab rumah sakit dalam UU Nomor 44 Tahun 2009, juga diatur dalam ketentuan Pasal 46 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang mengatakan bahwa :

“Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dirumah sakit.”

Pada awal sejarahnya, rumah sakit tidak lebih dari sekedar institusi yang menerima sumbangan dermawan, sehingga perannya hanya menyediakan makanan dan tempat tidur bagi pasien yang memerlukan rawat inap. Keadaan berubah dengan hadirnya banyak dokter yang membantu para pasien, sehingga peran rumah sakit pun bertambah seperti menyediakan peralatan medik, obat-obatan dan tenaga profesional guna meningkatkan fungsi dan peran pelayanan kesehatan.

Tidak cukup sampai di situ, masing-masing rumah sakit berlomba-lomba mengembangkan diri menjadi sebuah institusi dengan pelayanan total dan komprehensif. Konsekuensinya adalah tidak hanya menampilkan kualitas pelayanan medik dan penunjang umum lainnya, melainkan memunculkan lebih banyak tanggunggugat korporasi (corporate liability) serta tanggung renteng


(28)

(vicarious liability) akibat kesalahan yang dilakukan oleh dokter yang bekerja di dalamnya.58

a. Perjanjian perawatan, seperti kamar dengan perlengkapannya

Sebenarnya munculnya hubungan hukum yang terjadi antara pasien dan rumah sakit dibedakan kedalam dua jenis perjanjian :

b. Perjanjian pelayanan medis, berupa tindakan medis yang dilakukan dokter yang dibantu oleh paramedis.

Dokter yang berpraktek di rumah sakit bisa merupakan karyawan (dokter purna waktu) atau sebagai dokter tamu (visiting doctor). Kadangkala pasien sulit mengetahui status dokter yang merawatnya. Di samping itu ada pendapat yang menyatakan bahwa rumah sakit sebagai suatu lembaga yang memberikan pelayanan perawatan dan pengobatan, bertanggung jawab atas segala tindakan yang terjadi di dalamnya. Atas dasar itu timbul doktrin Corporate Liabillity, dimana secara resmi terhadap pasien yang dirawat, rumah sakit bertanggung jawab atas pengendalian mutu secara keseluruhan dari pelayanan yang diberikan.

Munculnya tanggung jawab rumah sakit awalnya diakibatkan oleh penerapan langkah-langkah manajerial yang kurang tepat seperti:

1. Hospital equitment, supplies, medication and food. 2. Hospital environment.

3. Safety Procedures.

4. Selection and retention of employees and conferral of staff privileges. 5. Responsibilities for supervision of patient care.

58


(29)

Namun dalam perkembangan sering di akibatkan oleh cacatnya pelaksanaan perjanjian dokter dan pasien. Cacatnya pelaksanaan perjanjian tidak disebabkan belum sahnya hubungan terapeutik, namun pasien merasa tidak puas terhadap hasil perawatan medik. Tanggung jawab rumah sakit selanjutnya disebut sebagai hospital liability.

Hospital Liability terjadi apabila timbul masalah karena kesalahan health care provider seperti kesalahan dokter (malpractice), yang dilakukan sengaja

(intensional), kecerobohan (recklessness) atau kelalaian (negligence). Jika hal ini sungguh terjadi, maka undang-undang memungkinkan pasien untuk menuntut ganti rugi kepada health care provider. Sifat Hospital Liability berupa:

1. Contractual liability, yaitu tidak dilaksanakannya kewajiban dokter sebagai suatu prestasi akibat hubungan kontraktual. Dalam hubungan terapeutik, kewajiban atau prestasi bukan dinilai dari hasil (result) tetapi upaya (effort). Hospital Liability terjadi jika upaya medik tidak memenuhi standar medik.

2. Liability in tort, yaitu perbuatan melawan hukum yang bersifat bukan kewajiban tetapi menyangkut kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang dilakukan dokter. Misalnya: membuka rahasia kedokteran, kecerobohan yang mengakibatkan cacat atau meninggal dunia.

3. Strict Liability, yaitu tanggung jawab bukan karena melakukan kesalahan, tetapi akibat yang dihasilkan. Misalnya: limbah sampah rumah sakit membuat warga sekitar sakit.


(30)

4. Vicarius liability, yaitu tanggung jawab akibat kesalahan yang dibuat karyawan atau employee. Dalam hubungan dengan rumah sakit, jika dokter sebagai karyawan melakukan kesalahan maka rumah sakit turut bertanggung jawab.

Menurut Bambang Purnomo tanggung jawab kesehatan di dalam rumah sakit menurut doktrin kesehatan yaitu :59

a. Personal Liability yaitu tanggung jawab yang melekat pada individu.

b. Strict Liability yaitu tanggung jawab tanpa kesalahan.

c. Vicarious Liability yaitu tanggung jawab yang timbul akibat kesalahan yang dilakukan bawahannya.

d. Respondent Liability yaitu tanggung jawab tanggung renteng.

e. Corporate Liability yaitu tanggung jawab yang berada pada pemerintah. Dikaitkan dengan tanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh rumah sakit sebagai rechtspersoon sering menimbulkan masalah hukum, apabila terjadi tuntutan atau gugatan ganti kerugian dan sebagainya. Apabila dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi medik, maka peran rumah sakit menurut Hermien Hadiati Koeswadji dipengaruhi beberapa hal, yaitu :60

1. Struktur organisasi pelayanan medik ( dalam arti luas pelayanan kesehatan) yang membutuhkan peran tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, paramedis dan lainnya yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan dalam memerankan fungsinya masing-masing.

2. Perilaku sosial dan budaya, terutama yang berkait dengan pandangan dan praktek para tenaga kesehatan tersebut sesuai dengan standar profesinya masing-masing (jika sudah ada) dalam upayanya menyelenggarakan pelayanan kesehatan.

59

Syahrul Machmud, Op.Cit, hal.205.


(31)

Hal tersebut dapat disebabkan diantaranya karena, informasi yang tidak cukup diberikan oleh pelaksana pelayanan kesehatan/tenaga kesehatan kepada para pengguna/pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu pasien, penggunaan sarana dan prasarana yang sesuai.

Di Indonesia dewasa ini dalam rumah sakit secara yuridis yang bertanggungjawab dapat dikelompokkan dalam:

1. Manajemen Rumah Sakit sebagai organisasi yang dimiliki badan hukum (Pemerintah, Yayasan, PT, Perkumpulan) yang pada instansi pertama diwakili oleh Kepala Rumah Sakit/Direktur/CEO

2. Para dokter yang bekerja di rumah sakit 3. Para perawat

4. Para tenaga kesehatan lainnya dan tenaga administrasi

Dalam sebuah rumah sakit yang merupakan tempat untuk bekerja para tenaga kesehatan sesuai dengan tugas dan profesi masing-masing. Menurut Pasal 1 angka 6 dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah, setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Tenaga kesehatan menurut Pasal 23 ayat (1) berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan diatur melalui Peraturan Menteri.

Sebaliknya yang dimaksud dengan tenaga kesehatan menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1992 tentang Tenaga Kesehatan terdiri dari, tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterampilan fisik dan tenaga keteknisan medis.


(32)

Sedangkan ketentuan ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tenaga medis terdiri dari dokter dan dokter gigi.

Dengan demikian di rumah sakit akan melibatkan seluruh tenaga kesehatan yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya dalam melakukan tugas profesinya. Masalah yang mungkin timbul dalam pertanggungjawaban sebuah rumah sakit adalah siapa sajakah yang terlibat dalam pertanggungjawaban rumah sakit, khususnya tentang perawatan pelayanan kesehatan.

Bagaimana tanggung jawab rumah sakit terhadap tindakan tenaga kesehatan atau dokter/dokter gigi yang dianggap merugikan pasien. Dalam implikasi hukum pidana hubungan hukum rumah sakit dan pasien dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan adalah adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pihak rumah sakit yang memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan pidana. Perbuatan pidana rumah sakit terhadap pasien dapat berupa kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang menyebabkan kerusakan pada tubuh korban, dimana kesalahan atau kelalaian tersebut merupakan suatu kesengajaan. Perbuatan pidana ini akan melahirkan tanggung jawab pidana berupa denda dan pencabutan ijin operasional rumah sakit. Selain orang perorangan yang dapat dituntut pidana, maka berdasarkan teori hukum pidana modern, maka

corporate atau badan hukum (dalam hal ini rumah sakit) dapat juga dituntut pidana.


(33)

Pasal 1367 KUHPerdata dapat juga dipakai sebagai acuan dalam menarik pertanggungjawaban rumah sakit atas tindakan bawahannya tersebut, karena klausul pasal tersebut menyebutkan bahwa pertanggungjawaban karena kesalahan dalam gugatan perbuatan melawan hukum termasuk perbuatan orang-orang yang berada di bawah pengawasannya. Hal ini dikenal dengan teori atau doktrin

respondeat superior, dimana antara dokter atau dokter gigi dengan rumah sakit terdapat hubungan kerja sesuai dengan tugas yang diberikan kepadanya.61

Menurut Bahder Johan Nasution doktrin respondeat superior ini mengandung makna, bahwa seorang majikan adalah orang yang berhak untuk memberikan instruksi dan mengontrol tindakan bawahannya, baik atas hasil yang dicapai maupun tentang cara yang digunakan. Disamping itu dengan perkembangan hukum kesehatan dan kecanggihan teknologi kedokteran, rumah sakit tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pekerjaan yang dilakukan oleh pegawainya atas perintahnya, termasuk apa yang diperbuat oleh tenaga medis sepanjang merupakan tugasnya. Demikian pula menurut Soerjono Soekanto terlebih dahulu harus ada hubungan kerja antara atasan dengan bawahan. Kecuali itu sikap tindakan bawahan haruslah dalam ruang lingkup pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Hubungan kerja dianggap ada apabila atasan mempunyai hak untuk secara langsung mengawasi dan mengendalikan aktivitas bawahannya dalam melakukan tugas-tugasnya.62

61


(34)

Oleh karena itu penerapan respondeat superior ini dimaksudkan untuk adanya jaminan bahwa ganti rugi dibayar pada pasien yang menderita kerugian akibat tindakan medis dokter, hukum dan keadilan menghendaki sikap kehati-hatian dari dokter.

Sebelum doktrin respondeat superior tersebut diterima dalam kaitan hubungan dokter dan rumah sakit, maka ketika rumah sakit masih berupa rumah sakit pribadi (atau berasal dari lembaga derma) dikenal suatu doktrin yang namanya charitable community. Doktrin ini menyatakan bahwa rumah sakit pribadi (private hospital) tidak dapat dituntut ganti rugi apabila terdapat pasien menderita cedera.

Dalam doktrin respondeat superior ini didasarkan pada prinsip-prinsip kokoh hukum dan keadilan mengenai tanggung jawab hukum sehingga kekebalan hukum merupakan suatu pengecualian. Menurut Pengadilan sudah sepatutnya bahwa petugas yang menyelenggarakan kepentingan-kepentingan umum bertindak hati-hati, bukan semata aspek moral akan tetapi hati-hati tersebut juga berkaitan dengan hukum yang benar. Hal ini harus diterapkan baik terhadap individu-individu maupun terhadap organisasi-organisasi sehingga tidak ada alasan untuk mengecualikan lembaga derma seperti rumah sakit dari tanggung jawab itu. Pemberian derma memang merupakan suatu kegiatan mulia, akan tetapi hal itu tidak boleh dilakukan apabila sikap tindakan hati-hati dilupakan.

Untuk mengajukan gugatan terhadap sebuah rumah sakit, dokter atau dokter gigi atau tenaga kesehatan lainnya dengan alasan berdasarkan perbuatan


(35)

melakukan perbuatan melawan hukum maka harus dipenuhi 4 (empat) unsur sebagai berikut:63

1. Adanya pemberian gaji atau honor tetap yang dibayar secara periodik kepada dokter atau tenaga kesehatan yang bersangkutan.

2. Majikan atau dokter mempunyai wewenangs untuk memberikan instruksi yang harus ditaati oleh bawahannya.

3. Adanya wewenang untuk mengadakan pengawasan

4. Adanya kesalahan atau kelalaian yang diperbuat oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya, dimana kesalahan atau kelalaian tersebut menimbulkan kerugian bagi pasien.

Namun demikian akan sulit bagi pasien dan keluarganya untuk mengajukan gugatan, karena harus diketahui dulu bagian mana yang termasuk ke dalam kontrak dengan rumah sakit. Pada tahap mana kesalahan itu terjadi, apakah pada tahap mempersiapkan atau mendistribusikan obat. Demikian juga pasien akan sulit menentukan apakah posisi seorang dokter atau dokter gigi atau tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit, apakah bertindak sebagai atasan atau sebagai pembantu, apakah ia sebagai bawahan atau bukan. Demikian juga apakah tindakan yang dilakukan termasuk dalam kompetensi pelaku ataukah dilaksanakan dibawah pengawasan.

Keterbatasan pasien dan keluarganya karena kekurangpahaman tentang diagnosa dan terapi yang telah dilakukan dokter pada dirinya, akan sangat menyulitkan untuk pasien atau keluarganya dalam melakukan gugatan. Maka


(36)

demi melindungi kepentingan pasien tersebut para pakar hukum mengusulkan adanya pembuktian terbalik, dokterlah yang harus membuktikan bahwa diagnosa dan terapi yang telah dilakukannya tidak salah. Cara lain dengan penerapan doktrin Res ipsa Ioquitor, doktrin ini bertitik tolak pada The thing speaks for it self yaitu, fakta-fakta sudah berbicara sendiri sehingga tidak perlu dibuktikan lagi. Malpraktek menjadi tidak diperlukan lagi manakala ditemukan fakta yang mampu berbicara sendiri (misalnya ditemukannya gunting atau pinset di dalam perut pasien) sehingga dapat diberlakukan doktrin Res Ipsa Ioquitor yang secara otomatis membuktikan adanya malpraktik. Adapun mengenai tanggung gugatnya

(civil liability) dapat ditanggung sendiri oleh dokter yang bersangkutan atau dalam kondisi tertentu dapat dialihkan kepada pihak lain berdasarkan ajaran tanggung-renteng (doctrine of vicarious liability).

B. Kebijakan Penegakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Malpraktek

Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy”

atau “strafrechtspolitiek”.

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum” adalah:


(37)

1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengapresiasikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Menurut Sudarto, politik kriminal itu dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas.64

1. Dalam arti sempit, politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana.

2. Dalam arti yang lebih luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi. 3. Dalam arti yang paling luas, ia merupakan keseluruhan kebijakan yang

dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat.

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan perkataan “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau


(38)

kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum

(law enforcement policy).65

Menurut Soekanto sebagaimana dikutip oleh Soerjono inti penegakan hukum adalah, keserasian hubungan antara nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan berwujud dengan perilaku sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut dikemukakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, penegakan berasal dari kata dasar “tegak”, yang mengandung arti: berdiri, lurus arah ke atas, dalam arti kiasan yang teguh, tetap tak berubah, (se) pendiri, setinggi orang berdiri. Sementara penegakan sendiri bermakna perbuatan (hal dan sebagainya) menegakkan.

66

Satjipto Rahardjo menjelaskan, bahwa hakekat dari penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan atau ide-ide hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang berupa ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial yang dirumuskan dalam peraturan hukum itu.67

65

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2008, hal 24.

66

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1986, hal 3.

67

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung, hal 15 & 24-29.


(39)

Penegakan hukum (pidana) apabila dilihat dari suatu proses kebijakan maka penegakan hukum pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap.68

Penegakan hukum dalam negara dilakukan secara preventif dan represif. Penegakan hukum secara preventif diadakan untuk mencegah agar tidak dilakukan pelanggaran hukum oleh warga masyarakat dan tugas ini pada umumnya diberikan pada badan-badan eksekutif dan kepolisian. Penegakan hukum represif dilakukan apabila usaha preventif telah dilakukan ternyata masih terdapat pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum harus ditegakkan secara represif oleh aparat-aparat penegak hukum yang diberi tugas yustisional. Penegakan hukum represif pada tingkat operasionalnya didukung dan melalui berbagai lembaga yang secara organisatoris terpisah satu dengan yang lainnya, namun tetap berada dalam kerangka penegakan hukum. Pada tahap pertama, penegakan hukum represif diawali dari lembaga kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.

Pertama, tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini disebut tahap legislatif. Kedua, tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan. Tahap kedua ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif. Ketiga, tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara kongkrit oleh aparat penegak hukum. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.


(40)

Perkembangan ilmu hukum dalam penegakan hukum kesehatan, khususnya dalam kasus malpraktek yang menyangkut dengan kesalahan dan atau kelalaian dokter, akhir-akhir ini mulai berkembang pesat. Kesalahan dan atau kelalaian dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan tidak hanya dilihat semata-mata dari sudut pandang keahlian, yaitu seorang dokter senantiasa dituntut untuk melakuakn profesinya menurut ukuran tertinggi. Penilaian terhadap kesalahan dan atau kelalaian itu berkembang dengan dimasukkannya penguasaan teknologi kedokteran sebagai salah satu kriteria dan unsurnya. Perkembangan ini muncul setelah melihat berbagai kasus yang terjadi dalam bidang kedokteran yang diangkat menjadi kasus hukum, seperti diajukannya gugatan perdata atau tindak pidana ke pengadilan akibat adanya kesalahan dan atau kelalaian dokter dalam melakukan perawatan.

Makna penegakan hukum dalam penanganan kasus medikal malpraktek dimaksudkan, upaya mendayagunakan atau memfungsikan instrument atau perangkat hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata maupun hukum pidana terhadap kasus-kasus malpraktek dalam rangka melindungi masyarakat umum (khususnya pasien) dari tindakan kesengajaan ataupun kelalaian dokter atau dokter gigi dalam melakukan tindakan atau pelayanan medik.

Penanganan terhadap masalah yang diduga malpraktek, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Tahun 1982 telah memberi arahan kepada para hakim, bahwa penanganan terhadap kasus dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang diduga melakukan kelalaian atau kesalahan dalam melakukan tindakan atau pelayanan medis agar jangan langsung diproses melalui


(41)

jalur hukum, tetapi dimintakan dulu pendapat dari Majelis Kehormatan Kode Etik Kedokteran (MKEK).

Peran MKEK ini dalam Undang-Undang Nomor Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan jo Keppres Nomor 56 Tahun 1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) diberi kewenangan untuk menentukan ada tidaknya kelalaian atau kesalahan dokter. MDTK diharapkan lebih objektif pendapatnya karena lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non struktural yang beranggotakan unsur-unsur dari Ahli Hukum, Ahli Kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi.

Dalam sistem hukum Indonesia dikenal berlakunya suatu asas, yaitu asas legalitas. Asas tersebut mengandung arti, bahwa suatu perbuatan merupakan pidana atau tindak pidana atau perbuatan melanggar hukum pidana, hanyalah apabila suatu ketentuan pidana yang telah ada menentukan bahwa perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan pidana. Hal ini tercantum pada Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang bunyinya adalah sebagai berikut:

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan aturan pidana dalam perundang-undangan yang sebelum perbuatan itu dilakukan telah ada”.

Pasal ini memberi jaminan bahwa tidak diperbolehkan seseorang dituntut berdasarkan ketentuan undang-undang yang diperlakukan surut ke belakang (artinya setelah perbuatan dilakukan). Hal ini telah dipertegas lagi dan telah memperoleh jaminan konstitusional dalam ketentuan Pasal 28 huruf I Undang-Undang Dasar 1945. Bunyi pasal tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut:


(42)

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

Selanjutnya, walaupun secara spesifik tidak menyebutkan asas legalitas, namun dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tercermin makna azas dimaksud. Bunyi pasal tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

“Tidak seorangpun dapat dihadapkan di depan Pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang”.

Dengan demikian yang dimaksud dengan perbuatan pidana atau tindak pidana adalah perilaku yang melanggar ketentuan pidana yang berlaku ketika perbuatan itu dilakukan, baik perbuatan melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana maupun tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana maupun tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.

Perbuatan pidana atau tindak pidana atau delik (strafbaarfeit, crime, offence) agak mirip dengan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad, a tort) dalam hukum perdata. Sehingga terkadang agak sulit membedakan keduanya, karena keduanya adalah suatu perbuatan yang salah (wrong), dan keduanya merupakan pelanggaran terhadap larangan hukum (commission), terhadap kewajiban hukum (omission), atau terhadap aturan hukum (rule). Hanya saja apabila perbuatan tersebut berakibat pidana, maka pelakunya dapat dituntut secara pidana dan dijatuhi hukuman pidana jika terbukti bersalah.


(43)

CST Kansil dengan mengutip pendapat Simons merumuskan tindak pidana adalah sebagai berikut:69

1 Perbuatan manusia (handeling)

Perbuatan manusia yang dimaksud bukan hanya “melakukan” (een doen)

akan tetapi termasuk juga “tidak melakukan” (niet doen).

2 Perbuatan manusia tersebut harus melawan hukum (wederrechtelijk). 3 Perbuatan tersebut diancam pidana (strafbaargesteld) oleh

undang-undang.

4 Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab

(toerekeningsvatbaar).

5 Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan (schuld) si pelaku. Kesalahan dapat berupa kesengajaan (dolus) ataupun ketidaksengajaan/kelalaian

(culpa).

Dari batasan tersebut maka dapat diketahui 3 (tiga) unsur perbuatan pidana, yaitu:

1. Perbuatan manusia yang termasuk dalam lingkup delik. 2. Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum.

3. Perbuatan tersebut dapat dicela.

Unsur pertama berkaitan dengan asas legalitas sebagaimana telah diuraikan di atas. Kemudian unsur kedua perbuatan bersifat melawan hukum, berikatan dengan sifat melawan hukum yang objektif yang tampak dari perbuatan nyata melawan hukum atau sifat melawan hukum perbuatan, dan yang lain adalah sifat melawan hukum yang subjektif (berkaitan dengan sanubari). Sedangkan pemahaman perbuatan tersebut dapat dicela, maka dapat dilihat bahwa perbuatan tersebut terlarang secara perundang-undangan (hukum tertulis) dan juga tercela dalam pandangan masyarakat (hukum tidak tertulis, termasuk rasa kepatutan dan kesusilaan).


(44)

Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, selain disebut setiap dokter juga disebut korporasi. Sanksi yang dapat dikenakan terhadap korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) ditambahkan lagi sepertiganya atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin.

Dengan demikian penegakan hukum terhadap kasus-kasus malpraktek selain dapat dikenakan terhadap dokter atau dokter gigi juga dapat dikenakan pada korporasi atau dalam hal ini adalah rumah sakit atau pusat pelayanan kesehatan. Berkaitan dengan penegakan hukum terhadap kasus-kasus malpraktek, Edi Setiadi mengingatkan perlu kehati-hatian dalam menentukan suatu tindakan medis sebagai suatu malpraktek, atau hanya pelanggaran kode etik atau pelanggaran hukum. Oleh karena itu peradilan kasus-kasus malpraktek yang dilakukan secara gegabah sangat merugikan dan dapat mengganggu program pembangunan yang melibatkan banyak profesional. Akibat lanjutannya adalah akan terjadi negative defensive professional practice yang mengurangi kreativitas dan dinamika profesional.

Dari sudut hukum pidana ada standar umum yang harus dipenuhi bagi kelakuan malpraktek medik sehingga dapat membentuk pertanggungjawaban pidana, yaitu adanya sikap bathin pembuat, aspek perlakuan medis dan aspek akibat perlakuan. Pemahaman yang tidak seragam mengenai masalah malpraktek medik dari sudut hukum bukan hanya berkaitan dengan ketiga aspek diatas tapi juga menyangkut dengan belum adanya hukum yang khusus mengenai malpraktek medik tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik


(45)

Kedokteran juga tidak memuat pengertian malpraktek hanya memberi dasar hukum bagi korban (pasien) yang dirugikan untuk melaporkan tindakan dokter dalam menjalankan praktiknya secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia seperti yang tertuang pada Pasal 66 ayat (1).

Sehubungan dengan hal ini, Adami Chazawi juga menilai tidak semua malpraktek medik masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3 syarat yang harus terpenuhi, yaitu pertama sikap batin dokter (dalam hal ini ada dolus atau culpa), yang kedua syarat dalam perlakuan medis yang meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar tenaga medis, standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab tidak sesuai kebutuhan medis pasien. Sedangkan syarat ketiga untuk dapat menempatkan malpraktek medik dengan hukum pidana adalah syarat akibat, yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-luka (pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsur tindak pidana.

Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsur sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum malpraktek medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi.

Kelalaian medis adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan suatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omosi)


(46)

yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama.

Menurut Hubert W. Smith tindakan malpraktek meliputi 4D, yaitu (a)

duty, (b) adanya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas (dereliction), (c) penyimpangan akan mengakibatkan kerusakan (direct caution), (d) sang dokter akan menyebabkan kerusakan (damage).

a. Duty atau kewajiban

Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa harus ada hubungan hukum antara pasien dan dokter /rumah sakit. Dengan adanya hubungan hukum, maka implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter/perawat rumah sakit itu harus sesuai dengan standar pelayanan medik agar pasien jangan sampai menderita cedera karenanya. Dalam hubungan perjanjian dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan :

1. Adanya indikasi medis

2. Bertindak secara hati-hati dan teliti 3. Bekerja sesuai dengan standar profesi 4. Sudah ada informed consent

b. Derecliction of the duty atau penyimpangan dari kewajiban tersebut

Apabila sudah ada kewajiban (duty), maka sang dokter atau perawat rumah sakit harus bertindak sesuai dengan standar profesi yang berlaku. Jika seorang dokter melakukan penyimpangan dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard


(47)

profesinya, maka dokter tersebut dapat dipersalahkan. Bukti adanya suatu penyimpangan dapat diberikan melalui saksi ahli, catatan-catatan pada rekam medik, kesaksian perawat dan bukti-bukti lainnya. Apabila kesalahan atau kelalaian itu sedemikian jelasnya, sehingga tidak diperlukan kesaksian ahli lagi, maka hakim dapat menerapkan doktrin Res ipsa Ioquitur”.

c. Direct Causation atau Penyebab Langsung

Penyebab langsung yang dimaksudkan dimana suatu tindakan langsung yang terjadi, yang mengakibatkan kecacatan pada pasien akibat kealpaan seorang dokter pada diagnosis dan perawatan terhadap pasien. Secara hukum harus dapat dibuktikan secara medis yang menjadi bukti penyebab langsung terjadinya malpraktik dalam kasus manapun. Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti-rugi berdasarkan malpraktek medik, maka harus ada hubungan kausal yang wajar antara sikap-tindak tergugat (dokter) dengan kerugian yang diderita oleh pasien sebagai akibatnya. Tindakan dokter itu harus merupakan penyebab langsung. Hanya atas dasar penyimpangan saja, belumlah cuklup untuk mengajukan tutunyutan ganti-kerugian. Kecuali jika sifat penyimpangan itu sedemikian tidak wajar sehingga sampai mencederai pasien. Namun apabila pasien tersebut sudah diperiksa oleh dokter secara edekuat, maka hanya atas dasar suatu kekeliruan dalam menegakkan diagnosis saja, tidaklah cukup kuat untuk meminta pertanggungjawaban hukumannya.


(48)

d. Damage atau Kerugian

Damage yang dimaksud adalah cedera atau kerugian yang diakibatkan kepada pasien. Walaupun seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian

(damage, injury, harm) kepada pasien, maka ia tidak dapat dituntut ganti-kerugian. Istilah luka (injury) tidak saja dala bentuk fisik, namun kadangkala juga termasuk dalam arti ini gangguan mental yang hebat

(mental anguish). Juga apabila tejadi pelanggaran terhadap hak privasi orang lain.

Dalam KUHP, apabila manusia atau dokter atau dokter gigi yang melanggar ketentuan hukum pidana, maka ia dapat dipertnggungjawabkan pidana berdasarkan suatu adagium atau maxim yang terkenal dan berlaku secara universal yang berbunyi actus non facit reum, nisi mens sit rea atau dalam bahasa Inggris

An act does not make a man guilty crime, unless his mind be also guilty atau an Act does not make a person legality guilty unless the mind is legally blameworthy atau non est reus nisi men sit rea (Belanda, Geen straf zonder schuld, Jerman Keine straf ohne schuld). Atau dikenal pula sebagai nulla poena sine culpa (culpa dalam artinya yang luas bukan terbatas pada kealpaan saja tetapi termasuk juga kesengajaan). Adagium tersebut dalam bahasa Indonesia dikenal dengan “Tiada pidana tanpa kesalahan”.

Dalam RUU KUHP 1999-2000 asas tersebut ditegaskan dalam Pasal 32 ayat (1) dengan bunyi “Tiada seorangpun dapat dipidana tanpa kesalahan”. Sebagai penegasan dari Pasal 32 ayat (1) tersebut, maka pada Pasal 33 ayat (1)


(49)

menegaskan “Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan jika orang tersebut melakukan tindak pidana dengan sengaja atau karena kealpaan”. Dalam hukum pidana dikenal asas Actus non Facit Reum nici Mens Sit Rea atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan An Act does not make A Person Guilty unless his Mind is Guilty, yang artinya tidak seorangpun dapat dipidana tanpa adanya kesalahan. Untuk dapat dipidananya seorang dokter atau dokter gigi karena dianggap melakukan perbuatan medical malpraktek, maka sangat tergantung pada dua hal, yaitu sebagai berikut:70

a. Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain harus ada unsur melawan hukum, jadi ada unsur objektif.

b. Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan/atau kealpaan. Sehingga perbuatan yang melawan hukum dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, jadi ada unsur subjektif.

Oleh karena itu apabila terjadi kegagalan atau bahkan kematian terhadap pasien akibat pelayanan medis yang dilakukan dokter, harus dapat dibuktikan dulu adanya suatu hubungan kausalitas atau sebab akibat antara tindakan medis dokter dengan cedera atau matinya pasien. Biasanya dibedakan antara cause in fact

dengan proximate cause.71

Yang pertama dipermasalahkan adalah, perbuatan dokter yang

mengakibatkan kerugian (mati/luka) pada pasien secara faktual. Yang kedua

70

Wirjono Prodjodikuro, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1997, hal 31.


(50)

mempermasalahkan batas-batas ruang lingkup tanggung jawab dokter yang dihubungkan dengan akibat-akibat perbuatannya.

Setelah diuraikan secara panjang lebar tentang perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, maka akan diuraikan adanya pengecualian penjatuhan pidana terhadap seseorang khususnya seorang dokter atau dokter gigi. Alasan penghapusan pidana tersebut dikenal dengan sebutan alasan pembenar (fait justificatief) dan alasan pemaaf (fait d’excuse).

Berkaitan dengan penghapusan pidana ini Roeslan Saleh, berpendapat bahwa dimungkinkan penghapusan pidana tersebut karena:72

1. Suatu perbuatan yang sesuai dengan rumusan suatu delik tertentu, akan tetapi kemudian perbuatan tersebut dipandang tidak bersifat melawan hukum (dalam arti material), atau dengan kata lain terdapat adanya alasan-alasan pembenar.

2. Suatu perbuatan telah sesuai dengan rumusan suatu delik tertentu, akan tetapi setelah dipertimbangkan keadaan pada pelaku delik tersebut maka dipandang orang tersebut maka dipandang orang tersebut tidak mempunyai kesalahan atau dengan kata lain terdapat adanya alasan-alasan pemaaf.

Dari beberapa pasal yang terdapat dalam KUHP yaitu Pasal 44 sampai 51 yang dapat menghapuskan pidana. Pasal 44 pembebasan pidana dikarenakan terdakwa terganggu jiwanya. Pasal 45 sampai 47 terdakwa masih belum cukup umur, dan Pasal 48 dikarenakan adanya daya paksa, Pasal 49 tentang pembelaan

72

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana, Centra, Jakarta, 1968, hal 97.


(51)

terpaksa, Pasal 50 tentang melaksanakan undang-undang, Pasal 51 tentang melaksanakan perintah jabatan.

Secara umum dikatakan bahwa di luar keadaan-keadaan tersebut, tidak ada lagi dasar-dasar peniadaan hukuman. Namun untuk bidang kedokteran, ada faktor-faktor khusus yang tidak dijumpai pada hukum yang berlaku umum, misalnya kecelakaan medik (medical accident) atau risiko pengobatan (risk of treatment).

Guwandi menyusun sistematika untuk beberapa dasar peniadaan hukuman atau kesalahan khusus bidang medik, yaitu :

1 Risiko pengobatan (risk of treatment)

a. Risiko yang inheren atau melekat b. Reaksi alergik

c. Komplikasi dalam tubuh pasien

2 Kecelakaan medik (medical accident)

3 Kekeliruan penilaian klinis (non-negligent error of judgement) 4 Volenti non fit iniura

5 Contributory negligence

Dalam suatu tindak medik tertentu, selalu ada risiko yang melekat pada tindak medik tersebut (inherent risk of treatment). Apabila dokter melakukan tindak medik tersebut dengan hati-hati, seizin pasien dan berdasarkan SPM, tetapi ternyata resiko tetap terjadi, maka dokter itu tidak dapat dipersalahkan.

Dalam hal terjadinya kecelakaan medik (medical accident), perlu direnungkan ucapan seorang hakim yang mengadili suatu perkara demikian, yaitu


(52)

“Kita memang mensyaratkan bahwa seorang dokter harus bertindak hati-hati pada setiap tindakan yang dilakukan. Namun kita tidak dapat mencap begitu saja sebagai tindakan kelalaian terhadap sesuatu yang sebenarnya adalah suatu kecelakaan.

Tentang kekeliruan penilaian klinis pun sebenarnya juga dapat dipahami karena bagaimanapun sebagai seorang manusia dokter tidak dapat lepas dari kemungkinan melakukan kesalahan. Suatu adagium dalam hukum yang terkenal berbunyi errare humanum est (kesalahan adalah manusiawi) agaknya harus direnungkan pula. Suatu teori respectable minority rule yang menyebutkan bahwa seorang dokter tidak dianggap berbuat lalai apabila ia memilih salah satu dari sekian banyak cara pengobatan yang diakui oleh dunia kedokteran.

Doktrin Volenti Non Fit Iniura, didasarkan pada pandangan bahwa bila seseorang telah mengetahui adanya suatu resiko dan secara sukarela bersedia menanggung risiko tersebut, jika kemudian risiko itu benar-benar terjadi maka ia tidak lagi dapat menuntut (He who willingly undertakes a risk cannot after wards complain). Dalam dunia medik dapat terjadi misalnya untuk pencangkokan ginjal dari donor hidup, dengan risiko tinggi terdapat pada penerima maupun donor ginjal itu. Jika risiko itu benar-benar terjadi, berdasarkan doktrin ini tentu saja tidak mungkin dilimpahkan tanggun jawabnya kepada dokter yang merawat. Sedangkan istilah Contributory Negligence secara umum digunakan untuk sikap tindak yang tidak wajar dari pihak pasien, yang mengakibatkan kerugian atau cedera pada dirinya, tanpa memandang apakah pada pihak dokter terdapat kelalaian atau tidak. Sikap tindak yang demikian ini, sengaja ataupun tidak


(53)

sengaja dapat merupakan dasar peniadaan hukuman pada pihak dokter. Contoh yang paling jelas adalah tidak ditaatinya nasihat dokter dalam suatu perawatan atau pengobatan.

Dalam penegakan hukum kesehatan, kesulitan yang dihadapi oleh penegak hukum, pada umumnya berada dalam tataran pemahaman, artinya kurangnya kemampuan atau pengetahuan aparat penegak hukum terhadap hukum kesehatan, dalam konteks ini biasanya ditemukan persoalan antara etik dan hukum. Artinya apakah perbuatan atau tindakan dokter yang dianggap merugikan pasien itu merupakan pelanggaran etik atau pelanggaran hukum positif yang berlaku, maka akibatnya timbul keraguan untuk menegakkan hukum tersebut.

Disamping itu perlu disadari bahwa aturan-aturan hukum kesehatan yang ada pada saat ini belum sepenuhnya dapat mengcover atau mengakomodasi persoalan-persoalan yang timbul dalam bidang kesehatan. Artinya belum ada peraturan yang secara tegas merumuskan apa yang menjadi tugas dan kewenangan seorang dokter dalam melakukan perawatan, sehingga untuk melaksanakan tugas-tugasnya, dokter masih harus mempedomani kode etik kedokteran dan harus memperhatikan aturan-aturan hukum kesehatan, termasuk aturan-aturan hukum kesehatan yang berlaku di luar negeri.

Selama ini masyarakat menilai banyak sekali kasus dugaan malpraktek medik yang dilaporkan media massa atau korban tapi sangat sedikit jumlahnya yang diselesaikan lewat jalur hukum. Dari sudut penegakan hukum sulitnya membawa kasus ini ke jalur pengadilan diantaranya karena belum ada


(54)

keseragaman paham diantara para penegak hukum sendiri soal malpraktek medik ini.

Masih ada masyarakat (pasien) yang belum memahami hak-haknya untuk dapat meloprkan dugaan malpraktek yang terjadi kepadanya baik kepada penegak hukum atau melalui MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Oleh karenanya lembaga MKDKI sebagai suatu peradilan profesi dapat ditingkatkan peranannya sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai lembaga yang otonom, independent dan memperhatikan juga nasib korban. Bahkan berkaitan dengan MKDKI ini SEMA RI tahun 1982 menyarankan agar untuk kasus dugaan malpraktik medik sebaiknya diselesaikan dulu lewat peradilan profesi ini.

Tuntutan terhadap malpraktek kedokteran sering kali kandas ditengah jalan karena sulitnya pembuktian. Dalam hal ini pihak dokter perlu membela diri dan mempertahankan hak-haknya dengan menggunakan alasan-alasan atas tindakannya. Baik dalam hal ini pihak pasien (penggugat), pihak dokter maupun praktisi (hakim dan jaksa) mendapatkan kesulitan dalam menghadapi malpraktek kedokteran ini, terutama dari sudut teknisi hukum atau formulasi hukum yang tepat untuk digunakan karena memang belum diatur secara khusus mengenai malpraktek medik di Indonesia.73

73

Thexqnelson.wordpress.com/2012/11/30/pembuktian malpraktek medik diakses tanggal

2 Juni 2013 pukul 15.30 WIB

Yang menjadi kelemahan dan kekurangan di dalam peraturan perundang-undangan malpraktek yakni :


(1)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum. Skripsi ini berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT TERHADAP TINDAK PIDANA MALPRAKTEK ”.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan ilmu pengetahuan bagi para pembaca dan bagi penulis sendiri.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang sempurna dikarenakan keterbatasan pengetahuan, kemampuan, wawasan serta bahan-bahan literatur yang penulis dapatkan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan tulisan ini.

Pada kesempatan ini dengan rasa hormat penulis ini mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum, Bapak Syafruddin Hasibuan, SH. M.H. DFH dan Bapak M. Husni, SH. M.H selaku Pembantu Dekan I, II dan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(2)

ii

3. Bapak Dr. M. Hamdan, SH. M.H dan Ibu Liza Erwina, SH. M. Hum selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH. MS selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dan mendukung penulis dengan penuh perhatian dan kesabaran sehingga skripsi ini selesai.

5. Bapak Alwan, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya, selalu sabar dalam membimbing dan mengarahkan serta memberi banyak motivasi dan masukan yang sangat berharga bagi penulis sehingga penulis dengan penuh semangat dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum USU Medan, yang telah memberikan banyak sekali ilmu yang sangat berharga kepada penulis. 7. Kedua Orangtua yang penulis banggakan, S. Tampubolon dan N.

Simanjuntak, terima kasih untuk semua doa, kasih sayang, serta dukungan baik moral maupun materil yang sudah diberikan sepanjang kehidupan penulis.

8. Kakak dan adik penulis yang sangat penulis sayang, Tauan Junita Tampubolon, SE, Eruwin UbaSori Tampubolon, Raimond Hamonangan Tampubolon dan juga buat abang yang selalu mendukung penulis Boydo Jasa Adiputra Sitanggang dan Diego Sinabang terima kasih atas dukungan kalian selama ini.


(3)

9. Buat sahabat penulis Melinda Novi Sari Manurung, yang selalu setia bersama dengan penulis selama empat tahun ini yang selalu memberikan banyak dukungan, masukan, selalu ada baik dalam suka maupun duka dan juga membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

10. Sahabat-sahabat penulis, Disa Rut Lia, Fera Nita Barus, Romasta Meyana Sitanggang, Emi Septiani Siagian, Desi Rita Kuma Sidabutar dan yang tidak tersebutkan satu persatu.

11. Seluruh pihak yang telah mendoakan dan membantu serta memberi semangat pada penulis, dan tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas segalanya.

Medan, Juli 2013


(4)

iv DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 10

E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Malpraktek ... 11

2. Pengertian Tindak Pidana ... 17

3. Perbedaan Resiko Medis dan Malpraktek Medis ... 21

F. Metode Penelitian ... 26

G. Sistematika Penulisan ... 29

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Tindak Pidana Malpraktek Dalam KUHP... 31

B. Tindak Pidana Malpraktek Di Luar KUHP ... 1. Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran ... 46


(5)

2. Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan ... 50 3. Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 Tentang

Rumah Sakit ... 55 BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT

TERHADAP TINDAK PIDANA MALPRAKTEK

A. Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Sebagai Badan Hukum dalam Hukum Pidana Positif di Indonesia

1. Pertanggungjawaban Korporasi Sebagai Badan Hukum

Dalam Hukum Pidana ... 56 2. Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Sebagai Badan

Hukum Dalam Hukum Pidana Positif Indonesia ... 67 B. Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Dalam menanggulangi

Tindak Pidana Malpraktek ... 88 BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 111 B. Saran ... 112 DAFTAR PUSTAKA


(6)

vi ABSTRAKSI Susi Natalia Tampubolon* Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS**

Alwan, SH, M.Hum***

Selain dokter, rumah sakit juga dapat dijadikan sebagai subyek hukum karena badan hukum juga dapat berperan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Rumah sakit sebagai organisasi yang melaksanakan tugas pelayanan kesehatan bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi di rumah sakit tersebut, yang secara umum dibebankan kepada kepala rumah sakit yang bersangkutan. Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan pelayan kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat strategis dalam mempercepat derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu rumah sakit dapat dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang ditetapkan dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana pengaturan hukum terhadap tindak pidana malpraktek dalam hukum positif di Indonesia, bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana rumah sakit terhadap tindak pidana malpraktek serta bagaimana kebijakan penegakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana malpraktek oleh rumah sakit.

Metode penelitian dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif yang menggunakan data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Dan melalui data sekunder ini kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, baik yang diatur dalam KUHP

maupun yang diatur di luar KUHP seperti dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang tindak pidana malpraktek. Selain itu juga adanya upaya untuk mempertanggungjawabkan dan menegakkan hukum tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh rumah sakit melalui upaya penal (hukum pidana).

1

*Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

∗∗

Pembimbing I, Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

∗∗∗

Pembimbing II, Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara