PESAN MORAL PADA FILM ANIMASI UPIN DAN IPIN(Studi Semiotika Pada Film Animasi Upin dan Ipin Di Layar Lebar”Geng Upin Ipin Petualangan Bermula”).

(1)

PESAN MORAL PADA FILM ANIMASI UPIN DAN IPIN

(STUDI SEMIOTIKA PADA FILM LAYAR LEBAR ANIMASI UPIN DAN IPIN ” Geng Upin Dan Ipin Petualangan bermula”)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fisip UPN ”VETERAN” Jawa Timur

Oleh

:

WAHYU HAPY ANGGRAENI

NPM. 054 3010 278

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2010


(2)

PESAN MORAL PADA FILM ANIMASI UPIN DAN IPIN

(STUDI SEMIOTIKA PADA FILM LAYAR LEBAR ANIMASI UPIN DAN IPIN ” Geng Upin Dan Ipin Petualangan Bermula”)

Oleh :

WAHYU HAPY ANGGRAENI NPM. 054 3010 278

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional ”VETERAN” Jawa Timur Pada Tanggal 21 Mei 2010

Pembimbing Utama Tim Penguji :

1. Ketua

Juwito, S.sos, Msi Juwito, Sos. Msi NPT. 3 6704 95 00361 NPT.3 6704 95 00361

2. Sekretaris

Dra. Herlina Suksmawati, Msi NIP. 19641225 199309 2001 3. Anggota

Zainal Abidin Achmad, S.sos. Msi NPT. 3 7303 99 01 701

Mengetahui DEKAN

Dra. Ec. Hj. Suparwati, Msi NIP : 19550718 198302 2001


(3)

PESAN MORAL PADA FILM ANIMASI UPIN DAN IPIN

(STUDI SEMIOTIKA PADA FILM LAYAR LEBAR ANIMASI UPIN DAN IPIN ” Geng Upin Dan Ipin Petualangan Bermula”)

Disusun oleh :

WAHYU HAPY ANGGRAENI NPM. 054 3010 278

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi Menyetujui,

Pembimbing Utama

Juwito, S.sos, M.si NPT. 3 6704 95 00361

Mengetahui Dekan

Dra. Ec Hj. Suparwati,Msi NIP. 19550718 198302 2001


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kehadapan Yesus Kristus, atas berkat dan karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “PESAN MORAL PADA FILM ANIMASI UPIN DAN IPIN (STUDI SEMIOTIKA PADA FILM LAYAR LEBAR UPIN DAN IPIN “Geng Upin dan Ipin Petualangan Bermula”)”, yang merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Kesarjanaan di bidang ilmu komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN” Jawa timur.

Sejak tahap awal hingga terselesaikannya penyusunan ini saya banyak sekali menerima bantuan dari beberapa pihak, baik yang secara langsung maupun tidak langsung. Dimana bantuan itu berupa bimbingan maupun dukungan moril yang kesemuanya ini, merupakan hal yang sangat berharga dan merupakan faktor yang sangat penting dan sangat berharga dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, oleh sebab itu maka pada kesempatan yang baik ini, penulis hendak menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Ibu Dra. Ec Hj.Suparwati,Msi,selaku dekan Fakultas Ilmu Komunikasi dan Ilmu Politik Univesitas Pembangunan Nasional “VETERAN” Jawa Timur. 2. Bapak Juwito,S.sos, selaku ketua program studi Ilmu Komunikasi sekaligus

dosen pembimbing Fakultas Ilmu Komunikasi dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN” Jawa Timur.

3. Bapak Team penguji, yang telah memberikan kritik, saran serta ide-ide yang cemerlang terhadap penulisan ini.

4. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN” Jawa Timur yang tidak bisa saya


(5)

sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan ilmunya selama dibangku perkuliahan.

5. Para Staf Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN” Jawa Timur yang telah membantu memperlancar di dalam administrasi.

6. Keluarga besar saya, Ibundaku Endang tercinta dan kakak-kakakku tersayang, mz Heri, mb Ovie, mb Diana,mb iin, Dimas yang telah banyak memberikan tekanan, motivasi dan doa maupun materi untuk menyelesaikan penulisan ini. 7. Para informan yang telah banyak memberikan informasi dalam penulisan ini. 8. Terima kasih buat yang tercinta dan tersayang “Revianto Erry Susila” beserta

keluarga yang selalu menemani dan dengan sabar, setia mendengarkan keluh kesah serta mendukung setiap gerak langkahku dalam penulisan ini.

9. Teman-teman seperjuanganku angkatan 2005 dan yang tersisa sampai saat ini Oki, Tara, Dimas, Sultan, Tata, mas Iwan,terima kasih telah memberikan dorongan yang berguna bagi penulisan ini.

10.Bintang-bintang di langit sumber inspirasiku dalam penulisan ini dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuan dan dorongan menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, hal ini disebabkan karena kurangnya pengalaman serta keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Maka untuk itu dengan kerendahan hati penulis menerima segala saran dan kritik yang sifatnya membangun dari pihak manapun juga. Akhirnya melalui kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak atas bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga


(6)

dengan adanya skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang merasa berkepentingan.

Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL …...…i

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI...…ii

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI...iii

KATA PENGANTAR...iv

DAFTAR ISI...vi

ABSTRAKSI...viii

BAB I PENDAHULUAN………….………….………..………...………..1

1.1.Latar belakang masalah……...…………1

1.2.Rumusan Masalah…...……..8 1.3.Tujuan Penelitian……...….8 1.4.Kegunaan Penelitian...….8 1.4.1. Kegunaan Teoritis………...……..8

1.4.2. Kegunaan Praktis…...…………8

BAB II KAJIAN PUSTAKA...9

2.1. Landasan Teori...9

2.1.1. Televisi Sebagai Media Massa...9

2.1.2. Peran Media Massa...11

2.1.3. Representasi………..………...16

2.1.4. Pengertian Moral...18

2.1.5. Respon Psikologis Warna...22

2.1.6. Pengertian Semiotika…………...…..26

2.1.7. Model Semiotika John Fiske...28

2.1.8. Pendekatan Semiotika...30

2.1.8.1. Bahasa Sebagai Sistem Semiotika...32

2.1.8.2. Tanda Sebagai Sistem Semiotika...34

2.1.8.3. Kode Sebagai Sistem Semiotika...41

2.2. Kerangka Berpikir...43

BAB III METODE PENELITIAN...46

3.1.Definisi Operasional...46

3.1.1. Metode Penelitian………...……….……46

3.1.2. Corpus………..………...…47


(8)

3.1.4. Moral………..…...………..49

3.1.5. Animasi………..………….………50

3.2. Tokoh………..……….……….51

3.3. Teknik Pengumpulan Data………..……….…….52

3.4. Teknik Analisa Dan Interpretasi Data………..….52

BAB IV PEMBAHASAN………...………54

4.1. Gambaran Subyek Penelitian……….………..……….54

4.2. Upin dan Ipin The Movie………..…..……..55

4.3. Sinopsis………..………...……65

4.4. Pesan Moral………...………...……….77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………..………...83

5.1. Kesimpulan………...………...83

5.2. Saran………...………...…83 DAFTAR PUSTAKA.


(9)

ABSTRAKSI

WAHYU HAPY ANGGRAINI. PESAN MORAL PADA FILM ANIMASI UPIN DAN IPIN(Studi Semiotika Pada Film Animasi Upin dan Ipin Di Layar Lebar”Geng Upin Ipin Petualangan Bermula”).

Tayangan televisi untuk anak-anak tidak bisa dipisahkan dengan film animasi atau kartun. Jenis film ini sangat populer di lingkungan mereka, bahkan tidak sedikit orang dewasa yang menyukai film ini. Pada awalnya, film animasi memang dibuat sebagai sarana hiburan untuk anak-anak. Namun perkembangan teknologi animasi dan industri film turut memperluas ruang gerak film kartun, baik dari segi tema cerita maupun gambarnya, sehingga segmen penontonnya pun meluas. Membicarakan isi cerita tak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang pesan. Pesan merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator (Effendy, 2001:18). Pesan dapat berupa gagasan, pendapat dan sebagainya yang sudah dituangkan dalam suatu bentuk dan melalui lambang komunikasi diterukan kepada orang lain atau komunikan (Pratikto, 1987:22). Menurut Hanafi (1999:192) ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pesan, yaitu kode pesan, isi pesan dan wujud pesan.

Kode pesan adalah sekumpulan simbol yang dapat disusun sedemikian rupa, sehingga bermakna bagi seseorang. Isi pesan ialah bahan atau material yang dipilih sumber untuk menyatakan maksudnya. Wujud pesan adalah keputusan-keputusan yang dibuat sumber mengenai bagaimana cara sebaiknya menyampaikan maksud-maksud dalam bentuk pesan….(Hanafi, 1999:200). Aspek moralitas dalam suatu film yang diperuntukkan bagi anak-anak memang perlu diperhatikan. Hal ini mengingat bahwa film sebagai alat komunikasi massa modern merupakan salah satu aspek yang dapat mempengaruhi perkembangan moral pada anak (gunarsa, 2003:40). Penelitian ini menggunakan film animasi Upin dan Ipin dengan judul Geng Upin & Ipin Pengembaraan bermula

Rumusan Masalah yang ingin diketengahkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :“Apa pesan moral prososial yang terkonstruksi dalam Animasi Upin dan Ipin” Tujuan penelitian yang ingin diketengahkan oleh peneliti adalah untuk mengetahui pesan moral prososial yang terkonstruksi dalam Animasi Upin dan Ipin

Dari hasil peneiltian pesan moral yang ada pada film ini adalah bagaimana kita tidak boleh menjadi pemburu haram, yang mencari binatang langka yang dilindungi. Memburu binatang langka atau yang dilindungi pemerintah adalah melanggar hukum. Sehingga dalam hidup bersosial dan bermasyarakat kita harus tahu segala aturan hukum yang berlaku. Sehingga kita bisa mengetahui dan menghindari perbuatan yang melawan hukum yang sanksinya adalah di pidanakan dan apabila terbukti dalam persidangan akan masuk penjara. Apabila mengetahui peraturan hukum maka kita meskipun di bujuk orang untuk melakukan perbuatan yang melawan hukum kita dapat menolaknya.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tayangan televisi untuk anak-anak tidak bisa dipisahkan dengan film animasi atau kartun. Jenis film ini sangat populer di lingkungan mereka, bahkan tidak sedikit orang dewasa yang menyukai film ini. Pada awalnya, film animasi memang dibuat sebagai sarana hiburan untuk anak-anak. Namun perkembangan teknologi animasi dan industri film turut memperluas ruang gerak film kartun, baik dari segi tema cerita maupun gambarnya, sehingga segmen penontonnya pun meluas.

Seiring dengan pertumbuhan film animasi yang kian pesat, ternyata tidak semua film animasi yang ditayangkan di televisi tersebut amman untuk ditonton oleh anak-anak. Materi-materi yang disajikan dalam film kartun ditelevisi sekarang ini sangat banyak memberikan penggambaran mengenai kekerasan fisik, adegan perkelahian pembunuhan, adegan yang terkait dengan seks, kekuatan gaib atau mistik, serta penggambaran nilai moral yang tidak eksplisit. Materi-materi tayangan seperti ini sesungguhnya tidak lagi bersahabat dengan anak-anak, karena sudah menjurus anti sosial.

Gencarnya tayangan yang berbau antisosial di televisi yang dapat di konsumsi oleh anak-anak telah membuat khawatir masyarakat terutama para orang tua. Tindak kekerasan dan perilaku negatif lainnya yang kini cenderung meningkat pada anak, dan menuduh televisi sebagai penyebabnya. Hal ini dikarenakan anak-anak memiliki perilaku yang suka meniru dan imitatif. Perilaku imitatif ini sangat menonjol pada anak-anak, karena pada dasarnya cara belajar pada anak-anak adalah meniru, “apa yang mereka lihat adalah apa yang mereka lakukan. Kekhawatiran orang tua juga


(11)

disebabkan oleh kemampuan berpikir anak yang masih relatif sederhana. Mereka cenderung menganggap apayg ditampilkan di televisi sesuai dengan yang sebenarnya. Mereka masih sulit membedakan antara perilaku atau tayangan fiktif dan mana yang memang kisah nyata. Mereka juga masih sulit memilah-milah perilaku yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di mayarakat karena mereka yang masih terlalu muda secara intelektual.

Membicarakan isi cerita tak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang pesan. Pesan merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator (Effendy, 2001:18). Pesan dapat berupa gagasan, pendapat dan sebagainya yang sudah dituangkan dalam suatu bentuk dan melalui lambang komunikasi diterukan kepada orang lain atau komunikan (Pratikto, 1987:22). Menurut Hanafi (1999:192) ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pesan, yaitu kode pesan, isi pesan dan wujud pesan.

Kode pesan adalah sekumpulan simbol yang dapat disusun sedemikian rupa, sehingga bermakna bagi seseorang. Isi pesan ialah bahan atau material yang dipilih sumber untuk menyatakan maksudnya. Wujud pesan adalah keputusan-keputusan yang dibuat sumber mengenai bagaimana cara sebaiknya menyampaikan maksud-maksud dalam bentuk pesan….(Hanafi, 1999:200).

Dariuraian diatas dapat dilihat bahwa faktor isi pesan lebih memiliki keterkaitan dengan isi cerita. Isis suat cerita dalam film berkaitan dengan materi atau bahan yang dipilih sumber untuk dapat mengungkapkan maksudnya, sehingga dalam cerita tersebut akan tampak pesan apa yang ingin disampaikan oleh sumber.

Seperti telah dijelaskan sebeumnya bahwa pesan dapat disampaikan sesorang melalui suatu bentuk lambang komunikasi. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial (gesture), isyarat, gambar warna dan lain


(12)

sebagainya. Yang secara lagnsung mampu menerjemahkan pikiran dan perasaan komunikator kepada komunikan (Effendy, 2001:11). Begitu halnya dengan serial Upin dan Ipinini komunikator menyatakan pesannya melalui seperangkat lambang bermakna yang relatif mudah dipahami oleh komunikannya. Adapun lambang-lambang utama yang digunakan dalam film ini antara lain berupa gambar dan suara: kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar) danmusik film. Melalui lambang-lambang inilah komunikator film ini menyampaikan pesannya pada komunikan.

Komunikasi yang terjadi antara komunikator dan komunikan film tersebut merupakan suatu proses sosial yang bersifat ideologis, dimana pesan-pesan yang disampaikan oleh komunikator media massa tersebut menyembunyikan makna-makna sekunder (konotatif) atau ideologis. Lambang-lambang yang disampaikan dalam film tersebut merupakan representasi dari realitas. Sebagai representasi dari realitas, film mampu membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi dan ideolog dari kebudayaannya (Sobur, 2004:128). Kebudayaan terkonstruksi dari arus-arus makna yang beragamn serta mencakup berbagai ideologi dan bentuk kultural (Barker, 2005:79).

Aspek moralitas dalam suatu film yang diperuntukkan bagi anak-anak seperti Upin dan Ipin ini memang perlu diperhatikan. Hal ini mengingat bahwa film sebagai alat komunikasi massa modern merupakan salah satu aspek yang dapat mempengaruhi perkembangan moral pada anak (gunarsa, 2003:40). Terlebih lagi mengingat bahwa target market Upin dan Ipin adalah anak-anak usia 7 hingga 12 tahun yakni anak usia sekolah dasar yang merupakan usia yang kritis dalam pembentukan sikap moral (Durkheim, 1990:11). Moral berasal dari kata latin mores, memiliki arti tata cara dalam kehisupan, adat istiadat, kebiasaan (gunarsa, 2003:38). Jadi sebenarnya yang


(13)

dimaksud dengan moral itu sendiri adalah sesuatu yang berkaitan atau ada hubungannya dengan kemampuan menentukan benar salahnya sesuatu tingkah laku. Selain itu moral juga diartikan adanya kesesuaian dengan ukurn baik buruknya sesuatu tingkah laku atau karakter yang telah diterima oleh sesuatu masyarakat, termasuk di dalamnya berbagai tingkah laku spesifik (Haricahyono, 1995:221). Kerapkali moralitas juga diartikan sebagai norma dan perilaku faktual dalam masyarakat yaitu anggapan mengenai perilaku yang baik dan buruk.

Moralitas pada anak adalah sesuatu yang dipelajari dan dipengaruhi dari luar. Tidak ada anak yang memperkembangkan nilai-nilai moral oleh dirinya sendiri. Nilai-nilai moral bukanlah sesuatu yang diperoleh dari kelahiranya, melainkan sesuatu yang diperoleh dari luar, yakni dari lingkungan rumah, lingkungan sekolah, lingkungan teman-teman sebaya, segi keagamaan, fasilitas-fasilitas rekreasi (TV, Film, radio, bacaan-bacaan dan lain sebagainya) (Gunarsa 2003:38).

Bagaimana anak-anak dapat bertingkah laku yang bermoral pun jjuga tak lepas dari hal-hal yang ia amati dari sekitarnya. Dimana hal tersebut kemudian akan berlaku sebagai suatu model kelakuan bagi anak melalui peniruan-peniruan yang dapat diamatinya, termasuk salah satunya mengamati dan meniru film yang ia tonton (Gunarsa, 2003:41). Jika tayangan film yang ditonton anak-anak banyak menampilkan adegan-adegan kekerasan, sadis sensual maupun mistik, hal tersebut dapat membawa akibat buruk terhadap anak, yakni dapat meningkat agresivitas, tindak kekerasan serta perilaku negatif lainnya pada anak. (Nurdiansyah, 2005). Misalnya saja disekitar kita, rasanya sering kita melihat anak yang baru saja nonton film koboi, lalu berlari ke halaman rumah kemudian berguling-guling dan berteriak dor…dor…dor…. Sambil memegang pistol mainan atau apa saja yang dipegangnya. Sering pula terdengar ucapan-ucapan yang kurang pas dilaontarkan anak-anak yang


(14)

meniru kan idola tokokh-tokoh filmnya. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak menjadi lebih agresif setelah menonton tayangan film yang dikategorikan sebagai tayangan antisosial. Tayangan film kartun Tom & Jerry misalnya, dari sisi pikologis secara tidak langsung mengajar anak-anak untuk mudah memukul orang (Lena, 2004).

Film-film tersebut bukan sekadar tontonan belaka. Sebagai media massa, tentunya film membawa dan menawarkan suatu pesan moral tertentu yang ingin disampaikan kepada penontonnya. Selain itu, film dapat membawa ideologi, nilai.

Oleh karena itu, moralitas dari beberapa perilaku dalam Upin dan Ipin dapat dibedakan menjadi perilaku prososial. Menurut Wispe (dalam Mulyana dan Ibrahim, 1997:146), perilaku prososial merupakan suatu bentuk perilaku yang memiliki konsekuensi sosial yang positif. Beberapa perilaku yang tercakup dalam definisi ini antara lain, tidak memetingkan diri sendiri, menolong dan pemakaian bersama, kehangatan, bekerjasama, empati, memuji menasihati penyesalan dan kesopanan. Selain prososial terdapat perilaku antisosial yang dimaksud dengan perilaku antisosial menurut Bandura (Mulyana dan Ibrahim, 1997:146) merupakan suatu perilaku yang tidak hanya mengakibatkan luka atau perusahaan secara fisik, tetapi juga mencakup psikologis. Misalnya perilaku yang mengakibatkan luka atau perusakan secara kasar, membunuh, berkelahi, mencelakakan, mencuri, berperang, curang dan mengejek.


(15)

Kisah cerita Upin dan Ipin maupun gambaran perilaku para tokoh yang terdapat dalam film yang memiliki durasi kurang lebih 10 menit tersebut sungguh seru dan menarik untuk diamati. Sebagai film anak-anak, Upin dan Ipin yang sedikit banyak juga mengandung tema kedewasaan.

Film buatan Les Copaque ini adalah sebuah film animasi 3D yang lucu, bertemakan sekitar kehidupan sehari-hari 2 orang anak berumur 5 tahun yaitu Upin dan Ipin. Film ini juga dikemas dengan sangat bagusnya untuk memberikan edukasi agama Islam. Selain itu digambarkan pula bagaimana kerukunan hidup antar etnis dan agama di Malaysia, seperti teman-teman bermain Upin dan Ipin yaitu Razoo yang beretnis India dan Mei-mei yang beretnis China.

Serial yang memiliki 6 seri (masing-masing berdurasi sekitar 10 menit) ini bercerita tentang dua anak kembar yang bernama Upin dan Ipin. Mereka adalah anak yatim piatu yang tinggal bersama kakaknya yang bernama Kak Ros, dan Neneknya (disana dipanggil Opa). Di awal cerita, dikisahkan mereka sedang akan memasuki bulan Ramadhan. Dengan diumumkan melalui televisi oleh pemerintah Malaysia, bahwa esok sudah bermulanya puasa. Selanjutnya dikisahkan mereka sahur, puasa di


(16)

siang hari, berbuka puasa, shalat tarawih, shalat ied sampai berziarah kubur ke makam orangtua mereka. Semuanya berhasil digambarkan dengan visualisasi yang baik dan dialog-dialog yang sangat kocak, dengan logat melayu tentunya. Peneliti tertarik menganalisa serial animasi Upin dan Ipin untuk pesan moral prososial yang terkonstruksi dalam serial tersebut.

Bedasarkan permasalahan tersebut diatas maka peneliti akan melakukan penelitian dengan menggunakan teori semiotika John Fiske.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan Masalah yang ingin diketengahkan oleh peneliti adalah sebagai berikut :

“Bagaimana pesan moral dalam Film Animasi Upin dan Ipin”

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin diketengahkan oleh peneliti adalah untuk mengetahui pesan moral prososial yang terkonstruksi dalam Animasi Upin dan Ipin

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Kegunaan teoritis,

Peneltitian ini diaharapkan dapat menerapkan teori-teori komunikasi, khususnya tentang studi semiotik.

1.4.1. Kegunaan praktis,

Penelitian ini diharapkan menjadi kontribusi bagi karya ilmiah yang sudah ada dan untuk menambah perbendaharaan bagi kepustakaan jurusan Komunikasi serta memberikan bahan masukan bagi ahli animaasi dan kartun yang berkaitan dengan


(17)

membuat sebuah visualisasi tanda sebagai tokoh yang akan dipakai dalam sebuah animasi atau kartun untuk anak-anak.


(18)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Televisi Sebagai Media Massa

Komunikasi massa (mass comunication) Menurut Everett M. Rogers ialah komunikasi malalui media massa moderen seperti surat kabar, siaran radio dan televisi, dan juga media massa tradisional seperti theater rakyat, juru dongeng keliling, wayang dan lain sebagainya (Effendi, 1993;81). Jadi sebenarnya komunikasi massa menurut (Severin 1977, Tan 1981, dan Wright 1986) merupakan bentuk komunikasi yang merupakan penggunaan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dengan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal jauh, sangat heterogen, dan menimbulkan efek - efek tertentu (Liliweri, 1991;36 ).

Televisi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah televisi siaran (Television Broadcast) yang merupakan media elektronik dan memiliki ciri - ciri yaitu berlangsung satu arah, komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum, sasarannya menimbulkan keserempakan, dan komunikannya heterogen (Effendy;1993;17). Salah satu keunggulan televisi dibandingkan dengan media lain dengan menjelaskan karakteristik televisi berikut ini : karakteristik televisi yang khas adalah sifatnya audio visual hal ini merupakan salah satu segi yang


(19)

yang khas adalah sifatnya audio visual hal ini merupakan salah satu segi keunggulan dan kelebihan televisi dibandingkan dengan media cetak maupun radio sekalipun (Susanto, 1974; 65).

Sedangkan (Kuswandi, 1996;21-23) berpendapat bahwa munculnya media televisi dalam kehidupan manusia, memang menghadirkan satu peradaban, khususnya dalam proses komunikasi dan informasi setiap media massa jelas melahirkan satu efek sosial. Perubahan nilai - nilai sosial dan budaya manusia. Pengaruh dari televisi lebih kuat dibandingkan dengan radio dan surat kabar. Hal ini terjadi karena kekuatan audio visual televisi yang menyentuh segi - segi kejiwaan pemirsa. Pada intinya media televisi telah menjadi cerminan budaya tontonan bagi pemirsa dalam era informasi dan komunikasi yang semakin berkembang pesat. Kehadiran televisi menembus ruang dan jarak geografis pemirsa (Kuswandi, 1996; 21-23).

Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi membawa globalisasi media massa. Arus informasi meluas ke seluruh dunia, globalisasi informasi dan media massa pun menciptakan keseragaman pemberitaan maupun preferensi liputan. Pada akhirnya, sistem media masing-masing negara cenderung seragam dalam hal menentukan kejadian yang dipandang penting untuk diliput. Peristiwa yang terjadi di suatu negara, akan segera mempengaruhi perkembangan masyarakat di negara lain. Atau seperti yang dikatakan oleh John Naisbit dan Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000 (1991), dunia kinei telah menjadi global village.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata membawa dampak yang tidak kecil bagi masyarakat dunia. Dampak tersebut bukan hanya melanda negara dunia ketiga, tetapi juga negara-negara yang telah maju dalam perkembangan peradaban dan teknologinya.

Revolusi informasi dan komunikasi telah melahirkan peradaban baru, sehingga mempermudah manusia untuk saling berhubungan serta meningkatkan mobilitas sosial. Di samping itu, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi pun mampu mengatasi jarak ruang dan waktu.


(20)

2.1.2. Peran media massa

Informasi sudah menjadi kebutuhan manusia yang esensial untuk mencapai tujuan. Melalui informasi, manusia dapat mengetahui peristiwa yang terjadi disekitarnya, memperluas cakrawala pengetahuannya sekaligus memahami kedudukan serta peranannya dalam masyarakat.

Setiap proses komunikasi selalu ditujukan kepada pihak tertentu sebagai penerima pesan yang disampaikan oleh komunikator. Menurut (Nasution, 1993; 20) dalam komunikasi massa, penerima adalah mereka yang menjadi khalayak dari media massa yang bersangkutan, dimana khalayak tersebut diatas bersifat luas, heterogen dan anonim.

Sifat khalayak yang demikian menyulitkan pihak komunikator dalam menyebarkan pesannya dalam media massa, sebab setiap individu dari khalayak ialah dengan mengelompokkan mereka menurut jenis tertentu, misalnya jenis kelamin, usia, pekerjaan, agama, pendidikan, hobi dan lain - lain. ( Effendy, 1993; 20 ). Berdasarkan pengelompokan tersebut, maka sejumlah acara diperuntukkan untuk kelompok tertentu sebagai sasaran ( target group ), disamping khalayak keseluruhan sebagai sasarannya atau khalayak sasaran (target audience). Contoh acara untuk khalayak sasaran adalah warta berita, sandiwara, film seri, musik, dan lain-lain. Sedangkan untuk kelompok sasaran adalah acara untuk anak-anak, remaja, mahasiswa, petani, ABRI, dan lain-lain (Effendy, 1993; 20). Diantara berbagai fungsi media massa lainnya, fungsi televisi yang paling utama adalah untuk menghibur (to entertaint), sehingga apabila di dalam acara-acara yang ditayangkan oleh televisi terdapat program-program atau sajian yang bersifat informatif atau edukatif , hal tersebut hanyalah sebagai pelengkap fungsi utamanya (Effendy, 1993; 55).

Dikembangkan model uses and gratifications yang dimana model ini tidak tertarik pada apa yang di lakukan media pada diri seseorang, tetapi ia tertarik


(21)

pada apa yang dilakukan seseorang terhadap media. Anggota khalayak dianggap secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya.

Menurut Elihu Katz, Jay G, Blumler, dan Michael Gurevitch, dalam rakhmat (1991;205) uses and garatifications menjelaskan asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain, barang kali termasuk juga yang tidak kita inginkan. Mereka juga merumuskan asumsi-asumsi dasar dari teori pada halaman berikut ini :

1. Khalayak diangap aktif : artinya sebagian penting dari penggunaan media massa diasumsikan mempunyai tujuan.

2. Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.

3. Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan yang dipenuhi media hanyalah bagian dari rentangan kebutuhan manusia yang lebih luas. Bagaimana kebutuhan ini terpenuhi melalui konsumsi media amat bergantung kepada perilaku khalayak yang bersangkutan.

4. Banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak ; artinya, orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu.

5. Penilaian tentang arti kultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak.


(22)

Kehadiran media massa pada mayarakat negara

berkembang mempunyai arti yang sangat penting. Terlebih

lagi bagi negara kepulauan Indonesia. Jarak psikologis dan

jarak geografis semakin kecil dan sempit. Kejadian apapun

ditempat lain di wilayah Indonesia dapat kita ketahui cepat

dari dalam rumah kita dari depan Televisi kita.

Media massa terbagi menjadi dua bagian yaitu :

1. Media Massa cetak (koran, majalah, buletin)

2. Media massa elektronik (televisi, radio, internet)

Setiap media massa mempunyai kekuatan masing-masing. Tetapi pada prinsipnya media massa merupakan suatu institusi yang melembaga dan berfungsi bertujuan untuk menyampaikan informasi kepada khalayak sasaran agar well informed (tahu informasi).

Ada beberapa unsur penting dalam media massa, yaitu : 1. Adanya sumber informasi

2. Isi pesan

3. Saluran informasi (media) 4. Khalayak sasaran

5. Umpan balik khalayak sasaran

Media televisi sebagaimana media massa lainnya berperan sebagai suatu acara yang penting untuk disajikan bagi pemirsa, belum tentu penting bagi kahalayak. Jadi efektif tidaknya isi pesan itu tergantung dari situasi dan kondisi pemirsa dan lingkungan sosialnya.

Berdasarkan hal tersebut timbul pendapat terhadap dampak acara televisi (effek) yaitu :

1. Acara televisi dapat mengancam nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat.


(23)

2. Acara televisi dapat menguatkan nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat.

3. Acara televisi dapat membentuk nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat.

Dari lima komponen diatas maka terciptalah proses komunikasi antara pemilik pesan isi pesan (sumber informasi) dengan penerima pesan melalui saluran pesan (media).

Terdapat perbedaan pendapat tentang dampak acara televisi merupakan hal yang wajar. Karena media televisi dalam operasionalnya berhubungan dengan institusi sosial yang lain yang ada di masyarakat, serta adanya perbedaan sudut pandang dari khalayak sasaran.

Bahwa TV mempunyai daya tarik yang kuat tak perlu dijelaskan lagi, televisi mempunyai daya tarik visual berupa gambar. Gambar ini bukan gambar mati melainkan hidup yang mampun menimbulkan kesan yang mendalam pada penonton.

Ada tiga dampak yang ditimbulkan oleh acara televisi terhadap pemirsa yaitu :

1. Dampak Kognitif yaitu kemampuan sesorang atau pemirsa untuk menyerap dan memahami acara yang ditayangkan televisi yang melahirkan pengetahuan bagi pemirsa.

2. Dampak peniruan yaitu pemirsa dihadapkan pada trendi aktual yang ditayangkan televisi. Contoh : model pakaian, rambut dari bintang televisi yang kemudian digandrungi atau ditiru secara fisik


(24)

3. Dampak perilaku yaitu proses tertanamnya nilai-nilai sosial budaya yang telah ditayangkan acara televisi yang diterapkan dalam kehidupan pemirsa sehari-hari.

2.1.3. Representasi

Istilah representasi itu sendiri menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Ada dua hal penting dalam representasi. Pertama, apakah seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Ini mengacu pada apakah seseorang atau kelompok itu diberitakan apa adanya, ataukah diburukkan. Penggambaran yang tampil bisa jadi adalah penggambaran yang buruk dan cenderung memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu. Di sini hanya citra yang buruk saja yang ditampilkan sementara citra atau sisi yang baik luput dari pemberitaan. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan. Dengan kata lain, kalimat, aksentuasi, dan bantuan foto macam apa seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak.

Persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana realitas atau objek tersebut ditampilkan. Menurut John Fiske (dalam Eriyanto,2001) paling tidak ada tiga proses dalam menampilkan objek, peristiwa, gagasan, kelompok, atau seseorang. Pada level pertama adalah peristiwa yang ditandai sebagai realitas. Dalam bahasa gambar ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan, dan ekspresi.

Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas dan bagaimana realitas itu digambarkan. Yang digunakan disini adalah perangkat secara teknis, misalnya kata atau kalimat. Ini membawa makna tertentu ketika diterima oleh khalayak.


(25)

Pada level ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial, atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat.

Posisi sebagai subjek atau objek dalam representasi mengandung muatan ideologis tertentu. Dalam hal ini bagaimana posisi tersebut turut memarjinakan posisi wanitaya ketika ditampilkan dalam pemberitaan. Menurut Mills (dalam Eriyanto, 2001), teks adalah suatu hasil negosiasi antara penulis dan pembaca. Oleh karena itu, pembaca tidaklah dianggap semata sebagai pihak yang hanya menerima teks, tetapi juga ikut melakukan transaksi sebagaimana akan terlihat dalam teks. Dari berbagai posisi yang ditempatkan kepada pembaca, Mills memusatkan perhatian pada gender dan posisi pembaca

2.1.4. Pengertian moral

Moral adalah sesuatu yang berkaitan atau ada hubungannya dengan kemampuan menentukan benar salahnya sesuatu tingkah laku. Selain itu moral juga diartikan adanya kesesuaian dengan ukuran baik dan buruknya sesuatu tingkah laku atau karakter yang telah diterima oleh sesuatu masyarakat, termasuk di dalamnya tingkah laku spesifik ( Haicahyono, 1995:221).

Untuk dapat bertindak secara moral, seseorang harus tahu apa yang dikerjakan, disamping semua tindakan itu haris dilakukan secara bebas bukan karena paksaan (Haricahyono, 1995:67). Moral berkaitan dengan moralitas (sopan dan santun). Moralitas merupakan keadaan nilai-nilai moral dalam


(26)

hubungan dengan kelompok sosial (Gunarsa, 2003:38). Moralitas diartikan pula kebiasaan dan peraturan perilaku yang berlaku dalam masyarakat (Sastrapratedja, para. 4).

Moralitas akan muncul dengan sendirinya manakala sesorang mulai berpikir tantang apa yang harus dan tidak harus dilakukan sesorang (Haricahyono, 1995:67).sesorang bertindak dengan alasan-alasan tertentu tidak dikendalikan oleh seba-sebab yang lain. Tindakan moral harus rasional. Untuk menjadi rasional alasannya pun harus operatif. Jadi tidak sekedar rasional semata. Singkat kata, setiap orang harus mampu bertindak sebagai makhluk moral (Haricahyono, 1995:67).

Makhluk moral menurut wilson (1967) dalam Haricahyono dapat digambarkan sebagai sososk pribadi yang terdidik secara moral, yang manifestasinya tidak hanya pada tingkah laku yang nampak akan tetapi menyangkut pula berbagai motif, alasan-alasan dan sasaran-sasaran yang ingin dicapai. Secara demikian moralitas mencakup pengujian terhadap berbagai sikap, perasaan dan disposisi yang dimiliki seseorang. Moralitas menyangkut permasalahan yang luas apalagi kalau menyangkut pengambilan keputusan yang didasarkan pada sikap dan perasaan yang jelas, baik yang ada pada diri seseorang yang mengambil keputusan tersebut ataupun orang lain. (Haricahyono, 1995:68).

Dalam pandangan Rest (haricahyono, 1995:210) moralitas mencakup makna yang begitu luas antara lain :

1. Tingkah laku membantu orang lain

2. Tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma sosial 3. Timbul empati atau rasa bersalah atau keduanya


(27)

4. Penalaran tentang keadilan

5. Memperhatikan kepentingan orang lain

Moralitas kerapkali diartikan sebagai norma dan perilaku faktual dalam masyarakat yaitu anggapan manganai perilaku baik dan buruk (Sastrapratedja, para 4). Perilaku sosial yang baik (positif) disebut sebagai perilaku prososial. Sedangkan perilaku sosial yang buruk (negatid) disebut sebagai perilaku antisosial (kusuma, 2003. para 5).

Film merupakan salah satu bentuk media massa modern kedua yang muncul di dunia (Sobur, 2004:126). Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, membuat film mempunyai potensi besar dalam merubah sikap dan perilaku masyarakat terutama anak-anak yang relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi (Anwas, chap I). ada banyak pendekatan untuk meneliti karya film

Aspek moralitas dalam suatu film yang diperuntukkan bagi anak-anak seperti Upin dan Ipin ini memang perlu diperhatikan. Hal ini mengingat bahwa film sebagai alat komunikasi massa modern merupakan salah satu aspek yang dapat mempengaruhi perkembangan moral pada anak (gunarsa, 2003:40). Terlebih lagi mengingat bahwa anak-anak usia 7 hingga 12 tahun yakni anak usia sekolah dasar yang merupakan usia yang kritis dalam pembentukan sikap moral (Durkheim, 1990:11). Moral berasal dari kata latin mores, memiliki arti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, kebiasaan (gunarsa, 2003:38).

Bagaimana anak-anak dapat bertingkah laku yang bermoral pun jjuga tak lepas dari hal-hal yang ia amati dari sekitarnya. Dimana hal tersebut kemudian akan berlaku sebagai suatu model kelakuan bagi anak melalui peniruan-peniruan yang dapat diamatinya, termasuk salah satunya mengamati dan meniru film yang ia tonton


(28)

(Gunarsa, 2003:41). Jika tayangan film yang ditonton anak-anak banyak menampilkan adegan-adegan kekerasan, sadis sensual maupun mistik, hal tersebut dapat membawa akibat buruk terhadap anak, yakni dapat meningkat agresivitas, tindak kekerasan serta perilaku negatif lainnya pada anak. (Nurdiansyah, 2005). Misalnya saja disekitar kita, rasanya sering kita melihat anak yang baru saja nonton film koboi, lalu berlari ke halaman rumah kemudian berguling-guling dan berteriak dor…dor…dor…. Sambil memegang pistol mainan atau apa saja yang dipegangnya. Sering pula terdengar ucapan-ucapan yang kurang pas dilaontarkan anak-anak yang meniru kan idola tokokh-tokoh filmnya. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak menjadi lebih agresif setelah menonton tayangan film yang dikategorikan sebagai tayangan antisosial. Tayangan film kartun Tom & Jerry misalnya, dari sisi pikologis secara tidak langsung mengajar anak-anak untuk mudah memukul orang (Lena, 2004).

Film-film tersebut bukan sekadar tontonan belaka. Sebagai media massa, tentunya film membawa dan menawarkan suatu pesan moral tertentu yang ingin disampaikan kepada penontonnya. Selain itu, film dapat membawa ideologi, nilai.

Oleh karena itu, moralitas dari beberapa perilaku dalam Upin dan Ipin dapat dibedakan menjadi perilaku prososial. Menurut Wispe (dalam Mulyana dan Ibrahim, 1997:146), perilaku prososial merupakan suatu bentuk perilaku yang memiliki konsekuensi sosial yang positif. Beberapa perilaku yang tercakup dalam definisi ini antara lain, tidak memetingkan diri sendiri, menolong dan pemakaian bersama, kehangatan, bekerjasama, empati, memuji menasihati penyesalan dan kesopanan. Selain prososial terdapat perilaku antisosial yang dimaksud dengan perilaku antisosial menurut Bandura (Mulyana dan Ibrahim, 1997:146) merupakan suatu perilaku yang tidak hanya mengakibatkan luka atau perusahaan secara fisik, tetapi juga mencakup


(29)

psikologis. Misalnya perilaku yang mengakibatkan luka atau perusakan secara kasar, membunuh, berkelahi, mencelakakan, mencuri, berperang, curang dan mengejek.

Moralitas pada anak adalah sesuatu yang dipelajari dan dipengaruhi dari luar. Tidak ada anak yang memperkembangkan nilai-nilai moral oleh dirinya sendiri. Nilai-nilai moral bukanlah sesuatu yang diperoleh dari kelahiranya, melainkan sesuatu yang diperoleh dari luar, yakni dari lingkungan rumah, lingkungan sekolah, lingkungan teman-teman sebaya, segi keagamaan, fasilitas-fasilitas rekreasi (TV, Film, radio, bacaan-bacaan dan lain sebagainya) (Gunarsa 2003:38).

2.1.5. Respon Psikologis Warna

Warna dapat didefinisikan secara obyektif/fisik sebagai sifat cahaya yang diapancarkan, atau secara subyektif/psikologis sebagai bagian dari pengalaman indera pengelihatan. Secara obyektif atau fisik, warna dapat diberikan oleh panajang gelombang. Dilihat dari panjang gelombang, cahaya yang tampak oleh mata merupakan salah satu bentuk pancaran energi yang merupakan bagian yang sempit dari gelombang elektromagnetik.

Cahaya yang dapat ditangkap indera manusia mempunyai panjang gelombang 380 sampai 780 nanometer. Cahaya antara dua jarak nanometer tersebut dapat diurai melalui prisma kaca menjadi warna-warna pelangi yang disebut spectrum atau warna cahaya, mulai berkas cahaya warna ungu, violet, biru, hijau, kuning, jingga, hingga merah. Di luar cahaya ungu /violet terdapat gelombang-gelombang ultraviolet, sinar X, sinar gamma, dan sinar cosmic. Di luar cahaya merah terdapat gelombang / sinar inframerah, gelombang Hertz, gelombang Radio pendek, dan gelombang radio panjang, yang banyak digunakan untuk pemancaran radio dan TV. Proses terlihatnya warna adalah dikarenakan adanya cahaya yang menimpa suatu benda, dan benda tersebut memantulkan cahaya ke mata (retina) kita hingga terlihatlah warna. Benda


(30)

berwarna merah karena sifat pigmen benda tersebut memantulkan warna merah dan menyerap warna lainnya. Benda berwarna hitam karena sifat pigmen benda tersebut menyerap semua warna pelangi. Sebaliknya suatu benda berwarna putih karena sifat pigmen benda tersebut memantulkan semua warna pelangi. Sadjiman (2005:2)

Sebagai bagian dari elemen tata rupa, warna memegang peran sebagai sarana untuk lebih mempertegas dan memperkuat kesan atau tujuan dari sebuah karya desain. Dalam perencanaan corporate identity, warna mempunyai fungsi untuk memperkuat aspek identitas. Lebih lanjut dikatakan oleh Henry Dreyfuss , bahwa warna digunakan dalam simbol-simbol grafis untuk mempertegas maksud dari simbol-simbol tersebut . Sebagai contoh adalah penggunaan warna merah pada segitiga pengaman, warna-warna yang digunakan untuk traffic light merah untuk berhenti, kuning untuk bersiap-siap dan hijau untuk jalan. Dari contoh tersebut ternyata pengaruh warna mampu memberikan impresi yang cepat dan kuat. Sadjiman (2005:5)

Kemampuan warna menciptakan impresi, mampu menimbulkan efek-efek tertentu. Secara psikologis diuraikan oleh J. Linschoten dan Drs. Mansyur (1983:5) tentang warna sebagai berikut : Warna-warna itu bukanlah suatu gejala yang hanya dapat diamati saja, warna itu mempengaruhi kelakuan, memegang peranan penting dalam penilaian estetis dan turut menentukan suka tidaknya kita akan bermacam-macam benda.

Dari pemahaman diatas dapat dijelaskan bahwa warna, selain hanya dapat dilihat dengan mata ternyata mampu mempengaruhi perilaku seseorang, mempengaruhi penilaian estetis dan turut menentukan suka tidaknya seseorang pada suatu benda. Berikut disajikan potensi karakter warna yang mampu memberikan kesan pada seseorang sebagai berikut :


(31)

1. Hitam, sebagai warna yang tertua (gelap) dengan sendirinya menjadi lambang untuk sifat gulita dan kegelapan (juga dalam hal emosi). 2. Putih, sebagai warna yang paling terang, melambangkan cahaya,

kesucian.

3. Abu-abu, merupakan warna yang paling netral dengan tidak adanya sifat atau kehidupan spesifik.

4. Merah, bersifat menaklukkan, ekspansif (meluas), dominan (berkuasa), aktif dan vital (hidup).

5. Kuning, dengan sinarnya yang bersifat kurang dalam, merupakan wakil dari hal-hal atau benda yang bersifat cahaya, momentum dan mengesankan sesuatu.

6. Biru, sebagai warna yang menimbulkan kesan dalamnya sesuatu (dediepte), sifat yang tak terhingga dan transenden, disamping itu memiliki sifat tantangan.

7. Hijau, mempunyai sifat keseimbangan dan selaras, membangkitkan ketenangan dan tempat mengumpulkan daya-daya baru.

Dari sekian banyak warna, dapat dibagi dalam beberapa bagian yang sering dinamakan dengan sistem warna Prang System yang ditemukan oleh Louis Prang pada 1876 meliputi :

1. Hue, adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan nama dari suatu warna, seperti merah, biru, hijau dsb.

2. Value, adalah dimensi kedua atau mengenai terang gelapnya warna. Contohnya adalah tingkatan warna dari putih hingga hitam.

3. Intensity, seringkali disebut dengan chroma, adalah dimensi yang berhubungan dengan cerah atau suramnya warna.


(32)

Selain Prang System terdapat beberapa sistem warna lain yakni, CMYK atau Process Color System, Munsell Color System, Ostwald Color System, Schopenhauer/Goethe Weighted Color System, Substractive Color System serta Additive Color/RGB Color System.

Diantara bermacam sistem warna diatas, kini yang banyak dipergunakan dalam industri media visual cetak adalah CMYK atau Process Color System yang membagi warna dasarnya menjadi Cyan, Magenta, Yellow dan Black. Sedangkan RGB Color System dipergunakan dalam industri media visual elektronika.

Selain penjelasan diatas berikut disampaikan pandangan beberapa ahli tentang warna yang memiliki efek psikologis

- Yang sejuk dan segar (merah muda) Sutton dan Whelan (2003, 169), hijau Eiseman (1998:89), (Bonds, 2000:36),

- Berpikir positif: Kuning (Bonds, 2000:30) - Merefleksikan diri perak (Bonds, 2000:48) - Mereview pikiran indigo (Bonds, 2000:42)

- Menenangkan; ungu Krisnawati (2005 ; 94) merah muda Sutton dan Whelan (2003, 169), biru Krisnawati (2005 ; 97); putih (Bonds, 2000:20), coklat Krisnawati (2005 ; 93); hijau Eiseman (1998:89).

- Merasa diterima hijau Krisnawati (2005 ; 96);

- Yang meningkatkan kemampuan untuk menyampaikan pendapat biru Bonds, 2000:40),

- Berkomunikasi biru Krisnawati (2005 ; 97) dan oranye Krisnawati (2005: 92)

- Meningkatkan konsentrasi merah Krisnawati (2005 ; 98)


(33)

- Merefleksikan diri perak (Bonds, 2000:48),

2.1.6. Pengertian Semiotik

Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani

semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sobur, 2004:95).

Semiotika adalah ilmu tanda (Bonta 1979:26, Chandler 1994:1, Eco 1976:3, Eco dalam Broadbent 1980:11, Noth 1990:3, Sudjiman 1992:vii, Sukada 1992:8); istilah ini berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Winfried Noth (1993:13) menguraikan asal-usul kata semiotika; secara etimologi semiotika dihubungkan dengan kata Yunani = sign dan signal, sign . Tanda terdapat dimana-mana : ‘kata’ adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan (arsitektur) atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Segala sesuatu dapat menjadi tanda. Charles Sanders Peirce menegaskan bahwa manusia hanya dapat berfikir dengan sarana tanda. Tanpa tanda manusia tidak dapat berkomunikasi.

Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:1). Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek -obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Ahli sastra Teew (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam


(34)

masyarakat mana pun. Semiotik merupakan cab ang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh

Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Dalam pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri (Piliang, 1998:262).

Semiotika menurut Berger (2000:10). memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan di antara keduanya tidak saling mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology).

2.1.7. Model semiotika john fiske

John Fiske (1987:5) menjelaskan bagaimana sebuah peristiwa menjadi “peristiwa televisi” apabila telah diencode oleh kode-kode sosial, yang dikonstruksi dalam tiga tahapan berikut. Pada tahap pertama, adalah realitas (reality), yakni peristiwa yang ditandakan (encoded) sebagai realitas tampilan, pakaian, lingkungan, perilaku, percakapan, gesture, ekspresi, sound, dan sebagainya. Dalam bahasa tulis berupa, misalnya, dokumen, transkrip wawancara, dan sebagainya. Jika peristiwa bom


(35)

Bali dianggap realitas, maka harus ada tanda-tanda peristiwa pemboman itu: kubangan bekas bom, saksi mata, dan sebagainya.

Pada tahap kedua disebut representasi (representation). Realitas yang terencode dalam encoded electronically harus ditampakkan pada technical codes

seperti kamera, lighting, editing, music, sound. Dalam bahasa tulis ada kata, kalimat, proposisi, foto, grafik, dan sebagainya. Sedangkan dalam bahasa gambar atau televisi ada kamera, tata cahaya, editing, musik, dan sebagainya. Elemen-elemen ini kemudian ditransmisikan ke dalam kode represntasional yang dapat mengaktualisasikan antara lain karakter, narasi, action, dialog, setting, dan sebagainya. Ini sudah nampak sebagai realitas televisi.

Tahap ketiga adalah ideologi (ideology). Semua elemen diorganisasikan dan dikategorikan dalam kode-kode ideologis, seperti patriakhi, individu-alisme, ras, kelas, materialisme, kapitalisme, dan sebagainya. Ketika kita me-lakukan representasi atas suatu realita, menurut Fiske, tidak dapat dihindari adanya kemungkinan memasukkan ideologi dalam konstruksi realitas.

Dalam semiotika (ilmu tentang tanda) terdapat dua perhatian utama yaitu : hubungan antar tanda dan maknanya dan bagaimana suatu tanda dikombinasikan menjadi suatu kode (Fiske, 2003:22). Tanda-tanda yang seringkali dalam program-program televisi adalah dapat dikategorikan dalam tiga level yakni :

Level realitas , kode-kode sosial dalam level pertama ini yakni meliputi

appeareance, (penampilan), dress (kostum), make up (riasan), environment

(lingkungan), behaviour (perilaku), speech (cara berbicara), gesture (gerakan), expression (ekspresi).


(36)

Level reresentasi, kode-kode yang termasuk dalam level ini kedua ini berkaitan dengan kode-kode teknik, seperti camera (kamera), lightning

(pencahayaan), editing (perevisian), music (musik) dan sound (suara).

Level ideologi, pada level ketiga ini mencakup kode-kode reprsentatif seperti narrative (naratif), conflict (konflik), character (karakter), action (aksi), dialogue (dialog), setting (latar), casting (pemeran).

Oleh karena objek penelitian ini adalah cerita yang terdapat dalam serial Upin dan Ipin yakni meliputi gambar dan suara (kata-kata yang diucapkan tokoh cerita) yang terdapat dalam tersebut yang memuat pesan moral prososial, maka nantinya akan diplih beberapa kode televisi sebagai unit analisisnya. Pesan moral prososial ini disampaikan lewat penampilan para tokoh film yang tercermin dalam perilaku , dialog, ekpresi dan karakter tokoh-tokoh tersebut.

Berdasarkan uraian diatas maka dipilih beberapa kode yang terkonstruksi dalam serial Upin dan Ipin meliputi kode appeareance, (penampilan), dress

(kostum), speech (cara berbicara), gesture (gerakan), behaviour, expression (ekpresi), conflict (konflik), character (karakter) dan dialogue (dialog). Sehingga akhirnya akan diperoleh jawaban atas pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana pesan moral pada serial animasi Upin dan Ipin”

2.1.8. Pendekatan Semiotik

Sampai saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang (Pateda, dalam Sobur, 2004). Jenis -jenis semiotik ini antara lain semiotik analitik, diskriptif, faunal zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural. Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya


(37)

menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu. Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Semiotik faunal zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus memper hatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan c erita lisan (folklore). Semiotik natural atau semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Semiotik normatif merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma. Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambang rangkaian kata berupa kalimat. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

2.1.8.1. Bahasa Sebagai Sistem Semiotik

Bahasa dalam pemakaiannya bersifat bidimensional. Disebut dengan demikian, karena keberadaan makna selain ditentu-kan oleh kehadiran dan hubungan antar -lambang kebahasaan itu sendiri, juga ditentukan oleh pemeran serta konteks sosial dan situasional yang melatarinya. Dihubungkan dengan fungsi yang dimiliki, bahasa memiliki fungsi eksternal juga fungsi internal.


(38)

Oleh sebab itu selain dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dan menciptakan komunikasi, juga untuk mengolah informasi dan dialog antar -diri sendiri. Kajian bahasa sebagai suatu kode dalam pemakaian berfokus pada

(1)karakteristik hubungan antara bentuk, lambang atau kata satu dengan yang lainnya,

(2)hubungan antar –bentuk kebahasaan dengan dunia luar yang di -acunya, (3)hubungan antara kode dengan pemakainya.

Studi tentang sistem tanda sehubungan dengan ketiga butir tersebut baik berupa tanda kebahasaan maupun bentuk tanda lain yang digunakan manusia dalam komunikasi masuk dalam ruang lingkup semiotik (Aminuddin, 1988:37).

Sejalan dengan adanya tiga pusat kajian kebahasaan dalam pemakaian, maka bahasa dalam sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem. Tiga komponen tersebut adalah:

(1) sintaktik, yakni komponen yang berkaitan dengan lambang atau sign serta bentuk hubungan-nya,

(2) semantik, yakni unsur yang berkaitan dengan masalah hubungan antara lambang dengan dunia luar yang diacunya,

(3) pragmatik, yakni unsur ataupun bidang kajian yang berkaitan dengan hubungan antara pemakai dengan lambang dalam pemakaian.

Ditinjau dari sudut pemakaian, telah diketahui bahwa alat komunikasi manusia dapat dibedakan antara media berupa bahasa atau media verbal dengan media nonbahasa atau nonverbal. Sementara media kebahasaan itu, ditinjau dari alat pemunculannya atau chanel dibedakan pula antara media lisan dengan media tulis. Dalam media lisan misalnya, wujud kalimat perintah dan kalimat tanya dengan mudah dapat dibedakan lewat pemakaian bunyi suprasegmental atau pemunculan kinesik,


(39)

yakni gerak bagian tubuh yang menuansakan makna tertentu. Kaidah penataan kalimat selalu dilatari tendesi semantis tertentu. Dengan kata lain sistem kaidah penataan lambang secara gramatis selalu berkaitan dengan dengan strata makna dalam suatu bahasa. Pada sisi lain makna sebagai label yang mengacu realitas tertentu juga memiliki sistem hubungannya sendiri (Aminuddin, 1988:38).

Unsur pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai (user atau

interpreter), menjadi bagian dari sistem semiotik sehingga juga menjadi salah satu cabang kajiannya karena keberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya. Bahkan lebih luas lagi keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya, ke dalam konteks sosial budaya yang dimiliki. Hal itu sesuai dengan pernyataan bahwa bahasa adalah cermin kepribadian dan budaya bangsa. Sehubungan dengan itu Abram’s (1981: 171) mengungkapkan bahwa the focus of semiotic interest is on the underlying system of language, not on the parole.

2.1.8.2. Tanda

Bagi de Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas. de Saussure memberikan contoh kata arbor dalam bahasa Latin yang maknanya ‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant /arbor/ disebutnya sebagai citra akustik yang mempunyai relasi dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu) yakni signifie. Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara penanda ( signifier) dan petanda (signified). Hubungan ini disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubung -an itu


(40)

adalah mufakat (konvensi) …’a body of necessary conventions adopted by society to enable members of society to use their language faculty (de Saussure, 1986:10).

Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu, apabila “sesuatu” disampaikan melalui tanda dari pengirim kepada penerima, maka sesuatu tersebut bisa disebut sebagai “pesan”. Iklan dalam konteks semiotika dapat diamati sebagai suatu upaya menyampaikan pesan dengan menggunakan seperangkat tanda dalam suatu sistim. Dalam semiotika, iklan dapat diamati dan dibuat berdasarkan suatu hubungan antara

signifier (signifiant) atau penanda dan signified (signifie) atau petanda, seperti halnya tanda pada umumnya, yang merupakan kesatuan yang tidak bisa dilepaskan antara penanda dan petanda.

Signifier signified

Makna Penanda yang mengutarakan

symbol

wahana tanda petanda yang diutarakan

thought of reference

Ferdinand de Saussure menjelaskan bahwa dalam setiap obyek yang dipakai oleh seseorang untuk mengungkapkan sesuatu kepada orang lain, selalu memiliki peran gandanya sebagai “yang menandakan sesuatu” dan sekaligus sebagai “yang ditandakan”. Sedang Charles Sanders Peirce seperti dikutip oleh Noth (1990:42) mengemukakan bahwa tanda merupakan keterkaitan yang disebut sebagai tripple connection of “sign, thing signified and cognition produced in the mind”. Pendekatan yang dilakukan oleh Saussure disebut sebagai proses “diadik” sedang pada Sanders disebut sebagai “triadik”, karena memang mencakup tiga hal yakni tanda, hal yang diwakilinya serta kognisi yang terjadi pada pikiran seseorang pada waktu menangkap tanda tersebut. Beberapa model lain dari semiotika adalah :


(41)

Gambar 2.1. Model segitiga Ogden-Richard

Sumber : Jencks “The Architectural Sign” dalam Broadbent “Sign, Symbol and Architecture

Kemudian Charles Jencks mengembangkan model ini sebagai berikut,

Gambar 2.2. Segitiga semiotika Charles Jencks


(42)

Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir dari kemufakatan (konvensi) di atas dasar yang tak beralasan (unreasonable) atau sewenang-wenang. Sebagai contoh, kata bunga yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi dengan konsep tentang bunga dalam benak orang tersebut tidak menunjukkan adanya batas-batas (boundaries) yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan secara gamblang mendemonstrasikan kesewenang-wenangan itu karena bagi seorang penutur bahasa Inggris bunyi bunga itu tidak berarti apa-apa.

Petanda selalu akan lepas dari jangkauan dan konsekuensinya, makna pun tidak pernah dapat sepenuhnya ditangkap, karena ia berserakan seperti jigsaw puzzles

disepanjang rantai penanda lain yang pernah hadir sebelumnya dan akan hadir sesudahnya, baik dalam tataran paradigmatik maupun sintagmatik. Ini dimungkinkan karena operasi sebuah sistem bahasa menurut de Saussure dilandasi oleh prinsip

negative difference, yakni bahwa makna sebuah tanda tidak diperoleh melalui jawaban atas pertanyaan what is it, melainkan melalui penemuan akan what is not

(Budiman, 2002:30). Kucing adalah kucing karena ia bukan anjing atau bajing. Dengan demikian ilmu yang mempe -lajari tentang tanda-tanda adalah semiotik.

Semiotics is concerned with everything that can be taken as a sign. Semiotics adalah studi yang tidak hanya merujuk pada tanda (signs) dalam percakapan sehari -hari, tetapi juga segala sesuatu yang merujuk pada bentuk-bentuk lain seperti words, images, sounds, gesture , dan objects. Sementara de Saussure me-nyebut ilmu ini dengan semiologi yakni sebuah studi tentang aturan tanda –tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial ( a science which studies the role of signs as a part of social life). Bagi Peirce (1931), semiotics was formal doctrine of signs which was closely related


(43)

to logic. Tanda menurut Peirce adalah something which stands to somebody for something in some respect or capacity. Kemudian ia juga mengatakan bahwa every thought is a sign. Van Zoest (1993) memberikan lima ciri dari tanda.

1. Pertama, tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda. Sebagai contoh van Zoest menggambarkan bahwa di pantai ada orang-orang duduk dalam kubangan pasir, di sekitar kubangan di buat semacam dinding pengaman (lekuk) dari pasir dan pada dinding itu diletakkan kerang -kerang yang sedemikian rupa sehingga membentuk kata ‘Duisburg’ maka kita mengambil kesimpulan bahwa di sana duduk orang-orang Jerman dari Duisburg. Kita bisa sampai pada kesimpulan itu, karena kita tahu bahwa kata tersebut menandakan sebuah kota di Republik Bond. Kita mengangg ap dan menginterpretasikannya sebagai tanda.

2. Kedua, tanda harus ‘bisa ditangkap’ merupakan syarat mutlak. Kata Duisburg dapat ditangkap, tidak penting apakah tanda itu diwujudkan dengan pasir, kerang atau ditulis di bendera kecil atau kita dengar dari orang lain.

3. Ketiga, merujuk pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir. Dalam hal ini Duisburg merujuk kesatu kota di Jerman. Kata Duisburg merupakan tanda karena ia ‘merujuk pada’, ‘menggantikan’, ‘mewakili‘ dan ‘menyajikan’. 4. Keempat, tanda memiliki sifat representatif dan sifat ini mempunyai hubungan

langsung dengan sifat interpretatif, karena pada kata Duisburg di kubangan itu bukannya hanya terlihat adanya pengacauan pada suatu kota di Jerman, tetapi juga penafsiran ‘di sana duduk-duduk orang Jerman’.

5. Kelima, sesuatu hanya dapat merupakan tanda atas dasar satu dan lain. Peirce menyebutnya dengan ground (dasar, latar) dari tanda. Kita menganggap Duisburg sebagai sebuah tanda karena kita dapat membaca huruf-huruf itu,


(44)

mengetahui bahwa sebagai suatu kesatuan huruf-huruf itu membentuk sebuah kata, bahwa kata itu merupakan sebuah nama yakni sebuah nama kota di Jerman. Dengan perkataan lain, tanda Duisburg merupakan bagian dari suatu keseluruhan peraturan, perjanjian dan kebiasaan yang dilembagakan yang disebut kode. Kode yang dimaksud dalam hal ini adalah kode bahasa. Walaupun demikian ada juga tanda yang bukan hanya atas dasar kode. Ada tanda jenis lain yang berdasarkan interpretasi individual dan insidental atau berdasarkan pengalaman pribadi.

Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) sesuatu hal (benda) yang lain yang disebut referent. Lampu merah mengacu pada jalan berhenti. Wajah cerah mengacu pada kebahagiaan. Air mata mengacu pada kesedihan. Apabila hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul pengertian (Eco, 1979:59).

Menurut Pierce, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Eco, 1979:15). Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut objek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan Pierce terkenal dengan nama segitiga semiotik.

Selanjutnya dikatakan, tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora.


(45)

Contoh ikon adalah potret. Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda seperti ini disebut metonimi. Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan tanda hari akan hujan. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan.

Ikon, indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar (bentuk), objek (referent) dan konsep (interpretan atau reference). Bentuk biasanya menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan objek akan menimbulkan interpretan. Proses ini merupakan proses kognitif dan terjadi dalam memahami pesan iklan.

Rangkaian pemahaman akan berkembang terus seiring dengan rangkaian semiosis yang tidak kunjung berakhir. Selanjutnya terjadi tingkatan rangkaian semiosis. Interpretan pada rangkaian semiosis lapisan pertama, akan menjadi dasar untuk mengacu pada objek baru dan dari sini terjadi rangkaian semiosis lapisan kedua. Jadi, apa yang berstatus sebagai tanda pada lapisan pertama berfungsi sebagai penanda pada lapisan kedua, dan demikian seterusnya.

Terkait dengan itu, Barthes mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semuanya itu berlangsung ketika interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda.


(46)

Kode, merujuk terminologi sosiolinguistik ialah variasi tutur yang memiliki bentuk yang khas, serta makna yang khas pula (Poedjosoedarmo, 1986:27). Sementara itu, kode menurut Piliang (1998:17), adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan disampaikan dari seseorang ke orang lainnya. Di dalam praktik bahasa, sebuah pesan yang dikirim kepada penerima pesan diatur melalui seperangkat konvensi atau kode. Umberto Eco menyebut kode sebagai aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkret dalam sistem komunikasi. (Eco, 1979:9).

Fungsi teks-teks yang menunjukkan pada sesuatu (mengacu pada sesuatu) dilaksanakan berkat sejumlah kaidah, janji, dan kaidah-kaidah alami yang merupakan dasar dan alasan mengapa tanda-tanda itu menunjukkan pada isinya. Tanda-tanda ini menurut Jakobson merupakan sebuah sistem yang dinamakan kode (Hartoko, l992:92).

Kode pertama yang berlaku pada teks-teks ialah kode bahasa yang digunakan untuk mengutarakan teks yang bersangkutan. Kode bahasa itu dicantumkan dalam kamus dan tata bahasa. Selain itu, teks-teks tersusun menurut kode-kode lain yang disebut kode sekunder, karena bahannya ialah sebuah sistem lambang primer, yaitu bahasa. Sedangkan struktur cerita, prinsip-prinsip drama, bentuk-bentuk argumentasi, sistem metrik, itu semua merupakan kode-kode sekunder yang digunakan dalam teks-teks untuk mengalihkan arti.

Roland Barthes dalam bukunya S/Z mengelompokkan kode-kode tersebut menjadi lima kisi-kisi kode, yakni kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kultural atau kode kebudayaan (Barthes, 1974:106). Uraian kode-kode tersebut dijelaskan Pradopo (1991:80-81) sebagai berikut:


(47)

Kode Hermeneutik, yaitu artikulasi berbagai cara pertanyaan, teka-teki, respons, enigma, penangguhan jawaban, akhirnya menuju pada jawaban. Atau dengan kata lain, Kode Hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda jawaban lain.

Kode Semantik, yaitu kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas, maskulinitas. Atau dengan kata lain Kode Semantik adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminin, kebangsaan, kesukuan, loyalitas.

Kode Simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur, skizofrenia.

Kode Narasi atau Proairetik yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasi.

Kode Kebudayaan atau Kultural, yaitu suara-suara yang bersifat kolektif, anomin, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, legenda.

2.2. Kerangka Berfikir

Dalam semiotika (ilmu tentang tanda) terdapat dua perhatian utama yaitu : hubungan antar tanda dan maknanya dan bagaimana suatu tanda dikombinasikan menjadi suatu kode (Fiske, 2003:22). Tanda-tanda yang seringkali dalam program-program televisi adalah dapat dikategorikan dalam tiga level yakni :

Level realitas , kode-kode sosial dalam level pertama ini yakni meliputi


(48)

(lingkungan), behaviour (perilaku), speech (cara berbicara), gesture (gerakan), expression (ekspresi).

Level representasi, kode-kode yang termasuk dalam level ini kedua ini berkaitan dengan kode-kode teknik, seperti camera (kamera), lightning

(pencahayaan), editing (perevisian), music (musik) dan sound (suara).

Level ideologi, pada level ketiga ini mencakup kode-kode reprsentatif seperti narrative (naratif), conflict (konflik), character (karakter), action (aksi), dialogue (dialog), setting (latar), casting (pemeran).

Oleh karena objek penelitian ini adalah cerita yang terdapat dalam serial Upin dan Ipin yakni meliputi gambar dan suara (kata-kata yang diucapkan tokoh cerita) yang terdapat dalam tersebut yang memuat pesan moral prososial, maka nantinya akan diplih beberapa kode televisi sebagai unit analisisnya. Pesan moral prososial ini disampaikan lewat penampilan para tokoh film yang tercermin dalam perilaku , dialog, ekpresi dan karakter tokoh-tokoh tersebut.

Berdasarkan uraian diatas maka dipilih beberapa kode yang terkonstruksi dalam serial Upin dan Ipin meliputi kode appeareance, (penampilan), dress

(kostum), speech (cara berbicara), gesture (gerakan), behaviour, expression (ekpresi), conflict (konflik), character (karakter) dan dialogue (dialog). Sehingga akhirnya akan diperoleh jawaban atas pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana pesan moral pada serial animasi Upin dan Ipin” berikut keranga berpikir yang diajukan peneliti dalam penelitian ini


(49)

Pesan prososial materi mengenai ajaran perlaku yang baik - appeareance, (penampilan), - dress (kostum),

- speech (cara berbicara), - gesture (gerakan), - behaviour,

- expression (ekspresi), - conflict (konflik), - character (karakter) - dialogue (dialog)

Moralitas konstruksi dari idelogi norma dan faktual dalam masyarakat

yaitu anggapan perilaku yang buruk dan baik.

Analisis semiotik John Fiske RESPRESENTATIF PESAN PROSOSIAL DALAM SERIAL

ANIMASI UPIN DAN IPIN

Kode-kode televisi terkontruksi dalam realistas dan ideologi (Fiske,


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Definisi Operasional 3.1.1. Metode penelitian

Metode yang digunakan untuk menganalisis dan mengintepretasikan sistem tanda komunikasi dalam serial animasi Upin dan Ipin yang memuat pesan moral prososial adalah metode semiotika. Dengan berdasarkan pada semiotika John Fiske yang menggali konstruksi makna melalui kode-kode televisi. Metode semiotikan merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda dan beserta maknanya. Menurut John Fiske (2004:282) semiotika adalah studi tentang pertandaan dan makna dari sistem tanda, tentang bagaimana makna dibangun dalam teks media atau studi bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat mengkomunikasikan makna. Metode analisis semiotika ini menurut Fiske (2004:189) tidak hanya dipusatkan pada transmisi pesan, melainkan pada penurunan dan pertukaran makna. Penekanan disini bukan pada tahapan proses, melainkan teks dan interaksinya dalam memproduksi dan menerima kultur/budaya; difokuskan pada peran komunikasi dalam memantapkan dan memelihara nilai-nilai tersebut memungkinkan komunikasi memiliki makna. Di sisi lain, semiotika melihat bahwa pesan merupakan konstruksi tanda-tanda, yang pada saat bersinggungan dengan penerima akan memproduksi makna (Fieske, 2004:2).


(51)

3.1.2. Corpus

Kode pesan adalah sekumpulan simbol yang dapat disusun sedemikian rupa, sehingga bermakna bagi seseorang. Isi pesan ialah bahan atau material yang dipilih sumber untuk menyatakan maksudnya. Wujud pesan adalah keputusan-keputusan yang dibuat sumber mengenai bagaimana cara sebaiknya menyampaikan maksud-maksud dalam bentuk pesan.

Perilaku moral merupakan suatu bentuk perilaku yang memiliki konsekuensi sosial yang positif. Beberapa perilaku yang tercakup dalam definisi ini antara lain, tidak memetingkan diri sendiri, menolong dan pemakaian bersama, kehangatan, bekerjasama, empati, memuji menasihati penyesalan dan kesopanan

Pada penelitian ini objek penelitian ini adalah cerita yang terdapat dalam film upindan ipin The Movie khususnya scene happy ending yakni pada saat masyarakat menangkap para penjahat dan tokoh-tokoh protaganis dalam cerita yaitu Upin dan Ipin, Badrol, Lim, Rajoo, dan Kak Ros merayakan kemenangan mereka meliputi gambar dan suara (kata-kata yang diucapkan toko cerita) yang terdapat dalam tersebut yang memuat moral prososial, maka nantinya akan dipilih beberapa kode sebagai unit analisisnya. Pesan moral prososial ini disampaikan lewat penampilan para tokoh film yang tercermin dalam perilaku , dialog , ekspresi , dan karakter tokoh-tokoh tersebur. Maka nantinya dipilih beberapa kode yang terkonstruksi dalam film Upin dan Ipintsb meliputi kode appeareance, (penampilan), dress (kostum), speech (cara berbicara), gesture (gerakan) ,behaviour,axpression (ekspresi), conflict (konflik), charakter (karakter) dan dialogue (dialog).

Tanda-tanda dalam tataran gambar bergerak (animasi film) tersebut telah dikombinnasikan menjadi kode-kode, untuk memungkinkan suatu pesan disampaikan


(52)

dari komunikator ke komunikan (penonton).Adapun tanda-tanda yang serinkali dalam film adalah dapat dikategorikan dalam tiga level yakni :

Level realitas , kode-kode sosial dalam level pertama ini yakni meliputi appeareance, (penampilan), dress (kostum), make up (riasan), environment (lingkungan), behaviour (perilaku), speech (cara berbicara ), gesture (gerakan ), ekspression (ekspresi).

Level representasi, kode-kode yang termasuk dalam level ini berkaitan dengan kode-kode teknik, seperti camera (kamera), lightning (pencahayaan), editing (perevisian), music (musik),dan sound (suara).

Level ideologi,pada l;evel ketiga ini mencakup kode-kode representatif seperti narrative (naratif), conflict (konflik), character (karakter), action (aksi), dialogue (dialog), setting (latar), casting (pemeran).

3.1.3. Representasi

Istilah representasi itu sendiri menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Ada dua hal penting dalam representasi. Pertama, apakah seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Ini mengacu pada apakah seseorang atau kelompok itu diberitakan apa adanya, ataukah diburukkan. Penggambaran yang tampil bisa jadi adalah penggambaran yang buruk dan cenderung memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu. Di sini hanya citra yang buruk saja yang ditampilkan sementara citra atau sisi yang baik luput dari pemberitaan. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan. Dengan kata lain, kalimat, aksentuasi, dan bantuan foto macam apa seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak.


(53)

3.1.4. Moral

Moral adalah sesuatu yang berkaitan atau ada hubungannya dengan kemampuan menentukan benar salahnya sesuatu tingkah laku. Selain itu moral juga diartikan adanya kesesuaian dengan ukuran baik dan buruknya sesuatu tingkah laku atau karakter yang telah diterima oleh sesuatu masyarakat, termasuk di dalamnya tingkah laku spesifik ( Haicahyono, 1995:221).

Untuk dapat bertindak secara moral, seseorang harus tahu apa yang dikerjakan, disamping semua tindakan itu haris dilakukan secara bebas bukan karena paksaan (Haricahyono, 1995:67). Moral berkaitan dengan moralitas (sopan dan santun). Moralitas merupakan keadaan nilai-nilai moral dalam hubungan dengan kelompok sosial (Gunarsa, 2003:38). Moralitas diartikan pula kebiasaan dan peraturan perilaku yang berlaku dalam masyarakat (Sastrapratedja, para. 4).

3.1.5. Animasi

Pengertian animasi pada dasarnya adalah menggerakkan objek agar tampak lebih dinamis. Sebelum era komputerisasi seperti sekarang, animasi merupakan proses yang rumit dan menyita banyak waktu dan tenaga. Film-film animasi terdahulu menggunakan ratusan sampai ribuan gambar sketsa tangan untuk membuat sebuah animasi pergerakan satu-persatu. Tiap gambar bergerak tersebut dikenal dengan


(54)

banyak gambar. Setelah era komputer grafik seperti sekarang, proses animasi tidak lagi merupakan suatu proses yang terlalu rumit.

Seorang animator 2D atau 3D cukup menganimasikan frame awal dan akhir dari suatu pergerakan animasi, selebihnya komputer akan mengkalkulasi gerakan di antaranya (dikenal dengan istilah In-Between). Informasi pergerakan sebuah objek dicatat komputer dengan informasi berupa keyframe. Jumlah keyframe dan frame di antaranya inilah yang menentukan halus atau tidaknya sebuah pergerakan animasi.

Pengertian animasi sama halnya dengan kartun merupakan sebuah gambar yang bersifat represenatif atau sombolik. Sebuah kartun bisa dijabarkan sebagai sebah cerita panjang. Kartun memiliki potensi setara dengan sejuta kata-kata. Kartun merupakan kehidupan yang mengarah pada berbagai kecenderungan warna hidup (Kusnadi, 1985). Menurut John Fiske, kartun merupakan contoh pesan yang berupaya menyampaikan begitu banyak informasi secara sederhana dan langsung (Fiske, 1990:72).

3.2. Tokoh

Tokoh dalam penelitian ini adalah serial animasi Upin dan Ipin yakni tokoh yang terdapat dalam serial yaitu

- Upin ialah abang kembar Ipin, hanya lima menit lebih tua. Dia lebih banyak bicara dan selalu mendalangi perangai anak kembar ini. Dia dapat dibedakan dari adiknya melalui sehelai rambut di kepalanya.

- Ipin, Ipin ialah adik kembar Upin. Dia dikenali karena sering mengulang perkataan sebagai tanda setuju ..


(55)

- Kak Ros adalah kakak Upin dan Ipin. Dari luar ia nampak garang tetapi sebenarnya dia seorang kakak yang pengasih. Dia suka mempermainkan adik-adiknya.

- Mak Uda atau Nenek Uda Mak Uda adalah nenek Upin, Ipin dan Ros. Dia berhati bersih dan sering memanjakan Upin dan Ipin. Ia mengetahui banyak hal duniawi dan keagamaan.

- Mak Uda atau Nenek Uda adalah nenek Upin, Upin dan Ros. Dia berhati bersih dan sering memanjakan Upin dan Ipin. Ia mengetahui banyak hal duniawi dan keagamaan.

- Badrol adalah keponakan Tok Dalang atau bapak Senin bin Khamis yang tinggal di kota untuk studi

- Lim adalah teman Badrol yang bersama-sama tinggal satu kos dan sama-sama menuntut ilmu

- Rajoo ialah teman Upin dan Ipin, ia lebih tua lima tahun dibandingkan keduanya, mengerti bahasa binatang dan menyukai binatang.

3.3.Teknik Pengumpulan Data

Dalam mencari dan mengumpulkan data dilakukan dengan metode-metode studi lapangan yaitu suatu kegiatan penelitian yang dilakukan dimana penyusun langsung ke obyek penelitian dan hal ini dilakukan untuk mencari informasi dengan jalan mengadakan :


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.

Kesimpulan

Pesan moral yang ada dalam film ini adalah pesan moral mengenai ajaran yang baik. Meliputi perilaku suka menolong, perilaku sopan santun, perilaku social berterima kasih, perilaku social untuk beramah tamah, perilaku patuh pada orang tua. Yang digambarkan secara sederhana pada kehidupan sehari – hari para tokohnya. Yang semuanya itu sangat berpengaruh dalam pembentukan moral anak usia dini. Mengingat perilaku anak yang suka meniru akan apa yang dilihatnya. Sehingga nantinya diharapkan perilaku mengenai ajaran yang baik dalam kehidupan bermasyarakat ini dapat menjadi contoh bagi anak – anak yang melihat film tersebut. Karena perilaku ajaran moral yang baik ini sangat diharapkan dapat tertananm dalam pembentukkan mental anak dan dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.

5.2.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka penulis kemukakan saran yang bertujuan untuk membantu pihak – pihak yang berkepentingan dari penelitian ini.


(2)

digunakan dalam penelitian ini jauh dari realita kehidupan sehari – hari,walaupun tidak semua scene menunjukkan khalayan karena pada dasarnya terdapat juga pesan – pesan yang disampaikan secara sederhana.

2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut yang meneliti hubungan bagaimana persepsi masyarakat terhadap film Upin dan Ipin tersebut dan manfaat yang diperoleh.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Abrams, M.H., A Glosary of Literary Term (New York: Holt, Rinehart and Wiston, 1981

Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi tentang Makna (Bandung: Sinar Baru, 1988 Barthos Basir, Manajemen Sumber Daya Manusia : Suatu Pendekatan Makro, Bumi

Aksara, jakarta, 1995

Barker, Chris. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka, 2005.

Bonds, Lilian Verner, The complete book of color healing. China: A Godsfield book., 2000

Bonds, Lilian V., New color healing. London: Vermilion., 2002

Budiman, Manneke, “Indonesia: Perang Tanda,” dalam Indonesia: Tanda yang Retak (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002)

Dajan Anto, Pengantar Metode Statistik, Jilid II, Penerbit LP3ES, Jakarta 1991

de De de Saussure, F., Course in General Linguistics , (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1988)

Durkheim, Emile., Pendidikan Moral Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, Jakarta, Erlangga, 1990.

Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.

Effendy Onong Uchjana, Dinamika Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002

Eriyanto, Analisis Wacana. Pengantar Analisis Teks Media.Yogyakarta: LKIS, 2001. Eiseman, Leatrice, Colors for your every mood. Virginia: Capital Books, Inc., 1998 Eiseman, Leatrice, The color answer book. Virginia: Capital Books, Inc., 2003 Fiske, J., Television Culture. London and New York : Routledge, 1987

Fiske, John. Introduction to Communication Studies - 2nd Edition. London: Routledge, 1990.


(4)

Fiske, John. Cultural and Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra, 2004.

Fiske, John and John Hartley. Reading Television - 2nd Edition. London: Routledge, 2003 Gunarsa, Singgih D., Dasar Dan Teori Perkembangan Anak, 2003

Hanafi, Abdillah. Memahami Komunikasi Antar Manusia. Surabaya: Usaha Nasional, 1984

Haricahyono,Cheppy, Dimensi Pendidikan Moral, Semarang: IKIP Semarang Press,1995

Hoed, Benny H., “Strukturalisme, Pragmatik dan Semiotik dalam Kajian Budaya,” dalam Indonesia: Tanda yang Retak (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002) J. Linschoten, & Mansyur., Pengantar ilmu jiwa fenomenologi. Bandung: Penerbit

Jemmars, 1983

Krisnawati, Christina., 2005, Terapi warna dalam kesehatan. Yogyakarta: Curiosita. Kuswandi, Wawan. Komunikasi masa : sebuah analisis isi media televisi, Rineka

Cipta, Jakarta, 1996

Liliweri Alo, Komunikasi Antarpribadi, PT itra Aditya Bakti, 1997 McQuails,D. (1989). Teori-Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Erlangga. Moekijat, Teori Komunikasi, CV mandar Maju, bandung 1993

Mulyana, Deddy dan Idi Subandy Ibrahim. Bercinta Dengan Televisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997

Nasution, Zulkarimien. Komunikasi pembangunan: Pengenalan teori dan penerapannya. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993

Noth, W. 1993, Handbook of Semiotics

Pateda, Mansoer, Semantik Leksikal (Jakarta: Rineka Cipta)

Piliang, Yasraf Amir, Hipersemiotika. Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogya: Jalasutra, 2003

Pratikto, Riyono. Berbagai Aspek Ilmu Komunikasi. Bandung: CV Remaja Karya, 1987. Rakhmad Jalaludin, Metode Penelitian Komunikasi, Remaja Rosdakarya, bandung,

2002


(5)

Sobur, Alex, Analisis Teks Media, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002 Sobur, Alex., Semiotika Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004. Susanto, Astrid.S., Komunikasi dan Media, Dalam Prisma, 1974

Susanto S. Astrid, Komunikasi Dalam Teori dan Praktek, Bina Cipta, bandung, 1974 Severin, Tankard. Teori-teori komunikasi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005 Teew, A., Khasanah Sastra Indonesia (Ja-karta: Balai Pustaka, 1984)

Van Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993)

Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa Sebuah Analisis Media Televisi, RIneka Cipta, 1996

Jurnal :

Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi, Manajemen Krisis, Vol II/ Oktober 1998

Kusnadi (Maret 7, 1985) Kartun sebagai karya seni rupa. Kompas. p.12.

Websites :

Anwas, Oos M. /Antara Televisi, Anak dan Keluarga/. <http://www.pustekom.go.id/teknoAntaraTV.htm>./Antisocial Behavior /<http://www.ncjrs.org/htm/ojjdp/193409/page1.html>/Box Office Summary/<http://www.rottenmatoes.com/m/spongebob_squarepants_movie/n

umbers.php>

Kusuma, Retno G. /Psikologi Anak: Anak Terlalu Mengalah/. Balipost 6 Juli 2003. <http://cnt-ait.info/article.php3?id_article=615>

Lena. /TV: Guru Setia yang Ajarkan Anak Amoral, Borju dan Kekerasan/. 27 Juli 2004. http://www.eramoslem.com/br/fo/47/12057,1,v.html Mulyana, Deddy, & Ibrahim, Idi Subandy, 1997 Bercinta dengan televisi : ilusi, impresi, dan imaji sebuah kotak ajaib

Nurdiansyah, Rusdy. /Menggugat Film Kartun/. Republika 08 Mei 2005.<http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=196851&kat_id=306>/ ProsocialBehavior/http://www.learningtogive.org/papers/index2.asp?category =Concepts

Sastrapratedja, M. /Landasan Moral Etika Penelitian/. <http://lemlit.ugm.ac.id/warta/warta5/landasan_moral.html>/Social


(6)