Politik Identitas dalam Hadits Suksesi

43 ada jaminan bahwa amalan-amalan yang dipraktikkan oleh penduduk Madinah tersebut adalah sunnah Nabi atau telah ada sebelum Nabi tiba di Madinah. Pilihan terhdap mazhab Maliki sebagai mazhab negara yang cenderung konservatif bertolak belakang dengan karakter penguasa Dinasti Umayyah yang cenderung agresif. 31 Padahal, Damaskus, ibu kota Dinasti Umayyah, lebih dekat jaraknya dengan Baghdad dibandingkan dengan Madinah. Namun, pihak penguasa Bani Umayyah lebih nyaman memberlakukan mazhab Maliki sebagai mazhab negara, bukan mazhab Hanafi yang disinyalir dengan pertimbangan politis. 32 Pertimbangan politis yang dimaksud di sini bisa saja berupa ingin mengangkat dan menyebarkan Arabisasi di wilayah yang dikuasai oleh Dinasti Umayyah. 33 Kekuasaan Dinasti Umayyah yang melampaui wilayah yang mempraktikkan bahasa dan budaya Arab perlu diberi sentuhan Islam dengan Arab sebagai simbol kebudayaan yang terpilih dalam menyampaikan wahyu. Pentingnya menanamkan keistimewaan kebudayaan Arab ke wilayah kekuasaan memerlukan instrumen mazhab Maliki sebagai pemersatu dan pengembang mazhab negara yang mengadopsi budaya Arab yang terlembaga dalam amal penduduk Madinah. Inisiatif Dinasti Umayyah yang menjadikan Mazhab Maliki sebagai mazhab negara dapat diartikan sebagai momentum untuk menunjukkan hegemoni kebudayaan Arab yang menggantikan kebudayaan Romawi dan Persia yang sedang mengalami degradasi. Dinasti Umayyah ini ingin mengangkat bangsa Arab sebagai pemain utama dalam percaturan politik dunia dengan cara membuat sekolah-sekolah lughah bahasa Arab yang merupakan bahasa administrasi yang digunakan di seluruh wilayah Dinasti Umayyah. 34 Untuk itu, tidak mengherankan, banyak bangsa Arab yang selama ini kurang bersimpati dengan dinasti ini lambat laun mereka ikut serta mendukung eksistensi khalifah baru ini.

B. Politik Identitas dalam Hadits Suksesi

Hadits tentang kepemimpinan di tangan Quraisy penyebarannya secara masyhur terjadi tatkala kekuasaan berada di tangan Dinasti Umayyah yang juga dari golongan Bani Quraisy, terutama setelah terjadi suksesi dari tangan Khalifah Ali ke Khalifah Umayyah. Persoalan legitimasi terhadap pendirian Dinasti Umayyah menjadi masalah yang krusial di dalam sejarah pemerintahan Islam, terlebih lagi ketika dibahas tentang pembaiatan Yazid ibn Muawiyah secara sepihak sehingga menandai berakhirnya sistem syurah yang selama ini telah dipraktikkan oleh Khulafaur Rasyidin. 35 Tuduhan orientalis, terutama Joseph Shacht, yang mengatakan bahwa sunnah yang selama ini dipraktikkan oleh umat Islam berasal dari zaman Dinasti Umayyah bukan berasal dari zaman Nabi Muhammad, 36 sebaiknya dilihat kondisi riil pada masa itu yang melatarbelakangi kodifikasi hadits sehingga dapat membantah tuduhan-tuduhan orientalis itu. Memang bila diperhatikan ada yang hal-hal yang dipraktikkan oleh umat Islam selama ini bukan berasal dari Nabi, tetapi umat Islam menganggapnya sebagai bagian dari sunnah Nabi, padahal hal tersebut tercipta pada masa Dinasti Umayyah masih berkuasa. Seperti perkataan lafaz yang termaktub di dalam al- Qur’an surah an-Nahl ayat 90. Ungkapan tersebut sebenarnya dipraktikkan sejak zaman Umar ibn Abdul Azis berkuasa. Hal yang melatar belakangi kenapa dia menambahi lafaz ayat Qur’an tersebut pada khutbah kedua dalam shalat Jum‘at ialah ketika melihat suasana permusuhan di antara umat Islam, yang kian meruncing saling menyebarkan fitnah antara satu dengan yang lainnya. Shalat Jum‘at sering dijadikan oleh khatib untuk menghujat orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka bahkan nama-nama sahabat Nabi sering dihujat seperti golongan Syiah yang menganggap sahabat lainnya seperti Abu Bakar, Umar, Utsman sebagai perampok kekhalifahan yang seharusnya di tangan Ali. Sebaliknya, pihak yang menentang, golongan Syiah dianggap sebagai golongan yang melaku kan bid‘ah yang pertama dalam Islam karena terlalu mengagungkan Ali dan keluarganya sampai pada mengkultuskan Ali. 37 44 Lafaz tersebut sering digunakan oleh khatib ketika menyampai kan khutbah shalat Jum‘at sampai sekarang ini. Teks ayat tersebut menyuruh umat Islam untuk dapat berlaku adil antara satu dengan yang lainnya, terutama sesama umat Islam. Juga menyuruh untuk berbuat ihsan yang mengajarkan bagaimana memanusiakan manusia. Karena salah satu esensi dari ajaran Islam itu bagaimana manusia dapat mengenal Allah dengan mengenal diri kita sendiri sebagai makhluk sosial yang tidak mungkin hidup kecuali dalam kelompok masyarakat yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Sampai sekarang ini hampir tidak ada ulama yang membahas dari segi hukum tentang penambahan lafaz ayat tersebut dalam setiap khutbah Jum‘at. Banyak usaha untuk menampik tuduhan bahwa Dinasti Umayyah adalah pihak yang memalsukan hadits pertama kali. Artinya, tuduhan tersebut secara sistematis dengan cara membuat hadits-hadits palsu untuk menyerang Ali. 38 Padahal, hadits-hadits itu tidak hanya berasal dari pihak yang menyerang Ali, tetapi juga dari pihak yang menyerang Muawiyah. Namun, hasil penyelidikan ulama hadits ternyata tidak ada satu pun ulama-ulama hadits yang terlibat dalam pembuatan hadits palsu yang jumlahnya sangat banyak. Tetapi, orang-orang yang meriwayatkan hadits-hadits tersebut adalah orang-orang yang diragukan ke- tsiqah-annya. Memang tidak bisa dipungkiri, sejarah membuktikan bahwa banyak kontribusi yang diberikan oleh Dinasti Umayyah dalam kemajuan Islam. Selain berjasa dalam penyebaran Islam ke benua Afrika dan Eropa, juga berjasa dalam masalah kodifikasi hadits. Dalam konteks hukum, dapat dilihat bagaimana Dinasti Umayyah membuat hukum-hukum baru yang tujuannya untuk menciptakan kestabilan dalam masyarakat. Dinasti Umayyah tampaknya berusaha mengadopsi sistem organisasi pemerintahan yang dianggap bisa menciptakan ketertiban masyarakat. Dinasti Umayyah yang pertama sekali menciptakan sistem administrasi kependudukan yang rapi sehingga penguasa dapat mengetahui apakah ada pendatang yang berada di wilayahnya. Pada masa ini, seseorang diberi tugas untuk berkeliling ke setiap desa untuk mengecek apakah ada kedatangan tamu atau kepergian penduduk desa tersebut ke wilayah yang lain. Walaupun awalnya sistem ini diterapkan sebagai bentuk kekhawatiran Dinasti Umayyah akan penetrasi pihak-pihak yang tidak menyukai eksistensinya, akan tetapi memiliki implikasi yang sangat bagus untuk menerapkan tertib administrasi di dalam pemerintahan Islam selanjutnya. 39 Dalam perjalanannya, Dinasti Umayyah ini dikenal sebagai dinasti yang memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya dengan membangun sarana-sarana umum yang bagus sehingga dapat digunakan oleh orang banyak. Bahkan, Dinasti ini sangat memperhatikan sahabat yang bersikap netral dan tidak terlibat dengan politik praktis. Bentuk kepedulian dari Dinasti ini ialah dengan memberikan bantuan finansial secara kontinu bagi sahabat-sahabat yang mengalami kesulitan ekonomi. 40 Walaupun tindakan ini sering dipandang sebagai bentuk usaha penyuapan untuk membungkam sahabat. Akan tetapi, apapun motivasinya Dinasti Umayyah memang memberikan kepedulian yang tinggi kepada masyarakat dalam bentuk penyediaan fasilitas umum, seperti mendirikan rumah sakit, serta perluasan masjid-masjid sebagai sarana ibadah yang paling urgen dalam masyarakat Islam. 41 Sahabat-sahabat yang tidak tertarik pada politik praktis mendapatkan tempat tersendiri di hati penguasa Dinasti Umayyah, salah seorang sahabat yang sangat dihormati oleh dinasti ini adalah Ibn Umar. Sahabat ini dipandang sebagai tokoh yang dihormati karena kesederhanaannya serta dedikasinya yang sangat tinggi untuk mempraktikkan segala perilaku Nabi secara total. Ulama hadits akan merujuk pada sahabat Ibn Umar sebagai sahabat yang secara total hidup dengan duplikasi kehidupan Nabi. Mereka sepakat bahwa Ibn Umar adalah sosok sahabat yang memiliki penilaian tertinggi dan dianggap sebagai orang yang paling tsiqah pada generasi sahabat. 45 Penghargaan kepada Ibn Umar pada masa Dinasti Umayyah memiliki dimensi yang berbeda. Hadits tentang niat, yang diriwayatkan oleh Ibn Umar adalah hadits yang sangat masyhur. Tampaknya Dinasti Umayyah melakukan politik pencitraan dengan menempatkan sosok sahabat tertentu yang dijadikan suri tauladan bagi masyarakat. Seakan-akan memberikan pesan ke masyarakat bahwa Dinasti ini sangat menghargai orang-orang yang saleh yang menjauhi dunia politik sehingga orang tersebut dianggap sebagai orang yang terbaik. Tampak jelas penempatan sosok Ibn Umar sebagai sahabat yang paling diterima hadits darinya karena adanya intervensi. 42 Paling tidak langkah yang dilakukan ulama-ulama hadits tersebut sebagai usaha untuk menyenangkan pihak penguasa, dan bisa juga diartikan sebagai bentuk untuk menghindari konfrontasi dengan pihak penguasa. Hadits yang matannya menggambarkan bahwa kepemimpinan hendaklah dipegang oleh seseorang yang berasal dari suku Quraisy, 43 sangat masyhur di kalangan ulama, bahkan di antara mereka mensyaratkan kepemimpinan harus dipegang oleh orang yang berasal dari suku Quraisy. Hadits ini juga yang dipegang oleh pemegang tampuk kekuasaan pada masa Dinasti Umayyah. Hadits ini memiliki implikasi yang luar biasa dalam rangka memberikan legitimasi kekuasaan kepada Dinasti Umayyah yang juga berasal dari suku Quraisy. Secara tidak langsung matannya memperingatkan kepada siapa saja orang- orang yang bukan suku Quraisy untuk tunduk dan taat kepada Dinasti ini. Mudah bagi mereka untuk memobilisasi massa untuk bergabung dengan mereka dan kemudian mengadakan ekspansi menyebarkan semangat kebanggaan suku Quraisy yang dibungkus dengan label Islam. 44 Hadits tentang kepemimpinan harus dipegang oleh orang-orang suku Quraisy seakan-akan menunjukkan tidak ada keadilan di dalam Islam. Adanya pengkastaan di dalam Islam yang sesungguhnya sangat bertentangan dengan semangat egaliter di dalam Islam itu sendiri. 45 Oleh karena itu, tampaknya pernyataan Nabi tentang hal tersebut bukan didasarkan diri beliau sebagai Nabi, tetapi dari sisi politik penaklukkan masyarakat Arab yang sudah berlaku sejak lama. Sesungguhnya, ketundukan masyarakat Arab pada masa Nabi bukan semata-mata karena keimanan mereka, tetapi karena tekanan politik penaklukkan yang dilakukan oleh Nabi. Karena status sosial suku Quraisy dianggap paling tinggi di antara suku-suku Arab Hijaz sebagai manifestasi keturunan dari Nabi Ismail yang telah lama dianggap sebagai penjaga kehormatan rumah tua Ka’bah. Lihat saja orang-orang Arab pada masa sebelum kenabian Muhammad juga sangat menghormati ka’bah sebagai rumah Tuhan yang harus dijaga kesuciannya. Tetapi, dalam praktik nya Ka’bah yang seharusnya sebagai tempat suci agama hanif yang hanya menyembah Allah Yang Esa mengalami degradasi menjadi tempat rumah tinggal beraneka ragam patung-patung dewa bangsa Arab. Ketika itu di antaranya terdapat patung dewa yang terkenal ialah Hubbal, Lata, dan Uzzah. 46 Sebenarnya, Nabi memanfaatkan kekuatan politik yang sudah berlaku di masyarakat Arab untuk membentuk komunitas yang jelas dan teratur. Hal ini juga dimanfaatkan oleh Dinasti Umayyah yang dapat memanfaatkan momentum simbol-simbol arabisasi yang dipandang memiliki dimensi kekuatan psikis untuk menaklukkan masyarakat yang jauh dari wilayah Makah dan Madinah. Keberhasilan Dinasti Umayyah dalam mengembangkan wilayah membuat semacam kebanggaan tersendiri bagi bangsa Arab yang telah menjadi salah satu pemain utama dalam peradaban dunia. Salah satu hal yang urgen untuk menyatukan umat Islam di dunia adalah dengan membentuk khilafah Islam. Sekarang, apakah hal tersebut bisa diwujudkan? Jawabannya bisa ya bisa tidak, tergantung usaha dan kondisi sosiologi serta mental umat Islam itu sendiri. Masalahnya sering sekali orang menyamakan kondisi umat terdahulu dengan sekarang. Bila pada masa lampau pembentukan institusi khalifah dapat diwujudkan karena banyak faktor yang mendukungnya. Masalahnya bila keinginan pembentukan kekhali- fahan merupakan salah satu target utama umat Islam maka yang paling penting harus dipahami, tidak mungkin perwujudan kekhalifahan adalah seperti masa dulu. Khalifah yang mungkin terbentuk tidak bisa meleburkan kekuasaan masing-masing negara Islam yang memiliki kebanggaan dan sejarah nasionalismenya. 47 46 Oleh sebab itu, ada berbagai alternatif yang memungkinkan terbentukknya kekhalifahan masa depan yang penting tidak menyinggung dua poin di atas. Akan tetapi, yang paling penting di sini ialah sistem khilafah masa depan harus sistem khilafah yang bisa mengadopsi nilai-nilai domestik setiap paham internal umat Islam menjadi nilai universal. 48 Dikhotomi antara Sunni-Syiah pada masa lampau harus dihilangkan serta berimplikasi hilangnya istilah “mereka” berubah menjadi “kita”. Ini penting, karena umat Islam tidak mungkin berhasil mewujudkan khilfah bila masih ada friksi-friksi di dalam internal umat Islam. Kemudian khilafah masa depan harus mempunyai kekuasaan yang jelas bukan seperti Paus di vatikan hanya dianggap sebagai pemimpin rohani yang tidak memiliki kekuasaan dari segi hukum. Khilafah masa depan Islam harus mempunyai kekuasaan, baik dari segi politik, yuridis, maupun masalah ekonomi. Karena itu, aturan yang jelas akan memberi dampak yang bagus terhadap eksistensi khilafah bagi umat Islam dan dunia. Masalahnya sekarang apakah pemimpin Muslim di dunia ini memiliki kemauan politis untuk mewujudkannya. Karena itu, khilafah ke depan dibentuk bukan untuk mengatur hal-hal yang bersifat detail, akan tetapi beberapa permasalahan yang dianggap stategis bagi dunia Islam. Hal ini bukan bermaksud untuk mengebiri kekuasaan masing-masing negara-negara Islam. Skema baru kekuasaan khilafah harus dirembukkan bersama karena sangat urgen bagi dunia Islam yang saat ini lemah, miskin, dan mudah terpecah belah. Tentu akan lebih mudah mengkonsolidasi segala potensi yang ada selama ini seperti yang diketahui bersama bahwa wilayah yang didiami umat Islam di dunia ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa mulai dari minyak buminya, emas, gas sampai produk-produk hutannya. 49 Untuk bisa mengejawantahkan sistem khalifah masa depan maka harus mengacu pada nilai-nilai universal syariat Islam itu sendiri. Syariat Islam mengandung nilai-nilai universal dan nilai domestik. Nilai universal adalah nilai-nilai global yang menandakan Islam sebagai agama rahmat bagi alam, seperti nilai keadilan, toleransi, menghargai kemajemukan, persamaan hak di depan hukum, dll. 50 Nilai domestik adalah nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Islam, nilai-nilai lokal ini adalah suatu keniscayaan yang harus tetap ada di dalam kehidupan manusia. 51 Perlu adanya keterbukaan dalam memahami kondisi sosial kultural umat Islam dunia. Dewasa ini secara faktual umat Islam terdikhotomi pada istilah-istilah Islam Sunni dan Syiah. Agaknya warisan konflik masa lalu harus sudah diakhiri dengan membuka pintu selebar-lebarnya atas warna pemahaman Muslim Syiah. Seperti sedikit sekali hadits yang dipakai oleh kalangan Sunni yang berasal dari golongan ahli bait, khususnya yang bersanadkan kepada Ali atau Fatimah putri Nabi. Padahal, bagi Muslim Syiah, hadits- hadits dari keduanya jumlahnya sangat banyak. Memang ada sedikit kenaifan bagi Muslim Sunni yang kurang mau menerima hadits dari ahli bait, padahal secara logika tentu banyak perkataan maupun perbuatan Nabi yang diriwayatkanoleh keduanya karena mereka lama satu rumah dengannya. 52 Dengan demikian, perlu adanya kelapangan hati dalam memahami dan membuka diri tentang Syiah bagi kalangan Sunni atau sebaliknya. Tujuannya untuk lebih memantapkan bahwa perbedaan di dalam umat Islam menjadi rahmat bukan membawa kemudharatan.

C. Disorientasi Kriteria Ijtihad dalam Fiqh