Kepastian Hukum Sifat Hukum

81 hak yang berada pada sisi kepala dan hukum yang berada pada sisi ekor.

B. Sifat Hukum

1. Kepastian Hukum

Ilmu hukum adalah ilmu yang bersifat preskriptif. Ilmu yang bersifat preskriptif adalah ilmu yang menganjurkan bukan mengemukakan apa adanya. 12 Ilmu hukum memberikan anjuran atau mengharuskan dilakukannya hal-hal yang sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma tertentu. 13 Ilmu yang bersifat preskriptif disebut juga ilmu normatif. 14 Karena ilmu ini sarat dengan nilai sehingga ada juga yang menyebutnya ilmu yang bersifat prekriptif ini sebagai bagian dari kajian etika. 15 Ilmu ini adalah ilmu yang berhubungan dengan pengambilan keputusan. Dalam hal ini pengambil keputusan, apakah ia seorang akademis yang sedang membuat karya akademis berupa tesis, perancang aturan, hakim, lawyer, jaksa, petinggi agama, para tetua dalam hidup bermasyarakat. Mereka berpegang pada standar atau norma tertentu, apakah putusan yang ia ambil sudah sesuai dengan standar tertentu atau tidak. Jika telah 12 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Op.Cit., Hal. 6. 13 Ibid., Hal. 5. 14 Ibid., Hal. 6. 15 Ibid. memenuhi standar tersebut maka putusannya benar. Sebaliknya dalam hal putusan yang diambil tidak memenuhi unsur yang terdapat dalam standar tersebut, putasan itu tidak benar. Putusan tersebut berupa anjuran atau sesuatu yang seyogyanya dilakukan. 16 Sifat preskriptif dari putusan yang dihasilkan tidak digantungkan sepenuhnya pada penganbil peputusan akan tepapi pada pada apakan putusan tersebut sudah memenuhi standar normanya, dengan dimikian sifat mengharuskan bukan karena orannya tetapi pada kebenaran putusan tersebut yaitu kebenaran yang sifatnya koherensi. Robert C. Salomon mengemukakan kebenaran koherensi sebagai: “a statement or a belief is true if and only if ‘it cohers’ or ties with other statemen or belief” kebenarah koherensi untuk masalah-masalah dalam ruang lingkup moral atau yang mengandung nilai-nilai, bukan untuk sesutu yang sifatnya empiris kasat mata dan dapat diindra. 17 Seperti yang dilakuakn oleh Aristoteles yang berteori tanpa melakukan pengumpulan data mentah dan mengolah data tersebut. 18 Sebagai suatu ilmu, ilmu hukum masuk ilmu hukum masuk dalam ilmu yang besifat preskriptif, 16 Ibid. 17 Ibid., Hal. 7. 18 Ibid., Hal. 2. 83 artinya membawa atau sarat nilai. Ilmu hukum bersifat menganjurkan tidak sekedar mengemukakan apa adanya. Ilmu hukum mempelajari tindakan atau perbuatan act yang berkaitan dengan norma dan prinsip hukum. 19 Sifat hukum adalah normatif. Demikian juga kata normatif adalah unsur yang pasti melekat pada hukum dalam setiap bentuk dan perwujudannya. Dapat dikatakan bahwa normatif adalah pengertian hukum. Gagasan hukum sebagai normatif karena hukum berbicara pada tataran keharusan, yang mana harus dibedakan dengan apa yang terjadi pada faktanya. Sebagaimana pemahaman yang digagas oleh Imanuel Kant yang dikutip dalam Theo Huijbers sebagai berikut: Gagasan fundamental yang berasal dari Kant, yakni tentang perbedaan antara apa yang ada fakta das Sein dan apa yang seharusnya norma-das Sollen. Kant menjelaskan bahwa sesuatu yang ada tidak dapat dipersamakan dengan apa yang seharusnya, sehingga apa yang ada tidak bisa dipandang sebagai bersifat normatif. Kalau umpamanya orang-orang biasanya saling menghormati fakta, itu tidak berarti memang harus begitu. Seandainya saya mau menerima konsekuensi ini sebagai benar, saya harus menerima juga bahwa orang harus saling membunuh, bila mereka sudah biasa saling membunuh. Dalam hal ini umumnya tidak diterima. Pendek kata: apa yang ada lain daripada apa yang seharusnya; fakta adalah fakta, bukan norma. 20 19 Ibid., Hal. 9-10. 20 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 45. Fakta bukan norma hal ini juga berlaku terhadap peraturan sebagai produk kekuasaan. Bahwa peraturan tertulis sebagai produk kekuasaan yang telah melewati proses politik yang rumit dan sarat akan kepentingan pada akhirnya mengatur hal-hal yang bertentangan dengan hukum, namun tetap dapat dipaksakan dengan kekuasaan. Dapat dikatakan bahwa peraturan juga fakta, belum tentu memberikan keharusan. Maka dari itu sifat kepastian hukum dalam artian positivisme tidak dapat dipertahankan secara mutlak sebagaimana dikatakan oleh Sudikno bahwa: Oleh karena itu kita boleh berkata bahwa kepastian yang semu dulu, yang didasarkan atas naskah yang selalu sedikit banyak kebetulan, digantikan oleh kepastian dalam tingkat yang lebih tinggi, kepastian yang ditimbulkan dengan mengusahakan kepatutan. Kepastian yang dulu diberikan oleh kata-kata telah digantikan oleh kepastian yang diberikan oleh keadilan. 21 Sifat hukum bukan kekuasaan. Harus diselesaikan dulu bahwa hukum dan kekuasaan atau negara adalah dua hal yang berbeda eksistensi hukum tidak bergantung pada kekuasaan atau negara namun pada nilai kemanusiaan yang sifatnya universal yaitu keadilan. Pandangan yang berkembang dalam pemikiran hukum moderen bahwa kaidah hukum adalah kaidah-kaidah yang dalam penerapannya ditunjang oleh suatu kekuasaan. 22 Pandangan 21 Sudikno Mertokusumo dan Pilto A., Op.Cit., Hlm. 126. 22 Rianto Adi, Sosiologi Hukum: Kajian Hukum Secara Sosiologis, Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2012, Hlm. 2 85 demikian menekankan bahwa eksistensi hukum terletak pada kekuasaan. Eksistensi hukum tidak bergantung pada kekuasaan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab II mengenai tataran hukum bahwa predikat hukum diberikan oleh keadilan jadi tanpa kekuasaan hukum tatap saja hukum. Sebaliknya kekuasaan tanpa hukum adalah kesewenang-wenangan. Berbicara sanksi pasti berbicara kekuasaan karena sanksi dan kekuasaan adalah dua hal yang selalu hadir bersamaan, sanksi tanpa kekuasaan adalah tidak mungkin, karena sifatnya adalah tindakan paksaan terhadap pihak lain yang melakukan pelanggaran hukum oleh karena itu sanksi harus dipertahankan dengan kekuasaan power. Sanksi tanpa hukum dalam artian diberlakukan semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan dan kehendak penguasa belaka adalah perampokan maka dari itu tetap saja kejahatan. Hukum tanpa lembaga paksa atau sanksi tetap hukum. Hukum pada dasarnya tanpa adanya paksaan di dalamnya tetap saja tatap saja dapat dikatakan hukum, selama di dalamnya mengandung nila-nilai dari norma atau kaidah. Hukum dengan pemahaman seperti ini pada dasarnya tidak usah dipaksakan. Sifat hukum adalah normatif. Hans Kelsen yang menerangkan bahwa hukum merupakan kaidah yang berada di ranah keharusan atau tentang apa yang seharusnya bukan apa yang terjadi, seorang yang membeli barang seharusnya membayar, persoalan pada prakteknya si pembeli membayar atau tidak, hal tersebut merupakan persoalan lain di luar hukum. 23 Mengenai sifat normatif hukum Theo Huijbers menerangkan demikian: Bila hukum diakui sebagai normatif, diakui bahwa hukum itu mewajibkan, bahwa hukum harus ditaati. Ketaatan itu tidak dapat disamakan dengan ketaatan terhadap perintah Austin. Hukum ditaati, bukan karena terdapat suatu kekuasaan di belakangnya, melainkan karena mewajibkan itu termasuk hakikat hukum sendiri. 24 Hakekat hukum adalah terdapat pada sifatnya yang normatifnya karenanya memang setiap orang merasa berkewajiban untuk mentaatinya sebagai sebuah norma dan sifat tersebut tidak akan hilang bilamana pada prakteknya manusia tidak mentaatinya. Demikian lanjut Theo Huijbers: Pada hakikatnya hukum adalah norma yang mewajibkan. Hal ini jelas, sebab apabila suatu pemerintah tidak berhasil mengefektifkan suatu peraturan ump. tentang pajak, sehingga peraturan itu kurang ditaati, kekuatan peraturan tersebut sebagai norma tidak hilang. Bahkan para tokoh neopsitivisme abad ini a.l. Hart menerima, bahwa salah satu unsur hakiki dari hukum adalah bahwa hukum bersifat normatif dan karenanya mewajibkan. 25 Tidak benar kalau dikatakan hukum itu dipaksakan, pendapat yang benar adalah hukum itu dipatuhi. Kenapa hukum itu dipatuhi, bukan 23 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, Hlm. 61. 24 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 46. 25 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 46. 87 dipaksakan, karena tuntutan yang diberikan oleh hukum adalah berdasarkan rasional manusia dimana hukum menghendaki sesuatu yang baik dan mulia terjadi dalam kehidupan manusia, dengan tuntutan seperti ini manusia tidak memerlukan paksaan untuk tunduk terhadap hukum. Pemahaman yang tepat dalam mengambarkan sikap manusia terhadap hukum adalah Kepatuhan terhadap hukum bukan ketakutan terhadap hukum. Hukum senantiasa dapat ditemukan dalam aturan hukum, norma hukum dan asas hukum dengan demikian dapat dikatakan hal inilah yang menjadi kepastian hukum yang sesungguhnya.

2. Kepastian Hukum dan Sanksi