Kepastian Hukum dan Sanksi

87 dipaksakan, karena tuntutan yang diberikan oleh hukum adalah berdasarkan rasional manusia dimana hukum menghendaki sesuatu yang baik dan mulia terjadi dalam kehidupan manusia, dengan tuntutan seperti ini manusia tidak memerlukan paksaan untuk tunduk terhadap hukum. Pemahaman yang tepat dalam mengambarkan sikap manusia terhadap hukum adalah Kepatuhan terhadap hukum bukan ketakutan terhadap hukum. Hukum senantiasa dapat ditemukan dalam aturan hukum, norma hukum dan asas hukum dengan demikian dapat dikatakan hal inilah yang menjadi kepastian hukum yang sesungguhnya.

2. Kepastian Hukum dan Sanksi

Bukan karena peraturan tersebut memiliki sanksi sehingga dapat disebut sebagai hukum akan tetapi predikat hukum didapatkan karena peraturan tersebut berdasarkan hukum, maksud berdasarkan hukum di sini adalah dalam artian ketika peraturan tersebut jika dirunut ke atas materi muatan atau substansinya akan berpangkal pada asas hukum. Aturan yang di dalamnya berisikan norma yang berpangkal pada asas hukumlah yang kemudian memiliki predikat sebagai hukum sehingga di dalamnya dimuat adanya sanksi, sebenarnya sanksi tersebut adalah bentuk dari atau tuntutan dari penegakan hukum, karena aturan hukum didesain sedemikian rupa untuk sebuah peristiwa tertentu sehingga aturan tersebut juga harus didesain untuk dapat diterapkan maka dari itu dilekatkanlah sanksi di dalamnya. Keberadaan sanksi dalam aturan hukum sebenarnya adalah mempertegas bahwa ada nilai, ada kebenaran atau ada hukum yang memang layak untuk dipertahankan dan harus dipertahankan yang diatur dalam aturan hukum, karena jika tidak demikian maka sanksi sama dengan kesewenang-wenangan yang membabi buta. Jadi penanda predikat hukum dalam aturan hukum adalah bukan karena ada sanksinya tetapi karena nilai yang dipertahankan oleh aturan tersebut. Pemahaman di atas sangat ditentang oleh pendangan positivistik yang berargumen bahwa jika sifat hukum yang tanpa sanksi dipertahankan maka hukum yang seperti ini tidak dapat diterapkan. Istilah Positivisme Hukum lahir pada abad ke 19 pertamakali digunakan oleh Henry Saint Simon 1760- 1825 yang kemudian dikembangkan oleh Aguste Comte 1798-1857 dan berkembang di Eropa kontinental khususnya di Perancis 26 . Latar belakang lahirnya pemikiran positivisme hukum adalah sebagai reaksi terhadap pemikiran aliran hukum alam, dimana aliran positivisme hukum secara tegas membedakan 26 Otje Salman dan Anthoni F. Susanto, Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan, Dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2013, Hlm. 79. 89 antara hukum dan moralitas. 27 Selanjutnya menurut positivisme hukum bahwa tidak ada hukum lain selain hukum positif, hukum harus memenuhi beberapa unsur yaitu. Adanya perintah command, kewajiban duty, sanksi, dan kedaulatan. 28 Positivisme hukum dibangun atas dasar bahwa ilmu pengetahuan merupakan satu-satunya pengetahuan ilmiah dan menolak setiap pertanggungjawaban yang melampaui batas fakta empiris. Penekanan positivisme hukum adalah pada bentuk hukum itu sendiri yaitu dapat ditangkap oleh indra yaitu hukum tertulis atau yang kita kenal dengan sebutan peraturan perundang- undangan sekaligus menolak hal-hal yang berbau metafisik atau sebagaimana dianut dalam paham hukum alam. 29 Sehingga sifat kelimuannya hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup close logical system bahwa ilmu hukum jurisprudence hanya dipandang sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri, tanpa memperhatikan kebaikan dan keburukannya. Adalah John Austin yang merupakan salah satu pelopor pemikiran positivisme hukum dengan teori pemahamannya bahwa hukum adalah perintah 27 Munir Fuadi, Teori-Teori Grand Theory Dalam Hukum, Op.Cit., Hlm. 67. 28 A. Mukthie Fadjar, Teori Hukum Kontemporer Edisi Revisi, Setara Press, Malang, 2013.Hlm.10. 29 Otje Salman dan Anthoni F. Susanto, Op.Cit., Hlm. 80. penguasa. 30 Menurut Austin hukum di dalamnya mengandung suatu perintah, sanksi dan kedaualatan. Menurut Austin dalam perintah tersebut terkandung tiga unsur yaitu, pertama: bahwa suatu pihak menghendaki bahwa orang lain melakukan kehendaknya, kedua: pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah itu tidak ditaati, ketiga: bahwa perintah tersebut adalah pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah, dan yang ke empat: menderitakan pihak yang tidak taat hanya dapat terlaksana jika yang memberikan perintah adalah pihak yang berdaulat. 31 Bahwa : Tidak penting mengapa orang mentaati perintah- perintah pemerintah. Ada orang yang mentaati karena merasa berwajib mentaati kepentingan umum, ada yang mentaati sebab takut akan kekacauan, ada yang mentaati sebab merasa terpaksa. Sama saja, asal mentaati. Kalau tidak, dijatuhkan sanksi. 32 Demikian dari pemahamannya di atas dapat dikatakan Austin memandang bahwa aspek normatif dari hukum adalah merujuk pada aturan-aturan tingkahlaku yang mengatur perbuatan manusia secara lahiriah belaka. 33 Kaidah hukum harus mengandung sanksi yang teratur dan rapi dan pasti dan dijalankan oleh badan untuk melaksanakannya. 34 Manusia tidak 30 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, Hlm. 58. 31 Ibid., Hlm. 59. 32 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 41. 33 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum , Kencana Prenanda Media Group, Jakarta, 2009, Hlm. 6. 34 Rianto Adi, Sosiologi Hukum: Kajian Hukum Secara Sosiologis, Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2012, Hlm. 2 91 perlu berfikir, hanya perlu patuh dan melaksanakan apa perintah hukum terlepas ia suka atau tidak suka, apakah ia melakukannya dengan tertekan atau tidak, karena yang terpenting adalah manusia mentaati hukum. Hukum harus dapat diterapkan maka dari itu hukum harus memiliki sanksi, Sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Raharjo bahwa: “Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Hukum tidak dapat lagi disebut sebagai hukum, apabila hukum tidak pernah dilaksanakan.” 35 Pandangan tersebut berhubungan sangat dipengaruhi dengan eksistensi hukum sebagai sebuah ilmu, bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang sosial yang bersifat empirik dengan metode pembenarannya adalah korespondensi. Demikian bahwa hukum harus berkorespondensi dengan fakta. Sehingga jika hukum tidak dapat diterapkan maka hukum tersebut tidak memiliki kesesuaian dengan fakta maka hukum tersebut bukanlah hukum. 36 Agar hukum dapat diterapkan hukum harus dipaksakan, paksaan tersebut adalah sanksi. Ketika dalam hukum diletakkan dengan 35 Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, Hlm. 1. 36 Hukum tidak berkorespondensi dengan fakta. karena eksistensi hukum Ilmu hukum adalah sebuàh Ilmu karena hukum memiliki standar Ilmiahnya sendiri dimana metode yang digunakan adalah Deduktif yang bawaannya Preskriptif atau sarat nilai karena ilmu hukum bersifat menganjurkan tidak hanya sekedar mengemukakan apa adanya deskriptif sebagaimana di ilmu sosial atau ilmu alam. Dengan kebenaran dalam kerangka keilmuan Ilmu Hukum adalah kebenaran koherensi. Dalam artian sesuatu dapat disebut hukum dilihat dari koherensinya dengan kaidah dan asas hukum bukan dengan fakta. sanksi bagi siapa pun yang melanggarnya maka dengan demikian hukum dapat diberlakukan atau dengan kata lain memiliki kepastian. Sanksi ada sebagai tuntutan kepastian hukum dalam pengertian positivisme hukum. Pandangan positivisme hukum membawa postulat bahwa hanya perintah satu-satunya unsur mutlak dari hukum Hukum Positif adalah dibuat oleh penguasa, tidak penting bagaimana isinya apakah adil atau tidak keadilan yang ditekankan adalah keadilan prosedural, jadi hukum yang tidak adil dan semena-mena dan menindas rakyat tatap saja dapat dipaksakan sebagai hukum.

C. Hukum dan Sanksi