Fiqh: Otoritas Teks, Refleksi Nilai Profan atau Sakral

75 seperti halnya di wilayah Islam lainnya yang sudah mapan melahirkan ilmuwan-ilmuwan Muslim seperti Baghdad, Kurasan, Bukhara, maupun Samarkan. Tampaknya pilihan untuk mendirikan Universitas al- Azhar di Mesir bukan tanpa pertimbangan yang matang, akan tetapi didasari oleh pertimbangan politik untuk mendapat simpati Sunni terhadap Dinasti ini Simbol Dinasti Abbasiah yang dianggap memiliki otoritas politik dan spiritual menjadikan al-Kutub as-Sittah zaman Harun ar-Rasyid seperti nomor dua setelah nas. Istilah al-Kutub as-Sittah sudah melekat memiliki nilai kesakralan yang sangat tinggi di dalam Dinasti Abbasiah. Akan tetapi, seiring dengan mulai meredupnya kekuasaan Dinasti Abbasiah yang pada awalnya identik dengan pionir dalam masalah rasionalitas di dalam Islam, tetap saja masih meninggalkan legacy yang masih tetap ada di masyarakat. 159 Istilah al-Kutub as-Sittah dianggap istilah yang sangat familiar dengan kitab undang-undang negara menjadi kata sakti yang dapat membuat justifikasi terhadapnya. Tidak mengherankan ketika ulama hadits mengisi kekosongan tempat yang ditinggalkan oleh Mu‘tazilah di panggung politik Dinasti Abbasiah, masih menggunakan terminologi al-Kutub as-Sittah terhadap kitab-kitab hadits yang mereka urutkan secara hierarki. Istilah al-Kutub as-Sittah yang identik dengan kitab-kitab fiqh yang digunakan pada masa Dinasti Abbasiah ketika Hasan asy-Syaibani sebagai qadi menjadi locust ulama-ulama hadits dalam menyusun hierarki kitab-kitab hadits. Pencaplokan istilah al-Kutub as-Sittah yang berasal dari kitab-kitab fiqh menjadi istilah kitab-kitab hadits secara tidak langsung merupakan plagiasi dalam menggunakan istilah. Plagiasi istilah ini tentunya memiliki maksud tertentu agar umat Islam yang sudah menganggap istilah al- Kutub as-Sittah sebagai kitab undang-undang hukum yang diakui negara selama lima abad lamanya juga mendapat legitimasi kuat dari umat Islam. 160 Plagiasi ini tampaknya jalan pintas yang dilakukan oleh ulama hadits agar usaha mereka lebih bisa diakui oleh segenap lapisan masyarakat. Akan tetapi, langkah ini terasa kurang elegan karena terkesan manipulatif walaupun kurang pantas disebutkan kepada mereka yang sangat dekat dengan simbol-simbol kesalehan. Menggunakan istilah yang sudah sangat lazim dan mendapatkan tempat di hati masyarakat yang sudah dirintis dalam waktu yang lama kemudian mengisinya dengan konten yang berbeda dengan usaha mendapat legitimasi absolut terhadapnya. Berbeda al-Kutub as-Sittah versi fiqh Hasan asy-Syaibani tidak menjadikan kitab-kitab tersebut dalam konteks hierarki. Akan tetapi, dalam bentuk horizontal yang saling mengisi antara satu kitab dengan dengan kitab lainnya. 161 Al-Kutub as-Sittah versi fiqh sangat setara saling melengkapi sehingga hakim di pengadilan tidak harus merujuk pada satu kitab utama karena semuanya equal. Al-Kutub as-Sittah versi ulama hadits melangkah lebih jauh dengan menjadikan istilah tersebut secara hierarki artinya urutan penggunaan lebih diprioritaskan dari kitab hadits yang paling atas, yaitu al- Bukhari dan Muslim. 162 Dengan dukungan jaringan dari ulama hadits ini maka istilah al-Kutub as-Sittah yang identik dengan kitab undang-undang negara menjadi lebih kuat lagi upaya ulama hadits dalam mengggunakan istilah ini.

D. Fiqh: Otoritas Teks, Refleksi Nilai Profan atau Sakral

Di awal perjalanan sejarah Islam, tradisi oral sangat memengaruhi karakter hukum yang dibentuk untuk diterapkan. Tradisi oral ini juga yang menjadi landasan utama berkembangnya tradisi tulis di kalangan umat Islam. Kuatnya pengaruh tradisi oral ini dapat dirasakan sampai sekarang menandakan tradisi oral merupakan bagian yang tak terpisahkan dari struktur hukum Islam. Al- Qur’an saja mengadopsi tradisi oral ini menjadi salah satu instrumen dalam banyak kasus hukum, selain testimoni dari saksi yang terlibat sampai urusan sumpah dan lafaz yang berhubungan dengan perkawinan. 163 Reservasi tradisi oral ini yang tampak jelas ialah qira’at membaca al-Qur’an yang sampai sekarang masih dipertahankan, dan tampaknya tradisi qira ’at ini hanya bisa dipertahankan dalam konteks oral bukan tulisan. Tradisi oral dalam pelaksanaan sunnah memiliki legitimasi yang kuat di awal penyebaran 76 Islam, karena sahabat bisa mendapatkan pengarahan langsung dari Nabi. Dalam pelaksanaan praktik sunnah tidak pernah terjadi silang pendapat di antara mereka, karena tradisi oral memiliki keunggulan dalam memberi pemahaman secara langsung. 164 Stressing point antara satu teks nas dengan yang lain walaupun seakan membahas masalah yang sama, tetapi sering dalam konteks yang berbeda. Masalah salah penafsiran terhadap suatu tujuan nas hampir tidak terjadi di awal perkembangan Islam, karena budaya oral yang begitu kuat sehingga bisa langsung memberikan pemahaman kepada umat Islam. Ketika pihak yang memiliki otoritas dalam menyampaikan secara oral sudah berganti dengan otoritas teks yang nas maka perlu adanya media perantara yang harus ada dalam menerjemahkan bahasa teks nas tersebut. 165 Sering dipahami pesan hukum yang terdapat di dalam teks nas merupakan suatu refleksi yang koheren dari interpretasi teks nas terutama hadits. Lihat saja bagaimana teks-teks di dalam al- Qur’an yang secara berulang-ulang menggunakan teks-teks yang sama, akan tetapi memiliki esensi pesan yang berbeda.Teks-teks hadits yang merupakan refleksi sociolungistic yang terjadi pada masanya akan tetap memiliki kekuatan yang mengikat secara emosional kepada umat Islam bila mana mempunyai nilai sakralitas yang bersifat permanen dan elastisitas. 166 Nilai sakralitas yang permanen hanya ada bila teks-teks nas tersebut tetap dipahami sebagai teks yang berasal dari Nabi Muhammad sebagai pemilik otoritas tertinggi. Di sisi lain, harus juga dipahami bahwa dalam proses penulisan teks nas hadits tersebut sangat terpengaruh dengan kondisi sociolungistic yang ada pada waktu itu. Harus juga ditanamkan di dalam benak umat Islam bahwa intervensi sociolungistic itu suatu yang tak mungkin terelakkan, tetapi juga figur Nabi bagi umat Islam merupakan sosok yang memiliki kekuatan transendental yang kuat yang selalu mendapat proteksi dari Allah. 167 Artinya, dalam memahami teks nas itu harus dilihat dari sisi tertentu yang tidak membuat jatuh dalam kategori ekstrem, baik itu terlalu liberal yang menganggap suatu teks nas bersifat profan ataupun terlalu tekstual hanya menyan- darkan pada sisi teks hadits tanpa menghiraukan sisi sociolungistic. Kemampuan dalam menelusuri nilai profan dan sakral yang terdapat di dalam teks nas merupakan hal yang mutlak harus dilakukan. Tidak seperti kajian kritik hadits yang dilakukan oleh ulama hadits klasik yang hanya menitikberatkan aspek testimoni dalam menentukan tingkat kesahihan suatu hadits. Lebih lanjut, hal yang terlupakan dilakukan oleh ulama hadits terdahulu kurang menelusuri nilai sakralitas pesan hadits tersebut. Tidak mengherankan ketika diwujudkan dalam bentuk teks alat verifikasi yang dilakukan dalam bentuk testimoni, padahal nilai sakralitas yang merupakan manifestasi dari esensi pesan moral yang terdapat di dalam teks nas dapat ditelusuri dengan membandingkannya nilai-nilai yang terdapat di dalam al- Qur’an. Kegagalan disebabkan oleh lebih mengutamakan mengimplementasikan nilai sakralitas yang terdapat di dalam teks hadits memunculkan semangat sekterian dalam memahami nas hadits. 168 Lihat saja pesan moral yang terdapat hadits-hadits fadâil ‘amal dianggap sebagai level hadits yang rendah, karena nilai testimoni jalur yang meriwayatkan hadits tersebut dianggap tidak kredibel. Secara logika sederhana saja digambarkan bahwa Nabi tidak selalu bergaul dengan sahabat-sahabat utama yang dianggap kredibel dan memiliki reputasi yang baik. Akan tetapi, dengan alasan dakwah Islam pasti Nabi Muhammad Saw. juga bergaul dengan orang-orang awam yang kategori orang-orang yang tidak memiliki reputasi sebagai perawi hadits menurut standard ulama hadits. 169 Tentunya social contact yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. dengan orang-orang awam seperti ini mengandung misi dakwah juga dikategorikan sebagai hadits. Akan tetapi, sangat disayangkan kriteria testimoni dari jalur riwayat yang memiliki reputasi yang baik saja dapat dikategorikan sebagai hadits sahih. 170 Sunnah yang mengandung nilai-nilai komprehensif akan tereduksi ketika diterjemahkan dalam bentuk teks hadits. Begitu juga teks-teks hadits yang ada juga mengalami seleksi alam tersendiri ketika membahas masalah-masalah hukum yang bersifat ibadah. Dalam perjalanan waktu, tampaknya ulama 77 hadits mengambil peranan yang sangat penting untuk mengarahkan serta menganggap penting hadits- hadits yang bersifat ibadah mahdhah. Langkah yang dilakukan oleh ulama hadits, baik itu di awal kodifikasi hadits maupun fase setelah kodifikasi sampai abad ke-4 H, lebih untuk memenuhi selera masyarakat ketika itu, memprioritaskan hadits-hadits yang berkaitan dengan ibadah mahdhah. Hal yang perlu dilakukan dalam pengembangan kajian hukum Islam dengan memberikan ruang terhadap nilai-nilai hukum lokal yang ada di dalam suatu komunitas. Persepsi hukum Islam adalah tatanan nilai yang tertutup dalam artian soliter tidak menerima pengaruh dari luar harusnya sudah mulai ditinggalkan. Karena postulat hukum Islam yang berasal dari nas cenderung menerima pengaruh dari luar selama mendukung pesan moral yang terdapat di dalam syariat. 171 Tetapi klaim Joseph Schacht yang mengatakan tidak ada hukum Islam yang original karena mendapatkan pengaruh dari peradaban sebelumnya yang sudah eksis seperti Talmudic, Persia, Romawi Kristen tentunya terlalu gegabah. Betapa tidak dengan berargumen hukum Islam terbentuk di awal abad ke-2 H ditandai dengan kodifikasi hadits dengan merujuk justifikasi ke era Nabi Muhammad Saw. Pendapat yang didasari asumsi minor dengan premis adanya 79 hadits yang bermasalah lalu dengan serta merta menuduh semua hadits adalah palsu yang disamarkan dengan menyandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. Bagi Harald Motzki seluruh postulat hukum Islam sampai periode terbentuknya mazhab- mazhab hukum murni berasal dari Islam tanpa ada pengaruh dari luar. 172 Tetapi, kenyataannya hukum Islam setelah periode terbentuknya mazhab tidak mampu lagi mengakomodir kebutuhan masyarakat yang sangat dinamis. Hukum Islam yang bisa bertahan tanpa pengaruh dari pihak luar hanya hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah ibadah. Di luar hukum, masalah ibadah tampaknya tidak mampu lagi bertahan kecuali mengadopsi hukum-hukum dari luar. Tampaknya setelah Eropa mengalami renaisance perkembangan pemikiran sangat maju pesat, termasuk yang berkaitan masalah hukum, bahkan Turki Utsmani sendiri banyak mengadopsi ketentuan hukum yang berasal dari Barat. 173 Konsep hukum pidana di dalam Islam mengalami situasi yang sulit dalam menghadapi modernitas, di satu sisi hudûd adalah hukum yang secara jelas termaktub di dalam teks al- Qur’an sehingga untuk beberapa negara Islam masih dipakai hingga kini. Sementara itu, kebanyakan negara Islam di dunia tidak memakai hukum pidana Islam seperti yang dipraktikkan generasi awal umat Islam. Bahkan, PBB sendiri mengecam hukuman tentang rajam dan khitan bagi perempuan. 174 Adanya beberapa hukuman pidana Islam yang dipraktikkan di abad-abad sebelumnya yang dikecam oleh lembaga hukum internasional menimbulkan friksi tersendiri di kalangan negara-negara Islam. Saudi Arabia, Iran, Sudan, adalah beberapa negara yang tetap mempertahankan hukum hudûd di dalam sistem hukum mereka. Akan tetapi, penerapan hukum pidana Islam tampaknya sudah tidak bisa digunakan secara komprehensif. Hal itu disebabkan oleh adanya asumsi di dalam fiqh klasik yang menyangkut tentang pidana Islam berbarengan dengan konsep dâr harb dan dâr aman. Beberapa elemen hukum pidana Islam muncul berkaitan dengan peperangan yang berkepanjangan antara Muslim dengan non-Muslim hal itu diperparah lagi dengan terjadinya perang salib selama 200 tahun antara Muslim dan Kristen. Pasca berakhirnya perang salib tampaknya kedua belah pihak menyadari bahwa peperangan akan menghancurkan kedua belah pihak tanpa ada pihak yang diuntungkan dengan peperangan tersebut. Munculnya konsep darul aman, walaupun terminologi itu awalnya ditujukan bagi wilayah yang dikuasai oleh kekuasaan pemerintahan Islam. Seiring waktu konsep darul aman bukan hanya yang berada di wilayah pemerintahan Islam, akan tetapi setiap wilayah di dunia yang umat Islam bebas melakukan ibadah, harta dan jiwanya dilindungi oleh pemerintahan setempat walaupun berasal dari non-Muslim. 175 Bahkan, dewasa ini banyak tokoh-tokoh Muslim yang merasa aman berada di negara-negara Barat yang mayoritas non- Muslim dibandingkan tetap tinggal di negaranya sendiri yang tidak demokratis. 78 Adanya kontradiksi antara hukum pidana Islam dengan hukum internasional bagi sebagian orang di kalangan umat Islam menghilangkan makna Islam sebagai rahmatan lil alamin. Langkah yang dilakukan dengan memberlakukan hukum pidana yang lazim digunakan di dunia, khususnya yang berasal dari Barat. 176 Hukuman gantung yang masih lazim digunakan beberapa negara Islam dianggap sebagai hukum barbar yang tidak cocok lagi dengan masyarakat modern yang dianggap lebih beradab. Banyak faktor yang menyebabkan tidak menyatunya hukum pidana di dunia Islam, baik itu dari geografis yang berbeda, sosial budaya, juga dominasi peradaban Barat yang saat ini sangat kuat. 177 Secara akademisi khitâb tentang pelaku perzinahan sangat membingungkan karena tidak pernah terjadi hukuman yang diberikan kepada pelaku perzinahan mulai pada zaman Nabi Muhammad Saw. sampai masa klasik, dengan asas terbukti secara hukum. Padahal yang terjadi adalah pengakuan dari pelaku perzinahan tersebut, bahkan pada masa Nabi Muhammad Saw. sendiri seorang meminta untuk dihukum karena melakukan perzinahan bukan karena dibuktikan secara legal tapi atas dasar pengakuan. Nabi Muhammad Saw. tidak melakukan rajam atas pelaku perzinahan tersebut. Larangan khitan bagi perempuan yang dilakukan oleh PBB secara tidak langsung tertuju kepada umat Islam yang sampai saat ini masih mempraktikkan tradisi tersebut atas nama sunnah. Alasan medis yang dikemukakan untuk melarang khitan bagi perempuan tersebut tampaknya cukup berpengaruh ke sebagian komunitas Muslim dunia karena terjadi pro dan kontra di dalamnya. Kalangan konservatif mempertanyakan motivasi di balik larangan ini karena terlalu dalam memasuki wilayah privat agama, sementara masih banyak masalah-masalah penting kemanusiaan yang harus diselesaikan. Walaupun kelihatan sepele tampaknya hukum pidana Islam menghadapi tantangan cukup serius seiring dengan perkembangan masyarakat atas nama modernitas yang mengagungkan hak azasi manusia. Kajian hak azasi manusia sering sekali bersinggungan dengan masyarakat Islam karena sering diasumsikan tidak sesuai dengan standard umum tentang hak azasi manusia. 178 Agaknya hal itu untuk beberapa kasus dapat dibenar- kan karena sering sekali ijtihad masalah hukum pidana ini dapat dipelintirkan ke arah yang salah. Lihat saja ketika Osama bin Laden mengutip hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî yang bunyi” perangilah orang kafir di mana aja berada sampai mereka mengakui Allah sebagai Tuhan mereka. 179 Fatwa transnasional yang menggunakan media internet ini ternyata sangat ampuh membangkitkan semangat terorisme di kalangan orang-orang picik terhadap agamanya. 180 Testemoni perempuan di pengadilan di negara yang berasaskan Islam sampai saat ini masih menjadi dilema di negara-negara Islam karena teks nas yang membandingkan kualitas kesaksian satu orang laki- laki sama dengan dua orang perempuan. 181 Hal ini menimbulkan kontradiksi bila dibandingkan dengan hukum konvensional yang mengusung asas persamaan hak di depan hukum. Masalah ini juga yang membuat perbedaan mendalam beberapa negara Islam tentang prosedur testimoni perempuan di depan pengadilan. Perbedaan yang tajam dalam menyikapi testimoni perempuan di pengadilan masih belum selesai sampai kini sehingga semacam menjadi duri dalam perkembangan fiqh. Semangat untuk mempertahankan perintah yang terdapat di dalam nas bertolak belakang dengan realitas kekinian yang menuntut persamaan di depan hukum. 182 Bahkan, hukum tentang waris yang selama ini dianggap sudah final dan bersifat qat h‘î dipertanyakan kembali dari sisi keadilan dan persamaan hak. Sampai saat ini, hanya hukum Islam saja yang secara formal masih memberlakukan perbedaan pembagian warisan antara perempuan dan pria di dalam waris. 183 Klaim klasik bahwa laki-laki yang mencari nafkah serta memberi kontribusi terbesar dalam rumah tangga terbantahkan bila merujuk situasi sekarang ini banyak perempuan yang bekerja dan berpenghasilan lebih besar dibandingkan laki-laki. 184 Banyaknya kasus sengketa warisan terjadi yang disebabkan oleh disparitas pembagian antara laki-laki dan perempuan di pengadilan umum sebelum turun Surat Edaran MA Mahkamah Agung yang merujuk ke PA Pengadilan Agama tahun 1994. Surat Edaran tersebut menunjukkan bahwa masalah waris adalah wewenang Pengadilan Agama di kalangan umat Islam yang 79 menggunakan rujukan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang menguatkan bagian laki-laki adalah 2:1 dibandingkan perempuan. Pertarungan ideologis antara kelompok literalis yang mencoba mempertahankan kemurnian nas dengan pihak kontektualis yang lebih melihat maslahat dibandingkan teks nas sudah lama berlangsung di dalam sejarah Islam. Selama ini, pihak literalis banyak diuntungkan karena menampilkan sosok yang mempertahankan perintah Allah daripada kelompok kontekstualis yang biasanya dikategorikan sebagai orang-orang liberal. Bila tidak ada islah di antara kedua kelompok ini untuk saling memahami pemikiran masing-masing agaknya sulit mengharapkan perkembangan kajian fiqh yang lebih maju di masa akan datang. 185 Tentu saja bila pihak literalis akan diuntungkan karena bertameng dengan teks nas yang di dalamnya terdapat legitimasi Allah. Padahal, merujuk hanya kepada teks nas adalah langkah yang paling mudah untuk beralibi dalam mempertahankan kemurnian ajaran Islam yang di dalamnya terkandung kemalasan menggunakan nalar. Pengalaman pahit umat Islam pertarungan ideologis antara Mu‘tazilah dengan kelompok konservatif menimbulkan kerugian yang sangat besar di dalam dunia Islam. Keduanya selayaknya dipelihara untuk menjadi harmonisasi dan saling mengawasi antara keduanya. Sejarah membuktikan pembungkaman terhadap aliran rasional seperti Mu‘tazilah membuat dunia intelektual di kalangan umat Islam makin mundur. 186 Hal tersebut kurangnya gairah intelektual yang biasanya digerakkan oleh paham rasional. Kritik Mu‘tazilah terhadap hadits yang berada di luar level mutawatir hendaknya dipahami untuk menjaga kemurnian ajaran Islam, agar tidak terkontaminasi dengan hal-hal yang bersifat profan. Begitu juga spirit yang ditunjukkan oleh sebagian orang di kalangan akdemisi terhadap beberapa konten hadits yang mengundang kegelisahan intelektual harus disikapi dengan bijaksana. Bukan langsung menuduhnya sebagai seorang yang ingkar sunnah atau bahkan seorang yang kafir. Stigma negatif tentang hukum pidana Islam yang dimunculkan oleh orang-orang yang tidak sepaham biasanya mendapat amunisi untuk menyerang ketika membahas hal-hal yang berkaitan tentang hudud dan qisas. Hukuman qisas merupakan hukuman yang paling banyak dikecam bukan saja menimbulkan dilema yang besar dalam menerapkannya juga banyak dikecam oleh pemerhati hak azasi manusia. 187 Pemberian wewenang yang sangat besar dalam memutuskan nasib si tertuduh menimbulkan dua mata sisi yang berbeda, yakni satu sisi membawa pesan keadilan bagi keluarga korban juga sebaliknya. Perintah qisas sebenarnya bukan hanya berkaitan dengan pembunuhan sengaja juga hal-hal yang menyangkut dengan penghilangan anggota tubuh. Mengenai poin yang kedua sangat sedikit informasi tentang implementasi hukum qisas tersebut karena bisa menimbulkan kesulitan dalam proses penerapan hukumnya. Sebaiknya pesan moral keadilan yang terkandung di dalamnya yang lebih diberdayakan dibandingkan dengan teks tertulis. Perbedaan persepsi dalam penerapaan hukum pidana Islam di kalangan umat Islam jangan disikapi negatif karena hal tersebut refleksi dinamika yang terjadi di dalam masyarakat Islam itu sendiri. 188 Pastinya nas tidak menginginkan kasus pidana banyak terjadi di dalam masyarakat Islam, akan tetapi lafaz nas tentang hudûd dimaksudkan untuk membuat efek jera terhadap pelaku kejahatan tersebut. Ternyata di beberapa negara yang mengklaim mengadopsi hukum Islam kasus-kasus yang menyangkut dengan pidana masih tetap tinggi, terutama yang berkaitan dengan pembunuhan. 189 Lafaz nas harus dipahami secara komprehensif dalam memandang hukum tersebut dan harus dilihat dari berbagai aspek kehidupan. Sering sekali penerapan hukum Islam yang fanatik tanpa mempertimbangkan socio kultural masyarakat membuat hukum Islam itu tidak efektif. Banyak konteks hukum Islam klasik sangat miskin kajian mengenai hukuman ta’zir, yang biasanya diimplementaiskan dalam bentuk hukuman cambuk atau denda bagi pelanggarnya. Hukuman penjara yang merupakan bagian dari hukuman ta’zir sebenarnya sudah ada pada masa Nabi Muhammad Saw., ketika umat Islam menawan beberapa tokoh Quraisy untuk membayar tebusan bagi kebebasannya. Bagi yang 80 tidak mampu membayar tebusan diwajibkan untuk mengajarkan baca tulis kepada umat Islam sehingga hukuman ta’zir ini memberi manfaat bagi lingkungannya. Sebenarnya pembebasan yang dilakukan oleh Nabi dengan jalan ta’zir tersebut mengandung makna implisit bahwa pentingnya memperhatikan kebutuhan tahanan. Makna filosofis rumah tahanan di dalam Islam bukan sekadar untuk menghukum, akan tetapi menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan membuat orang lebih baik. Sangat disayangkan kajian tentang hukuman penjara ini kurang mendapat perhatian yang serius dari umat Islam dalam rentang yang cukup lama. Padahal, secara garis besar Nabi sudah memberikan isyarat dalam menangani hal tersebut. Makna filosofi hukuman ta’zir bukan untuk membalas kelakuan jahat seseorang sehingga dia dijebloskan ke dalam penjara, akan tetapi untuk menyadarkan betapa kelirunya dia selama ini. 190 Kasus- kasus orang-orang yang makin jahat ketika di dalam penjara harus dievaluasi apakah penjara yang selama ini diperuntukkan untuk rehabilitasi manusia sudah berjalan cukup baik. Bagaimana mungkin hukuman yang ditanggung narapida dapat memberi efek jera bila tidak menghargai mereka sebagai manusia. 191 Kasus terkuaknya transaksi seks yang terjadi di beberapa LP Lembaga Pemasyarakatan dengan melibatkan oknum-oknum petugas LP adalah puncak gunung es dari kasus-kasus serupa yang belum terungkap. Hal tersebut karena penjara dipersepsikan sebagai institusi balas dendam bukan lembaga yang memanusiakan manusia. Secara natural orang yang dipidana sampai puluhan tahun pasti mengalami psikologi yang berat, terutama bila dia sudah berkeluarga, sehingga sangat tidak manusiawi bila tidak menyediakan tempat reuni keluarga bagi orang tersebut. Secara tidak langsung lembaga penjara seperti ini membuat orang-orang seperti ini makin jahat bahkan menjerumuskan orang untuk melakukan penyimpangan hukum. Hukuman fisik hendaknya dijatuhkan oleh orang yang melakukan kejahatan fisik bukan menyertakan psikisnya sebagai manusia. Semangat untuk menjadikan hukum pidana Islam secara institutional bisa dianggap baik dalam memberikan kepastian, akan tetapi hal tersebut tidak bisa diterapkan di setiap negara Islam. Karena masalah pidana merupakan masalah yang sensitif menyangkut nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat setempat. Hukuman rajam dengan melemparkan batu sampai mati bagi pelaku zina sangat ditentang karena bertentangan dengan prinsip-prinsip hak azasi manusia yang berlaku di dunia internasional. 192 Hukuman yang diterapkan kepada pelaku harus dijelaskan apakah untuk membalas perbuatan pelaku atau merehabilitasi agar kembali ke dalam kehidupan normal. 193 Seseorang yang terbukti mencuri dalam hukum Islam dijatuhi hukum potong tangan, akan tetapi ada perdebatan mengenai apakah korban pencurian masih boleh mendapatkan kompensasi harta yang telah dicuri. Bagi Mazhab Hanafi, tidak membolehkan korban pencurian meminta kompensasi kepada pelaku pencurian tersebut atas barang yang telah dicurinya bila hukuman potong tangan telah diterimanya. Sementara itu, Mazhab S yafi‘i dan Hanbali lebih memfokuskan hak si korban belum terpenuhi walaupun pelaku sudah dihukum yang disebabkan oleh perbuatan pelaku yang melanggar hukum. Kerugian korban harus diganti dengan mengembalikan harta yang dicuri atau membebaninya sebagai hutang bila si pelaku dalam keadaan miskin. Dalam kasus korupsi, sebenarnya harus ditentukan apakah pelaku tergolong sebagai pencuri atau perampok, karena keduanya memiliki konsekuensi hukum yang dihadapi oleh pelaku. Seorang perampok bisa dihukum dengan hukuman mati karena mengambil harta orang lain secara paksa cenderung bisa membahayakan nyawa orang lain. Keyakinan terhadap nilai-nilai tertentu yang dianggap sakral mengundang pihak-pihak tertentu untuk menguasainya sehingga hal ini sangat rawan bila tidak ada kontrol dari kalangan akademisi, termasuk yang menyangkut tentang nas. Keniscayaan pertumbuhan hadits di awal abad ke-2 H hingga abad ke-5 H masih meninggalkan perdebatan akademis yang tetap menarik dikaji hingga kini. 194 Harus diakui eksistensi hadits yang terdapat di dalam compendium hadits yang diakui di dalam dunia Islam sampai terdapat hadits marfu’, juga tidak sedikit hadits mawquf yang terdapat di dalam kitab-kitab hadits rujukan yang diakui legalitasnya. 81 Perdebatan muncul ketika Joseph Schacht menyajikan data awal kodifikasi hadits yang terdapat di dalam kitab al- Muwaththa’ banyak mengandung hadits-hadits yang sanadnya tidak sampai ke Nabi Muhammad Saw. Kemudian dia menambahkan langkah yang dilakukan oleh ulama pemerhati hadits di abad ke-5 H melakukan sistematisasi penulisan hadits didasarkan oleh tulisan data-data yang berasal dari abad ke-2 H. Langkah ini menurut Joseph Schacht membenarkan thesisnya telah terjadi pabrikasi terhadap hadits Nabi di abad ke-5 H dengan menyandarkan sanad ke belakang pada abad ke-2 H. 195 Dengan demikian, menurutnya pembentukan hukum Islam pada dasarnya tidak dilakukan pada zaman Nabi Muhammad Saw., tetapi dimulai pada abad ke-2 H sehingga abad ke-5 H, ketika formulasi hukum Islam menemukan formatnya. Harald Motzki mengatakan thesis Joseph Schacht tersebut keliru ketika menvonis bahwa tidak semua struktur hadits yang terbentuk menjadi tidak valid. Karena rujukan hadits tidak sampai kepada Nabi Muhammad atau paling tidak hanya pada level sahabat saja. 196 Justifikasi Joseph Schacht ini banyak merujuk pada kitab al-Muwaththa .’ Baginya, merupakan kitab hadits pertama yang menjadi pionir munculnya kitab-kitab hadits lainnya. 197 Asumsi ini didasarkan bahwa Imam Malik yang hidup relatif dekat dengan masa Nabi Muhammad Saw. dan tinggal di Madinah tetapi tidak mendapatkan sumber hadits valid yang bisa disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. 198 Asumsi pabrikasi hadits itu mencuat ketika hadits yang sama sebagian muncul di kitab Sahîh al- Bukhârî yang rentang waktunya beberapa abad ke belakang. Jarak waktu yang panjang ini bagi Schacht indikasi terjadinya pabrikasi hadits tersebut karena Imam Malik saja tidak mendapatkan sanad yang sampai kepada Nabi Muhammad. Ketika Imam al-Bukhari menemukan sanad yang terputus tersebut tetap saja dianggap tidak valid. Beberapa ilmuwan Barat yang kontra terhadap argumen ini seperti Harald Motzki mengatakan sebaiknya tesis Schacht itu dibalik selama tidak ada ‘illat yang membuktikan hadits tersebut sampai kepada Nabi Muhamamd maka sahih hadits tersebut e-silent. Klaim Schacht tersebut muncul atas penelitiannya terhadap 77 hadits yang dianggapnya bermasalah karena tidak sampai pada Nabi Muhammad membuatnya berani mengatakan bahwsanya semua hadits adalah palsu dan tidak mendasar. Tuduhan format hukum Islam tidak didasarkan atas legitimasi sampai pada Nabi Muhammad Saw. karena formasi hukum Islam sebenarnya dibentuk oleh ulama fiqh pada abad ke- 2 H sangat lemah, khususnya Imam Syafi‘i yang kemudian dilanjutkan oleh ulama lainnya. Padahal, pabrikasi hadits secara massal yang dituduhkan dilakukan pada masa Abbasiah tentunya akan mendapat resistensi dari ulama hadits di abad ke-2 H dan 3 H, hal tersebut sungguh sangat tidak mungkin terjadi. Ulama hadits umumnya mengakui adanya hadits-hadits mawquf yang terdapat di Canonical Book of Hadith al-Kutub as-Sittah yang menjadi rujukan bagi umat Islam. Akan tetapi, yang membedakan ulama hadits dengan kritikus hadits dari Barat adalah dalam konteks otoritas pewarta hadits. 199 Kritikus hadits dari Barat tampaknya mempermasalahkan hadits-hadits mawquf yang masih tetap banyak terdapat di dalam al-Kutub as-Sittah dianggap sebagai hadits original berasal dari Nabi. Bagi dunia Kristen yang secara tegas membedakan antara perkataan yang berasal dari Jesus maupun dari pengarang kitab suci tersebut mendorong mereka untuk melakukan hal yang sama terhadap hadits. Dunia Kristen mengenal revisi terhadap kitab sucinya sendiri karena bagi mereka kitab suci yang diwartakan oleh manusia terkadang bercampur dengan perkataan dari si pengarang kitab. Langkah tersebut tidak mengurangi kehormatan kitab suci itu bagi mereka sehingga bagi mereka sangat mengherankan kenapa label sakralitas hadits masih tetap diberikan terhadap hadits-hadits yang mawquf yang terdapat di dalam kitab-kitab hadits rujukan. Hadits mawquf tidak selayaknya diperlakukan seperti halnya hadits yang original dari Nabi Muhammad Saw. Matan ziyâda di kalangan ulama masih dalam kategori yang diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan matan-matan hadits yang dianggap lebih kuat. Matan ziyâda dianggap sebagai pelengkap yang penting dalam periwayatan hadits. Otoritas sahabat yang begitu tinggi di mata ulama hadits sehingga hadits mawquf masih bisa ditoleransi atau bisa digunakan dalam argumen hukum. 200 Terkadang penerimaan hadits mawquf menimbulkan problem tersendiri di kalangan ulama hadits karena 82 menimbulkan polemik. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Amar ibn Yasir tentang larangan Nabi Muhammad dalam memakan daging kurban lebih dari tiga hari. Riwayat hadits tersebut berasal dari Ali ibn al-Madina yang merupakan salah satu guru Imam al-Bukhari yang termashur. 201 Akan tetapi, penilaian dari Imam Zuhri yang mengatakan hadits tersebut mawquf tampaknya lebih reliable. Abad ke-3 H sampai abad ke-4 H adalah era krusial di dalam sejarah Islam tidak saja mulainya zaman peradaban keemasan Islam juga kebutuhan akan hadits sangat besar, sehingga perhatian terhadap hal ini sangat penting. Munculnya ulama kritikus hadits patut diberi apresiasi yang besar dalam penilaian hadits, ulama seperti Abu Abdullah ar-Razi dan Abu Hatim ar-Razi merupakan dua ulama kritikus hadits yang banyak memberi kontribusi dalam perkembangan hadits. Kritikannya terhadap banyaknya hadits-hadits mawquf yang terdapat di dalam al-Kutub as-Sittah khususnya yang terdapat di dalam kitab Sunan Ibn Mâjah, Musnad Ibn Hanbal, dan Sunan an- Nasâ‘i. Hal tersebut menimbulkan konsep sahih yang terdapat di dalam kitab-kitab hadits rujukan. Cukup menarik pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Haytam tentang konsep kesahihan suatu hadits, baginya terminologi sahih itu bukan menunjukkan otentitas suatu hadits lebih cocok sebagai representasi materi hadits yang bersifat ad-hoc. Menarik juga kritikan ulama hadits Daraqutni terhadap syaikhâni yang meragukan beberapa hadits yang terdapat di dalam hadits syaikhâni tersebut. Ada sekitar 15 hadits yang bermasalah yang tidak sampai kepada Nabi Muhammad Saw., bahkan Daraqutni menyebutkan hadits yang terdapat di dalam kitab Sahîh Muslim yang menyatakan bahwa Allah akan menyingkap tabir sehingga orang-orang beriman dapat melihat Allah secara langsung adalah perkataan Abdurrahman ibn Abi layth wafat 82 H bukan perkataan Nabi Muhammad. 202 Deskripsi di atas menggambarkan bahwa seyogianya tidak ada privilege diberikan kepada al-Kutub as-Sittah karena pada dasarnya kitab-kitab hadits yang ada harusnya saling menyempurnakan antara satu dengan lainnya. Al-Kutub as-Sittah sering dipersepsikan sebagai representasi dari kitab-kitab hadits yang paling valid sebaiknya dipertimbangkan lagi dengan menghilangkan paradigma yang sudah berkembang di dunia Sunni selama berabad-abad. Agak sulit memang untuk menghilangkan sakralisasi atas al-Kutub as-Sittah yang sudah terbangun selama ini, kecuali ada kemauan dari ulama untuk bersemangat dalam melakukan kritik sejarah terhadap hierarki kitab-kitab hadits rujukan. Walaupun pada awal abad ke-5 H kurang menyadari betapa adanya kompetisi yang terjadi dalam periwayatan hadits. 203 Kuatnya otoritas yang melekat dari narasi hadits ini membuat perkataan sahabat juga mendapatkan tempat yang terhormat dalam bangunan hukum Islam. Sayangnya, perkataan- perkataan sahabat tanpa disadari bisa membuat legitimasi hukum yang cukup tinggi dalam sistem perpolitikan pada masa itu. 204 Bahkan, aliran teologi dan mazhab ramai-ramai menggunakan hadits-hadits yang mendukung argumentasi aliran mereka dengan menafsirkan sesuai dengan genre mereka. Kuatnya legitimasi hadits dalam benak masyarakat Muslim membuat pentingnya memberdayakan hadits untuk kepentingan mereka. Menyebarnya sahabat di beberapa wilayah yang dikuasai Islam membuat menyebarnya klaim otoritas di dalam masyarakat Islam. Tidak mengherankan hal ini menimbulkan benturan dengan pihak-pihak tertentu yang merasa otoritas keagamaannya terganggu. Benturan otoritas makin kuat bila bersentuhan dengan otoritas pihak penguasa yang merasa tersaingi yang bisa mengganggu hegemoni kekuasaan mereka. 205 Dapat dipahami kumpulan hadits yang sangat besar dan belum tersusun teratur di abad ke-3 H pada masa Abbasiah membuat seluruh elemen masyarakat Muslim, terutama ulama memberikan perhatian yang serius. Tentunya spirit perhatian hadits berbeda dengan zaman Muawiyah yang lebih memiliki kesempatan yang besar dalam pengumpulan hadits karena masih banyaknya Tabi‘in yang hidup. Membengkaknya periwayatan hadits pada masa Abbasiah dibandingkan fase awal kodifikasi hadits di awal abad ke -2 H pada masa Dinasti Umayyah membuat tanda tanya besar adanya indikasi banyak keraguan terhadap autentisitas hadits. Realitas banyaknya periwayatan hadits pada masa Abbasiah 83 tersebut menjadi sasaran empuk tuduhan terjadinya pemalsuan hadits secara massif dari kritikus hadits, terutama dari Barat. Walaupun klaim banyaknya periwayatan hadits yang tidak bisa dibuktikan autentisitasnya mendapat argumen dari ulama hadits sesudah Joseph Schacht, seperti Mustafa Azami. Baginya tuduhan Joseph Schacht hukum Islam lahir di mulai pada abad ke-2 H serta bangunan otensitas periwayatan hadits tidak bisa dibuktikan secara ilmiah dengan merujuk periwayatan massif pada masa Abbasiah adalah sangat lemah. Data-data yang ditampilkan oleh Mustafa Azami bahwa kegiatan menulis periwayatan hadits sudah terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw sehingga baginya argumen Joseph Schacht dapat dibantah. Tentang tuduhan adanya periwayatan hadits sangat banyak pada masa Dinasti Abbasiah yang memiliki jarak cukup jauh dengan masa Nabi Muhammad saw. 206 Hal tersebut membuat Jyumbol agar bisa mendukung teori Joseph Schacht tersebut menggunakan teori common link yang intinya menggambarkan membesarnya periwayatan hadits yang terjadi di generasi abad ke-3 H setelah masa Imam al-Zuhri. Tampaknya Mustafa al-Azami banyak berhutang budi kepada Nabia Abbot yang telah meneliti tentang makin besarnya periwayatan hadits pada abad ke-3 H disebabkan oleh bukan karena penambahan matan hadits, akan tetapi yang bertambah adalah perawinya. [] Catatan Kaki 1 Samir Kittaniy, “Some Aspects of Humanism in Classic Religious Collection on Political Justice in Islam,” dala m In te rna tiona l Journ al o f A rt an d S ci ence s, 1,14 2 011, hl m.187 - 196. 2 Ali Hasan ‘Abd al-Qadir, Nazrat al-‘Ammat fî Tarikh al -Fiqh al-Islâmiy, Kairo: Ulum Press, 1942, hlm. 100-11 2. 3 Muhammad Hashim Kamali, “Principle of Islamic Jurisprudence.” ch.3 rev.ed., dalam Islamic Text Socy 1991. Lihat j uga M.W Wa tt, For ma tive Pr iod of Isl am ic Thou ght, O xford, one wor ld, 2002, h lm. 1 -4 . Watt m el ihat g eja la t erb entu kny a formu las i jur ispr ude nsi dal am I sla m m e mi l ik i ket er ka itan, mul ai dar i era Nab i k em udia n terb entu k pada abad pertenga han. Tida k hanya sa mpa i di situ hu kum Is la m berg era k me mbe ntu k for mas i huk um y ang ses uai d engan kond is i mas yara kat nya t er uta ma pas ca - kolo nia l. 4 John L. Esp ito, The Isl ami c Th rea t: My th o r Re ali ty ? 3 r d edn N ew Yo rk: O xford Un ive rs ity P re ss,1999 . Espito men coba me maha m i r ea li tas sos ia l u mat Is lam yang s edang me ngala m i kr is is iden tit as anta r a ing in ke mba li pada masa la lu d an r ea l itas t e kanan Ba ra t. Lihat juga M.J Han if i, Is lam and T rans fo rm ati on of Cul tur e, Ne w Yo rk: As ia Publ ish ing Hous e,1974 ; P. Mandavi ll e, T ransn ati onal Musl im Po lit ic : Rei ma gining th e U m ma, London: Rout l edge, 200 2, hl m. 21. 5 Konsep oto rita s m ema ng lah ir da ri ban ya k e le m en yan g me mben tuk nya, te ruta ma te r kai t dengan i kata n ket e rgantunga n te rhadap s esuatu, b iasany a per an piha k yang men jad i pe ranta ra te rhadap s esuat u yan g melahirkan otoritas. C.J Friedrich, “Authority, Reason,and Discretion”, dalam C.J Friedrich ed, Authority, Harvard Uni ve rsi ty, 1958, h lm. 28 -48. 6 Budaya k ek era san ya ng m engata sna mak an aga ma hamp ir t ida k pe rnah d i ju mpai d ala m s e jara h masya ra kat Indon es ia ka rena n i lai -n ila i k eb ersa maan d ala m perb edaan sangat be ra kar da lam ps iko log i m asyarakat. Jan Michel Otto, “‘Shariah and National Law in Muslim Countries’: Tension and Opportumities for Dutch and EU foreign Policy,” dalam Leiden University Press 2008. 7 F. Hal lid ay, Isl am and the Myth o f Con fr onta tion: Rel igio n and Poli ti cs in Midd le Eas t, London: I.B.T aur ist , 1996. 8 Be lnap K. Ha er i N, Structuralist Studiest in Arabic Linguistic: Charles Ferguson’s Paper, 1954 -1994 Leiden: Brill,1997. Naloofar Haeri, “Form and Ideology: Arabic Sociolungistics and Beyond,” dala m Annual Revi ew o f An th ro polog y , 29 P ro Ques t So ciolo gy 2000, hl m. 19. 9 Banya k ka j ian fiqh ya ng me mbahas t ema kasu ist ik ya ng hanya di ju mpai di da erah Ti mu r Te ngah, padaha l jara ng kas us te rs ebut di ju mpa i di t e mpat l ain s ep er ti m isa lny a di Indone sia. Moha mm ed I. Jubair , “Criminal Law in Islam: Basic Sources and General Principles”, dalam Tahir Mahmood, et al. eds., Criminal Law in Islam and the Muslim World: A Comparative Perspective,” Delhi: Institute of Objective Studi es, 1996, hl m. 42. 1 0 Mah mood Mon shipou r i, Isl amis m, Secu la ris m, and Hu m an Ri ghts in the M iddl e Eas t, Bould er, C O: Lynn e Ri enn er, 199 8, hlm. 2 34. 1 1 Muha m mad Si raj, Ahkâ m a t- Tashrî‘ah fî al-Islâm Riyadh: Maktabât al-Bayân, 2005, hlm. 79. 1 2 Caves.M, “Secularization in Declining Religious Authority”, dalam Social Force 1994, hlm. 74-79. Christiano.K.J, “Religious Diversity and Social Change”, dalam Cambridge University Press 1987. Willia m H. Swatos. Jr and Christiano. K.J, “Secularization Theory: The Course of a Concept”, dalam Sociology 84 Rel igion 1 999, h lm. 1 6 -20. J ean - Paul Willaime, “The Cultural Turn in the Sociology of Religion in Fran ce, ” dalam Sociology of Religion 2004. 1 3 Abdull ahi an - Na‘im, Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari‘a, Cambridge: Harvard Univ er sit y Pr ess, 2010. 1 4 Kondi si kau m Mu sl i m berh adapan deng an per ubahan s osia l tida k ja rang ha rus m e la kuk an ses uatu yan g tida k j ela s dite ntu kan di dal am Is la m, kar ena kaj ian f i qh selam a in i dianggap sebag ai nor ma hu ku m yang baku. U mat t er kada ng m ela ku kan s el f i jt ihad bag i pe rsoal an yang d ihadap inya s epe rt i banya kny a pek er ja dom ist i k di ru mah - ru mah orang non - Mus l im t entun ya me r eka juga haru s me la ku kan pe k er jaa n yang te rkad ang be rada pada ar ea shubha t. 1 5 Opr ess i ter hadap per empu an yang ser ing ditudu h ka n terhad ap Isla m tampa kny a sangat ter ka it denga n kondi si sosio ku ltu ra l bangsa Arab yang sa ngat su l it m ene rap kan pr ins ip ega l ite r d i da lam gend e r. Peratu ran t entang lar angan m eng em udi bag i pe re mp uan saja d i Saud i m eni mbu l kan k e cama n buka n saja ka langan di da la m n ege r i j uga d i l uar n eg er i. K ar ena lara ng t ers ebut t er kadang m enya lah i logi k a umu m yang b er la ku bag i masya rak at inte rnas iona l, Sookhdeo. Ros e mary, Se c re t beh ind the Bu rq a Withsh ir e: B idd les Lim itt ed, 200 4, Fran k E. Voge l, I sla mic La w and Le gal Sys te m: S tudi es in Saud i A rab i a Boston: Brill, 2000. Vogel Frank E, “The Public and Private in Saudi Arabia: Restrictions on the Powers of Commit Thees of Ordering the Good and Forbidding the Evil”, dalam Social Research Fall 2003; 70,3, hlm. 7 49. Denn is Spe lb erg, Politics, Gender, and the Islamic Past: The Legacy of A‘isha binti Abi Bakr New York: Colombia University Press, 1994. Mervat F. Hatem, “A‘ishah Bint Abi Bakar: An Unlikely Hero in e A Post Co lon ia l R ead ing of He r lif e a nd Som e of He r B iogra p hi es of Wom en a nd th e Proph et i c Household.” Journal of Middle East Women’s Studies , vol.7, no.2 Spring 2011. 1 6 Tamp ak a neh b i la m er uju k p emb er la kuan huk um Is lam di beb erapa nega ra d i T im ur Te ngah, te ruta m a tentang pe re mpuan yang be k er ja di lua r ruma h. Denga n alasan untu k me la ksana ka n syar iat Is lam k e rap ter jad i p em er intah m e lara ng a ktiv ita s pe re mpua n di l uar r umah k e cua li untu k b ebe rapa b idang sa ja . Fati ma M ern iss i, Women Re bel lion an d Isl am ic Hi sto ry London: Zed, 19 96, hl m. 13 -1 6. 1 7 Sei ri ng dengan re for mas i yang m e landa Indone sia yan g ditanda i run tuhnya k ek uasaan Ord e Ba ru yan g tel ah ber kuas a leb ih dar i tiga de kad e me ma ksa stru kt ur brio kras i m eny esua i kan di ri deng an euphor i a refo rma si t er sebut. Inst itus i apa ratu r pe rtahana n T NI d an Po lr i k epo li siaa n N egar a R epubl i k Indon es ia meng k la im s ebaga i inst itus i ya ng te lah b anya k m e la k ukan re form asi int e rna l, te ruta ma ket i ka t er jad i pem isah an antar a Polr i dar i T N I. Akan t etap i, dala m masa lah m en yang kut ten tang la ranga n m ema ka i ji lbab tampa kn ya atu ran itu be lu m juga d i cabut k ecua l i d i Prop ins i A ceh yang dib er i k ek hususa n untu k me la ksana nka n j i lbab. Bag i mas yara kat Tu rk i, tahun 2013 m er upak an tahun yang be rse ja rah ket i k a dicabu tnya unda ng -undang y ang m e larang me ma ka i j i l bab di l embag a - le mbaga pe m er intah. 1 8 Joppke C, Vei l: Mir ro r of iden ti ty, Camb ridg e: Pol ity Pr ess, 2009. 1 9 Banya k p iha k, te ruta ma kau m f em in is d i Arab s end ir i me nudi ng bah wa budaya op re sif te rhadap f iq h per empu an ya ng be rl aku di ma syar aka t Arab m engguna kan n as s ebaga i a lat just if i kas inya. Pad aha l, Nab i sangat mode rat da lam me mb er ik an per an sosia l k epad a pere mpuan d i dala m Is la m, hal t ers ebut dapa t dil iha t dar i r eka m je ja k Nab i da lam k eh idupan s ehar i -har i denga n ist r i- istr iny a. Bah kan, had its yan g dir i wayat kan o leh Fat im a b int i Q uai sy r i wayatn ya di rag ukan kev al id itasan nya ol eh s esa ma sahabat bu ka n kar ena masa lah int egr itasn ya, tet api leb ih pada masa l ah gend er. Dal am ri way at te rs ebut, diga mbar ka n bahwa Fa ti ma b int i Qua si y m em inta pu tusan hu ku m k epada Nab i Muh a m mad ten tang ha k tal ak bag i istr i se rta bol ehnya pi ndah dar i ruma h suam i k e ru mah k eraba tnya dala m mas a iddah. Per i wayat an ters ebut d itol ak o leh ba nya k sahabat uta ma, t er masu k U mar ibn al -K hattab, se mata -m ata dis ebab ka n oleh pe raw in ya ada lah s eora ng pe re mpuan. Lihat M u ham mad ibn Ah mad as -Sa ra khs î d. 4831 090, Kit âb al-M absûm, 30 vols. Ji lid ke - 15, Egypt: Mamba’at al-Sa’âdah, 1906-1913,142-44. Juga ‘Abd Allâh ibn Ahmad ibn Q udâm a al - Maqd is î d. 6201223, Al-M ughnî, 9 vols. Jilid k e-9 B ei rut: Dâr al- Kutub al - ’Ilmiyya, 1994, hlm. 106-157. Dalam konteks di pesantren Indonesia, sekilas tidak begitu tampak peran per empu an, a kan t etap i bi la m el iha t k e da la m s esunggu hnya pe r empua n di l ing kungan pes antr en sa nga t besar pe ngaruh nya bagi k eb er langs ung an k egiat an pe ndid ika n maupun sos ial di ling ku ngan pesant re n. Li hat Bi anca J. Smith and Ma r k Woodward eds., Gende r and Po we r in Indones ian Isl am London : Routledge, 2013. Bandingkan: Yossi Rapoport’s Marriage, Money and Divorce in Medieval Islamic So ciety, Cambr idge: Ca mbr idge Un ive rs ity Pr ess, 200 5. 2 0 Be lu m je lasn ya w il ayah pr ivat dan publ ik da lam ka itann ya dengan hubunga n ke rj a la ki -la k i dan per empu an me rupa kan s ala h satu i su ya ng ha rus d ip ecah kan k ar ena m enyang kut r el ita s sos ia l yan g tida k ter hind ar kan. Ma nsour Fa k ih, Anal isis G ende r dan Tr ansf or masi Sosi al Yogya kar ta: Pustaka P ela ja r, 1996, hl m. 81. 85 2 1 Radhâ al -Kh âbi r adala h bentu k sol usi y ang ber si fat te mpor er te rhadap dua ora ng yang buka n muh ri m harus s e ring be rju mpa d ala m ruangan, d enga n ca ra m emb er i kan p eras an a ir susu bag i si la k i - la k i seh ingga men jad i kan pos isi nya s ebaga i ana k di susu i b agi pe re mpua n te rseb ut. La ngka h in i t entu aka n men i mbu lka n dampa k huku m bukan sa ja k epada si pemb er i air susu, j uga kep ada saudar a per empu annya. Dala m ka s us in i, Aisyah b int i Abi Bak r tida k harus r epot meng ena kan pa ka ian m enutu p sel uruh t ubuh kar ena s i U ma ir suda h dib er i kan a ir su su ole h sauda ra pe r e mpuann ya s ehi ngga U ma i r men jad i muh r imn ya. Hal di ata s me rupa kan contoh s olus i huku m yang te rj adi pada mas a awa l Is la m, yang tentu tidak serta merta bisa diterapkan saat ini. Smith J.I, “Women, Religion, and Social Change in Early Islam” in Y.Y. Haddad and E.B. Findly eds., Women, Religion, Social Change Albany: State Univ er sit y of N ew Yor k Pr ess, 198 5, hl m . 20-33. 2 2 Al- Qur an me mbe r ika n pe rhat ian b esar bagi p era n sosia l dan po lit i k pe r empua n, sep ert i y ang digamb ar kan da la m surat as - Saba. Sekilas, Ratu Saba’ lebih humanis dibandingkan Nabi Sulaiman, kar ena d ia m eng enya mp ingk an opsi unt uk me la ku kan konfront a si, s ebaga ima na yang di anj ur kan ol e h je nde ral -j end era ln ya set e lah m en er ima su rat dar i S ula ima n yang m enyu ruh untu k m eny er ah pada Sula ima n. 2 3 Hunte r, Pol iti cs o f Isl am ic Reviva lis m, Bloo mi ng: Indi a na Uni v. Press, 1 988. 2 4 Z. Fareen Parvez,” ‘Debating the Burqa in France:’ Anti Politics of Islamic Revival,” dalam Springer, Pro Ques t publ ish ed in 31 Mar ch 2011. Lega lit as sang at penti ng, terut ama yang men yang kut mas ala h ke yak in an. Lih at Dav id S Po we r, Studies in Qur’an and Hadîth: The Formation of the Isl amic Law of Inh er it anc e Be rk e le y: Un ive rs ity of Ca li forn ia Pr ess, 19 86. 2 5 Banya k kas us huku m yang seh arusn ya tida k m en jadi polem i k bi la me maha m i Is lam s ebaga i aja ra n univ ersa l yang me ngadopsi ni la i - nilai lokal masyarakat. Jhon R Bowen, “Does French Isl am have Borders? Dilemmas of Domistication in Global Religious Field,” dalam ProQuest Sociology, March 2004, hlm. 42- 43. 2 6 Fiqh bag i u mat Is lam m em i l ik i n i lai k esa kra lan te rs en dir i, k ar ena f iqh d i ident i k kan d engan just if i kas i huku m yang b erd asar kan n as s ehi ngga ada s em aca m ik atan emos iona l da lam m eng iku tin ya. Me ru ju k pada Ma x Web er d ala m ka itan pe r ila ku k eaga maan y ang mun cu l dala m masya ra kat t ing kat keta ata n ses eorang b ias anya aka n m e lah ir kan volunt ee r ob lig ation . Ma x W ebe r, The Na tur e o f Ch a ris ma tic - Domin atio n, in E cono my an d So ci ety , 4 t h ed, 1956, h l m. 662 -6 79. W.G. Run c ima n, ed., Web er Se lec tio n in Tra nsla tion Camb rigd e Un ive rs ity Pre ss, 1995, hlm. 220 -23. Arti nya, tinda kan spi r itua l yang dik er ja kan leb ih banya k ka re na k esada ran dala m be rtu han. Bi la m eru ju k pendapat a l - Ghaza l i, kes adara n in i di sebut denga n h idayah yang data ng k epada ses eor ang yang b erus aha s ek uat t enaga untu k m en car i keb ena ran hak i k i dari Al lah. Abû Hâm id al - Ghazâ l î, Ihyâ ‘Ulûm ad-Dîn, 4 vols. Kairo: al-Mambaa al- Uthm âni yya a l- M ic riy ya, 13521 933, hl m. 1:47. 2 7 Ke ma l H. Ka rpat, The Poli ti ciz at ion o f Isla m, Re const ru c ting Id ent ity, S ta te, Fai th, an d Com muni ty in the Lat e O t toma n S ta te O xford Univ e rsi ty Pr ess, 2001, h l m. 223 -2 30. 2 8 Roy O li ve r, Glob aliz ed Isla m, The Se ar ch fo r Ne w Um m ah, Ne w Yor k: Col umb ia Un iv ers it y Pre ss, 2004. 2 9 Salah sat u k e kura ngan k aj ian f iqh k las ik m enyang kut masa lah p em er inta han da lam Is lam. Ka ji an i jt iha d henda knya m enu ntas kan masa lah pe m er intah an yan g dian ggap tabu ini. T inda kan K em al Attatu r k me mbuba rka n sist e m kh i lafa h bukan t anpa pe r ti mban gan, kar ena da la m se jar ah Din asti Tu rk i Ut sman i , terut ama d i a kh ir masa k e jayaan nya, banya k k eka lah a n di d inast i ini, t e ruta ma da lam PD I. Ak ibatn ya, ke ra jaan ku rang ma mpu m e la ksana kan pe me r in tahan y ang di la ku kan o le h Su ltan Abdu l H am id II. Hamp i r sel uruh w i layah Tu rk i h i lang da ri p eta a k ibat t e kanan piha k s eku tu yang se mpat me ndudu ki Istanb ul . Ke ma l dianggap sebaga i tokoh uta ma yang men ye la mat kan Tu rk i dar i ke ka lahan t ers ebut. Banya k ke ca man yang di tuj uk an k epada K e mal Atta tur k, di samp ing k ar ena la ngk ah ber ani nya untu k men e rapka n prin sip s eku l er da lam s ist em k en egar aann ya. Bahkan pr ins ip se ku l er in i dibon ce ng denga n sem angat na siona l isas i Tur k i, s eh ingga ha mp ir s e lur u h unsur A rab d ihi lang kan, te rma suk m engguna ka n lafaz a zan d engan bahas a Tu r ki, bu kan bah asa Arab. Ke benc ian K ema l t erhad ap Arab ya ng m eng kh ianat i Tur k i k ar ena Arab m em iha k I nggr is dan P eran c is dal am PD I. Rob ins Ph i lip, Tur key and Mi ddl e - Eas t London: the Roy al Inst itut e of Int e rnat iona l Affa irs, Pi nter Pub l ish ers, 199 1, hl m. 20 -23. 3 0 Konsep f iqh s iyâs ah adalah s ala h satu ha l yang sa ngat ter tingg al da la m pe mbahasan f iqh k las ik , terut ama d is ebab kan ol eh s angat b er ka itan lang sung dengan ke kua tan pe nguasa monar k i yang s uda h mend arah dag ing da lam k ebudayaan masy ara kat I s lam T imu r T engah. Kaj ian f iqh ya ng ras iona l ter ka lah kan de ngan kond is i ma sya ra kat f eoda l yang s eben arny a diba wa m is i ol eh Nab i dan Kh ula fau r Rasy idin. Kons ep f iqh siy âsah y ang d ita war kan ol eh b e berapa ul ama te r kesa n sang at nor mat if seh ingg a sangat su lit u ntu k ber k emba ng dala m tata ran ap li kat if. 86 3 1 Banya knya s itus b ers e jara h yang di hancu r kan d engan alasan peng e mbangan w i layah dan me mb erant as bid‘ah karena kekhawatiran tempat tersebut akan dijadi kan semacam pemujaan. Padahal, hampir seluruh dunia m eny epak ati agar s e mua n ega ra m e me l ihar a s it us ber se ja rah bag i kep ent ingan r iset. S eha rusny a situs yang men yang kut d engan s e jara h Is la m t ida k bo le h dih i lang kan b eg itu sa ja kar ena hal te rs ebut bukan mi l ik i bangsa Sa udi sa ja, a kan t etapi u mat Is lam seca ra k es e luruh an. 3 2 Sebai kn ya ja ngan te r lal u ka ku da la m m em andang s itu s bers e jarah t er sebut s ebaga i be nda yang dapa t membuat umat Islam menjadi sesat karena melakukan bid‘ah. Sering sekali perilaku menghancurkan benda-b enda yang di kat egor i kan bisa me mbuat orang sesat did asar kan pe r intah Nab i M uha mmad Sa w. ke mud ian m endapat just if ik asi ket i ka m eru ju k pada kenya taan se ja rah dia pe rnah m eng ha ncu rk an patung -patung b erh ala y ang be rada di dalam Ka’bah. Harus dipahami konteksnya tentu sangat berbeda dengan sit uas i saat in i, bagaim ana mung k in gen eras i m asa depan akan bi sa me mp el aja ri t entang se ja ra h Isl am bi la s itus se ja rah ny a dihan cur kan ha l in i sangat men ya lah i aturan inte rnas iona l ten tang per l indu - ngan benda -benda b er se ja rah. K hal ed M. Abou El Fa dl, A tas Na ma Tuhan da ri Fi qh O to rit e r ke Fiq h Oto ri ta ti f, ed is i te rj e mahan judu l as lin ya Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women Jakarta: Se ra mbi, 20 04, hl m. 137 - 140. 3 3 Pers eps i k emu l ian s eseo rang da lam masya ra kat yang b er ka itan de ngan k etu runan sang at tida k r el eva n dengan s em angat egal it er y ang diba wa o le h Is la m ya ng didasa rka n ol eh ketaq waa n di had apan Al la h serta kont estas i sos ial. B andi ngka n Le Vin e, M., Salvato re A, Socio -Re l ig ious Mov e men ts and th e Transformation of “Common Sense” into a Politics of “Common Good. In A. Salvatore M. LeVine Eds., Rel igion, Soc ial Pr ac ti ce, and Con tes ted H eg emoni es, N ew Yor k: Palg rav e M ac mi l lan, 200 5, hlm. 28 -55. 3 4 Konsep s eku fu in i a wa lnya d ibaha s ol eh ka lang an M azhab Han afi yang m enganggap kons ep s e kuf u bukan hanya t er ka it dengan ma sal ah ak idah juga m eny angkut ma sal ah ras. Kondi si m asya rak at Baghda d sebaga i kota met ropol itan pa li ng ma ju di dun ia k et i ka it u te ntu sa ja m en jadi magn et bagi s eti ap oran g dengan lat ar be la kang yang berb eda -b eda. Kons ep se k ufu in i tampa knya s ebagai so lus i yang dil aku ka n oleh banya kn ya persoa lan sosi al yang te rjad i denga n adanya perk aw inan yang beda ras w ala upu n ak idahnya s ama. 3 5 Sete lah co lla ps sist e m kha li fah di Tu r ki, kons ep otori t as di dalam I sla m m en jadi m asa lah pe li k ka re na umat Isl am t ida k me m il i ki p atron y ang j e las da la m ha l ruju kan te rhadap otor ita s pol it ik d an k eaga maa n dala m mas yara kat Is la m. Abû Ba kr Ah mad a l -B ayhaq î, Dalâ’il an-Nubuwwa, ed. Abd al-Mu’mî Qal’ajî, 7 vols., Be iru t: Dâr al -Ku tub al -I l miy ya, 1405 1985, hl m. 1:36 -37. 3 6 Seja rah m embu kt i kan k eti ka umat Is la m leb ih ako mod atif te rhadap su mb er t e ks had its, te ruta ma ya ng men yang kut ke seta raan d ala m mengg una kan t ek s nas sebaga i dasa r hu kum, t e lah me mbuat ka j ian f iq h sem ak in b er ke mbang p esat da n bisa m enj awab p er s oalan. Bah ka n, ada k ec end eru ngan da erah y ang re lat if jauh da ri s umb er ut ama p eny eba ran had its s em a ngat i jt ihadnya sangat t ingg i sep er ti d i Bag h dad sebe lu m abad k e-4 H. Kod if ika si had its untu k j angk a panjang d ipandang seb agai p engha mbat dala m per ke mbanga n fiqh kar ena je ratan kodi fi kas i had its ters ebut m e mbuat f iqh sul it b erg era k bebas . Mohammad Fadel, “Two Women, One Man: Knowledge, Power, and Gen der in Medieval Sunni Legal Thought,” dalam International Journal of Middle East Studies 29, no. 2 1997, hlm. 185 -204. 3 7 Te rm ino logi had its sudah m en jad i kata sa kt i yang bisa men just if ik asi sua tu masa lah hu ku m. Namu n i a men jad i m asa lah ket i k a konsi ste nsi da la m pe nggunaan nya tida k d ipe rtahan ka n. Dala m ma sal ah ega l it e r per iw ayatan s end ir i sudah me njad i pol e mi k s eja k masa sahabat. Hadit s ri ya wat Fat i ma bint i Qua isy da n Busra b int i Safwa n tida k m endapat p engha rgaan yang se mes tin ya k a re na mas ala h gend ern ya. Muha m mad ibn I smâ î l a l- Buk hâr î wafat 256 H 870 M, bas is, 9 vo ls. J ild k e-4 Be ir ut: Dâr al -Q ala m , 1987, h lm. 193. Fath î U thmâ n, Sh ahâda t al- Mar’ah Kairo: Maktabat an-Nahdha al-Misriyyah, 2000. Dapat juga d it em uka n da lam s umb e r k las ik yang me mbahas itu, s epe rt i Muha mm ad ibn A hmad a s - Sarak hsî wa fat 48 3 H1 090 M. Ima m Abu Han ifah, Al -Mabsû t h, Vol. 15 Mesir: Mathba‘at as -Sa‘adah, 1906-1 913, hl m. 142 - 144. ‘Abdullah ibn Qudâma al-Maqdisî wafat 620 H1223 M, Al-Mughnî, Vol. 9 Be irut Da r al -Ku tub al - ‘Ilmiyyah, 1994, hlm. 106-157. 3 8 Banya k k rit i k yang dia la mat kan k epada u la ma hadits, t e rutam a yang ber ka itan d engan kons ep k esah iha n hadits, k ar ena u lama had its mengg una kan beb erapa ist il ah, ter masu k ist ila h tenta ng kr it er ia had its yan g tida k m encap ai d era jat m uta wat ir yang mendo m inas i ha dits. K enapa ada had its yang t er masu k unr eli abl e masu k j uga dal am kat egor i had its yang dap at di jad i k an huj jah. Kar ena da ri s is i aut ent is itas t erd apat ke raguan t e rhadapnya t ent u sangat su l it m en er i ma sua tu dal il u ntu k di jad i kan hu jj ah bi la aut ent ita sny a mas ih d iragu kan atau b el um m encap ai t ing kat ya kin. Kar ena itu, harus di la ku kan red ef in isi k e mbal i terh adap kons ep had its s ahîh yang b isa di jad i kan hu j ja h. Al - Kham îb a l- Baghdâd î waf at 463 1 070, Al - Kif âya fî I lm a r- Ri wâya, B ei rut: Dâr al- Kutub a l- Il m iyya, 1988, hlm. 94. Muha mmad ibn Alî ash -Sha wkâ n î d. 12501834, Nayl al -A wm âr: Sharh Muntaqa’ al-Akhbâr min Ahâdîth Sayyid al-Akhyâr, 10 vols. Kairo: 87 Ma ktabat a l- Qâ hi rah, 19 78, hl m. 8:122. A l - Kha m îb, A l- Kifâya fî Ucûl ‘Ilm ar-Riwâyah, ed. Abû Ishâq Ibrâh î m Mu c mafâ a l-D im yâm î, 2 vols. Kai ro: Dâr a l -Hu dâ, 14232003, h lm. 1:39 9. 3 9 Pariva sh Jamzad eh, Ale xand er H isto ri es and I ran Ref le ct ions, The R emnan ts of Pro pag anda and Res ist ant , Le id en -Bos ton: Br i ll, 201 2. 4 0 Isl am d i Indone sia m em i l ik i ci ri kh as t ers end ir i kar ena terdapa t k ea rif an loka l y ang m asi h dip ra kti k kan , tetapi dengan menggunakan argumen bid‘ah sangat mengganggu eksistensi kearifan lokal. Geoge Jel l ine k, The D ec la ra tion o f the Righ t o f Man and o f Ci tizen: A Con tr ibut ion t o Mod ern Cons ti tut iona l Histo ry, W estport: Hyp er ion, 190 1, hlm. 9 3 -97. 4 1 Hamp ir t idak ada infor mas i yang m en ce rit aka n tenta n g asim i las i budaya Spanyol ya ng Kr ist en deng an agama pend atang Is la m, ter k esan Spanyo l pra - Is lam t i dak m em i li k i budaya yang c uk up tingg i seh ingg a dit iadak an dala m panggung se jar ah. Padahal, pe ris t iw a pem indah an tahta suc i Roma ke Spanyo l me rupa kan p er ist iw a bes ar ya ng m engubah se ja rah u mat Kr ist en. Pola te kana n te rhadap buda ya loka l hanya aka n meng ha s il kan t eka nan re ak si te rhadapn ya seh ingga yang ter jad i adal ah peno lak an ter hada p Isl am itu s end ir i yang pu nca knya t e rjad i da la m pe rist i wa Requ ist a. Re quis ta ada lah ist il ah yan g diguna kan ol eh Raj a Ferd ina nd dan Ratu Isabe l la untuk m emob il isa si k e kuata n umat Kr ist en untu k me rebu t k emba l i dae rah -d ae rah m er e ka yang t e lah dik uasa i ol eh k e kuata n Is lam. Br ems. E, Hum an Righ ts: Univ ers ali ty an d Dive rs ity The Hague: Ma rti nus Ni jhoff, 20 05. 4 2 Hamp ir s emua imp er iu m yang be rtaha n la ma dis ebab kan ol eh s ikap me re ka da lam me ngharga i n ila i - ni lai lo ka l masya ra kat s et e mpat s eba li kny a tu mbang nya ke kuas aannya k et i ka masya ra kat lo kal yan g me m il i ki ci r i kh as te rs endi r i. Wendy, Re gula ting Ave rs ion: Tol er anc e in th e Ag e of Iden ti ty an d E mpi r e Prin ceton e, NJ: Pr inc eton U niv er sit y Pr ess, 2006. 4 3 Alex Kingbury, “Legacy Islam and Christianity,” dalam US News Report World Report, Vol. 143 2007, hlm. 5 0 -53. 4 4 Ke yak ina n bahwa s em u a manu sia sa ma di mata Al lah merup aka n hal yang pa li ng sul it dit e ri ma ol e h masya ra kat Qu ra isy yang meng andal ka n sist e m sosio e konom i nya da ri s ist em pe rbuda kan. Nab i Muha m mad Saw. send ir i pun tida k ser ta me rta m engha pus siste m pe rbudak an, me la in kan se cara g ra dua l kar ena a kan m embua t col lap s mas yara kat A rab ket i ka itu. Par ri nde r G, Wo rld Re ligi on: F rom Anci en t Histo ry to th e Pr esen t N ew Yor k: Fa ct on F il e, 1983. 4 5 Penun ju kk an Abu Ba kr t er hadap U mar s ebaga i p e ngganti d ir iny a sebaga i kha l ifah s ek i las men ya lah i pr ins ip mus ya warah yang me re fl e ksi kan egal it er d i da la m Is la m. Wa laupun d em i ki a n tampa knya si kap Abu Ba kr ha nya unt uk m eya k ink an Uma r da lam m em i ku l tanggung ja wab t er sebu t set ela h dia m e li hat bagai mana u mat Is la m k et i ka itu meng ing in kan U mar s ebaga i kha l ifah ke -2. Liha t Ali Sh alaq, ‘Aql as-Siyâsi fî al-Islâm, Cet. I Beirut: Dâr al-Mâda li ath-THibâ‘ah wa an-Nashr, 1985, hlm. 34-36. 4 6 Ada k ec ende rungan mas yara kat Is la m s eca ra t eolog i tetap b erp egang t eguh bah kan se car a tega s meng aku i s ebagai Mus l im, te tapi t ida k para le l denga n pene r i maa n me r eka t erhad ap pen er ima an huk u m Isl am s eca ra for ma l. Hamp i r se mua n egara Is lam t etap mengg una kan hu ku m se ku le r Ba rat. 4 7 Penghan cura n ter en cana t erhad ap patung Buddha d i Bam iyan o le h pem e rin tahan T al iban ya ng te la h berus ia 2 000 ta hun atas d asar a rgu men untu k mengh a ncur kan b erh ala. P er ist i wa pe nghan curan be rha la yang terdapat di dalam Ka’bah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. merupakan inspiras i pem er inta h T al iban dala m m enghan cur kan patung Buddha. H arus dipah am i bah wa k et ik a N ab i Muhammad Saw. menghancurkan berhala di dalam Ka’bah sebaiknya dipahami bahwa Ka’bah yang didirikan oleh Nabi Ibrahim didasarkan prinsip Tauhid. Ketika Ka’bah tersebut dipenuhi oleh berhala yang dianggap Tuha n ten tunya sa ngat be rte ntangan dengan pr ins ip tauh id da la m m endi r ika n te mpa t suci i tu. A kan t etap i, Nabi Muha mmad Saw. tid ak pe rn ah m em e rin tah kan me nghan cur kan satu b er hal a pun sela in itu, seh ingga t ida k me nya lah i prin sip I sla m yang m enga kui keb ebasa n beraga ma. Fa re e d Zaka ri a, The Ris e of I lli be ral Demo c ra cy For e ign Affa ir s, Nove mbe rDe ce mbe r, 1997. 4 8 Ada yang an eh da la m masya ra kat I sla m u mu mnya, khu susnya d i Indo ne sia. Wala upun me re ka m enga k u sebaga i s eorang M usl i m, da lam ha l pe mb er la kuan h uku m I sla m mas ih m endapat kan res ist ens i y an g sangat ku at, te rmas uk da ri p iha k u mat Is la m se ndi r i. Kasu s k egaga lan men jad i kan Pi agam Ja kart a sebaga i unda ng -undang dasar n egara sebaga i ind i k asi b e lum te rpanc arny a konsep Is la m s ebaga i rah m at an lil ala min . 4 9 Proses is la mi sas i pe rundang -undanga n Indo n es ia p ern ah gagal dua ka li: kas us P iagam Jaka rta da n m as a pemerintahan Natsir sebagai perdana menteri tahun 1957. R.E. Elson, “Two Failed Islamize the - Indonesian Constitution,” dalam Sojourn: Journal of Social Issue in South East Asia , Vo. 28 No.3 2013, hlm. 3 79 -43 7. 88 5 0 Sayyid Qutb, Miles tone s on the Ro ad Bloo mi ngton, I N: Ame ri can T rust Pub li cat ions, 1991. Ahmad S. Mousa l li, Rad ic al Is lam ic Funda men tal ism: The I deol ogic al and Poli ti cal Dis cours e of Sa yyid Qu t b Syracus e: Syra cus e Un iv ers ity P res s, 1993. 5 1 Aneh m el ihat s i kap bebe rapa pe mi mp in Eropa saat i ni yang ce nde rung m enya lah kan ko nsep mul ti - cultu ra l yang di anggap gagal. P ern yataan Ang e la M er ke l P M Jer man t entang gaga lny a sist e m mul ti ku ltu ral d i Eropa tampa k nya dit uju ka n pada mas yara kat I s la m di Eropa sebaga i anca man ka re na dapat me ngubah Eropa ya ng Kr ist en d engan p ertu m buhan mas yara kat Isl am s eca ra s ign ifi ka n. Riv a Kastoryano, “Religion and Incorporation’: Islam in France and Germany,” dalam The International Migr at ion R evie w P ro Ques t So cio logy Fa l l 2004, h lm. 1234. 5 2 Ke ci a Ali, Sexual Ethics and Islam: Feminist Reflection on Qur’an, Hadîth, and Jurisprudence Oxford: On ewo rld Pub l icat ions, 20 06, hl m. 134 -1 37. 5 3 Moore Kathleen, “Islamic Legal interpretation’: Muftis and Their Fatwas, ” dalam Contemporary Sociology: Pro Ques t Soc iolog y 1998, hl m. 199. 5 4 Ke yde r, Çaglar, ed. Is tanbu l: Bet we en the G lobal an d the Loc al La nham: Ro wma n and Li ttl e f ie l d Publi she rs, In c., 1999. 5 5 Sel i m Der ing i l, The Wel l-P ro te ct ed Do mains: I deol ogy and th e Le gi tim at ion of Po we r in th e O tto ma n Em pi re, 1876 –1909 London: I. B. Tauris, 1998. 5 6 Sangat disay angk an ka j ian f iqh yang m engadops i pe m i ki ran int egras i Is la m deng an budaya non - Mu sl i m yang ber la ku pada masa K era jaan Mugh al dapat m em ber ik an nuans a ako m odat if t erhadap k eya k ina n minoritas. Hefner RW, “Multiful Modernities’: Christianity, Islam, Hiduism in Globalizing Age,” dalam Anu. Rev. An th ro pol 27 1 983, hl m. 83 -1 04. 5 7 Keb erh asi lan A kbar da lam me mp er luas w i laya hnya k aren a ke c er matan A kbar dal am m e l ihat kond is i masya ra kat, yai tu dengan me mdayagu na kan k ek uata n -k e kuatan pe ndudu k asl i Ind ia yang m ayor ita s beraga ma H indu. Metod e m ena ri k s impat i p endudu k a sl i dengan me mb er i te mpat tu mbuh s egal a j en is ke yak in an yang te lah ada s e jak dahu lu. Pe nghor matan Akbar te rhadap t rad is i -tr adis i p eny e mbahan d i Indi a m endapat kan si mpat i da ri mas yara kat as li Ind ia, bahkan agama Si kh d ianggap sebaga i s in kr et is m e antara Is lam d an H indu. Orang -o rang p enganu t aga ma ini d i manfa atk an Su ltan A li A kba r seb aga i kompon en p ent ing da lam m en jaga ked aul atan Nega r a, bahkan d ia m enghad iah kan s ebuah ku i l e ma s kepad a ka um S ik h in i. Sa mpai se kar ang di anggap seb a gai t empat pa l ing su ci d i dun ia bag i kaum S i kh. Syed Mahm udunnas i r, Isla m I ts Conc ep ts and H isto ry, Ne w De lh i: K itab B ahavan,19 81, hl m. 282. 5 8 Em manua l S ivan, Why Radical’s Muslim aren’t Taking Over Government in Revolutionaries and Reformers: Cont em por ar y Isl am ic Move men t in th e Mid dle Eas t 1 Bary R ubin, ed.,St. U.of N.Y. Pr ess, 200 3, hl m. 8. 5 9 Di nega ra -n ega ra Ba rat, sep e rti d i Canada, s e kola h Is la m buka n hanya t e rdi ri mur id - mu rid Mus l im jug a dari aga ma la in se hingg a ni lai -n ila i lo ka l mas yara kat Canada yang m engan ut pri nsip pl ura l ita s digand eng da lam prinsip Islam. Lihat Nadeem Memon, “Social Concious in Canadian Islamic Schools,” dala m In t. Im ig rat ion and Int eg ra tion Sp ring er Sc ien ce Media B.V 2010, h lm. 8 - 15. 6 0 Ger ak an purit an ism e se ring s ek al i tida k m emp er hat ika n kea rif an lo kal, bah kan tida k ja r ang ge rak an in i sangat t er ka it d engan paha m wahab ism e yang d i ke m bang kan di Saudi Arab ia. Te r kadang g er aka n in i diseb ar kan s et ela h m e lak uk an kon tak denga n ka lan gan wahab i, t erut ama m ela lu i p end idi kan yan g dilakukan di sana. Lihat Massoud E. Tarek, “The Ara bs and Islam: The Trouble Search for Legitimacy,” dala m Dae dalus: Pro Que st A gr icul tu re Jou rna l Spring 1999. 6 1 G. Ma kd is i, The Ri se o f th e Co lle ges: Inst itu tions o f L ea r ning in Isla m an d the Wes t Edinbu rgh: Ed inburg h Univ er sit y Pr ess, 1981. 6 2 Rea li tas um at Is la m te rs ebar sudah mu la i te rseba r d i nega ra -n ega ra Ba rat yang s el ama in i id ent i k dengan “Kristen” tentunya harus ada pendekatan hukum yang mengakui hak kaum minoritas yang diaku i seca ra un iv ersa l. M artt i Kos k enn ie m i, Fr om A polog y t o Utop ia: the S tru ctu re o f In te rna tiona l Le gal - Ar gumen t, Camb ridg e: Camb ridg e Un iv ers it y Pre ss, 20 05. 6 3 Gamba ran h uku m t enta ng j i latan an ji ng m e mi l ik i p er seps i yang be rbeda d i ka langan u lama k ar en a men yam aka nnya d engan keh ara man bab i tent unya be rbeda da la m kon t e ks se ja rah. K ebi asaan ora ng - orang Arab ke ti ka pada masa N abi Muha mmad Sa w . yang sering be rpe rg ian dengan an j ing untu k men jaga ba rang daga ngan me re ka t ida k j arang ma kan mengg una kan t empa t yang sa ma d enga n anj ingnya. 6 4 Bow en J, Why the France don’t Like Headscarve Princeton: Princeton University, 2006. Burgat F, Face to fac e w ith po lit ic al Is la m London: I B. Tau ris. 6 5 Di negar a -n egara Mus li m yang mas ih trad is iona l, pem ahaman f iqh k las ik yang c end eru ng sangat rig i d men i mbu lka n masa lah t er send i ri da la m tatar an sosia l k ema syar aka tan ka r ena be rtol ak b ela ka ng kond is i ki ni yang jau h be rbeda di sebab kan o l eh l ead ing p era daban dip egang o l eh B arat. M e lih at r ea l itas in i 89 banyak da ri mas yara kat Mus l im y ang m e lak uka n r ea ks i yang kurang b i ja k dengan ja lan ke k eras an, sepe rt i yang te rj adi feno m ena mun cul nya k elo mpok Boko Ha ra m d i N eg er ia, ash -Shabab d i Som al ia , ataupun Ta liba n di Afgan istan. T entun ya yang m en j adi korban bias anya o rangtua, ana k -ana k da n per empu an. 6 6 J. Bowen, Why the French don’t Like Headscarves Princeton: Princeton University Press, 2006. 6 7 Te rm asu k dala m me mpos isi kan p er e mpuan da la m stru ktur masy ara kat Mus l im s aat i ni t erd apat ambiv al ens i bi la m e lih at sumb er f iqh kl asi k de ngan re al itas sosi al yang ada. Liha t Jer i Altn eu Se chz er , “Islam and Women: Where Tradition Meets Modernity, History and Interpretation of Islamic Women’s Status,” dalam Sex Role, ProQuest, vol. 51 September, 2004. 6 8 Nabi M uham mad s e ring m emb er i p engobatan k epada orang yang sak it d idasa r kan il mu p engobata n yang dia jar kan beb erap a suku ped ala man bangsa Ara b ket ik a itu, te rnyata bany ak dar i m er e ka yan g semb uh. Al- Qa râdhâ w î, As- Sunnah w al Mas da ran, h lm. 63-67. 6 9 Mahs un Fuad, Huku m Is lam Indon esia: D ar i N ala r P ars ipat or is hingg a E mans ipa to ris Yogy aka rta: L Ki S , 2005, hl m. 63 -6 5. 7 0 R. Kipp, Disso cia te d Id ent it ies: Ethn ici ty, Rel igion, and Clas s in Indones ia So cie ty, Ann Arbo r: Un iv ers it y of Mi ch igan Pr ess, 1993. Kus ni ck, G, P ar ent -O f fsp ring Confl ic t amon g the K aro o f No rth Suma t ra, Ph D Disse rt at ion, An th ro polog y, Seatt l e: Un ive rs ity of Was hington, 20 06. M. S ingar i mbun, Kinshi p De cen t and All ian ce a mong th e Ka ro Ba ta k, Bar ke l ey: Un ive rs it y of Cali forn ia, 1975. Susan Rog er, P rin t, Poe ti c, and Pol iti cs: a Suma t ran E pi c in Co lonia l Ind ies and Ne w O rd er Indone sia Le ide n, 2005. M. Bo rge rhof f Mulder, Hamilton’s Rule and Kin Competition: Kipsigis’Case, Evolution and Human Behavior Boston: Bla ck w e ll, 200 7, hl m. 297 -3 10. 7 1 Gra em e J. Whi te. Res to rat ion and R efo rm 1153 –1165: Recovery from Civil War in England, Cambridge: Cambr idge Un iv ers ity Pr ess, 2 000. W i ll ia m B la ck stone, Com men ta rie s on the La ws o f Eng land, Edit ed fo r Ame ri can La wy ers by W i ll ia m Ha mmond San F ran cis co : Bancroft –Whitney Company, 1990. 7 2 Sebena rnya fiqh Indon es ia te lah t erb ent uk s ec ara infor mal yang m e rupak an s inte sa anta ra Is la m de nga n ni lai -n ila i lo ka l. Acara ha la l bi l hal al di bu lan Sya wa l, me mbac a mar haban k et ik a me ni kah, adany a mas a ber kabung se la ma 40 hari yang dapat dia rti kan s ebaga i masa iddah bu kan hanya bagi pe re mpuan jug a bagi pri a. Hal- hal t ers ebut sudah d ipra kt i kka n di dal a m masy ara kat Indon es ia yang t ida k dit emu kan d i negar a-n egara la in, te ruta ma di T imu r T engah. 7 3 Nouruz zama n Sidd iq i, Fiqh Isl am Indon esia: Peng gag a s dan G agas annya Yogya ka rta: Pusta ka P ela ja r, 1997, hl m. 213 - 216. 7 4 Konsep p ema ham an fiqh s ela in ha rus m enga cu pada teks nas juga m e l ihat r ea lit as ni la i -n i lai no rm a yang be rla ku p ada suatu mas yara kat seh ingga aka n me mbe r ika n e fe k ke adi lan bag i s e mua. Y udia n Wahyud i, Ushul Fiqh V er sus He rmen eu t ika, Me liha t Isl am da ri Ka nada Yogya karta: P esant ren Naw es e a Press, 20 07. 7 5 Form ula si kons ep qath‘î dan zanni selama ini masih menimbulkan masalah dalam menentukan batasan ked uanya. Kar ena itu, ha rus ad a al asan logi s yang dap at dit er i ma s eca ra pr ins ip uta ma y ang di sepa kat i di ka langan a kade m ik. R ela tiv ita s suatu paradig ma k e il muan ha rus disad ar i ole h sem ua sta ke holde r s akad em i k seh ingga m engh indar i k la i m yang m e rusa k s ema ngat a kade m ik. 7 6 Ka jia n f iqh s e lama i ni hanya m emb agi p ada wi lay ah iba dah dan mua mal ah. Se m enta ra ist ila h m uama la h mas ih te rla lu l uas pe mbahasan nya se hingga p er lu ad anya clus te r k ei l muan yang l eb ih khu sus untu k me mudah kan p eng embang an k e il muan. Po la k e il muan dala m Is la m mas ih t erp enga ruh pr ins ip gen er al is , sebaga ima na dita mp il kan ol eh soso k ula ma k las i k yan g menguas ai beb er apa bidang k e i lmua n. S. Nasr, Isla mi c Lev iath an: Isl am an d th e M akin g of S t at e Po we r Oxford: Oxfo rd Un iv ers ity Pr ess, 20 01. 7 7 Mahmood. S, “Ethical Formation and Politics of Individual Autonomy in Contemporary Egypt,” dalam Soc ial Res ea rch , 70,3 200 3, hl m. 837 –866. 7 8 Brian Mcveigh, “Linking State and Self : How the Japane se State Bureaucratizes Subjectivity Through Moral Education,” dalam Antropological Quarterly July 1998, hlm. 125-137. 7 9 Stig S. Gez e l ius, Con ce ptua l F ra me wor k fo r a S tudy o f Au thori ty, vo. 44, Palg rav e Mac m ila n: Acta Pol it ic a, 2009, hl m. 241 - 258. 8 0 Ali Ja wâd, Al -Muf assal fî Tâ rikh Qa bla a l - Islâ m, Vol. 10 Bei rut: Dâr a l - ‘Ilm Lil Malâyîn, 1970. 8 1 R.N. B el lah, et a l, H abi ts o f th e He ar t, B er k el ey: Un ive r sity of Cal ifo rn ia Pr ess, 1 985. Lih at j uga Coh en, J. ed., For Love of Count ry. De ba ting th e Li m its o f Pa tr iotis m, Boston: Bea con Pres s, 1996. Juga Adel a Cortina, Civi l E thi cs and the Va lid ity o f L aw N eth er lan d: Klu we r Acad e mi c Publ ish er, 2 000, hl m. 39 -5 5. 8 2 Isbâ l ada lah me ma ka i ka in ata u c e lana d i ata s m ata ka ki, h al te rseb ut man ife stas i s imbo l da ri ras a senas ib di ka langan u mat Is lam ket i ka m enga lam i k es ul itan e konom i ak ibat e mbargo dar i piha k kaf i r Qur ais y. Akan tetap i, Is bâl se kar ang i ni d i jadi kan sal ah satu s imbo l dar i ket aatan s es eorang da la m 90 meng i kut i sunnah Nab i Mu ham mad Sa w ., alang kah ba ik nya juga me maha m i ma kna dar i is bâl it u send ir i . Dewa sa in i me re ka yang se car a je las m e mpra kt ik kan sunnah dari segi penampilan adalah “jamaah tabligh” yang berusaha menjauhkan diri dari dunia politik. Mumtaz Ahmad: “Islamic Fun damentalism in South Asia: The Jamaat Islâmi and the Tablîghi Jama‘at of South Asia,” dalam Marty, Martin E. and Scott R. Appleby eds., Fundam ent alis m Obse rve d , Vol. 1 Chicago, London, 1991, h lm. 457 –530. 8 3 C. Hir sch k ind, The Eth ica l Sounds cap e: Casse t the Se rmons and Is lam ic Coun te r Publi cs Ne w Yor k : Columb ia U niv e rsit y Pr ess, 2006. 8 4 Ada sebuah stas iun te le vis e swa sta Chann el 4 di Ingg ris 23 Jul i tahun 201 3 yang me nguma ndang ka n azan magh rib s ec ara l ive ha l te rs ebut m en imbu l kan r es pon dari masya ra k at di sa na. 8 5 Ges tal t s eca ra s ed erhan a dapat d ia rti kan pe rsep si yan g mun cul a kibat en tit as sos ia l yang tu mbuh da r i suatu kelompok masyarakat. Elisabeth Huberly, “The Role of Temporo Parietal Junction TPJ in Global Gestalt Perception,” dalam Brain structure and Function: ProQuest July 2012, hlm. 735-746. 8 6 Royal Mottah ed eh, Loy alt y and Lea de rship in Ea rly Isl a mic So cie ty I.B Tau ris a nd Co, Lib rar y Conggre ss Class if ica tion DS35, 20 01. 8 7 Kha li l Abdul Kar im, Qur aisy m in al - Qab îla il â ad - Daula h al-Mar kaz iyyah, Beirut: Mu’assasah al-Intisya r al- ‘Arabi, 1993. Lihat juga Konsep kepemimpinan di tangan suku Quraisy hanya simbolik, Abd. Ar - Rahma n ibn Kha ldun, Muqa ddi mah ibn Khaldun Kai ro: Dâr al- F ik ri,t.th, h lm. 19 0 -19 5. 8 8 Salah satu k es impu lan d a la m se m inar P e kan Buda ya I r an di U IN Ja kart a 2012. 8 9 Jan E. Stets and Alicia D, “Cast, Recourses and Identity Verification from Identity Theory Perspective.” Soc iolog ic al P ers pe ctiv e Univ ers it y of Cal ifo rni a P ress , vol.50 2007. 9 0 Seja rah ko mpi las i had its, b ai k itu m enur ut kor idor S unni maupu n Sy iah, meng ind i kas ik an p er ebuta n monopol i ke kua saan da la m s ubj e k yang di anggap sa ng at pent ing, sep ert i hadit s maupun sunnah, ka re na itu s e lal u sa ja m enggun aka n j alu r khi la fah maupun i mam ah dal am me ndapat kan leg it im asi dar i u ma t Isl am, l iha t Moh am mad Ar koun, A l-F ik ri al -Is lâ mi t.tp:t.th, hlm. 102 -03. 9 1 Fox J, “The Influence of Religious Legitimacy on Grievance Formation by Etno -Religious Minorities.” Journa l of Pe ace Res ea rc h 1999: 290 -3 06. Lihat Pippa Norr is and Rona ld Ingl eha rt, Sa c red and Se cula r, Cambr idge: Ca mbr idge Un ive rs ity Pr ess, 200 4, hl m. 17 -39. 9 2 Yang me mb ingung kan da la m me mbangu n kon sep fi qh berba sis si tuas i s ek arang in i t er l eta k pad a ke ma mpuan m e mbuat pe m e taan yang b enar t er hadap kebu tuhan f iqh it u send ir i. Masa lahny a me ngap a ka jia n fiqh yang dia ku i seca ra fak tua l stagnan tetap i sela lu di harap kan k ebang k itanny a ke mba li kar en a umat Is la m tida k aka n mung ki n ter l epas dar i pengar uh fiqh itu send i ri. Se ja k awa l berd i rin ya, foundin g fath ers ka j ian huk um Is la m yang d ia wa li ol eh Nab i k e mudi an d ila nju tka n de ngan sah abat t ida k pe rna h me m isah kan adan ya di khoto m i antar a Sunn i dan Sy ia h. W. al-Zu hay li, Al- Fiqh a l-I slâ mi wa- Adi lla tuh Damas kus: Dâr a l-F i kr al - Mu’assir, 1997. Christopher Melchert, The Formation of the Sunni Schools o f Law, 9 t h -10 t h C entu rie s C. E. Leid en and Ne w Yor k: E. J. Br il l, 1997. 9 3 Grego r Sc hoe le r, The O ral and the W ri tt en in E ar ly Isla m , ed it ed by Ja mes E. Montgo m er y and t rans lat e d by Uw e Vag elpoh l N e w Yor k: Rout l edge, 200 6, hl m. 33 -36. 9 4 R. I Be ek un, Isl ami c Busin ess Ethi cs He rndon VA: Int ern ationa l Ins tit ute of Is la m ic T hought, 1997. Bo wi e N, Business Ethi cs, Engl e wood Cli ffs, NJ: Prent i ce Ha l l, 1982. Al-Rays uni A, Im am a l- Shatibi’s Theory of th e Hi gh e r Ob je ctiv es an d In ten ts o f Isla mi c L aw H e r ndon: Int ernat iona l Inst itut e of Is lam i c T hought, 2006. 9 5 Ebrahim Moosa, “The Debts and Burdens of Critical Islam”, dalam Progressive Muslims: On Justice, Gender and Plu ral ism, ed. O mid Saf i Oxfo rd: On ewo r ld, 2003, hlm. 11 8. 9 6 Seja rah Is la m t idak m eng ena l adan ya b eban gan da bagi s uatu k elo mpok mas yara kat. D ala m pem er inta han Is la m, piha k int erna l uma t Is lam di k en akan m e mbayar za kat, se m entar a itu bagi non - Mus l im d ibeban kan me mbay ar paj ak. T ida k bol eh m e mbeban kan k eduanya, a kan te tapi u mat I sla m d i Indone sia s e ja k m erd ek a hingg a k in i se la lu m enga la mi double bu rd en . 9 7 Undang -und ang zaka t in i sebe narn ya sudah disa hka n DPR Dewan Per wa k ila n Rak ya t pada mas a pem er inta han B.J Hab ib i pada ta hun 20 00. Aka n te tapi, dala m tata ran p ela ksa naan p erat uran p e me ri nta h tak ku nju ng ada, banyak ha l yang mung k in mun cu l dal am pe lak sanaan nya. Sul itnya da la m penga wasa n zakat yang di konv er si k e dal am b entu k pa ja k, t en t unya m e mbutuh kan s kil l bu kan han ya ma sal ah akunta nsi p erpa ja kan juga masa lah yang me nyang kut dengan hu ku m Is la m. 9 8 F. Vogel,” Closing of the Door of Ijtihâd and the Application of the Law.” American Journal of Islamic Soc ial Sc ienc es , Vol.10 199 3, hlm. 399. Ba nding kan dengan J.N.D. Anderson , La w R efor m in Egypt : 1850 –1950, in P.M. Holt Ed., Political and Social Change in Modern Egypt, Oxford University Press, 1968, hl m. 209. 91 9 9 Ali Khan, “ ‘The Opening of the Islamic Code:’ the Second Era of Ijtihâd.” University of ST. Thomas Law Journa l 2004. 1 0 0 Moham mad Hash i m Ka ma l, Pr inci ple s of Isl am ic Ju r ispru den ce , se cond rev is ed Kua la Lumpu r: Il m iah Publi she rs,199 8, hl m. 3. 1 0 1 H. Dabash i, Autho ri ty in Is lam: fro m the Ris e of Muha mma d to th e Es tab lishm ent o f the Uma yyad s, Ne w Bruns w ic k: T ransa ct ion Publ ish ers, 1 989. 1 0 2 Munc uln ya kla sif i kas i u la ma dida sar kan p end ek atan m er e ka da lam m ema ham i t e ks nas da n per masa lahan yang t i mbul d ala m p er ke mba nga n za man, s epe rti dala m kasu s pe rc era ian ataupu n hukuman bagi si pezina. G. Hawting, “The Role of Qur’an and Hadîth in the Legal Controversy About the Rights of a Divorced Woman During Her ‘Waiting Period’iddah.” BSOAS 521989, hlm. 429–444. J. Burto n, “Law and Exegesis: The Penalty for Adultery in Islam,” in: Approaches to the Qur’an, G.R. Hawting, Abdul- Kade r A. Shar eef, eds London: Rout l edge, 19 93 , hlm. 269 –284. 1 0 3 Muha mmad Abû Z ahra h, Ucûl al- Fiqh, Ka i ro: Dâr al- Gafah a l-þAr abiy yah, 1377 A.H. , hl m. 254. 1 0 4 Peno la kan s ebagi an ahl i had its te rhadap pe r iwa yat an hadits yang d il aku kan o leh or ang -ora ng yang dikategorikan sebagai pelaku bid‘ah hanya akan membuat semakin kecilnya sumber daya hadits. Lihat Ibn Haj ar al - ‘Asqalânî, Nuzat an-Nazar fî Tawdhîh Nukhbat al-Fikr fî Musthalah Ahl al-Atsar, Dimasyq: Mathba’at as-Sabâh, 2000, C. III, tahqiq: Nûr ad -Dîn ‘Itr, hlm. 99-105. 1 0 5 B edn er, A.W, To wa rds Mean ing ful Rule o f L aw R esea rch: An Ele men ta ry App roa ch, Leid en: Va n Voll enhov en Inst itut e, 2004. 1 0 6 Bag i Shahr ur ca ra m emba ca t eks hu ku m haru s m el aku kan ko mb inas i antar a tetap m e mpe rtahan ka n ori entas i nuans a l it era l is dengan s i kap progr ess if t er hadap nas. M. Shahr ur, Al -Ki tâ b wa a l- Qur‘an: Qirâ’ah Mu‘atstsirah, cet. 2 Damaskus: Dâr al-Ahali li at-Tiba’ah wa an-Nashr wa at -Tauzi,‘ 1990, hlm. 823. 1 0 7 Mah mud Sya ltut, Al -Is lâm: a l- Aqid ah wa asy - Syari‘at Kaio: Darul Ma‘ârif, 1996, hlm. 23. 1 0 8 Muha mmad ibn Idr îs asy - Syafi‘î, Ar-Risâlah, tahqîq: Ahmad Muhammad Syâkir, Beirut: Dâr al -Kutub al- ‘Ilmiyyah, t.th.. Ada bantahan dari Norman Calder yang mengatakan bahwa kitab al-‘Umm Imam Syafi‘ î bukan ka ryany a, a kan t etap i kar ya dar i mu rid -mu r idny a. Dala m r enta ng wak tu ya ng cu kup la ma h ingg a dua ratus tahun baru sep ert i yang di k ena l sek arang, hal itu m en i mbul kan r ea ks i dengan bantaha n di kalangan akademisi. Ahmed El Shamsy, “A Textual History of al -Shafi‘i’s Kitab al-‘Umm and Risalah.”paper presented at the 217 t h M eet ing of th e Ame ri can Or ien tal Soc ie ty, San Anton io Ma rc h 2007, hl m. 16 -19. Tamp akn ya Me lc he rt se tuj u deng an Nor man Ca lde r bah wa k itab a r- Ri sâlah Ima m Syafi‘i terbentuk bukan pada eranya, tetapi setelah sekian lama dari masanya. Lihat C. Melchert, For ma tion o f th e Sunni Sch ool s of La w, Le ide n: E.J. Br i ll, 1997, h lm. 6 8. Me ma ng ada k esu l itan da la m men e li ti tu lis an d i a wal te rbe ntu knya maz hab di da lam Is lam anta ra p engara ng kitab deng an kary anya . Te rk adang ada pe ngarang y ang m engguna kan ka rya utama ya ng sudah t er ke nal aga r m endapat ka n perhat ian da r i ko mun itas a kade m i k k et ika it u. 1 0 9 Haeri Niloofar, “Form and Ideology: Arabic Sociolungistic and Beyond.” Annual Review of Anthropology, Pro Ques t 200 0, hlm. 69. 1 1 0 Ka te ri na Dala coura, Isla m, Li be ral ism an d Human Ri ghts: I mpli ca tions fo r Int e rnat ional Re lat ions , r ev. ed. London Ne w Yor k: I. B. Tau r is, 2003, hl m. 190 -1 93. 1 1 1 Wa el B. Ha l laq, A His tor y of Is lam ic L ega l Theo ri es: An Int rodu ct ion to Sunni Usul a l -F iqh, Cambr idg e, UK: Ca mbr idge Univ e rsi ty Pr ess, 1997, h lm. 22 9 -40. 1 1 2 Suhail H. Hashmi, “Islamic Ethics in International Society”, in Islamic Political Ethics: Civil Society, Plur alis m, and Con fli ct , ed. Soha i l H. Hash mi Pr in ce ton Univ er sit y Pr ess, 2002, h lm. 16 3. 1 1 3 Ahm ad Am in, E ti ka I lmu Akhla k, Bu lan B intang: Ja kart a , 1997, hl m. 147. 1 1 4 Ebrahim Moosa, “The Poetics and Politics of Law after Empire’: Reading Women’s Rights in the Contestat ion of La w. UC LA Journ al of Isl ami c and Ne ar Eas te rn L aw 1 Fa l lWi nte r 200 1 -200 2. 1 1 5 Muhammad Khalid Mas’ud, “Pluralism and International Society”, in Islamic Political Ethics: Civil Society, Plur alis m, and Con fli ct , ed. Soha i l H. Hash mi Pr in ce ton Univ er sit y Pr ess, 2002, h lm. 13 6 -141. 1 1 6 Bukan maksud menghidupkan kembali aliran Mu‘tazila h, akan tetapi hal ini dimaksud kan untuk lebih meng int ens if kan m en er ima sumb e r -su mbe r ijt ihad di ka langan umat Is la m s end ir i de m i t er cipt any a ke mba li ga irah i jt ihad d i du nia Is la m. S eyy ed Hoss e i n Nas er, Id eals and R eal it ies o f Isl am, Boston: Georg e Al l en Unw in, 19 75, hl m. 100. 1 1 7 Asad Talal, “Boundaries and Right in Islamic Law’: Introduction Social Research, ProQuest Fall 2003, hlm. 68 3. 1 1 8 Abu Abdul lah Muh am mad bi n Is ma il, al - Jami‘ as-Sahîh Beirut: Dâr as-Sadr, t.th, hlm. 3. 1 1 9 Mar ce l A. Bo isard, Hum anis m in I sla m, Indon es ian Ed it ion Jakar ta: Bu lan B inta ng, 1980, hl m. 110 -120. 92 1 2 0 Is la m la hi r di te ngah -t engah masya ra kat yang m en gagungkan su atu benda ya ng dianggap su ci da n dapat m emb er i en erg i be sar da la m ke hidup an m e re ka . Isla m me mb er i kan a lasan yang ras iona l dal a m kons ep tauh id yang d ita war kan k epada mas yara kat l int as mas a. Liha t G.R. Ha wti ng, Th e I dea of Id ola ta r y and th e Em e rgen ce o f Isl am: F ro m Pol em ic to His tor y, Cambr idge Un ive rs ity Pr ess, 199 9. 1 2 1 Dav id Ren é and John E.C. Brie r ly, Majo r L ega l Sys tem s in the Wor ld T oday : An Int rodu ct ion to th e Com pa ra tive Stud y of La w , 3rd ed n. London: Stev en s and Sons, 1985, hl m. 429. Liha t juga Igna z Goldz ih er, Int rodu ct ion to Is lam ic Theo logy and La w, N ew J ers ey: P ri nc eton U niv er sit y Pr ess, 1 981, h lm . 4-6. 1 2 2 Batia Sunil, “Strategic Subversions of the Sacred: The Cultural Psycology of Religious Identities.” Data Base: Bus iness Sour ce El it e , Vol. 12 Mar ch 2012, h lm. 60 -75. 1 2 3 N ega ra-n egara Arab ha mpi r tida k mung k in ti da k m e ngait kan denga n si mbol Is la m sebaga i bagian dar i pri de nas iona l is me y ang m er e ka mi l ik i. A kan t etap i, dal am m asa lah keb ebasan d i da la m be rpol it ik sanga t tert ingga l jauh de ngan bag ian be lahan dun ia la inny a . Ak ibat da ri k ult ur qu asi -teo kr asi yang se r in g dipro mosi kan ol eh pengua sa dengan m engata ska n nama kan si mbol -s imbo l ke agama an yang suc i. Bahk an, f re edo m house me mbuat rang k ing da ri ena m negar a Arab Iraq, Suda n, Libya, Saud i A rabi a, Somal ia, Syr ia yang di jad i kan sa mpe l se muan ya t er masu k yang t erbu ruk da la m hal keb ebasa n mengeluarkan ekspresi atau pendapat. Fareed Zakaria, “The Rise of Illiberal Democracy.” Foreign Affairs, Nove mbe r De ce mb er 199 7. 1 2 4 Abu al -Hasa n al - Ash‘ari, Al-Ibânah ‘an Usûl ad -Diyânah, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. th. 1 2 5 Mars hal l G. S. Hodgson, The Venture o f Isla m: Cons cien ce and His to ry in Worl d Civi liza tion , Chi cago and London: Th e U niv er sit y of Chi cago Pr ess, 1974. 1 2 6 Car l Sch m itt, Pol it ic al Th eolog y , trans lat ed by G. Sch wab, Cambr idg e: M IT P re ss, 2005. 1 2 7 Al -Bag hdad, K it âb Usû l ad - Dîn, B ei rut: Dâr a l-Âfaq al-Jaddah, 19 81, 300. 1 2 8 Renwick. A,” Antipolitical or just Anti Communist? Varieties of Dissidence in East -Central Europe,’ and Their Implications for the Development of Political Society.” East European Poli tics and Societies, 20, 2 2006, hl m. 28 6 –318. Lihat juga Roy. O, Globalized Islam: The Search for a New Ummah, New York: Columb ia U niv e rsit y Pr ess, 2004. 1 2 9 Al - Suyûmî, “Inbâh al-Adhkiyâ’ fî Hayât al-Anbiyâ’ ‘Alayhim as -Salâm,” in Rasâ’il li al-Imâm al-Hafiz Jalâl ad-D în as- Suyûm î, ed. Râsh id a l- Kha lî l î Be i rut: al - Mak taba al- ’Acriyya, 1431 2009, 137. 1 3 0 Set iap peng uasa sangat m e mbutuh kan l eg it ima si unt uk m endapat kan peng aku an dar i masya ra kat de m i keb er lang sungan pe me r intahan nya. Hal t er s ebut juga dila ku kan di dala m pe me ri ntahan Is la m dala m kuru n w akt u yang la ma, l eg iti mas i b iasan ya m enggu n akan mom entu m y ang tep at untu k me mb er ik an efe k yang kuat di da lam sanub ar i rak yatny a. Akan tet api, se jarah me mbu kt ika n betapa be rbahaya ny a suatu l egit i mas i poli ti k, tetap i m engguna kan s imbo l s akra l yang be rl aku d i dala m masy ara kat. Ka re na penguasa yang de mi k ian se ri ng mengg una kan atas nama Tuhan untu k tuj uan poli ti k pra kti s. Hancur ny a domina si k e kuasaan ge re ja d i abad p ert engah an d i Ero pa ak ibat da ri p e n ce mar an pol it i k yang m engata s nama kan Tuh an. Li hat Fran c is Fuk uya ma, The End o f His tor y and the Las t Man, Ne w Yor k: the N ew Pr ess, 1992, hl m. 15. 1 3 1 Alb rig ht. M, The Migh ty the A lm ight y: Re fl ec ti ons on Pow er, God, and Wo rl d A ffa ir s, London: Ma cm i lla n , 2006. 1 3 2 Max W eb er, The Natu r e of Char is mat ic Do m inat ion , in E conom y and So cie ty , 4 t h ed, 19 56, 662 - 679. Dic eta k u lang da la m W.G. Ru nc im an, ed., We be r Sel ec t ion in Tr ansla tion, Ca mbr igd e Un iv ers ity P re ss, 1995, hl m. 225 - 226. 1 3 3 Frithjof Schuon,”Remark on the Sunnah.” Studies in Comparative Religion , vol.6.4 Autum 1972. 1 3 4 Ha k im Kâb ir Abu Ah mad Muha m mad ib n M uha mma d ibn Ah mad ibn Ishaq Nay shabur i Kar abis i, Shi‘ar Ash âb a l-Ha dî ts , ed. ‘Abd al-‘Aziz ibn Muhammad Sarhan Kuwait: Dar al-Khulafa Beirut: Dar al- Basha’ir al-Islamiyyah, 1405 AH, 108. Lihat juga, Abu ‘Umar Yusuf ibn ‘Abd Allah ibn ‘Abd al -Birr, At- Ta mh îd XV I, ed. Mu stafa ibn Ahmad a l - ‘Alawi Muhammad ‘Abd al-Kabir al-Bakri al-Maghrib: Wizarat ‘Umûm al-Awqaf wa al-Shu’un al-Islamiyyah, 1387 AH, 195. Bandingkan dengan Abu Ja‘far Muhammad ibn Hasan Tus i, Al -Khi lâf 1 Qu m: an -Na shr a l- Is lam i I nstitu te, 140 7 AH, hl m. 373. 1 3 5 Sya ms ad -D in adh -Dhah abi, Al- Kashif fî Ma‘rifat man lahu ar-Riwâyah fî al-Kutub as-Sittah I, ed. Muha m ma d ‘Awamah Ahmad Muhammad Namir al -Khatib Jedda: Dar al-Qiblah lith-Thaqafat al- Islamiyyah ‘Ulum al-Qur’an Institute, 1413 AH, 288. Bandingkan dengan Muhammad Husayn adh - Dhahabi, A t- Ta fsi r w a al- Mufas si run II Beirut, Dâr Ihya’ at-Turath al-‘Arabi, 2 n d ed., 1396 AH, h lm. 38. 1 3 6 Aspe k sos ia l sangat b erp enga ruh t erhadap p e maha man t eks k itab su ci ka ren a sa kra l isas i te rhadapn ya seiring dengan kontekstualisasi dengan realitas di dalam masyarakat. Lihat Yves Lambert, “Religion in 93 Mode rn ity as Ne w Ax ia l A ge: Secularization or New Religious Forms?”Sociology of Religion, ProQues t Soc iolog y, fal l 199 9, hl m. 303. 1 3 7 Ahm ad Al-Ans har i, As- Sû râh wa Ta thhir âtuhâ fî ad -D umgr adi a Ka iro: al - Mamba’ah as-Salafiyyah, 1980, hlm. 6 3. 1 3 8 Abul azi z Sach ed ina, Th e Isl am ic Roo ts of Dem oc ra ti c Plur alis m, O xford N ew Yor k: Oxfo rd Un ive rs ity Press, 20 01, hl m. 13. 1 3 9 In spi ras i dar i hadit s yang r i wayat kann ya sangat b erp engar uh te rhadap dun ia Is la m se car a umu m. Bahk an, pe rk ataan Nab i Muha mmad Saw. t enta ng seba i k -ba i k ma nus ia yang m emp e laj ar i Al - Qur an da n meng aja r kannya. M e mbuat ka j ian Taf si r sem ak in ma ra k di dala m se jarah Is la m. Lihat I mâm Muha mma d Ibn Is ma i l al -Bu khâ rî, Hadî ts al- Bukhâ rî, Kairo: Dâr Ihay’a al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th, hadits no. 4639. 1 4 0 Supaya l eb ih fa i r seba ik nya juga m e lih at hadits d an peri wa yatan dar i ja lur ah li bai t, lih at Hosse in Modar re ssi, Tradition and Survival: A Bibliographical Survey of Early Shi‘ite Literature, Oxford: Oneworld, 2003, hl m. 94 -9 7. 1 4 1 Muhammad ibn Sa‘d, At-THabaqat VI, Beirut: Dar al-Sadir, t.th. Abu Ishaq Ibrahim ibn Ya‘qub al- Jawza jan i, Ahwal a r- Ri jal , ed. Sayyid Subhi Badri Samarra’i Beirut: ar -Risalah Institute, 1405 H. Bandingkan dengan Abu ‘Ubayd al-Ajuri, Su’alat Abi ‘Ubayd al-Ajuri Aba Dawud Sulayman ibn al-Ash‘ath as- Sijistani fî Ma‘rifat ar-Rijâl wa Jarhihim wa Ta‘dîlihim I, ed. ‘Abd al-‘Alim ‘Abd al-‘Azim Bastawi, Ma kah: Dâr a l- Ist iqama h, n.d.; Bei rut: ar -Ray yan In stit ute, 1418 H, hlm. 18 9. 1 4 2 Ban ya k persya ratan sahîh yang dibua t ula ma hadits u ntuk m enyo rti r per i wayata n yang diasu msi kan a kan bergerak terlalu bebas. Muhammad ibn ‘Abd ar -Razzâq Aswad, Shurûth ar-Râwî war-Riwâyah, Damas kus: Dâr Tayba, 2007, h lm. 32 -35. 1 4 3 K itab al- Muwaththa’ yang digunakan sebagai undang-undang negara merupakan langkah revolusioner yang di la kuk an ol eh U mar ibn Abdu l Azis unt uk me nj awab k ebutu han t erhadap k itab undang - undan g negar a yang l eb ih ap pli ca ble. Jonathan Bro ckopp, Ea r ly Mâli kî La w: Ibn Abd al -H aka m an d His Ma jo r Com pend ium of Ju risp rud enc e, Le ide n, Boston: Bri l l, 2000. Yasin Dutton, The Or igin s of Isla mi c la w: Th e Qur’an, the Muwamman and Madinan ‘Amal Surrey: Curzon, 1999. Andreas Görke, et al, Die ältesten Ber ich te übe r das Le ben Muh am mads: da s Korpus ‘Urwa ibn az-Zubair Princeton, NJ: Darwin Press, 2008. Wae l Hallaq, “On Dating Mâlik’s Muwamman.” UCLA Journal of Islamic and Near Eastern Law 1, Fall 2001-W int er 2 002, hl m. 47 - 65. 1 4 4 K itab  tsâ r adala h salah satu k itab uta ma yang m enj abark an tentang m ate r i penga jaran yang dib er i ka n oleh Ha san Syaib ani s eorang mur id utam a Im am A bu Hanifah. Car l B roc ke l mann, Ge schi cht e de r Ar abis ch en Lit te ra tu r, 1937, h lm. 1: 288 -2 91; id em, 19 43, hlm. 1: 178 -8 0. Sezg in, G eschi cht e d es A rab isch en Sch ri ft tums , h l m. 1:421 -4 33. Abû al -Wafa a l-A fghâ nî ada men j el ask an te ntang Has an Sya iban i. Muha m mad ibn a l-Has an as-S haybân î, Ki tâ b al - tsâ r, ed. Abû a l-Waf â al -Afghân î, Ji l id 1, K ara ch i: al - Ma jl is a l- I lm î, 1385 H 1965 M,hl m. 10- 11. 1 4 5 Ada ke san masya ra kat M es ir yang d idom ina si mazhab Maliki terutama sebelum Imam Syafi‘î menetap di sana m eras a di marg ina lk an ka re na set e lah g rand M ufti Abu Yu suf wa fat 182 H79 8 M tid ak p erna h lag i ada h ak i m yang dia ngka t dar i u la ma M es ir. T ampa knya p e me ri ntah pus at d i Bag hdad ingi n me la ku kan pe mbar uan hu kum d engan m enga ngka t hak im ya ng bera sal da ri luar M es ir yang be r mazha b Hanafi agar pluralisme internal umat Islam makin baik. Ketika Imam Syafi‘i datang ke Mesir tida k meng ala m i res ist ens i dar i ula ma mazhab di sana, bahk an tidak s edi k it me re ka yang du lunya be rma zha b Maliki menjadi mazhab Syafi‘i. Hugh Kennedy, “Central Government and Provincial Elites in the Early Abbasid Caliphate.” Bulletin of the School of Oriental a nd African Studies, 44, 1981, hlm. 26-38. 1 4 6 Na ma- nam a Kutub as - Si ttah v ers i f iqh pada ma sa Harun a l -R asy id te rdi ri da r i; al- Asl, al- Mabsû th, al- Jâmi‘ al-Kubrâ, Jâmi‘ as -Saghîr, az-Ziyâdât, as-Siyâr. Lihat Banjamin Jokisch, Islamic Imperial Law: Harun al- Rasyid’s Codification Project, Berlin:Walter De Gruyter, 2007. 1 4 7 Cherif Bassiouni and Gamal M. Badr, “The Shari‘ah: Sources, Interpretation, and Rule Making.” UCLA Journa l of Isla mi c N ea r E ast e rn La w, 1, 2002, hl m. 1 35. 1 4 8 David L. Johnston, “The Human Khilafa: A Growing Overlap of Reformism and Islamism on Human Rights Discourse?” Islamochristiana 28 2002, hlm. 35 -53. 1 4 9 Muha mmad Mubâra k a s -Sayy id, M anâhi j al -Muhad dit sîn, Al-Azh ar: Dâ r ath - Tibâ‘ah wa an-Nashr, 1984, hlm. 1 45 -15 5. 1 5 0 R icha rd C . M art in and Ma rk R. Wood ward, Defenders of Reason in Islam: Mu‘tazilism from Medieval Sch oo l to Mod er n Sy mbo l, Oxfo rd: On e wor ld, 1997. 1 5 1 Soualhi Younes, “Islamic Legal Hermeutics: The Context and Adequacy of Interpretation in Modern Isl am ic D iscou rs e .” Islamic Studies 41, 4 2002, hlm. 585-615. 94 1 5 2 Mal co lm H. Ke rr, Isl am ic R efo r m: The Poli ti cal an d Le gal Theo ri es of Muham mad A bduh and Rashi d Ri dha Univ ers it y of Califor nia Pr ess, 1966. Band ingk an Carl Leon Brow n, The Sur es t Path: The Po lit ic al T rea ti s e of a Nine te enth - Cen tu ry Muslim St at esman, Harv ard M i ddle East ern Monographs 16: Har vard Un iv ers it y Press, 19 67, hl m. 61, 72. 1 5 3 Jonathan Brown, “‘Critical Rigor Vs. Juridical Pragmatism:’ How Legal Theorists and Hadîth Scholars Approach ed th e B ac kgro w th of Isn âds in the G enr e o f ‘Ilâl al-Hadîth.” Islamic Law and Society, Brill, Le id en 2004, h lm. 1 - 4 2. 1 5 4 As‘ad Abukhalil, “Against the Taboos of Islam: Anti -Conformist Tendencies in Contemporary ArabIslamic Thought”, in Between the State and Islam, eds. Charles E. Butterworth and I. William Zart man Ca mbr idge, U K: Ca mbr idge Un ive rs ity Pr ess, a nd Washi ngton, DC: Th e Woodro w Wi lson C ent er , t.th, hlm. 110 -133. 1 5 5 Nag ib Ghadb ian, D emo cr at iza tion a nd the Isla mis t C halleng e in the A rab Wor ld, Bou ld er, C O: W estv ie w Press, 19 97, 74. 1 5 6 Emmanuel Sivan, “The Clash within Islam.” Survival 45, 1 Spring 2003, hlm. 25-44. 1 5 7 Salah seorang arsitek utama dalam bidang hukum Ebu’ Su’ud pada masa Sultan Sulaiman yang me rupa kan s ala h satu penguasa Tu rk i yang te rmas yhu r kar ena bisa m ena k luk ka n konstant inop el yan g diubah n aman ya men jad i Ista mbu l kota Is la m. U lam a besar te rs ebut kura ng m endapa t pe rhat ian da r i dunia Isl am u mu mnya, te ruta ma u la ma yang be rasa l dar i Arab. Liha t Col in I mbe r, Ebu’s-Su‘ud: The Islami c Leg al T ra di tion, Stanford: Stan ford Un iv ers ity P res s, 1997. 1 5 8 Yilmaz. I, ‘Inter-Madhab Surfing, Neo-Ijtihad, and Faith-Based Movement Leaders’. In: P. Bearman et al. eds., The Isla mi c Schoo l of La w. Evolut ion, Devolu tio n, and P rog ress, Camb ridg e, MA: Is lam i c Lega l Studi es Progra m, Har vard U niv er sit y Pre ss, 2005, h lm. 191 -20 6. 1 5 9 Hunt Janin, a nd Andr e Kha lm ey er, Islamic Law; The Sharia from Muhammad’s Time to the Present t.th: Mc Far land a nd co, Libra ry Congr ess C lass if ic ation KBP 50, 2007. 1 6 0 M. Baderin, “Historical and Evolutional Perceptions of Islamic Law in a Continually Changing World 6.”The Middle East, London 2009, hlm. 7. Anna C. Korteweg and Jennifer A.Selby, Debating Shariah: Isla m, Gen de r, Pol iti cs, and Fa mily Ar bi tr ati on, Toront o: Univ ers ity of Toronto Pr ess, 201 2. 1 6 1 B en jam in Jok is ch, Isla mi c Im pe ria l La w: Ha run al - Rasyid’s Codification Project, Berlin, Walter De Gruyter, 2007, hl m. 529 - 531. 1 6 2 Jonathan B row n, The Canon iza tion o f al - Bukhâ rî an d Muslim Le ide n: Br il l, 200 7. 1 6 3 B i la te rj adi p enola kan t er hadap buk ti y ang te lah d i tunju k kan I sla m m ena wa rk an m e kan ism e su mpah dala m bentu k apl ika sin ya. Lihat Ahmad Ibn Ha jar, Fath al-B ar i: Sharh S ahîh al -Bu khâ rî, ver if i ed by Abde l Baqi M. Foud, Ka iro: Sa laf i yyah P ub l ish ing Hous e, 19 92, hlm. 2:32 5. 1 6 4 Mas ih kabu r w i layah p emba hasan had its m aupu n sunnah, bahka n tida k ja rang masi h te rdapat pema hama n me nya mak an antar a hadits maupun sun nah. Pada period e awa l um at Is lam, ta mpa kny a hadits sang at te rgantung d engan sun nah yang t erb e ntuk dar i komun ita s mas yara kat Mus l im, a kiba t peny ebaran sahab at Nabi Muha mm ad di berbaga i w il ayah. Akan tetap i, bel aka ngan pasca pe riod esas i ki tab had its s e lesa i d i a kh ir ab ad k e -4 H ta mpa knya paradig man ya be rba li k, ya itu s unnah dep enden t terhadap hadits. Lihat Adis Duderija, “Evolution in the Canonical Sunni Hadith Body of Literature and the Con cept an Auth ent i c Had ith Du ri ng th e Fo rmat iv e Pe r iod of Is la m ic Thought as B ased on R ec en t Western Scholarship.” Quarterly Arab Law, Brill, Leiden 2009, hlm. 3. Ada juga tambahan pengertian sunnah deng an m eny esua i kan k em i ripa n dengan f is ik Nabi Muha m mad. Lihat M.M. A l -Aza mi, Stud ies i n Hadi th Meth o dolog y and Lit er atu re Kua la Lumpu r: Is la mi c Boo k Tr ust, 2002, h lm. 6. 1 6 5 De wasa in i ada ge ra kan s ek e lompo k M usl i m yang ing in m engh idup kan sunn ah buka n hanya da la m bentu k te ks, tetap i dalam pra kt i k sehar i - har i me r eka ini banya k disebu t sebaga i ke lo mpok Jem aa h tabl igh. K elo mpok in i se ri ng m el aku kan p er ja lan an dak wah ha mpi r k e se lu ruh dun ia untu k meng hidup kan s unnah y ang di la ku kan o leh Nab i M uh amm ad dan sahabat nya. Liha t M uha mmad Kha l id Masud ed.: Travellers in Faith. Studies of the Tablîgh Jam‘a t as a Transnational Islamic Movement for Fai th R ene wal Leiden: Brill 2000. Barbara D. Metcalf, “ Living Hadîth in Tablighi Jama‘at.” JAS 52 1993, hlm. 5 84 -60 8. 1 6 6 Salvatore. A, “Authority in question: Secularity, Republicanism, and ‘Communa utarisme’ in the Emerging Euro - Islamic Public Sphere.” Theory, Culture Society, 24, 2 2007, hlm. 135-160. 1 6 7 Gu i ll aum e, A lfr ed, tra ns. The Life of Muhammad: A Translation of Ibn Ishaq’s Sirat Rasul Allah, Karachi: Oxfo rd Un iv ers ity Pr ess, 20 01. 1 6 8 M uhammad Ibn Sa’d, Kitâb at-labaqât al-Kubrâ, ed. Alî Muhammad Umar, 11 vols. Kairo: Maktabat al - Khânjî, 2001, hlm. 8:306. Bandingkan: Abû Yûsuf Ya’qûb b. Sufyân al -Fasawî, al-Ma’rifa wat-Târikh, ed. Akra m i yâ al -U mar î, 2 n d ed., 3 vol s. Be iru t: Mua ssasat ar-R isâ la, 1401 1981, h lm. 2:564. 95 1 6 9 Pe ri sti wa s ala h seo rang Ar ab Badu w i yang m engu njung i Nabi Mu ham mad y ang w akt u it u dit e man i sahabat-sa habat ut ama nya me la ku kan p e rbuatan yang ku rang pan tas d i mas jid ka r ena ke nc ing d enga n senga ja di d ala m mas jid. Pe rbuata n te rs ebut m e mbuat ma rah U mar ibn a l - Khatt ab yang ha mpi r me m enggal k epal a seor ang Arab Badu w i it u. Per ist i wa t ers ebut m engga mba rka n bahwa ada juga sah abat Nabi ya ng ku rang te rs entuh d engan pe radaban za man, seh in gga Nab i Muha mmad Sa w. juga me mb er ik an penga jaran t entang Isl am yang s esua i deng an k eh idu pan me re ka. Lihat Abu Abdu lla h Mu ham mad ib n Isma i l, Al - Jâmi‘ as-Sahîh, Beirut: Dâr as -Sadr, t.th. 1 7 0 Pe ra wi had its da r i ja lu r per e mpuan mas ih dia ngga p tabu, padaha l bany ak s e ka li p er emp uan Mus li m pada era Nab i Muha m mad yang ter l ibat dala m pe rbagai pe rsoa lan dengan hu ku m meng aju ka n per masa lahan m er e ka k epadanya. A kan te tapi, atmos fi r ma rg ina lis asi te rhadap pe re mpuan pada mas a itu me mbuat p intu mas uk ja lu r had its t eru ta ma h any a ter l eta k pada istr i - ist r i, khu susnya Ais yah da n Hafsah. Lihat Julie Scott Meisami, “Writing Medieval Women: Representations and Misrepresentations,” in Wr it ing and Re pr esen ta tion in M edi eval I sla m , ed. Juli a Bra y, Ne w Yor k: Routl edg e, 2006, hl m. 74. 1 7 1 Muha mmad Abû Za hra, Al -Ja rî mah w al- þUqu b fî a l-F i qh al-Is lâ mî, Ka iro: Dâr a l-F i kr a l-þArab i at 1212. Abdulk ade r O wdah, A t- Tash rî þ al- Jinâ‘î al-Islâmî, 1st edn. Beirut: Mu’assasah ar -Risâlah, hlm. 1:164. 1 7 2 K ri ti kny a yang sa ngat ta ja m te rhad ap Jos eph Sch ach t dengan m enamp i l kan bu kti yang sa ngat konk re t bahwa p er k embang an hu ku m Is la m i tu t idak la hi r pad a masa a wa l abad k e -2 H, me la in kan pada mas a Nabi de ngan dit emu kan nya sah ifah Ibn Razzaq. Hara l d Motzk i, The O rig ins of Isl ami c Ju r isp ruden ce : Mec can F iqh be fo re th e Cl assi cal S ch ools , tra ns. Ma rio n H. Katz Le iden: B r il l, 2002, h lm. 1 - 49. 1 7 3 Avi Rubin, “Legal Borrowing and its Impact on Ottoman Legal Culture in the Late Nineteenth Century.” Com muni ty and Ch an ge, C amb ri dge Unive rsi ty , 200 7, hlm. 2 79. 1 7 4 Amn est y Int erna tiona l 200 8, Campa igni ng to End Stoning in Iran. ht.tp:w w w.amn est y.orgenn e ws - and-up-dat esr eport ca mpaign ing -end -ston ing - Iran -2 0080115 a cc ess ed 11Jun e 2008. 1 7 5 W.C. Smit h: Mode rn Isl am in Ind ia. A Soc ial Ana lysis , Lahore: Muh.As hraf 1969. K em udia n repr int; A. Syed: Pak ist an, Isla m, Poli ti cs and N at ional Se curi ty, Lahore, 198 4. Banding kan de ngan Char le s H. Kennedy, “Towards the Definition of a Muslim in an Islamic Sta te: The Case of Ahmadiyya in Pakistan,” in: Dhi re ndra Va jpe yi a nd Yoge ndra Ma li k ed s.: Reli gious and Ethn ic Mino ri ty Poli ti cs in South As ia , Mar yla nd: Riv erda l e and London: Jaya Publ ish ers, 19 8 9, hlm. 71 –108. 1 7 6 June Sta rr and Jane F. Col l ie r, eds., Histo ry an d Pow er in the Stu dy of L aw, Itha ca: Corn el l Un iv ers it y Press, 198 9, hlm. 30 2 –19. Lihat juga Henry Toledano, Judicial Practice and Family Law in Morocco, Ne w Yor k: Col umb ia Uni ve rsi ty Pr ess, 1981. Lihat Dav id P owe rs, L aw, So cie ty, and Cul tur e i n the Magh rib , 1300 – 1500 Cambridge: Cambridge University Press, 2002. Bandingkan dengan Lawrence Rosen, The Justi ce o f Isl am, N e w Yo rk: Oxfo rd Un iv ers ity Pr ess, 20 00. 1 7 7 Buskens, L.,”Sharia and National Law in Morocco,” Paper presented to the Annual Conference of the Law and So cie ty Ass oci at ion in Mont rea l 28 May -1 June 20 0 8. Forthcom ing in: Otto, J.M. et a l. eds., Shari a and Na tion al La w Amst e rdam: Ams te rdam Univ e rsi ty Press. Br e ms. E, Human Ri ghts: Un ive rsal ity a n d Dive rsi ty, Th e Hagu e: Ma rt inus Ni jhoff, 2 005. 1 7 8 Al -Q arâdha w î, Ap pro achin g the Sunna . Tr ans lat ed by Jami l Q ur esh i Wash ington, D.C.: The Int e rnat iona l Inst itut ion of Is la mi c T hought, 2005. 1 7 9 An- Na waw i, An - Nawawi’s Forty Hadith. Translated by Ezzedin Ibrahim and Denys Johnson-Davies, Damascu s: Th e Hol y Kor an Publ ish ing Hous e, 197 6. 1 8 0 Pet er s. Rudolph, C rim e and Punishm ent in Isl am ic La w, Cambr idg e: Camb ridg e Un iv ers ity P res s, 2005. Bandi ngka n Euben, R., Zama n. M, Int roduct ion. In R. Euben M. Zaman Eds., Prin ce ton Read ings in Isla mis t th ough t: T ext s and Con tex ts f ro m al - Bann a to Bin L aden, Pr in ceton: Pr in ce ton Un iv ers ity Pr ess , 2009, hl m. 1 -4. 1 8 1 Nikki Keddie, “Problems in the Study of Middle Eastern Women.” International Journal of Middle East Stu dies 1 0, no. 2 May 197 9, hl m. 225 -4 0. 1 8 2 T er jad i parad ig ma hu kum ya ng se la ma in i sudah d i anggap mapan di da la m suatu komun ita s se ir ing dengan perkembangan dinamika di dalam masyarakat. Lihat Sally Engle Merry, “Anthropology, Law and Transnational Processes.” Annual Review of Anthropology 2 1992, hlm. 364. 1 8 3 Ebrahim Moosa,” ‘The Poetics and Politics of Law after Empire:’ Reading Women’s Rights in the Contestation of Law.” UCLA Journal of Islamic and Near Eastern Law 1 FallWinter 2001-2002, hlm. 1- 46. 1 8 4 Liha t Jo an Vincent, “Contours of Change: Agrarian Law in Colonial Uganda, 1895 –1962,” in June Starr and Jane F. Collier, eds., “ History and Power in the Study of Law”, Ithaca: Cornell University Press, 1989, 164. Lihat juga Le wis, R. A., Spani er, G. B, T heor iz in g about the Qua l ity and St abi l ity of Ma rr iag e: I n 96 W. R. Burr, R. Hi l l, F. I. Ny e, I. L. R ei ss Eds., Conte mpo ra ry Th eor ies a bout th e Fa mily , Vo l.2 Ne w Yor k: Fr ee, 1 976, hl m. 264 - 295. 1 8 5 I. Bantekas, “Religion as a Source of International Law” , in J. Rehman et al. Eds., Religion and Human Righ ts: A Cr it ica l E xam ina tion o f Isl ami c P ra ct ic es, Lei den: Br i ll, 20 07, hl m. 143. 1 8 6 Muha mmad Abdu h sangat m enyada ri k erug ian y an g men i mpa u mat Is la m b ila t e rus m en ingga l kan pem i ki ran r asion al y ang te lah d i kembangkan oleh Mu‘tazilah di dalam sejarah Islam. Lihat M. Kerr, Isla mi c R efo r m: Th e Po lit ic al an d L ega l Th eor ies o f Muh amma d A bduh an d R ash id Ri da, B er k el e y University Press, 1966. Lihat juga F. Vogel, “Closing of the Door of Ijtihâd and the Application of the Law.” American Journal of Islamic Social Sciences , 10 1993, hlm. 399. 1 8 7 May er, A.E, Isla m and Human Righ ts: T ra di tion an d P olit ics, Bou lde r: We stvi e w Pr ess, 1995. 1 8 8 M. Fadel, “The Social Logic of Taqlîd and the Rise of the Mukhatasar.” Islamic Law Society, 3 1996, hlm. 1 93. 1 8 9 R. P ete rs, Cr im e an d Puni shmen t in Is la mic La w: The ory and Pr ac ti ce f rom the Si xt een th to the T wen ty - Fir st Cen tur y, Cambr idg e Un ive rs ity Pr ess, 200 6. 1 9 0 B. Johansen, ”Apostasy as Objective and Depersonalised Fac t:’ Two Egyptian Court Judgments.” Social Res ea rch , 70, 687 2003, h lm. 694. A.A. An - Na’im,“ ‘The Islamic Law of Apostasy and its Modern Applicability:’ A Case from the Sudan.” Religion, 16 1986, hlm. 197. 1 9 1 I. M.N. Al - Jubouri, “History of Islamic Philo sophy with a View of Greek Philo sophy and Early History of Islam.” Authors on Line 2004. 1 9 2 Be in in, J., Stork, J. Eds., Politica l Isl am, Ess ays from Mi ddl e Eas t R epo rt, B er ke l ey: Un ive rs ity of Cal iforn ia Pr ess, 19 97. 1 9 3 Mars hal l, P. ed., Rad ic a l Islam’s Rules: The World-Wide Spread of Extreme Shari‘a Law, Lanham, MD: Row man Li ttl ef i eld, 20 05. 1 9 4 Muhammad Ibn Sa’d, Kitâb al-labaqât al-Kubrâ, ed. Alî Muhammad Umar, 11 vols, Kairo: Maktabat al - Khân j î, 2001, hlm. 8:306. Lihat j uga Abû Yûsuf Ya ’qûb b. Sufyân al-Fasawî, Al-Ma‘rifa wa at-Târikh, ed. Akra m iyâ a l-U ma rî, 2 n d ed., 3 vols Beirut: Mu’assasat ar-Risâla, 14011981, hlm. 2:564. Bandingkan dengan Abû Ah mad Abda llâ h Ibn Ad î, Al - Kâmil fî DHu‘afa ar-Rijâl, 7 vols, Beirut: Dâr al-Fikr, 1405198 5, hlm. 1:69. Al-Sâ k im an - Nay sâbûr î, Ma’rifat ‘Ulûm al-Hadîth, ed. Mu’aim Susayn Hyderabad: Dâirat a l- Ma’ârif al-Utsmâniyya, 13851966, hlm. 78. 1 9 5 Ha rald Motz k i, Th e Or igins of Isla mi c Ju ris pru denc e : Mec can F iqh b efo re the Cl assi cal S chools, t rans. Mar ion H. Katz Le ide n: Br il l, 200 2, hl m. 1 -49. 1 9 6 Ha rald Motz k i sa lah s eora ng pe me rhat i had its y ang se karang m ene tap di Fra nkf urt me rupa kan soso k il muan yang se car a kaed ah ke i lm iah an me mbanta h ar gume n kol eganya dar i Bara t. Ha l ya ng be r kai ta n lah irn ya hu kum Is lam pada a wa l abad k e - 2 H den gan mun cul nya kod if i kas i hadi ts. Bu kti ad any a manus kr ip t enta ng hu ku m Is la m s em asa Nabi Muha m mad Sa w. m e mbantah argu me n yang d ibangu n oleh Joseph Schacht dan pendukungnya. Harald Motzki, “Author and His Wor k in Islamic Literature of the F i rst C entu ri es: th e Cas e of Abd ar - Razzâq’s Mucannaf.” Jerusalem Studies in Arabic and Islam, 28 2003, hl m. 171 -2 01. 1 9 7 Ban ya k di ka langan k r iti kus Ba rat yang m erag uka n orig ina l itas huk um Is la m yang dibangun dar i had its Nabi Muha m mad Saw. ka re na I mam Ma li k se ndi ri d en gan kit ab al- Muwaththa’ karya master piece-nya banyak t erdap at sumb er had its ya ng l ema h. Ima m Ma li k se ri ng di jadi kan f igu r ru ju kan dal am me ragu ka n ek sist ens i had its d engan a lasan u la ma had its yang r ela ti f de kat de ngan ma sa Nab i j uga tingg al d i Mad inah. Padaha l, sahabat sebaga i pe warta had its se ja k masa Nab i M uha mmad sa ja sudah m eny ebar k e sel uruh p enj uruh n ege ri, t eruta ma untu k k eg iatan da kw ah. Argum en k ri ti kus Ba rat te rs ebut te rk esa n le mah b i la ha n ya m e ruj uk pad a k itab al- Muwaththa’ Imam Malik. Lihat Jonathan Brockopp, Early Mâlikî law: Ibn Abd al -S aka m an d Hi s Ma jo r C omp endiu m o f J urisp rud enc e, Leid en, Boston: B ri l l, 200 0. Yas i n Dutton, Origins of Islamic Law: the Qur¾ân, the Muwaththa’and Madin an ‘Amal, Surrey: Curzon, 1999. Ke mud ian band ing kan denga n Wae l B. Hallaq, “On Dating Mâlik’s Muwamma.’ UCLA Journal of Islamic and N ea r E ast ern La w 1, Fal l 20 01 -W int er 2 002, hl m. 47 -65. 1 9 8 I ma m Ma l ik r e lat if l ebi h mudah da lam p ene r imaa n suatu hadits ya ng ke mud ian di kat egor i kan seb aga i hadits dha’îf oleh ulama setelahnya. As-Sakhâwî, Muhammad ibn ‘Abd ar-Rahmân, Fath al-Mughîth Sharh Alf iya t al -Had îth , takhrîj wa ta’lîq: Muhammad Muhammad ‘Uwaydhah, Beirut: Dâr al -Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993 C. I, hl m. 360. 1 9 9 G eorg e M akd is i, R elig ion, La w an d Le arn ing in Clas si cal Isla m, Hamps hi re, U K: Var ior um, 199 1. 2 0 0 Ibn Ha jar a l- ’Asqalânî, Tahdhîb at-Tahdhîb. Ed. Musthafâ ‘Abd al-Qâdir ‘Atâ. Beirut: Dâr al -Kutub al- Ilmiyya, 1994. Lihat juga Ibn Sa’d . Muhammad, At-Tabaqât al-Kubrâ, Ed. Ihsân ‘Abbâs 9 Beirut: Dâr Sâdir., 1960 -196 8. 97 2 0 1 B rown. Jonathan, The Canoniz at ion of a l -Bu khâ rî an d Muslim: The Fo rm at ion and Fun ct ion of the Sunn î Hadî ts C anon, Leid en: E.J. Br il l, 200 7 2 0 2 Ses eor ang yang me ndapat kan sebua h hadits, a kan tetap i tida k pern ah terd et ek si di ki tab - kit ab hadit s yang uta ma m aka dap at dipa sti kan hadi ts i tu pa lsu. K ecu rig aan Joseph S cha cht da lam r entang wa kt u yang pan jang abad k e -2 H sa mpa i abad k e-5 H baru d ila ku kan k eg iatan yang int ens if un tu k me mbe rs ih kan had its -h adit s mawdu‘ sehingga usaha ini masih diragukan hasilnya. Menariknya as -Siraz i tida k me ne kan kan asp ek r asion al da lam men er i ma h adits diba nding kan me mpe r m asa lah kan apak ah hadits t ers ebut marfu‘ ataupun mawquf. Karena pada dasarnya prinsip rasional ini bisa digunakan untuk mend et e ksi keb ena ran suatu had its jangan ha nya be rd asar kan k la im marfu‘ maupun mawquf. Ahmad al- Ghum âr î, Al -Ma thnûnî w al B at thâ r f î N ahr al - ‘Anîd al Mi‘thâr at-Tâ‘in fî mâ Sahha min as-Sunan wal Âtsa r Kai ro: al- Mamba’a al-Islâmiyya, 13521933, hlm. 34. 2 0 3 Bag i u lam a had its, pena mbaha n pe raw i had its t ida k la h me l ema hka n aut ent isi tas suat u hadi ts, seba l ik nya mak in m enguat kan de ra jat su atu had its. Lihat H erb ert Be rg, Th e Dev elop men t o f Ex eges i s in E ar ly Isl am : Th e Deb at e Ove r th e Auth en ti ci ty o f Mus lim L ite ra tu re f rom th e Fo rm at ive Pe riod, Ri ch mond: Curzo n, 2000. 2 0 4 Ass mann, Re ligio n and Cultu ra l Me mo ry, Ten Stud ie s. Tra ns. Rodn ey Liv ingston e, Stanfo rd: Stanfor d Univ er sit y Pr ess, 2006. 2 0 5 B ir k ela nd. Har ris, Old Mus lim Op posi tion Again st Int er pre ta tion o f the Kor an, Os lo: Jacob Dybwad, 19 55. 2 0 6 Wa laupun p iha k Mu sl i m me ngk la i m piha k Ba rat te la h gagal m eny erang au tent is itas had its bag i m er e ka per iw ayatan yang di la ku kan pada masa Abbas iah t etap men unj uk kan k el e mahan da ri au ten tis ita s hadit s. Sete lah itu, piha k u lam a tampa knya ing in m emba ntah thesi s Joseph Sacht t ers ebut. Lihat Ah mad Ib n Haja r, Fath al- Ba ri: Sha rh Sah îh al -Bu khâr î, ver if ied by Abdel Baq i M. Foud, Ka iro: Salaf iyy a h Publ ish in g House, 199 2, hl m. 2:325. 98 BAB V REVITALISASI HADITS SEBAGAI STATUTA HUKUM ISLAM TANPA KASTA A. Korelasi Fiqh dan Hadits dalam Membentuk Hukum Hadits adalah sumber kedua setelah al- Qur’an yang diakui memiliki otoritas yang mengikat bagi setiap muslim. Akan tetapi, dalam tataran pelaksanaan terdapat perbedaan perlakuan yang mencolok antara satu hadits dan lainnya disebabkan perbedaan persepsi dalam menggunakannya sebagai sumber hukum. 1 Hadits merupakan tafsiran semantik terhadap sunnah, juga sebagai instrumen penafsir al- Qur’an. Perawi awal sahabat merupakan orang-orang yang diakui sebagai pihak yang tidak memiliki pretensi dalam menafsirkan sunnah. Sunnah dalam perspektif sosial merupakan manifestasi dari dua pendekatan, yaitu supra dan infra. Pendekatan supra ialah Nabi Muhammad Saw. melakukan intervensi kenabiannya kepada masyarakat, baik yang bersifat ibadah maupun budaya. Intervensi dalam masalah ibadah berkaitan dengan ketegasan Islam dalam masalah tauhid dan klaim syariat samawi yang menyempurnakan ajaran nabi-nabi sebelumnya. 2 Intervensi dari segi budaya ialah ketika Nabi melakukan politik infiltrasi terhadap kode moral yang sudah disepakati untuk menjadi hukum. Ketegasan Islam dalam masalah tidak boleh mengangkat nasab yang berasal dari anak angkat, menikahi bekas istri bapak, dan juga memberi legitimasi dalam hal- hal yang berkaitan hukum yang baru pada masa itu, seperti adanya bagian waris bagi perempuan, penghapusan budak dalam bingkai humanis. 3 Pendekatan infiltrasi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. dengan melakukan adopsi terhadap nilai-nilai yang sudah ada apabila dipandang masih memiliki nilai moral yang tinggi, 4 seperti melegalkan sistem diyat yang telah berlaku berabad-abad lamanya dalam sistem masyarakat Arab, dipandang memiliki implikasi positif dalam menghantarkan pesan moral kepada masyarakat. 5 Sebenarnya Nabi Muhammad Saw. tidak pernah berniat membeda-bedakan antara satu hadits dengan hadits yang lain, akan tetapi dalam perjalanan sejarah hadits yang berasal dari satu sumber yang sama mengalami klasifikasi. Hal itu menimbulkan hierarki hadits maupun kitab-kitabnya yang terjadi akibat persepsi yang berbeda dari ulama hadits. Klasifikasi itu muncul disebabkan adanya tafsiran perawi terhadap sanad maupun matannya. Hadits yang merupakan representasi dari kuatnya jejak rekam terhadap segala hal yang menyangkut sosok Nabi Muhammad Saw. sebagai penyampai risalah tentunya memiliki kekuatan untuk menjadi rule of conduct yang bersifat eternal. 6 Ada paradigma yang umum yang berlaku di dalam kehidupan ini bahwa sejarah selalu berulang. Karena itu, tidak mungkin al- Qur’an dan hadits dijadikan pegangan hidup umat Islam di dalamnya yang banyak memuat pesan-pesan moral berasal dari umat terdahulu bila tidak memiliki esensi kesamaan peristiwa dengan masa yang berikutnya. Hanya saja dalam peristiwa dan cara merespon suatu peristiwa tersebut berbeda antara satu zaman dengan zaman yang lainnya. Manusia tidak mungkin bisa melepaskan diri dari tatanan nilai yang ada di tempat dia hidup, tatanan nilai bisa meliputi dari nilai-nilai moral yang sudah dianggap umum maupun nilai-nilai lokal yang menjadi patron berprilaku di dalam kehidupan sehari-hari. Kedua nilai-nilai tersebut sangat penting dalam menjaga keseimbangan di dalam masyarakat sehingga dapat dilihat divine message al- Qur’an dan hadits. Sering sekali teks nas memperkuat nilai moral yang umum serta menjustifikasi nilai-nilai lokal yang dianggap dapat memberikan kontribusi yang besar dalam menjaga ketentraman di masyarakat. 7 Hal tersebut dapat dibuktikan banyak dari perilaku-perilaku dari masyarakat Arab pra-Islam tetap dipelihara, bahkan diberi legalitas untuk mempraktikkannya. 99 Pada dasarnya, Hukum Islam menganut dua azas sekaligus seperti yang dikenal di dalam istilah hukum dewasa ini, yaitu azas legalitas formal dan azas non-legalitas. 8 Bila dalam hukum konvensional dikenal istilah constitutum dan constuentitum, sebelum azas itu dirumuskan Muhammad Saw. sebagai seorang Nabi telah memberikan kontribusi di dalam merumuskan azas-azas hukum tersebut. Prinsip legalitas dari pendekatan supra dengan menetapkan hukum yang baru, baik itu melakukan pembatalan terhadap nilai-nilai hukum yang selama ini dipraktikkan, juga dengan melakukan penetapan hukum baru di dalam masyarakat. 9 Islam juga mengakomodir praktik-praktik hukum yang sudah ada di dalam masyarakat hal tersebut Islam sangat mengapresiasi nilai-nilai lokal yang mengandung kebajikan. Secara tidak langsung mengakui kebenaran juga bukan dimonopoli oleh wahyu semata bisa juga diperoleh dari diri manusia. 10 Sunnah yang menggambarkan tafsiran wahyu yang diterjemahkan di dalam prilaku Nabi Muhammad Saw. sering tidak direspon secara seimbang dalam periwayatan hadits. Penyebutan hadits mutawatir dan ahad merupakan gambaran ketidakseimbangan orientasi periwayatan hadits, yang menggambarkan segmen dari sunnah tertentu lebih dihargai dibandingkan segmen lain di dalam sunnah. Hadits mutawatir yang lebih menekankan aspek kuantitas walaupun aspek kualitas juga diperhatikan sering dianggap yang paling kuat sehingga hadits-hadits yang bersifat ibadah komunal yang sering berstatus sebagai mutawatir. Sementara itu, sunnah yang berisikan di luar ibadah komunal sulit untuk mencapai derajat mutawatir meskipun sanadnya sahih paling hanya menempati status hadits ahad. 11 Hierarki dan dikhotomi hadits yang bermatankan tentang ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah yang terdapat dalam al-Kutub as-Sittah menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam menilai komposisi hadits. Penilaian tersebut gambaran dari kondisi masyarakat ketika hadits dibukukan. Ulama- ulama yang dikate gorikan sebagai mujtahid mutlak, seperti Imam Syafi‘i, Imam Abu Hanifa, Imam Malik, ataupun Imam Hanabilah, tidak akan mungkin bisa menjadi mujtahid mutlak bila mereka dilahirkan pasca kodifikasi kitab-kitab hadits telah mapan setelah abad ke-5 H. 12 Kemampuan berijtihad yang mereka miliki tidak akan berpengaruh apabila terjadi pemasungan dalam menggunakan sumber-sumber hadits yang hanya berpatokan dengan kriteria yang disusun di dalam al-Kutub as-Sittah. Kebebasan menggunakan sumber hadits akan melahirkan kreativitas berijtihad yang tinggi dari ulama fiqh, karena lebih berani berijtihad dalam hal-hal yang selama ini di luar tema-tema dalam kitab-kitab hadits. 13 Banyak hadits-hadits yang dikategorikan dha‘îf disebabkan pendekatan yang terlalu menekankan aspek eksotoris semata, padahal mengandung pesan moral yang tinggi. 14 Karena pendekatan penilaian kelayakan diterima atau tidak suatu hadits sangat tergantung dari kondisi zaman awal kodifikasi hadits. Kitab-kitab hadits selalu mengikuti wacana di dalam fiqh sehingga meski tidak dikatakan secara eksplisit, akan tetapi pendekatan penilaian secara fiqh sangat jelas terasa. Kisah tentang bertemunya Khaidir dan Nabi Ilyas setiap tahun dalam pelaksanaan ibadah haji setiap tahun sampai hari kiamat, sering dianggap sebagai matan dha‘îf bahkan mawdu.‘ Kisah tersebut bila dipahami secara aspek esotoris memberi pesan moral bahwa manusia biasa bisa mencapai pengetahuan, bahkan lebih sebagai seorang Nabi bila terus-menerus berusaha untuk mengembangkan potensinya. 15 Revitalisasi hadits sebagai sumber hukum Islam artinya melakukan pemberdayaan kembali hadits- hadits secara adil yang terdapat di dalam teks-teks yang dianggap sebagai korpus hadits yang sudah diakui. Terlalu fanatik dalam menggunakan kitab hadits tertentu sehingga dapat menyulitkan umat Islam sendiri dalam merespons hal-hal yang dihadapi di dalam keseharian hidup. Realitas sosial umat Islam sangat berbeda-beda antara satu generasi dengan generasi yang lain. Demikian juga antara satu wilayah dengan wilayah lainnya sehingga penggunaan perspektif satu sumber hadits yang dianggap sudah mapan akan mempersulit dalam merespons masalah. 16 Ulama fiqh selama ini kurang memperhatikan umat Islam ketika berada dalam posisi minoritas di dalam suatu negara. Masalah-masalah seperti mengenakan jilbabhijab, memilih pemimpin dari golongan non-Muslim adalah segelintir permasalahan yang dihadapi umat Islam ketika berada dalam posisi minoritas. Selama ini, kitab-kitab fiqh ditulis oleh ulama yang tidak merasakan 100 kondisi marginal yang dirasakan oleh sebagian umat Islam. Seorang Ibn Taymiyyah dianggap sebagai seorang yang kontroversial ketika dia mengatakan lebih baik memiliki seorang sultanpenguasa yang Muslim walaupun zalim daripada umat Islam tidak memiliki penguasa. Pernyataan ini disebabkan ia merasakan sendiri hidup di masa terjadinya invasi Mongol atas wilayah Islam sehingga mengerti situasi ketika itu. 17 Selama ini, kajian fiqh kontemporer sangat pasif, karena produk-produk hukum yang dikeluarkan biasanya setelah praktiknya sudah berlangsung lama di dalam masyarakat sehingga diperlukan justifikasi fiqh terhadap masalah tersebut. Kasus dalam perbankan konvensional sudah bertahun-tahun dipraktikkan oleh umat Islam, baru kemudian pada tahun 1970-an berdiri Bank Islam pertama dan untuk kasus Indonesia Bank Muamalat berdiri pada tahun 1996 menandakan bank berbasis syariah pertama yang ada di Indonesia. 18 Walaupun bank-bank berbasis Islam sudah bermunculan tidak membuat berhenti sebagian umat Islam untuk tetap melakukan transaksi dengan perbankan konvensional hal ini disebabkan adanya pemahaman yang menganggap sama esensi pelayanan keduanya hanya bedanya terletak dalam bentuk formalitas semata. 19 Terkadang produk hukum fiqh, baik berupa fatwa kelembagaan maupun individual, tidak begitu dihiraukan oleh umat Islam, karena urgensinya dianggap kurang. 20 Untuk mencari justifikasi hukum terhadap masalah-masalah sosial hanya merujuk pada kitab Sahîh al-Bukhârî tentu akan mengalami kesulitan sebagai hierarki pertama dalam al-Kutub as-Sittah. Karena itu, perlu adanya perubahan paradigma terhadap penggunakan kitab-kitab hadits yang ada. Paradigma yang dimaksud di sini dengan menganggap kitab-kitab hadits yang ada sebagai statuta hukum Islam tanpa kasta. Artinya, hadits-hadits yag terdapat di dalam kitab hadits standard dipandang sebagai statuta hukum rujukan terhadap permasalahan hukum yang ada. Kitab-kitab hadits yang bisa dijadikan sumber hukum rujukan adalah kitab-kitab hadits yang lahir sebelum abad ke-5 H. Kitab-kitab hadits yang masuk dalam kategori al-Kutub at- Tis‘ah juga bisa dijadikan sumber hukum, termasuk juga kitab-kitab hadits yang berasal dari golongan Syiah. Ketidakadilan dalam penggunaan sumber hukum di dalam Islam ditengarai sebagai salah satu penyebab kemunduran di dalam berijtihad. Tidak saja adanya dikhotomi hadits dari sumber Sunni dan Syiah juga bias terlalu fanatik terhadap mazhab tertentu membuat stagnasi dalam berkarya. Hal itu juga disebabkan oleh pembatasan terhadap penggunaan sumber hadits yang menjadi sumber hukum yang ada. Akibatnya, dalam beberapa kasus akan sulit membedakan antara tuntutan norma dengan realitas yang ada. 21 Di Indonesia, walaupun mayoritas masyarakatnya Muslim, akan tetapi negaranya bukan negara Islam sehingga dalam beberapa masalah akan mengalami kesulitan bila tidak melakukan ijtihad hukum yang benar. Dalam masalah PILKADA Pemilihan Kepala Daerah misalnya, sering sekali nilai normatif yang selama ini diyakini berbenturan dengan kenyataan yang ada, karena tidak jarang calon pemimpin kepala daerah berasal dari golongan non-Muslim. 22 Selama ini, informasi tentang keharaman untuk memilih pemimpin yang berasal dari non-Muslim sudah dianggap final di samping disebabkan nas al- Qur’an yang sudah jelas juga pendapat beberapa fuqaha yang mengharamkan memilih pemimpin yang berasal dari golongan non-Muslim. Kenyataannya, tidak jarang umat Islam harus memilih pemimpin atau kepala daerah yang terdapat unsur non-Muslim, karena itu perlu adanya penafsiran ulang terhadap permasalahan tersebut dengan mengambil rujukan hadits maupun ulama yang cocok dengan kondisi seperti itu. 23 Walaupun pendapat tersebut dianggap minor, paling tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Tidak jarang persoalan-persoalan hukum yang selama ini sulit didekati dengan pendekatan fiqh, karena hanya terpaku pada sumber-sumber nas atau pendapat ulama yang sudah umum sehingga ketika menghadapi persoalan harus ada keberanian intelektual untuk menggunakan sumber hukum minor yang bisa memberikan solusi. 24 Al- Muwatta’ salah satu kitab fiqh yang dipercaya memiliki semangat untuk memberikan alternatf hukum pada zamannya. Solusi hukum amal ahli Madina tampaknya dilakukan 101 sebagai langkah praktis untuk menerjemahkan nas dalam kehidupan sehari-hari. 25 Bagi Imam Malik, Nabi Muhammad Saw. dan sahabat telah melakukan filter terhadap budaya-budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam sehingga amal Madinah sudah menjadi sunnah hidup. Walaupun belakangan ada beberapa amalan ahli Madinah yang dikutip terdapat di dalam kitab al- Muwatta’ tidak sedikit yang kontra dengan hadits. 26 Sahîh al-Bukhârî yang dikenal sebagai kitab standard hadits diakui memiliki tingkat validitas yang tertinggi di kalangan Sunni dibanding dengan kitab-kitab hadits lainnya di dalam tingkatan al-Kutub as- Sittah. Kitab ini dikenal sebagai kitab hadits karena banyak memuat hadits-hadits yang diklaim sebagai kumpulan hadits-hadits sahîh. Kitab ini memuat 7300 hadits, setelah ditahqiq di dalam kitab ini banyak melakukan pengulangan terhadap hadits-hadits yang ada sehingga jumlah hadits yang sebenarnya hanya berjumlah 2762 hadits. 27 Komposisi kitab Sahîh al-Bukhârî yang banyak menyerupai bab-bab di dalam kitab fiqh menimbulkan asumsi lain bahwa kitab ini juga bisa dikategorikan sebagai kitab fiqh. 28 Urgensi untuk bisa mengidentifikasi kitab sahîh ini sebagai kitab hadits atau fiqh ini penting, karena berdampak terhadap konstalasi di dalam hukum Islam. Sangat naif apabila Imam al-Bukhari mengklaim hadits-hadits yang di dalamnya sebagai hadits-hadits yang bersifat sahîh disebabkan dia juga ingin mengarahkan suatu pendapat hukum atas hadits tersebut. Alangkah naifnya bila ruler pembuat kriteria tentang kesahihan suatu hadits kemudian juga bertindak sebagai player berijtihad dalam masalah-masalah fiqh. 29 Hal ini yang membuat kerancuan dalam berijtihad di kalangan ulama fiqh, terutama setelah kodifikasi kitab-kitab hadits standard yang dikenal sekarang ini. Disebabkan oleh terjebak dengan kriteria kesahihan hadits-hadits yang terdapat di dalam al-Kutub as-Sittah, terutama dengan Sahîh al-Bukhârî. Sementara itu, mereka imam-imam hadits juga berusaha memposisikan diri mereka sebagai mujtahid dalam merumuskan hukum tentang sesuatu. Sebenarnya, ada hadits-hadits di dalam kitab Sahîh al-Bukhârî yang bersifat ta‘ârud dengan nas yang lain serta dengan ilmu sains. Akan tetapi, kalangan ulama sudah terjebak dengan dogma kesahihan hadits- hadits yang terdapat di dalam kitabnya maka hanya berusaha untuk sekuat tenaga melakukan justifikasi terhadap kitab sahîh tersebut. Justifikasi yang dimaksud ialah dengan melakukan penafsiran ulang terhadap teks hadits, pentakwilan, bahkan cenderung mempercayai begitu saja dengan alasan kapasitas nalar saat ini belum mampu menjangkau maksud dari hadits tersebut. Kitab Jami‘ al-Kubrâ yang dipandang kitab yang ditulis oleh al-Bukhari sebelum wafatnya menimbulkan asumsi lain terhadap tingkat kesahihan yang terdapat di dalam kitab Sahîh al-Bukhârî tersebut, karena dia sendiri merevisi sejumlah hadits yang terdapat di dalam kitab sahîh tersebut. Terjadinya reduksi dari jumlah hadits yang dikategorikan sahîh oleh al-Bukhari mengindikasikan perlunya melakukan analisis ulang terhadap konten-konten hadits yang terdapat di dalam kitabnya. Core keilmuan Bukhari adalah di bidang hadits, akan tetapi sering sekali dia bertindak sebagai ulama fiqh yang mencoba memberi penjelasan hukum tentang suatu hal. 30 Kerancuan yang terjadi ketika ulama fiqh merujuk pendapat hukum dari al-Bukhari dengan memberikan legalitas sebagai perawi yang dianggap paling tinggi kualitasnya. 31 Hadits tentang matahari yang mengelilingi bumi adalah salah satu contoh yang harusnya dipertanyakan tentang kesahihannya. 32 Kasus hadits tentang klaim matahari yang mengelilingi bumi merupakan kasus besar yang terjadi di Eropa abad pertengahan ketika pihak gereja menolak kebenaran sains tentang itu, karena menyalahi dogma yang terdapat di dalam agama Kristen. Berbeda dengan Islam yang menganggap yang demikian adalah hal yang biasa, walaupun menyalahi ilmu pengetahuan. Faktanya kekuatan dogma tentang kekultusan Sahîh al-Bukhârî ini hampir sama kalau tidak ingin mengatakan lebih. 33 Tidak dapat dibayangkan reaksi orang bila konten tentang matahari mengitari bumi terdapat di dalam al- Qur’an pasti akan meragukan keautentikan isi kandungan al-Qur’an yang diklaim sebagai wahyu Allah yang tidak mungkin salah. 34 102 Matan hadits yang meriwayatkan meminum kencing unta merupakan cara untuk mengobati penyakit demam, terlepas dari kriteria sahîh yang dilekatkan terhadap hadits ini terdapat ta‘ârud dengan nas dan sains. Al- Qur’an berulang kali menitikberatkan betapa pentingnya kebersihan dalam kehidupan manusia, meminum air kencing yang merupakan najis nyatanya menyalahi prinsip-prinsip al- Qur’an yang menjunjung tinggi hidup bersih. Secara kesehatan air kencing unta hampir tidak berbeda dengan air kencing hewan lain yang mengadung zat yang berbahaya bila dikonsumsi ke dalam tubuh manusia. Kitab Sahîh al-Bukhârî hendaknya dipahami bukan hanya sebagai kitab hadits, akan tetapi sebagai kitab fiqh sehingga ulama bisa memposisikan kitab ini secara proporsional. 35 Selama ini, kalangan ulama dan umat Islam umumnya sering menganggap kitab Sahîh al-Bukhârî hanya sebagai kitab hadits sehingga berimplikasi terhadap persepsi terhadap kitab ini memiliki justifikasi dimensi divine sangat kuat menjadi resisten terhadap kritikan. 36 Berbeda bila memposisikan kitab Sahîh al-Bukhârî sebagi kitab fiqh akan mengubah persepsi yang menimbulkan sikap kritis terhadapnya. Dapat dibayangkan selama berabad-abad lamanya persepsi umat Islam tentang kitab ini hampir tidak berubah yang menganggap kitab ini sebagai kitab hadits, padahal kitab ini lebih cocok dikatakan sebagai kitab fiqh. Sama seperti kitab al- Muwatta’ sebagian ulama menganggapnya sebagai kitab hadits dan banyak juga ulama yaang menganggapnya sebagai kitab fiqh. Apabila al- Muwatta’ dianggap sebagai kitab fiqh maka dapat dilihat komentar dan kritikan terhadap kitab ini bermunculan sehingga memperkaya khazanah berijtihad di kalangan ulama. Bingkai nilai-nilai transendental yang terus dipersepsikan di dalam al-Kutub as-Sittah agaknya hanya untuk tujuan mengarahkan persepsi umat Islam dan memfokuskan pada hal-hal yang menyangkut tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai ibadah mahdhah. Dapat dilihat hadits-hadits yang menyangkut tentang hal-hal yang bisa mengganggu hegemoni kekuasaan yang bersifat dinasti sangat dihindari. Kitab hadits Sahîh al-Bukhârî yang dianggap sakral membuat para penguasa Muslim yang selama berabad-abad memerintah secara monarki absolut merasa diuntungkan dengan keberadaan kitab ini. 37 Konten hadits yang terdapat di dalam sahîh ini sangat berguna untuk mengontrol psikologi masyarakat yang diarahkan pada orientasi akhirat. 38 Penempatan kitab Sahîh al-Bukhârî sebagai kitab fiqh selain akan berimplikasi pada adanya semangat untuk lebih mendalami serta mengkritisi konten hadits yang terdapat di dalam kitab tersebut, 39 tentu juga memetakan originalitas pendapat al-Bukhari tentang suatu Hukum sehingga bisa memposisikannya level kepakarannya dalam tingkatan mujtahid. Sering dikatakan keistimewaan dari Sahîh al-Bukhârî selain dari kriteria persyaratan suatu hadits itu dikatakan makbul juga dalam hal susunan dari kitab ini yang lebih memudahkan orang untuk merujuk tentang suatu dalil hukum. Hal tersebut disebabkan susunannya seperti susunan kitab fiqh sehingga dapat memberikan akses hadits ke semua komunitas masyarakat Muslim. 40 Karena itu, klaim orisinilitas susunan kitabnya sepertinya meniru kitab- kitab hadits yang sudah ada sebelum kodifikasi Sahîh al-Bukhârî ini. Tingkatan mujtahid yang sudah dianggap baku terdiri dari mujtahid mutlak, mujtahid bil mazhab, ataupun mufti. Agaknya dalam hal ijtihad, al-Bukhâri belum termasuk dalam level mujtahid mutlak karena tidak memberikan kontribusi terhadap metode fiqh yang baru. Keunggulan utama dari kitab Sâhîh al- Bukhârî terletak pada sisi justifikasi hadits yang menyertai karyanya yang dianggap paling otoritatif disebabkan membuat standard kriteria yang lebih ketat dalam menerima hadits. Justifikasi sebagai kitab hadits yang paling otoritatif yang sudah melekat selama ini menjadi batu sandungan bagi perkembangan fiqh. 41 Kitab Sahîh al-Bukhâri sudah terlanjur dianggap sebagai barometer justifikasi terhadap tingkat kesahihan suatu hadits sehingga kajian fiqh terbelenggu dengan patron tema-tema hadits yang terdapat di dalam kitab sahihnya. Seseorang yang membahas di luar patron hadits yang dibuat oleh al-Bukhari dan imam-imam lainnya di luar al-Kutub as-Sittah tentu saja kurang mendapat legitimasi di kalangan umat Islam. Dampaknya dapat dibuktikan terhadap kajian fiqh yang memiliki tema-tema yang terdapat di dalam kitab al-Kutub as- 103 Sittah banyak sekali dibahas di dalam kitab-kitab fiqh sampai mendetail. Di lain pihak, jarang sekali ada kitab fiqh yang membahas tema-tema yang di luar pembahasan di dalam al-Kutub as-Sittah, seperti pem- bahasan mengenai sistem suksesi kepemimpinan di dalam Islam, pengaturan harta pribadi khalifah dengan harta umat, persamaan hak di depan hukum. Tema-tema tersebut sebenarnya sudah memiliki dasar yang kuat dalam sejarah Islam, namun bila dibahas kurang didukung oleh legitimasi hadits yang dianggap kuat. 42 Sangat aneh bila sejarah pemerintahan di dalam Islam sudah begitu lama, akan tetapi kajian fiqh siyâsah yang membahas tentang hal tersebut sangat sedikit. Tidak jelasnya pembahasan mengenai hak dan kewajiban penguasa di dalam kitab-kitab fiqh, terutama yang menyangkut dengan sistem penggajian penguasa di dalam sejarah hukum Islam mengindikasikan bahwa masih adanya asumsi harta negara sama dengan harta khalifah atau sultan. Warisan pemahaman seperti ini masih dijumpai di negara-negara di Timur Tengah yang menganut sistem kekuasaan absolut ditengarai akibat miskinnya pembahasan fiqh yang membahas masalah ini. 43 Tampaknya kemunduran berijtihad di dalam Islam, muncul karena ulama- ulama pasca abad ke-5 H setelah kodifikasi kitab-kitab hadits, menjadikan kitab-kitab hadits sebagai subjek di dalam berijtihad, terutama sekali tema-tema yang terdapat di dalam al-Kutub as-Sittah hal ini terbukti dengan tema-tema kitab-kitab fiqh banyak yang mencontoh tema yang terdapat dalam kitab – kitab hadits tersebut. Hal ini sangat naif, karena tema-tema fiqh seharusnya berubah dan berkembang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain atau antara satu zaman dengan zaman yang lain. 44 Tidak mengherankan banyak permasalahan-permasa- lahan yang sampai sekarang tidak urgen untuk dibahas, akan tetapi tetap dibahas seperti permasalahan dalam masalah batas dua qullah dalam volume air yang dibolehkan untuk berwudlu atau masalah membebaskan budak. Kesalahan fuqaha menjadikan tema-tema yang terdapat di dalam al-Kutub as-Sittah sebagai subjek hukum membuat kajian fiqh menjadi terpasung, seharusnya tema-tema yang terdapat di kitab-kitab tersebut dijadikan gambaran realita dari persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam pada masa itu. Hal urgen adalah hadits yang digunakan dalam kitab tersebut bukan tema-tema yang terdapat di dalamnya. 45 Sementara itu, yang menjadi subjek hukum adalah persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat Islam, baik itu dari sisi tempat dan masanya. Peran perempuan karir yang bekerja di luar rumah hampir tidak pernah dibahas di dalam fiqh klasik karena hal tersebut merupakan gambaran sosio kultural mereka terhadap peran domestik yang diberikan kepada kaum perempuan. 46 Berbeda dengan kondisi sekarang ini, di Indonesia, hampir tidak ada perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam beraktivitas di luar rumah. Ini sebenarnya bisa didekatkan dengan peran Khadijah istri Nabi Muhammad Saw. ketika dia berperan sebagai perempuan karir yang memilih profesi sebagai pebisnis yang tidak mungkin hanya berdiam diri di rumah, karena harus check barang dagangannya. Cukup mengherankan juga kajian fiqh klasik yang alergi membahas tentang perempuan bekerja di luar rumah, padahal istri Nabi Muhammad Saw. sendiri adalah seorang pebisnis yang berhasil membangun jaringan bisnisnya dari Makkah sampai ke Syam. Metodologi kitab Sahîh al-Bukhârî yang dianggap paling valid oleh ulama hadits karena didasarkan pada alasan sudah diverifikasi dengan pertemuan antara guru dan murid dalam periwayatan hadits, namun kritikan terhadap hadits-hadits yang disampaikan oleh al-Bukhari kurang dilakukan. 47 Padahal ada beberapa matan hadits yang terdapat di dalam kitabnya yang mengandung kejanggalan secara sains, seperti hadits nabi yang menggambarkan bahwa bumi yang menjadi pusat peredaran galaksi. Cukup meng- herankan memang matan hadits yang kontradiksi tersebut masih dipertahankan, bahkan cenderung ditakwilkan yang sudah jelas-jelas bertentangan dengan sains. Ini menunjukkan klaim sakralisasi sesuatu yang dikaitkan dengan perkataan Nabi Muhammad Saw. dijadikan alibi untuk membungkam kebenaran hakiki ilmu pengetahuan. 48 Sudah selayaknya untuk mengkritik kitab Sahîh al-Bukhârî secara proporsional 104 dengan tidak terjebak menganggap sebagai suatu hal dosa dalam mengkritik, bahkan bila perlu menge- luarkan hadits-hadits yang diklaim sahîh bila bertentangan dengan pengetahuan umum yang telah dibuktikan oleh sains.

B. Socioliungistic dalam Hukum Islam