65
paling otoritatif dalam menentukan bentuk dan kualitas hadits. Seyogyanya semua kitab hadits harus dipetakan layaknya seperti kitab fiqh dalam dua dimensi sakral dan profan.
91
Belenggu sakralisasi hadits terbentuk disebabkan oleh semangat ulama hadits berkompetisi untuk menyusun kitab-kitab hadits yang
diharapkan menjadi rujukan utama umat Islam. Segala hal menyangkut tentang kitab hadits yang mereka susun terkesan menjadi sakral. Bila diperhatikan sesama ulama hadits terkadang saling melemahkan
argumen masing-masing terhadap penilaian suatu hadits. Dengan demikian, sebenarnya kegiatan periwayatan hadits harus juga disamakan dengan kegiatan berijtihad di dalam fiqh yang bersifat dinamis.
Kajian fiqh yang sangat terkait dengan hadits tentunya akan berkembang pesat bila fuqaha diberi kebebasan dalam menentukan hadits-hadits yang terdapat di dalam kitab-kitab hadits yang ada tak
terkecuali di luar al-Kutub as-Sittah. Berbeda dengan di Syiah, ulama mereka diberi peluang yang lebih besar dalam menentukan hadits-hadits yang telah dikumpulkan dalam suatu kompilasi besar. Masyarakat
Muslim Syiah hampir tidak kehilangan semangat ijtihad disebabkan oleh ulama dari masa ke masa diberi hak yang besar untuk menentukan kualitas hadits yang dipakai dalam berijtihad. Struktur kitab-kitab
hadits di dalam Muslim Sunni seakan tidak ada ruang bagi umat Islam belakangan untuk melakukan ijtihad terhadap hadits-hadits tersebut.
92
Kitab-kitab hadits Muslim Sunni walaupun terkesan agak praktis dan sistematis, tetapi cenderung membuat taqlid bagi umat Islam yang hidup setelah masa kodifikasi hadits.
93
Lazimnya pembahasan fiqh yang menitikberatkan aspek perbuatan mukallaf sebagai objek kajiannya masih kurang mengakomodir kebutuhan fiqh saat ini. Di dalam sejarah, Islam yang tidak pernah
membebani umat Islam dengan pajak setelah membayar zakat harus mendapat perhatian serius. Efektivitas zakat sebagai instrumen keuangan di dalam Islam yang bukan saja dapat dimanfaatkan dalam
konteks sosial maupun profit.
94
Saat ini, hampir setiap kegiatan ekonomi selalu dikenakan pajak di sisi lain Islam tidak mengenal istilah pajak bagi umat Islam kecuali zakat.
95
Dari mulai masa Nabi Muhammad Saw. dilanjutkan pada masa sahabat sampai masa pemerintahan Turki Utsmani yang berakhir pada tahun 1926
M hanya membebankan pajak kepada orang-orang non-Muslim. Umat Islam yang sudah dikenakan zakat mulai dari zakat fitrah, emas perak ataupun perdagangan tidak dikenakan pajak lagi karena akan
memberatkan umat Islam dengan beban ganda.
96
Kejadian ini sudah berlangsung sejak lama, hal ini tentunya akan menyulitkan umat Islam dalam berkompetisi di sektor ekonomi karena dana yang bisa
digunakan sebagai modal usaha tergerus disebabkan oleh beban ganda membayar pajak sekaligus harus membayar zakat.
Pentingnya zakat atau pajak bagi negara merupakan hal yang tak terbantahkan sehingga seorang Abu Bakr khalifah pertama pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw. langsung memerangi orang-orang yang
enggan membayar zakat. Alasan untuk memerangi orang-orang yang mengakui sebagai Nabi bukan alasan utama karena sejak zaman Nabi Muhammad Saw. hal tersebut sudah terjadi. Penolakan orang untuk
membayar zakat secara massal tentunya akan mengganggu roda pemerintahan secara langsung maka langkah memerangi kelompok pembangkang ini dilakukan untuk menghindari runtuhnya perekonomian
negara. Urgensi pajak dan zakat terhadap penerimaan di banyak negara khususnya Indonesia tidak dapat diragukan lagi. Namun, dalam pelaksanaannya bagi umat Islam terkesan tidak adil. Walaupun di Indonesia
sudah diundangkan UU tentang zakat pada 2000, tetapi sampai saat ini tidak diwujudkan karena peraturan pemerintah tentang pelaksanaannya tidak kunjung turun sampai tahun 2013 ini.
97
Seharusnya pajak yang dibayarkan kepada negara dihitung sebagai zakat sehingga apabila ada selisihnya, maka akan menjadi sisa
untuk membayar zakat harta. Dengan demikian, beban ganda yang selama ini dirasakan akan dapat diminimalisir secara signifikan.
B. Fiqh, Refleksi Nilai Transendental Aplikatif
Hukum-hukum fiqh tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan agama Islam, karena sebenarnya Islam merupakan himpunan dari akidah, akhlak, dan hukum muamalah. Karena fiqh terus berkembang menurut
66
perkembangan zaman maka konsekuensinya penetapan hukum sesuatu tidaklah sama antara masa yang satu dengan yang lainnya.
98
Sebenarnya, fiqh adalah hasil ijtihad ulama yang mereka merujuk pada dua sumber nas di atas, akan tetapi dalam praktiknya kalangan umat Islam sering sekali menganggap bahwa
fiqh itu identik dengan syariat. Dampaknya menutup pintu ijtihad terhadap masalah-masalah yang berkembang.
99
Ushul fiqh menjelaskan secara mendetail indikasi-indikasi dan metode-metode yang diimplimentasikan dalam ilmu fiqh secara deduksi yang berasal dari sumber hukum al-
Qur’an dan hadits.
100
Di dalam nas, sedikit sekali metodologi dalam menetapkan sesuatu hukum secara aplikatif. Akan tetapi, indikasi yang terkandung dalam nas tersebut cukup banyak yang menimbulkan konsekuensi dalam
penetapan hukum yang berbeda. Walaupun tidak sedikit yang menghasilkan produk hukum yang sama Karena mujtahid menggunakan metode penetapan hukum yang berbeda pula.
Ulama ushul telah menetapkan metodologi yang mereka pakai dalam menganalisis suatu hukum, seperti metode al-qiyâs, istihsân, istishâb, dan maslaha al-mursalah. Dalam pengembangan ilmu ushul
fiqh ini sangat diperlukan penafsiran-penafsiran terhadap nas, sehingga pada tahap berikutnya mengeksplorasikan terhadap kandungan nas, baik itu yang bersifat umum maupun khusus, haqîqî ataupun
majâzi. Semua itu merupakan pembahasan ilmu ushul fiqh, ketika ilmu ushul fiqh memasuki wilayah aplikasi hukum bagi mukallaf maka akan berubah menjadi fiqh.
Di masa pemerintahan Umar, wilayah Islam telah bertambah luas yang menyebabkan tersebarnya sahabat dan tabi‘in ke berbagai kota untuk menjadi hakim maupun mufti. Masyarakat setempat belajar
kepada sahabat tentang agama dan cara memahami al- Qur’an dan hadits. Ketika permasalahan yang
timbul makin kompleks dan tidak ada penjelasan secara eksplisit dalam nas mau tak mau menimbulkan berbagai pemahaman terhadap nas itu sendiri. Begitu juga hal yang terjadi pada masa pemerintahan
Dinasti Umayyah dipaparkan tentang dinamika transmisi ilmu dari satu ulama ke ulama lainnya.
101
Secara umum, mazhab- mazhab dalam Islam terbagi kepada dua bagian, yaitu; ahli ra‘yun dan ahli
hadits.
102
Perbedaan itu bermula dari segi kasuistik. Akibat sangat kuatnya karakter ini, maka sudah tidak aneh lagi kalau mendengar pernyataan bahwa fiqh cenderung juz‘iyyah. Pergumulan fiqh selalu berawal
dari kasus untuk kemudian mencari status hukumnya dengan jalan qiyas pada kasus lain yang telah ditentukan dalam nas. Inilah proses pelacakan hukum yang diterima oleh semua mazhab. Kemudian
karena sulitnya melaksanakan prosedur baku ini maka ditawarkan modus penyangga, seperti istihsân Imam Abu Hanifa, istishâb
Imam Syafi‘i, atau Maslaha al-Mursalah dari Imam Malik. Seperti dalam
hierarki hukum Islam yang ditawarkan Imam Syafi‘i mewakili logika pemikiran fiqh yang disebutkan di atas. Baginya, setelah al-
Qur’an dan hadits tidak ada otoritas lain kecuali ijtihad, yang tak lain adalah qiyas.
103
Menurut Imam Ahmad ibn Hanbal, secara teoretik qiyas memang prosedur yang bisa dipertanggungjawabkan, akan tetapi secara historik tidak benar-benar diperlukan. Seperti diketahui,
berbeda dengan ketiga imam mazhab lainnya, dia hidup pada zaman hampir semua kebutuhan akan nas hadits yang diperlukan oleh fuqaha pada zaman itu telah tersedia. Di samping itu, tokoh yang terakhir ini
cenderung menjadi pemerhati hadits ketimbang hukum.
Pendekatan hukum Islam sering kali berawal dari pendekatan kasus per kasus sehingga hanya menangani kasus secara mikro saja dan mengabaikan penanganan masalah-masalah yang strategis yang
lebih komprehensif.
104
Tidak salah kalau hukum Islam memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan mikro, akan tetapi menjadi salah besar bila melupakan persoalan yang makro.
105
Dalam acuan norma hukum menurut kaca mata Islam ialah kemaslahatan atau keadilan sebagai tujuan syariat.
106
Aspek hukum muncul dalam Islam dari kedudukannya sebagai sistem nilai. Hukum pada dasarnya adalah formalisasi dari nilai-nilai yang terkandung yang bersumber dalam ajaran Islam, yaitu al-
67
Qur’an dan hadits. Kategori formal nilai-nilai itu melalui upaya mujtahid dibakukan menjadi diktum hukum dalam Islam.
107
Dengan demikian, kiranya jelas bahwa fundamental dari norma hukum Islam adalah kemaslahatan yang secara universal, atau dalam ungkapan yang lebih operasional sebagai keadilan sosial. Tawaran ijtihad
apa pun dan bagaimanapun, baik itu didukung nas secara eksplisit ataupun tidak yang bisa menjamin terwujudnya kemaslahatan kemanusiaan, dalam kaca mata Islam adalah sah. Dengan paradigma di atas,
maka kaidah yang selama ini dipegang dalam fiqh yang berbunyi:”Apabila suatu hadits teks ajarannya telah dibuktikan keaslihannya, maka itu mazhabku.”
108
Perlu ditinjau kembali kaedah ini, karena kaedah inilah yang secara sistematis yang menggerakkan pergolakan pemikiran di bidang fiqh sehingga dalam praktiknya di kalangan umat Islam lebih
mengutamakan budaya harfiyah nas ketimbang kandungan substansinya.
109
Juga lebih mengutamakan hukum legal formalnya dibandingkan kemaslahatan hukum itu sendiri.
Dengan tawaran penekanan aspek substansi hukum, kemaslahatan dan keadilan akan lebih bisa diimplementasikan dan bukan berarti aspek formal ataupun tekstualnya harus diabaikan. Ketentuan legal
formal-tekstual yang sah, bagaimana pun harus menjadi acuan tingkah laku manusia dalam kehidupan bersama, kalau tidak ingin anarki. Akan tetapi, pada saat yang sama harus disadari sedalam-dalamnya
bahwa standard legal-formal dan tekstual hanya cita-cita kemaslahatan, keadilan itu diaktualisasikan di dalam kehidupan ini.
110
Ini berarti bahwa ketentuan formal-tekstual dalam norma hukum, walaupun datang dari sumber manapun harus terbuka atau kalau perlu diubah dan diperbaharui sesuai dengan tuntutan
kemaslahatan cita-cita keadilan di dalam hukum itu sendiri. Apabila jalan pikiran tadi disepakati, maka secara mendasar pun perlu meninjau kembali pemahaman
terhadap konsep ushul fiqh tentang qath‘î atau zanni ijtihad dalam hukum Islam. Pengertian qath‘î di
dalam hukum Islam sesuatu makna harfiahnya “sebagai sesuatu yang bersifat pasti adalah prinsip fundamental
nya,” yaitu nilai kemaslahatan atau keadilan itu sendiri. Sementara itu, yang masuk kategori zanni atau yang tidak pasti dan bisa diubah-ubah adalah keseluruhan batang tubuh atau teks. Ketentuan
normatif yang dimaksud dalam hal ini ialah sebagai upaya untuk menerjemahkan yang qath‘î nilai
kemaslahatan dan keadilan dalam kehidupan nyata. Kalau dikatakan ijtihad hanya bisa dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat zanni dan tidak pernah terhadap hal-hal yang bersifat
qath‘î.
111
Ada banyak macam sinonim dari etika itu sendiri dalam kajian bahasa seperti akhlak, sopan santun, adab, dan lain-lain. Walaupun dalam praktiknya ada sebagian dari sinonim tadi bersifat lokal, tetapi bukan
itu yang dimaksud di sini. Akan tetapi, nilai-nilai universal yang sudah dianggap baku oleh manusia. Karena itu, standard di atas harus menjadi pedoman dalam mempraktikkan ajaran-ajaran nas. Akan tetapi, yang
paling terpenting dari etika adalah yang terkandung di dalam hukum itu sendiri, karena Islam mengandung sinkronisasi antara hubungan manusia dengan Allah atau manusia dengan manusia bahkan
dengan lingkungan sekitarnya.
112
Bahasa al- Qur’an mengenai hukum sering mengandung pesan etika atau akhlak di dalamnya, tetapi
dalam kenyataannya konsep akhlak menurut al- Qur’an lebih luas dari konsep etika yang selama ini
dipahami. Konsep etika secara umum hanya mengatur pada tingkat hubungan kepada sesama manusia dan lingkungan sekitarnya. Akhlak menurut konsep al-
Qur’an juga mengatur transendental. Menurut aliran intuition, pemikiran tentang etika itu hanya terletak pada tataran konsep saja bukan pada tingkat
aplikatif.
113
Menurut pemahaman hedonism, akhlak mempunyai pengaruh yang besar dalam praktik hidup, karena itu teori ini mengatasi tujuan hidup dua macam, yaitu kebahagiaan individu dan kebahagiaan
masyarakat. Menurut paham evolution, ilmu etika tidak mempunyai nilai praktik yang besar, tetapi karena aktivitas manusia makin lama makin berkembang maka tidak dapat dihindari adanya aturan-aturan yang
berlaku di samping hukum legal.
68
Secara normatif, tidak ada sedikitpun perbedaan di kalangan ulama bahwa nas yang diturunkan kepada manusia memiliki kemaslahatan.
114
Akan tetapi, kemaslahatan itu juga mengandung nilai temporal dan permanen, yang menjadi masalah bagaimana menentukan suatu kemaslahatan tersebut memiliki nilai
temporal ataupun permanen. Hukum yang terkandung di dalam al- Qur’an yang merupakan rujukan utama
umat Islam dalam berhukum mengandung nilai kemaslahatan temporal dan permanen. Hal tersebut dapat dibuktikan hukum-hukum yang tertera di dalam al-
Qur’an sangat efektif dalam memberikan solusi hukum pada masa Nabi Muhammad Saw. Setelah itu, bahkan seorang Umar ibn al-Khattab sendiri melakukan
ijtihad kembali terhadap beberapa hukum yang tertera di dalam nas. Artinya, memang ada hukum yang terdapat di dalam al-
Qur’an yang mengandung kemaslahatan temporal. Alangkah naifnya bila sebagian orang yang memiliki semangat fanatik semu terhadap nas menganggap seakan seperti makanan siap saji.
Sulitnya keluar dari jebakan fanatisme buta terhadap nas dengan kenyataan banyak dari lafaz-lafaz yang terdapat di dalam nas diperlukan reinterpretasi indikasi kandungan kemaslahatan temporal dan
permanen.
Dapat dipahami langkah Mu‘tazilah yang memposisikan al-Qur’an sebagai makhluk adalah untuk lebih memudahkan memahami kemaslahatan yang terkandung di dalamnya. Kebebasan untuk
menafsirkan makna di dalamnya dapat menggali pesan-pesan moral yang tersembunyi di dalamnya.
115
Ketika al- Qur’an diposisikan sebagai makhluk maka akan memiliki efek domino yang luar biasa dalam
memahami konsep maslahat yang terkandung di dalamnya. Bukankah sejarah membuktikan penghormatan semu yang menganggap al-
Qur’an sebagai kalamullah tidak membuat makin bergairah. Ijtihad di dunia Islam dari tahun ke tahun bersifat stagnan, bila tidak ingin mengatakan mundur.
116
Dengan menganggap al-
Qur’an sebagai kalamullah akan membuat jarak antara manusia dengan al-Qur’an itu sendiri sehingga membuat kajian terhadapnya makin melangit tidak membumi
Permasalahannya yang timbul bila al- Qur’an diasumsikan sebagai makhluk maka akan menimbulkan
dampak relativitas di dalam nas dalam arti tidak ada lagi lafaz dan makna yang qath‘î. Hal tersebut
dikhawatirkan bisa menafsirkan makna nas sesuka hati, padahal nas juga sudah menjamin bahwa tidak mungkin umat Islam bersepakat dalam hal kesesatan. Harus diakui tataran nilai kebajikan dapat dilihat
dari sisi lokal maupun universal. Terkadang permasalahan yang timbul memaksakan nilai lokal menjadi nilai universal atau sebaliknya menghambat penerapan nilai universal. Hukum potong tangan bagi pencuri
yang terdapat di dalam nas menunjukkan penerapan nilai lokal yang cocok pada konteks masa itu. Dalam arti penerapan hukum potong tangan bukan gambaran dari bentuk hukum universal bagi seorang pencuri,
kalau ada negara yang tetap konsisten dalam penerapan hukum tersebut bukan berarti harus diejewantahkan di tempat lain.
117
Agak miris melihat kenyataan melihat umat Islam mengalami kesulitan dalam merumuskan hukum yang mengatur perilaku masyarakat Muslim. Klaim kesempurnaan nas al-
Qur’an dan hadits membuat umat Islam yakin bahwa segala persoalan hidup akan bisa dijawab di dalam nas. Sementara masyarakat di
luar Islam yang mengakui kitab suci mereka hanya memuat hal yang berkaitan dengan teologi lebih kreatif dalam merumuskan hukum yang lebih sophisticated. Kesempurnaan nas sebenarnya berada dalam tataran
general yang dapat memberikan inspirasi terciptanya pemahaman-pemahaman baru dampak dari perkembangan zaman. Di sisi lain, umat Islam sepertinya mengharapkan nas sebagai suatu sumber hukum
layaknya undang-undang yang dibuat oleh parlemen yang dapat menjelaskan secara spesifik terhadap persoalan yang ada. Pola hukum Islam yang termuat di dalam teks nas memiliki variasi hukum, baik itu
bersifat permanen yang menyangkut rukun iman dan rukun Islam, sementara mekanisne hukum itu bersifat fluktuatif.
Islam sebagai ajaran sangat berbeda dengan agama-agama samawi lainnya apalagi dengan agama non-samawi karena sejak awalnya berusaha mengatur aktivitas kemanusiaan dan harus memiliki nilai
transendental.
118
Konsep syariat tidak hanya mengatur masalah yang berkaitan dengan teologi juga aspek-
69
aspek yang berhubungan dengan inter-relasi sesama manusia.
119
Konsep idealis syariat Islam yang mengatur segala aspek inter-relasi sesama manusia idealnya hanya terjadi pada masa Nabi Muhammad
Saw. dan Khulafaur Rasyidin saja, setelah itu kerancuan konsep syariat mulai terjadi. Syariat yang idealnya mengatur perilaku masyarakat secara keseluruhan, tetapi digunakan tidak balance karena hanya ditujukan
kepada masyarakat demi terciptanya kepatuhan sosial. Aturan hanya dibuat untuk masyarakat bukan untuk penguasa sehingga tidak ada aturan yang jelas mengawasi segala tindak tanduk dalam memerintah.
Syariat yang dipahami selama berabad-abad mengembangkan konsep teokrasi yang di dalamnya mengandung hidden agenda menjadikan simbol penguasa adalah penghubung antara nilai-nilai profan
dan transendental yang terkandung di dalam syariat. Wilayah internal kekuasaan yang dipegang oleh khalifah atau sultan tidak bisa disamakan dengan rakyat secara umum karena memiliki privilege.
Nilai transendental yang terdapat di dalam suatu keyakinan di dalam masyarakat dimanifestasikan dalam bentuk anthropomorphism yang berkembang di dalam masyarakat.
120
Sejarah agama Kristen yang secara jelas mempersonalisasikan konsep Tuhan dengan wujud sosok manusia merupakan refleksi dari -
anthropomorphism yang terjadi di dalam sejarahnya. Lebih jauh lagi agama Kristen mengadopsi kerangka birokrasi Romawi sebagai institusi yang akan menerjemahkan nilai-nilai transendental kepada masyarakat.
Berbeda dengan umat Kristen, umat Islam berusaha untuk menjauhkan diri dari personalisasi Tuhan dengan menganggap anthropomorphism adalah perbuatan yang sangat dibenci di dalam Islam.
Walaupun secara formal anthropomorphism tidak diakui di dalam ajaran Islam, akan tetapi tetap dipelihara di dalam dunia sufi yang berusaha menjauhkan diri dengan pemerintah. Sementara itu, bentuk
lain dari anthropomorphism di dunia Islam umumnya ialah menjadikan syariat sebagai manifestasi dari aturan Tuhan yang sakral berlaku sepanjang zaman. Terminologi syariat sengaja diciptakan merupakan
refleksi dari anthropormorphism itu sendiri tidak dalam bentuk personalisasi Tuhan dalam gambar ataupun patung, tetapi lebih jauh lagi menganggap syariat itu sebagai refleksi Tuhan dalam bentuk hukum.
Realitas hukum itu berada di luar zona divine yang sangat terkait dengan kontestasi kekuatan politik yang ada di dalamnya. Hal itu sangat rancu bila menganggap syariat itu bagian dari divine yang sering dikaitkan
dengan hukum.
121
Anthropomorphism di atas tanpa disadari terjadi selama berabad-abad di dalam dunia Islam dengan bentuk lain yang lebih memberikan efek negatif di dunia Islam. Bukan hanya melanda fiqh yang selama ini
sering berganti tempat sebagai syariat sehingga mendapatkan pengkultusan dari umat Islam. Bila kedatangan Islam digambarkan untuk membawa nilai-nilai tauhid yang membebaskan dari pemahaman
politeisme yang berkembang di dalam masyarakat jahiliyah ketika itu. Semangat fanatisme aliran yang dimiliki oleh sebagian umat Islam akibat dari pengultusan fiqh maupun teologi buah dari stagnasi
berijtihad hampir bisa disamakan dengan semangat politeisme yang terjadi sebelum kedatangan Islam.
122
Tidak mengherankan sistem pemerintahan di dalam sejarah Islam sangat terkait dengan brand aliran yang melekat dari penguasanya.
123
Teologi Asy‘ariyyah yang diklaim sebagai teologi ahlu sunnah wal jamaah dengan konsep sifat wajib, jâiz, dan mustahil bagi Allah dianggap sebagai ajaran tauhid yang harus diajarkan kepada setiap umat Islam
sejak abad pertengahan sampai saat ini.
124
Padahal, bila mau menelisik sejarah lahir aliran ini sangat terkait dengan motivasi politik yang sangat memanas untuk membasmi teologi M
u‘tazilah yang dianggap liberal.
125
Secara tidak langsung Asy‘ariyah melakukan kudeta teologi terhadap aliran Mu‘tazilah, sebelumnya dianggap sebagai teologi yang dianut oleh Khalifah al-Mutawakkil dengan program mihna yang
kontroversi.
126
Teol ogi Asy‘ariyah yang mulai lahir pasca wafatnya al-Mutawakkil sangat memengaruhi pola
pikir umat Islam secara umum sehingga buku-buku teologi yang diajarkan selama berabad-abad lamanya selalu mengajarkan konsep teologi Asy‘ariyyah.
127
Bila diteliti lebih l anjut konsep teologi Asy‘ariyyah layak
seperti abang kandung aliran teologi Jabariyah. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan memeras sifat-sifat
70
yang 99 dengan 13 sifat yang wajib bagi Allah dengan maksud membesarkan Allah, akan tetapi secara implisit menghambat gairah intelektual manusia.
Teologi Asy‘ariyah yang sangat dominan mulai menampilkan sosok ancaman bagi yang menentangnya sehingga perburuan ulama-
ulama Mu‘tazilah secara gencar dilakukan bahkan karya-karya mereka diberangus. Kisah Bruno dan Copernicus yang dihukum oleh pihak gereja karena menentang doktin gereja
tetap bersikukuh dengan bukti science yang mereka pegang diabadikan sebagai momentum untuk memasuki fase renaiscience. Hal itu sangat terbalik dengan dunia Islam, peristiwa pembakaran karya-
karya ilmiah ulama Mu‘tazilah serta pengejaran terhadap ulama Mu‘tazilah tidak dianggap sebagai peristiwa noda di dalam sejarah Islam. Dapat dibayangkan bagaimana tekanan yang dirasakan oleh ulama-
ulama Mu‘tazilah dalam berkarya terpaksa tidak mencantumkan nama mereka dan karya mereka tidak dipublikasikan secara terang-terangan. Peristiwa ini mengingatkan bangsa Indonesia pada masa
pemerintahan Soeharto terhadap stigma negatif yang melekat terhadap mereka yang tertuduh berasal dari golongan PKI Partai Komunis Indonesia mendapat perlakuan tidak adil.
128
Dapat dimengerti pasca pemerintahan Mutawakkil ulama berusaha menjauhkan diri dari pemikiran yang berbau Mu‘tazilah. Aliran
teologi Asy‘ariyyah yang sangat dominan di awal berdirinya merambah ke bidang ilmu lainnya, termasuk ulama fiqh dan hadits. Ulama fiqh misalnya mulai meninggalkan budaya pendekatan rasional terhadap
nas, metode takwil tidak dikembangkan bahkan cenderung ditinggalkan.
129
C. Rekayasa Ideologi Hukum dalam Hierarki al-Kutub as-Sittah