1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit kronis yang terjadi di Indonesia setiap tahun semakin bertambah. Kondisi ini dapat dilihat dari banyaknya penduduk Indonesia yang meninggal
dunia akibat dari penyakit kronis itu sendiri. Stroke dikatakan sebagai penyebab kematian nomer tiga setelah penyakit jantung dan kanker. Angka kematian karena
stroke masih tinggi. Menurut estimasi World Health Organisation WHO, pada tahun 2008 ada 6,2 juta kematian karena stroke WHO, 2012. Berdasarkan data
yang diperoleh American Heart AssociationAmerican Stroke Association AHAASA dalam Heart Disease and Stroke Statistic-2012 Update,
menyebutkan bahwa setiap empat menit, terdapat satu orang yang meninggal karena stroke di Amerika Serikat pada tahun 2008 Roger,et.al, 2011.
Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi pada usia 45 tahun di Indonesia 15,4 dari seluruh kematian baik di Desa maupun di Perkotaan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2008. Menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, stroke merupakan penyebab pertama kematian
di Rumah Sakit Umum di seluruh Indonesia sebanyak 4.692 orang yang menderita stroke. Pada tahun 2006, jumlah pasien stroke yang rawat inap di seluruh Rumah
Sakit Indonesia sebanyak 44.365 orang dan yang meninggal sebanyak 8.878 orang. Jumlah pasien stroke yang ada di Bali sendiri menurut data rekam medik
pada RSUP Sanglah Denpasar, tercatat bahwa pada tahun 2012 jumlah penderita
stroke yang yang menjalani perawatan adalah 715 orang dimana bila dirata- ratakan terdapat 60 kasus perbulan, sedangkan pada tahun 2013 menjadi 565
orang. Stroke merupakan hasil dari proses aterosklerotik dan akibat dari penyakit
serebrovaskuler, seperti aterotrombosis, emboli, atau perdarahan intrakranial Udayana, 2010. Pasien stroke kebanyakan mengalami kondisi yang lemah dan
imobilisasi. Imobilisasi didefinisikan North American Nursing Diagnosis Association NANDA sebagai suatu keadaan dimana individu yang mengalami
atau beresiko mengalami keterbatasan gerakan fisik antara lain : lansia, individu dengan penyakit yang mengalami penurunan kesadaran lebih dari tiga hari atau
lebih, individu yang kehilangan fungsi anatomi akibat perubahan fisiologik kehilangan fungsi motorik, klien dengan stroke, klien pengguna kursi roda,
penggunaan alat eksternal seperti gips atau traksi, dan pembatasan gerakan volunter Potter, 2005.
Kondisi-kondisi yang menyebabkan imobilisasi antara lain fraktur, stroke, postoperasi dan pasien dimensia. Komplikasi dari imobilisasi adalah infeksi
saluran kemih, atrofi otot karena disused, konstipasi, infeksi paru, gangguan aliran darah, dan dekubitus. Beberapa studi yang diadakan pada beberapa negara, angka
kejadian dekubitus pada pasien stroke yang dirawat di rumah sakit dengan imobilisasi ada kecenderungan mengalami peningkatan, terutama pada pasien usia
lanjut dengan kasus ganggun neurologik. Berdasarkan hasil studi oleh Amstrong, H 2002 yang dilakukan di Amerika menunjukkan bahwa 3-10 pasien stroke
yang dirawat di rumah sakit dengan imobilisasi mengalami dekubitus.
Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan diri yang didefinisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah
dalam jangka waktu lebih dari enam jam Sabandar,2008. Penelitian yang dilakukan oleh Institute for Clinical System Improvement ICSI 2012,
ditemukan bahwa prevalensi dekubitus sangat tinggi di Indonesia bahkan di Dunia. Insiden dekubitus pada pasien stroke dengan imobilisasi di Indonesia
cukup tinggi yaitu sebesar 33,3, angka ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan insiden dekubitus di ASEAN yang hanya berkisar 2,1
– 3,1 Yusuf, 2011. Insiden terjadinya dekubitus sangat bervariasi dari jenis perawatan, tetapi
pada kasus secara umum dilaporkan bahwa 0,4 - 38 terjadi di perawatan akut, 2,2-23,9 pada perawatan jangka panjang dan 0-17 terjadi pada perawatan
di rumah. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 22 Oktober
– 22 November 2014 melalui observasi dan wawancara singkat dengan pasien dan
perawat di ruangan stroke rawat inap RSUP Sanglah, ditemukan bahwa pada tahun 2013 dan 2014 masih terdapat insiden terjadinya dekubitus. Insiden
dekubitus tersebut tidak dalam jumlah yang banyak, namun masih ditemukan. Terdapat 15 pasien stroke dengan dekubitus yang dirawat pada ruang Mawar
maupun Ruang Nagasari. Pasien ini nantinya akan dirawat dan dilakukan tindakan keperawatan untuk mencegah terjadinya dekubitus yang lebih luas. Berdasarkan
hasil wawancara dengan tujuh pasien, tiga pasien mengatakan mereka jarang mendapatkan pengaturan posisi seperti perubahan posisi, miring kiri dan kanan
yang dilakukan oleh perawat. Terdapat beberapa perawat yang melakukan perilaku caring untuk mencegah dekubitus seperti pengaturan posisi terhadap
pasien dan ada pula yang tidak melakukan. Ditemukan ada tiga orang perawat yang tidak melakukan perilaku caring dalam pencegahan dekubitus terhadap
pasien seperti posisi fowler, miring kiri dan kanan selama dua jam dan pencegahan dekubitus lainnya.
Pencegahan dekubitus merupakan prioritas dalam perawatan klien yang mengalami keterbatasan mobilisasi. Gangguan integritas kulit mungkin tidak
menjadi masalah bagi individu yang mampu melakukan mobilisasi dan sehat, tetapi bisa menjadi masalah yang serius dan berpotensi merusak pada klien sakit
atau tidak berdaya. Hampir 95 dekubitus dapat dicegah melalui tindakan keperawatan, sisanya kurang lebih 5 pasien imobilisasi tetap akan mengalami
dekubitus apabila tidak mendapatkan tindakan keperawatan. Tindakan keperawatan ini sebagian besar dilakukan pada pasien yang dirawat di rumah sakit
maupun di rumah. The Agency for Health Care Policy and Research AHPCR, 1994 dalam Potter Perry 2005.
Upaya pencegahan dekubitus perlu memperhatikan pengetahuan, sikap dan perilaku yang dimiliki oleh perawat Buss C, 2004. Salah satu faktor yang
berkaitan dengan pencegahan dekubitus adalah pengetahuan tentang pencegahan dekubitus, oleh karena itu hal tersebut harus dimiliki oleh perawat. Pengetahuan
seseorang erat kaitannya dengan perilaku yang akan diambilnya, karena dengan pengetahuan, seseorang akan memiliki alasan untuk menentukan pilihan.
Kekurangan pengetahuan tentang penyakit yang diderita akan mengakibatkan tidak terkendalinya proses perkembangan penyakit, termasuk deteksi dini adanya
komplikasi penyakit Palestin, 2006.
Penelitian yang dilakukan oleh Riezky Dwi 2012 menemukan bahwa pelayanan keperawatan yang profesional sebaiknya dilandasi oleh pendidikan
keperawatan. Perawat dengan pendidikan yang cukup baik akan melakukan praktik keperawatan yang efektif dan efisien yang selanjutnya akan menghasilkan
pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi. Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang. Riezky 2012
menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin baik pula tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang dan pengetahuan
merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pengambilan suatu keputusan serta domain penting dalam melakukan tindakan. Dalam hal ini
pengetahuan yang harus dimiliki perawat adalah pengetahuan untuk mencegah terjadinya dekubitus pada pasien stroke yang dirawat di Rumah Sakit.
Berbagai studi mengindikasikan bahwa perawat tidak memiliki informasi dan pengetahuan dalam kegiatan pencegahan dekubitus. Penelitian ini telah dilakukan
oleh Halfens dan Eggink 1999 dan menyebutkan bahwa sebagian besar perawat yang bekerja di Rumah Sakit Umum tidak mempunyai pengetahuan yang cukup
dalam memahami isi panduan penanganan dan pencegahan dekubitus. Selanjutnya Pieper Mott 1998 menemukan bahwa pengetahuan Registered Nurse tentang
dekubitus tidaklah tinggi hanya mencapai 36 dari total pertanyaan yang dijawab dengan benar KEMENKES, 2000.
Profesionalisme perawat diikuti oleh pengetahuan dan ketrampilan khusus yang meliputi keterampilan intelektual, teknikal, dan interpersonal yang
pelaksanaannya harus mencerminkan perilaku caring Dwidiyanti, 2007. Caring merupakan esensi dari keperawatan yang membedakan perawat dengan profesi
lain. Kemampuan caring perawat terhadap pasien memilih nilai-nilai perawatan yang mengubah keperawatan dari pekerjaan menjadi profesi yang lebih terhormat.
Caring tidak hanya mempraktikkan seni perawatan, memberi kasih sayang untuk meringankan penderitaan pasien dan keluarganya, meningkatkan kesehatan dan
martabat tetapi juga memperluas aktualisasi diri perawat Morrisoon Burnard, 19972009.
Perawat yang mempunyai kepedulian dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien di rumah sakit adalah perawat yang memiliki sikap caring. Hal ini
didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Potter dkk, 2006 bahwa caring adalah perhatian perawat dengan sepenuh hati terhadap pasien. Kepedulian,
empati, komunikasi yang lemah lembut dan rasa kasih sayang perawat terhadap pasien akan membentuk hubungan perawat dan klien yang terapeutik. Pencegahan
penyakit merupakan komponen penting dalam pelayanan kesehatan. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin meneliti hubungan tingkat
pengetahuan dengan perilaku caring perawat dalam pencegahan dekubitus pada pasien Stroke di RSUP Sanglah Denpasar.
1.2 Rumusan Masalah