Pendekatan Semiotik Landasan Teori 1. Televisi Sebagai Media Massa

Level reresentasi, kode-kode yang termasuk dalam level ini kedua ini berkaitan dengan kode-kode teknik, seperti camera kamera, lightning pencahayaan, editing perevisian, music musik dan sound suara. Level ideologi, pada level ketiga ini mencakup kode-kode reprsentatif seperti narrative naratif, conflict konflik, character karakter, action aksi, dialogue dialog, setting latar, casting pemeran. Oleh karena objek penelitian ini adalah cerita yang terdapat dalam serial Upin dan Ipin yakni meliputi gambar dan suara kata-kata yang diucapkan tokoh cerita yang terdapat dalam tersebut yang memuat pesan moral prososial, maka nantinya akan diplih beberapa kode televisi sebagai unit analisisnya. Pesan moral prososial ini disampaikan lewat penampilan para tokoh film yang tercermin dalam perilaku , dialog, ekpresi dan karakter tokoh-tokoh tersebut. Berdasarkan uraian diatas maka dipilih beberapa kode yang terkonstruksi dalam serial Upin dan Ipin meliputi kode appeareance, penampilan, dress kostum, speech cara berbicara, gesture gerakan, behaviour, expression ekpresi, conflict konflik, character karakter dan dialogue dialog. Sehingga akhirnya akan diperoleh jawaban atas pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana pesan moral pada serial animasi Upin dan Ipin”

2.1.8. Pendekatan Semiotik

Sampai saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang Pateda, dalam Sobur, 2004. Jenis -jenis semiotik ini antara lain semiotik analitik, diskriptif, faunal zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural. Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu. Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Semiotik faunal zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus memper hatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan c erita lisan folklore. Semiotik natural atau semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Semiotik normatif merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma. Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambang rangkaian kata berupa kalimat. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

2.1.8.1. Bahasa Sebagai Sistem Semiotik

Bahasa dalam pemakaiannya bersifat bidimensional. Disebut dengan demikian, karena keberadaan makna selain ditentu-kan oleh kehadiran dan hubungan antar -lambang kebahasaan itu sendiri, juga ditentukan oleh pemeran serta konteks sosial dan situasional yang melatarinya. Dihubungkan dengan fungsi yang dimiliki, bahasa memiliki fungsi eksternal juga fungsi internal. Oleh sebab itu selain dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dan menciptakan komunikasi, juga untuk mengolah informasi dan dialog antar -diri sendiri. Kajian bahasa sebagai suatu kode dalam pemakaian berfokus pada 1 karakteristik hubungan antara bentuk, lambang atau kata satu dengan yang lainnya, 2 hubungan antar –bentuk kebahasaan dengan dunia luar yang di -acunya, 3 hubungan antara kode dengan pemakainya. Studi tentang sistem tanda sehubungan dengan ketiga butir tersebut baik berupa tanda kebahasaan maupun bentuk tanda lain yang digunakan manusia dalam komunikasi masuk dalam ruang lingkup semiotik Aminuddin, 1988:37. Sejalan dengan adanya tiga pusat kajian kebahasaan dalam pemakaian, maka bahasa dalam sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem. Tiga komponen tersebut adalah: 1 sintaktik, yakni komponen yang berkaitan dengan lambang atau sign serta bentuk hubungan-nya, 2 semantik, yakni unsur yang berkaitan dengan masalah hubungan antara lambang dengan dunia luar yang diacunya, 3 pragmatik, yakni unsur ataupun bidang kajian yang berkaitan dengan hubungan antara pemakai dengan lambang dalam pemakaian. Ditinjau dari sudut pemakaian, telah diketahui bahwa alat komunikasi manusia dapat dibedakan antara media berupa bahasa atau media verbal dengan media nonbahasa atau nonverbal. Sementara media kebahasaan itu, ditinjau dari alat pemunculannya atau chanel dibedakan pula antara media lisan dengan media tulis. Dalam media lisan misalnya, wujud kalimat perintah dan kalimat tanya dengan mudah dapat dibedakan lewat pemakaian bunyi suprasegmental atau pemunculan kinesik, yakni gerak bagian tubuh yang menuansakan makna tertentu. Kaidah penataan kalimat selalu dilatari tendesi semantis tertentu. Dengan kata lain sistem kaidah penataan lambang secara gramatis selalu berkaitan dengan dengan strata makna dalam suatu bahasa. Pada sisi lain makna sebagai label yang mengacu realitas tertentu juga memiliki sistem hubungannya sendiri Aminuddin, 1988:38. Unsur pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai user atau interpreter, menjadi bagian dari sistem semiotik sehingga juga menjadi salah satu cabang kajiannya karena keberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya. Bahkan lebih luas lagi keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya, ke dalam konteks sosial budaya yang dimiliki. Hal itu sesuai dengan pernyataan bahwa bahasa adalah cermin kepribadian dan budaya bangsa. Sehubungan dengan itu Abram’s 1981: 171 mengungkapkan bahwa the focus of semiotic interest is on the underlying system of language, not on the parole.

2.1.8.2. Tanda

Bagi de Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas. de Saussure memberikan contoh kata arbor dalam bahasa Latin yang maknanya ‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua segi yakni arbor dan konsep pohon. Signifiant arbor disebutnya sebagai citra akustik yang mempunyai relasi dengan konsep pohon bukan pohon tertentu yakni signifie. Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara penanda signifier dan petanda signified. Hubungan ini disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubung -an itu adalah mufakat konvensi …’a body of necessary conventions adopted by society to enable members of society to use their language faculty de Saussure, 1986:10. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu, apabila “sesuatu” disampaikan melalui tanda dari pengirim kepada penerima, maka sesuatu tersebut bisa disebut sebagai “pesan”. Iklan dalam konteks semiotika dapat diamati sebagai suatu upaya menyampaikan pesan dengan menggunakan seperangkat tanda dalam suatu sistim. Dalam semiotika, iklan dapat diamati dan dibuat berdasarkan suatu hubungan antara signifier signifiant atau penanda dan signified signifie atau petanda, seperti halnya tanda pada umumnya, yang merupakan kesatuan yang tidak bisa dilepaskan antara penanda dan petanda. Signifier signified Makna Penanda yang mengutarakan symbol wahana tanda petanda yang diutarakan thought of reference Ferdinand de Saussure menjelaskan bahwa dalam setiap obyek yang dipakai oleh seseorang untuk mengungkapkan sesuatu kepada orang lain, selalu memiliki peran gandanya sebagai “yang menandakan sesuatu” dan sekaligus sebagai “yang ditandakan”. Sedang Charles Sanders Peirce seperti dikutip oleh Noth 1990:42 mengemukakan bahwa tanda merupakan keterkaitan yang disebut sebagai tripple connection of “sign, thing signified and cognition produced in the mind”. Pendekatan yang dilakukan oleh Saussure disebut sebagai proses “diadik” sedang pada Sanders disebut sebagai “triadik”, karena memang mencakup tiga hal yakni tanda, hal yang diwakilinya serta kognisi yang terjadi pada pikiran seseorang pada waktu menangkap tanda tersebut. Beberapa model lain dari semiotika adalah : Gambar 2.1. Model segitiga Ogden-Richard Sumber : Jencks “The Architectural Sign” dalam Broadbent “Sign, Symbol and Architecture” Kemudian Charles Jencks mengembangkan model ini sebagai berikut, Gambar 2.2. Segitiga semiotika Charles Jencks Sumber : Winand Klassen 1990:209 Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir dari kemufakatan konvensi di atas dasar yang tak beralasan unreasonable atau sewenang-wenang. Sebagai contoh, kata bunga yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi dengan konsep tentang bunga dalam benak orang tersebut tidak menunjukkan adanya batas-batas boundaries yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan secara gamblang mendemonstrasikan kesewenang-wenangan itu karena bagi seorang penutur bahasa Inggris bunyi bunga itu tidak berarti apa-apa. Petanda selalu akan lepas dari jangkauan dan konsekuensinya, makna pun tidak pernah dapat sepenuhnya ditangkap, karena ia berserakan seperti jigsaw puzzles disepanjang rantai penanda lain yang pernah hadir sebelumnya dan akan hadir sesudahnya, baik dalam tataran paradigmatik maupun sintagmatik. Ini dimungkinkan karena operasi sebuah sistem bahasa menurut de Saussure dilandasi oleh prinsip negative difference, yakni bahwa makna sebuah tanda tidak diperoleh melalui jawaban atas pertanyaan what is it, melainkan melalui penemuan akan what is not Budiman, 2002:30. Kucing adalah kucing karena ia bukan anjing atau bajing. Dengan demikian ilmu yang mempe -lajari tentang tanda-tanda adalah semiotik. Semiotics is concerned with everything that can be taken as a sign. Semiotics adalah studi yang tidak hanya merujuk pada tanda signs dalam percakapan sehari -hari, tetapi juga segala sesuatu yang merujuk pada bentuk-bentuk lain seperti words, images, sounds, gesture , dan objects. Sementara de Saussure me-nyebut ilmu ini dengan semiologi yakni sebuah studi tentang aturan tanda –tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial a science which studies the role of signs as a part of social life. Bagi Peirce 1931, semiotics was formal doctrine of signs which was closely related to logic. Tanda menurut Peirce adalah something which stands to somebody for something in some respect or capacity. Kemudian ia juga mengatakan bahwa every thought is a sign. Van Zoest 1993 memberikan lima ciri dari tanda. 1. Pertama, tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda. Sebagai contoh van Zoest menggambarkan bahwa di pantai ada orang-orang duduk dalam kubangan pasir, di sekitar kubangan di buat semacam dinding pengaman lekuk dari pasir dan pada dinding itu diletakkan kerang -kerang yang sedemikian rupa sehingga membentuk kata ‘Duisburg’ maka kita mengambil kesimpulan bahwa di sana duduk orang-orang Jerman dari Duisburg. Kita bisa sampai pada kesimpulan itu, karena kita tahu bahwa kata tersebut menandakan sebuah kota di Republik Bond. Kita mengangg ap dan menginterpretasikannya sebagai tanda. 2. Kedua, tanda harus ‘bisa ditangkap’ merupakan syarat mutlak. Kata Duisburg dapat ditangkap, tidak penting apakah tanda itu diwujudkan dengan pasir, kerang atau ditulis di bendera kecil atau kita dengar dari orang lain. 3. Ketiga, merujuk pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir. Dalam hal ini Duisburg merujuk kesatu kota di Jerman. Kata Duisburg merupakan tanda karena ia ‘merujuk pada’, ‘menggantikan’, ‘mewakili‘ dan ‘menyajikan’. 4. Keempat, tanda memiliki sifat representatif dan sifat ini mempunyai hubungan langsung dengan sifat interpretatif, karena pada kata Duisburg di kubangan itu bukannya hanya terlihat adanya pengacauan pada suatu kota di Jerman, tetapi juga penafsiran ‘di sana duduk-duduk orang Jerman’. 5. Kelima, sesuatu hanya dapat merupakan tanda atas dasar satu dan lain. Peirce menyebutnya dengan ground dasar, latar dari tanda. Kita menganggap Duisburg sebagai sebuah tanda karena kita dapat membaca huruf-huruf itu, mengetahui bahwa sebagai suatu kesatuan huruf-huruf itu membentuk sebuah kata, bahwa kata itu merupakan sebuah nama yakni sebuah nama kota di Jerman. Dengan perkataan lain, tanda Duisburg merupakan bagian dari suatu keseluruhan peraturan, perjanjian dan kebiasaan yang dilembagakan yang disebut kode. Kode yang dimaksud dalam hal ini adalah kode bahasa. Walaupun demikian ada juga tanda yang bukan hanya atas dasar kode. Ada tanda jenis lain yang berdasarkan interpretasi individual dan insidental atau berdasarkan pengalaman pribadi. Tanda akan selalu mengacu pada mewakili sesuatu hal benda yang lain yang disebut referent. Lampu merah mengacu pada jalan berhenti. Wajah cerah mengacu pada kebahagiaan. Air mata mengacu pada kesedihan. Apabila hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul pengertian Eco, 1979:59. Menurut Pierce, tanda representamen ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu Eco, 1979:15. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut objek denotatum. Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan Pierce terkenal dengan nama segitiga semiotik. Selanjutnya dikatakan, tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda seperti ini disebut metonimi. Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan tanda hari akan hujan. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan. Ikon, indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar bentuk, objek referent dan konsep interpretan atau reference. Bentuk biasanya menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan objek akan menimbulkan interpretan. Proses ini merupakan proses kognitif dan terjadi dalam memahami pesan iklan. Rangkaian pemahaman akan berkembang terus seiring dengan rangkaian semiosis yang tidak kunjung berakhir. Selanjutnya terjadi tingkatan rangkaian semiosis. Interpretan pada rangkaian semiosis lapisan pertama, akan menjadi dasar untuk mengacu pada objek baru dan dari sini terjadi rangkaian semiosis lapisan kedua. Jadi, apa yang berstatus sebagai tanda pada lapisan pertama berfungsi sebagai penanda pada lapisan kedua, dan demikian seterusnya. Terkait dengan itu, Barthes mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semuanya itu berlangsung ketika interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda.

2.1.8.3. Kode

Kode, merujuk terminologi sosiolinguistik ialah variasi tutur yang memiliki bentuk yang khas, serta makna yang khas pula Poedjosoedarmo, 1986:27. Sementara itu, kode menurut Piliang 1998:17, adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan disampaikan dari seseorang ke orang lainnya. Di dalam praktik bahasa, sebuah pesan yang dikirim kepada penerima pesan diatur melalui seperangkat konvensi atau kode. Umberto Eco menyebut kode sebagai aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkret dalam sistem komunikasi. Eco, 1979:9. Fungsi teks-teks yang menunjukkan pada sesuatu mengacu pada sesuatu dilaksanakan berkat sejumlah kaidah, janji, dan kaidah-kaidah alami yang merupakan dasar dan alasan mengapa tanda-tanda itu menunjukkan pada isinya. Tanda-tanda ini menurut Jakobson merupakan sebuah sistem yang dinamakan kode Hartoko, l992:92. Kode pertama yang berlaku pada teks-teks ialah kode bahasa yang digunakan untuk mengutarakan teks yang bersangkutan. Kode bahasa itu dicantumkan dalam kamus dan tata bahasa. Selain itu, teks-teks tersusun menurut kode-kode lain yang disebut kode sekunder, karena bahannya ialah sebuah sistem lambang primer, yaitu bahasa. Sedangkan struktur cerita, prinsip-prinsip drama, bentuk-bentuk argumentasi, sistem metrik, itu semua merupakan kode-kode sekunder yang digunakan dalam teks- teks untuk mengalihkan arti. Roland Barthes dalam bukunya SZ mengelompokkan kode-kode tersebut menjadi lima kisi-kisi kode, yakni kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kultural atau kode kebudayaan Barthes, 1974:106. Uraian kode-kode tersebut dijelaskan Pradopo 1991:80-81 sebagai berikut: Kode Hermeneutik, yaitu artikulasi berbagai cara pertanyaan, teka-teki, respons, enigma, penangguhan jawaban, akhirnya menuju pada jawaban. Atau dengan kata lain, Kode Hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda jawaban lain. Kode Semantik, yaitu kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas, maskulinitas. Atau dengan kata lain Kode Semantik adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminin, kebangsaan, kesukuan, loyalitas. Kode Simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur, skizofrenia. Kode Narasi atau Proairetik yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasi. Kode Kebudayaan atau Kultural, yaitu suara-suara yang bersifat kolektif, anomin, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, legenda.

2.2. Kerangka Berfikir