Otoritarianisme Hukum Islam: Kritik atas Hierarki Teks Al-Kutub As-Sittah - Repository UIN Sumatera Utara isi LKIS (bab 1 6)
BAB I
PENDAHULUAN
Ada beberapa hierarki di dalam kitab-kitab hadits yang disepakati oleh ulama-ulama hadits, yaitu al-Kutub at-Tis‘ah, al-Kutub at-Thamaniyah, dan al-Kutub as-Sab‘ah, serta al-Kutub as-Sittah yang menjadi bahasan dalam kajian ini.1 Pada awalnya ulama hadits membuat hierarki al-Kutub as-Tis‘ah sebagai
hierarki kitab-kitab hadits. Seiring dengan penelitian yang dilakukan ulama-ulama hadits yang didasarkan pada kualitas, susunan (metodologi) dan spesifikasi matan hadits, terjadi penyeleksian kitab-kitab hadits berdasarkan kriteria di atas. Lima kitab hadits yang dikenal sebagai al-Kutub al-Khamsah dianggap sebagai kitab-kitab hadits yang menjadi rujukan utama dalam fiqh.2 Akan tetapi, Sunan Ibn Mâjah dimasukkan ke
dalam kategori kitab-kitab hadits utama (al-Kutub as-Sittah) karena ada beberapa matan hadits yang hanya terdapat di dalamnya.3 Karena itu, Sunan Ibn Mâjah disebut dengan zawa’id dianggap bisa
melengkapi materi hadits yang tidak terakomodir dalam kitab-kitab hadits lainnya.4 Kitab-kitab hadits
lainnya tidak dimasukkan ke dalam kategori kitab-kitab hadits rujukan utama di dalam fiqh.
Metode penyusunan al-Kutub as-Sittah dinilai memiliki kekhususan. Al-Kutub as-Sittah dinilai sebagian besar ulama mewakili seluruh hadits Nabi Muhammad Saw. yang dapat diamalkan. Selain itu, kitab hadits selain al-Kutub as-Sittah dipandang memuat banyak hadits yang mawquf dan dha‘îf.5
Perkembangan hierarki kitab-kitab hadits puncaknya terjadi pada abad ke-2 H dan ke-3 H tatkala ulama menjadikan al-Kutub as-Sittah sebagai kitab-kitab hadits utama.6 Di sisi lain, sebagian besar kitab-kitab
hadits di luar al-Kutub as-Sittah disusun di kemudian hari terutama sampai akhir abad ke-4 H. Salah satu metode ulama-ulama hadits dalam menentukan kualitas suatu kitab hadits adalah dengan mem-pertimbangkan jarak terdekat dengan masa Nabi.7 Kecenderungan menggunakan standar al-Kutub
as-Sittah di kalangan ulama bukan tanpa alasan. Ia dianggap memiliki keutamaan yang lebih tinggi dibandingkan menggunakan hierarki kitab-kitab hadits lainnya. Dalam buku ini, penulis lebih memilih istilah al-Kutub as-Sittah daripada istilah lainnya. Selain memiliki legalitas yang lebih tinggi, hadits-hadits sahîh yang terdapat di dalam kitab-kitab lainnya telah terwakili dalam al-Kutub as-Sittah.8
Sejarah tashrî‘ hukum Islam dalam memandang hadits sebagai sumber istinbâth hukum mengarah pada dua corak pemikiran, yaitu ahli hadits dan ahli ra’yi. Ahli hadits berpendapat bahwa hadits merupakan bayân al-Qur'an yang cenderung lebih mengutamakan lafaz nas hadits daripada mencari ‘illat, yang mendasari munculnya lafaz tersebut. Menurut ahli ra’yi, hukum syariah secara makna harus bisa dicerna oleh akal.9 Karena itu, apabila suatu lafaz nas kurang jelas secara makna maka harus digunakan
instrumen-instrumen yang ada dalam fiqh; qiyas dan ijma.‘10 Hal ini merupakan metode yang disepakati oleh
mayoritas ulama fiqh. Namun, dalam perkembangannya ada beberapa metode ijtihad yang membedakan antara satu ulama fiqh dan ulama yang lainnya, seperti metode istihsân Imam Abu Hanifah, metode istishâb Imam Syafi‘i, dan metode maslahah Imam Malik.11
Menurut Khudari Bek, hal-hal yang menjadi faktor stagnasi berijtihad atau munculnya taqlid adalah masalah politik terutama setelah kejatuhan kota Baghdad oleh Hulagu Khan (Mongol) tahun 656 H. Meskipun hal tersebut dapat dibantah dengan bukti masih tegaknya kerajaan besar Islam lainnya yang juga melahirkan ulama besar. Misalnya Kerajaan Mamluk yang berperan besar dalam mempertahankan wilayah Islam dari serangan pihak luar terutama pasukan Salib. Walaupun Dinasti Abbasiah secara de facto meredup, kerajaan-kerajaan Islam lainnya tetap bertahan sebagai simbol persatuan umat Islam.12
Munculnya semangat sektarian dari berbagai bangsa di kalangan umat Islam disebabkan oleh tidak adanya simbol pemersatu seperti pada masa Dinasti Abbasiah. Komunikasi di antara ulama di dunia Islam sering digambarkan dengan mengadakan rihlah dalam rangka mematangkan ilmu dan tukar-menukar informasi di bidang keilmuan, seperti halnya Imam Syafi‘i yang menghasilkan qawl jadîd sebagai revisi atas pendapatnya yang terdahulu di dalam kitab al-‘Umm (abad ke-2 H).13 Kemudian terputusnya hubungan
(2)
antara umat Islam dan kitab-kitab utama ulama klasik. Hal ini disebabkan oleh penaklukkan bangsa Mongol yang berdampak negatif bagi perkembangan ilmu pengetahuan, yang membakar buku-buku klasik dalam jumlah besar. Hal itu membuat hubungan dengan karya-karya ulama klasik menjadi kurang bersinambungan. Banyak ulama berikutnya hanya melakukan ikhtisâr terhadap karya-karya klasik yang tersisa, karena kurangnya karya-karya pembanding akibat pembakaran tersebut.14 Al-Jabiri menyebut
salah satu penyebab stagnasi berpikir tersebut adalah pola pemikiran Islam Mashriqî (Timur) yang cenderung mendekatkan dan melibatkan diri pada kekuasaan. Akibatnya, corak pemikiran yang berkembang saat itu mengambarkan warna pemikiran kekuasaan, seperti yang terkenal dalam peristiwa mihnah.15
Apabila tidak mendapat dukungan dari penguasa maka sulit sekali untuk berkembang, dan dengan demikian corak pemikiran Islam Mashriqî kurang membumi. Hal ini berbeda dengan corak pemikiran Islam Magribî (Andalusia) yang berusaha melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan agar lebih bebas dalam berijtihad, dan terbukti memberi pengaruh besar dalam kebangkitan ilmu pengetahuan (renaisans) di Eropa.16 Di samping itu, berkembang juga pendapat yang menyatakan bahwa sebagian fuqaha memandang
hasil ijtihad yang dilakukan oleh imam-imam mazhab wajib diikuti, seperti halnya nas yang tidak bisa berubah. Hal tersebut membuat fuqaha tersebut tidak maksimal mengembangkan ijtihadnya.17 Pasca
berakhirnya generasi sahabat tahun 99 H yang dianggap sebagai generasi awal pewarta hadits, generasi pertama abad ke-1 H, di antaranya Umar ibn Abdul Aziz, Ibn Sirin, dan Hasan Basri, dianggap sebagai generasi yang berusaha untuk membukukan hadits. Generasi ini mendapat keuntungan yang besar karena mereka langsung belajar pada generasi sahabat. Dampak dari usaha kodifikasi hadits tersebut berpengaruh terhadap bidang fiqh, yang ditandai oleh lahirnya imam-imam mazhab abad ke-2 H dengan karya-karya monumentalnya. Akan tetapi, hal tersebut mendapat penghormatan yang berlebihan dari generasi-generasi selanjutnya sehingga kurang bersemangat lagi untuk berijtihad.18
Ada juga yang berpendapat penyebab stagnasi berijtihad di dalam fiqh dimulai setelah dilakukan kodifikasi terhadap kitab-kitab fiqh yang dilakukan oleh imam-imam mazhab. Harus diakui hal tersebut memiliki dampak positif untuk memudahkan umat Islam dalam mempelajari fiqh. Akan tetapi, hal itu juga memiliki dampak negatif karena setelah kodifikasi tersebut umat Islam merasa tidak perlu lagi berijtihad. Masalahnya adalah apakah taqlid atau kejumudan hanya disebabkan oleh faktor-faktor tersebut di atas? Menurut penulis ada satu hal yang selama ini kurang mendapat perhatian dari kalangan akademisi maupun ilmuwan, yaitu faktor otoritas hierarki al-Kutub as-Sittah yang sangat kuat.19 Pasca mapannya
hierarki kitab-kitab hadits abad ke-4 H, hampir tidak ada lagi mujtahid-mujtahid mutlak yang muncul yang selevel dengan imam-imam mazhab. Abad tersebut dipandang sebagai awal tertutupnya pintu ijtihad dalam Islam.20 Fakta di atas menggambarkan adanya korelasi yang cukup kuat antara kodifikasi kitab-kitab
hadits dan munculnya mujtahid mutlak.
Hierarki al-Kutub as-Sittah terdiri dari Sahîh al-Bukhârî (194 H), Sahîh Muslim (206 H), Sunan Abî Dâwud (224 H), Sunan al-Nasâ’î (215 H), Sunan al-Tarmidhî (279 H), dan Sunan Ibn Mâjah (273 H), dan legalitasnya mulai diakui di kalangan ulama abad ke-4 H.21 Hierarki ini awalnya berfungsi untuk menyeleksi
hadits-hadits yang dikategorikan sahîh dan tidak sahîh. Namun dalam perjalanannya justru menjadi penghambat perkembangan ijtihad terutama di kalangan ulama fiqh.22 Otoritas yang begitu besar dari
hierarki tersebut memengaruhi kreativitas ulama dalam menetapkan suatu hukum. Bandingkan misalnya dengan kitab fiqh sebelum terbentuknya legalitas formal al-Kutub as-Sittah sebelum abad ke-4 H, yaitu misalnya al-Risâlah dan al-‘Umm (Imam Syafi‘i), al-Mabsûth (Imam Abu Hanifah), dan al-Muwaththa’ (Imam Malik). Kitab-kitab ini menjadi referensi utama dalam kajian fiqh, sehingga hampir bisa dipastikan seseorang yang mendalami fiqh mengetahui kitab-kitab utama tersebut.
Hierarki al-Kutub as-Sittah yang menjadikan kitab Sahîh al-Bukhârî (194 H) sebagai ikon cenderung berorientasi fiqh, sehingga Ibn Hajar menyebut kitab tersebut sebagai al-Fiqh al-Bukhârî fî Tarâjumih.23
(3)
Kitab tersebut tampaknya lebih mengutamakan hadits-hadits yang berdimensi ibadah wajib. Ternyata hal itu memberikan kontribusi yang kurang baik bagi perkembangan keilmiahan pada masa-masa berikutnya. Ditambah lagi adanya kecurigaan intervensi dari penguasa terutama dari Dinasti Umayyah yang sangat berkepentingan untuk mengamankan dinastinya yang awalnya dianggap illegal. Karena Muawiyah menyadari tingkat acceptability dirinya kalah dibandingkan Ali ibn Abi Talib, maka ia membutuhkan sosok sahabat yang dapat mengimbangi reputasi Ali.24 Maka dipilihlah Ibn Umar karena dinilai sebagai figur yang
diterima di kalangan sahabat, selain posisinya yang netral dalam pertikaian politik antara Ali dan dirinya. Sahabat-sahabat yang netral tersebut dipandang Muawiyah sebagai pihak yang bisa memperkuat legitimasinya. Ibn Umar yang juga dianggap sebagai rijâl al-hadîth paling diakui ke-tsiqahannya oleh ulama-ulama hadits, dijadikan ikon sahabat yang sengaja diciptakan oleh Dinasti Umayyah.
Dinasti ini menampilkan sosok Ibn Umar yang bersahaja dalam meniru tindakan Nabi, cara berjalan, sampai hal-hal kecil yang dilakukan oleh Nabi. Kesederhanaan Ibn Umar serta sikapnya yang tidak mau terlibat dalam politik praktis membuatnya sebagai sosok utama yang dijadikan rujukan dalam meriwayatkan hadits. Di samping itu, kentalnya nuansa politik dalam penyusunan hierarki al-Kutub as-Sittah dibuktikan dengan minimnya hadits-hadits riwayat Ali ibn Abi Thalib, Ja’far ibn Abi Thalib atau Hasan ibn Ali yang dimasukkan ke dalam al-Kutub as-Sittah.25
Legalitas formal al-Kutub as-Sittah terjadi tidak secara simultan, tetapi bermetamorfosis yang mencapai bentuknya pada awal abad ke-4 H. Karena itu, susunan hierarki kitab-kitab hadits dapat dipolakan menjadi empat bentuk penulisan hadits, yaitu sunan, musannaf, jâmi,‘ dan musnad. Tiga model pertama sangat berpola fiqh, yang menandakan kuatnya pengaruh fiqh ketika itu.26 Karena itu, susunan
hierarki dari al-Kutub as-Sittah bukan menjadi hal yang qath‘î yang tidak boleh diganggu gugat.
Pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz, usaha kodifikasi hadits yang dilakukan di awal abad ke-2 H adalah dengan mengangkat ulama hadits terkenal pada masa itu, yaitu Ibn Shihab al-Zuhri.27 Dalam
menginventarisir hadits, terdapat makna tersendiri bagi perkembangan hadits selanjutnya. Hadits menjadi sumber hukum kedua yang fungsinya sebagai bayân wahyu Allah.
Sebelum kodifikasi hadits, yang eksis dalam masyarakat muslim adalah sunnah,28 dalam arti apa yang
diamalkan umat Islam berasal dari Nabi. Besarnya magnet Nabi sebagai pemilik otoritas nas membuat sunnah terpelihara dan dipraktikkan oleh sahabat dan umat Islam. Semenara usaha kodifikasi hadits mengharuskan adanya seleksi terhadap sunnah berdasarkan kriteria yang dibuat oleh ulama-ulama hadits. Atas dasar inilah seorang orientalis Joseph Schacht mengatakan bahwa tidak ada hadits yang benar-benar asli berasal dari Nabi, kecuali sedikit.29
Klaim Schacht di atas mendapat respons dari ilmuan-ilmuan muslim, di antaranya Fazlur Rahman,30
Muhammad Hamidullah,31 Fuat Sezgin,32 dan Muhammad Mustafa al-Azami.33 Schacht keliru karena
menurut mereka masyarakat Islam awal dalam mempraktikkan sunnah Nabi tidak hanya berdasarkan tulisan, tetapi yang lebih penting juga didasarkan pada tradisi Nabi yang sudah menyatu dengan kehidupan mereka. Figur Nabi menjadi magnet yang luar biasa bagi masyarakat muslim yang semasa dengan Nabi. Karena itu, tradisi (sunnah) sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari mereka.
Tujuan kodifikasi hadits adalah untuk menghimpun hadits-hadits Nabi yang berserakan di banyak negara di kawasan Jazirah Arab. Tersebarnya para sahabat dalam berdakwah membuat usaha pengumpulan hadits menjadi lebih rumit dan sekaligus menjadi entry point bagi ulama-ulama hadits berikutnya untuk menyeleksi. Kodifikasi dipandang urgen untuk memelihara hadits Nabi agar tetap eksis dan dapat dipahami pada masa-masa selanjutnya. Kodifikasi di awal abad ke-2 H menjadi rujukan utama ulama-ulama hadits abad ke-3 H untuk memverifikasi data hadits yang sudah dikumpulkan. Masing-masing ulama membuat metodologi tersendiri untuk menentukan validitas suatu hadits.
(4)
Masalahnya, selama ini metodologi yang dibuat oleh ulama-ulama hadits abad ke-3 H hingga saat ini dipandang sebagai metode yang memiliki otoritas.34 Hal itu dianggap baku dan tidak dapat diganggu gugat.
Itu juga diasumsikan membuat kajian-kajian ilmiah keislaman yang dilakukan oleh akademisi muslim sulit berkembang. Di antara mereka banyak yang sengaja membelenggu diri terhadap sesuatu yang dianggap kultus. Akibatnya, respons al-Qur’an maupun hadits terhadap persoalan-persoalan sosial umat Islam tampak kaku dan rigid.35
Metode dalam menentukan hierarki hadits vertikal bisa jadi cocok dalam kurun waktu tertentu, tetapi belum tentu relevan di waktu yang lain dalam konteks kekinian. Imam al-Bukhari, misalnya, membuat suatu kriteria hadits yang boleh ada di dalam kitabnya adalah adanya perjumpaan antara guru dan murid.36
Kriteria tersebut dipandang paling sahîh oleh kebanyakan ulama-ulama hadits pada masanya, atau beberapa abad setelahnya. Kitab Sahîh al-Bukhârî dipandang sebagai kitab hadits yang berwajah fiqh karena di dalamnya memuat hadits-hadits berdasarkan tema-tema yang dikenal dalam fiqh.
Tidak mengherankan setelah imam-imam mazhab, seperti Imam Syafi‘i dengan kitab al-Risâlah-nya, hampir tidak ditemukan lagi sesuatu yang orisinil dalam sistematika hukum Islam yang didasarkan pada nas. Hal tersebut disebabkan oleh terbentuknya kodifikasi kitab hadits yang hierarkis pasca imam-imam. Hierarki ini membuat ulama kesulitan dalam merumuskan formulasi baru hukum Islam. Padahal bila diteliti lebih seksama, sebenarnya kitab-kitab hadits memiliki kluster hukum dan kekhasan tersendiri. Adalah benar bila dikatakan kitab Sahîh al-Bukhârî sangat valid membahas masalah ibadah mahdhah (khusus), tetapi hampir tidak ada di luar urusan ibadah, seperti soal suksesi kepemimpinan. Hal inilah yang membuat asumsi bahwa penempatan kitab Sahîh al-Bukhârî sebagai kitab hadits utama pada awal kodifikasi sangat bias politik.37
Munculnya Dinasti Umayyah dianggap illegal dan dituding sebagai faktor perpecahan umat Islam, terutama dengan munculnya Islam Sunni dan Syiah, dan munculnya kelompok-kelompok teologi dalam Islam.38 Karena itu, dinasti ini perlu legitimasi umat Islam, dan klasifikasi hierarki kitab hadits yang
menempatkan Sahîh al-Bukharî dan Sahîh Muslim sebagai kitab utama dipandang sarat muatan political interest. Kedua kitab ini dari segi isinya memuat masalah-masalah ibadah rukun iman dan rukun Islam. Hal ini bertujuan agar umat Islam lebih fokus pada masalah-masalah ibadah, ketimbang turut campur masalah kekuasaan (Dinasti Umayyah). Sebaliknya, kitab-kitab hadits selain Sahîh al-Bukhâri dan Sahîh Muslim, yang sebenarnya menghimpun matan hadits yang mengandung muatan sosial, ekonomi, dan politik, ditempatkan pada level lebih rendah.
Buku ini tidak bermaksud mempertanyakan eksistensi hadits, sebagai sumber hukum setelah al-Qur’an, tetapi untuk menghargai hadits yang berasal dari sumber yang sama agar diperlakukan secara sama. Artinya, hierarki kitab-kitab hadits terutama al-Kutub as-Sittah dapat diperlakukan tanpa perbedaan secara otoritas antara kitab yang satu dan yang lainnya. Dengan demikian, tidak ada perbedaan kelas antara Sahîh al-Bukhâri dan Sunan Abu Dawud, Sunan Ibn Mâjah, dll.39 Kenyataannya, dengan
hierarki vertikal tersebut, banyak ulama kesulitan dalam mengembangkan ijtihadnya. Akibatnya, pasca-kodifikasi banyak permasalahan umat tidak relevan diselesaikan dengan hadits shaikhâni, tetapi ditemukan jawabannya di dalam kitab-kitab yang level otoritasnya lebih lemah.40
Oleh karena itu, sudah saatnya para ulama meninggalkan hierarki kitab hadits dan menghilangkan dikhotomi hadits Sunni dan Syi‘ah, karena semua hadits sama-sama berasal dari Nabi.41 Lagi pula hierarki
tersebut sama-sama tidak memiliki otoritas absolut, karena pada awalnya setiap ulama memiliki hierarki tersendiri dalam menentukan kitab-kitab hadits.
Adanya larangan menulis hadits tidak hanya berlaku pada masa Nabi, tetapi juga sampai pada masa sahabat, seperti yang terjadi pada masa Umar ibn al-Khattab.42 Setelah menaklukkan Irak, khususnya
(5)
Madinah dikhawatirkan dapat mencampurkan al-Qur'an dengan hadits.43 Tetapi, dalam kasus-kasus
tertentu, ada beberapa sahabat yang memiliki catatan sendiri tentang hadits-hadits tertentu.
Selama ini metode isnâd44 yang dilakukan oleh para ulama abad ke-3 H diyakini sudah baku. Padahal
bila dicermati, matan hadits yang dipandang sahîh terkadang kurang memenuhi aspek keadilan maupun akal sehat. Misalnya penyebarluasan hadits yang mempertanyakan keislaman Abu Thalib di satu sisi, tetapi tidak ada hadits yang mengeskpos sepak terjang Abu Sufyan, ayah Muawiyah, yang menentang Nabi Saw. dan sahabat ketika mendakwahkan Islam, di lain sisi.
Abu Rayyah seorang peneliti hadits yang sering dituduh sebagai inkarussunnah mempertanyakan kredibilitas seorang Abu Hurairah, padahal dia sangat mengakui hadits Nabi sebagai rujukan utama setelah al-Qur’an. Tujuan Abu Rayyah adalah kemurnian hadits itu sendiri, karena baginya tidak semua sahabat itu adil. Jika demikian halnya maka otomatis berarti menyamakan kedudukan mereka dengan Nabi.45 Abu
Hurairah juga dikritik karena tidak meriwayatkan hadits ketika pada masa Khalifah Abu Bakr dan Umar, padahal keduanya dikenal sangat keras dan selektif dalam menerima hadits yang tidak didengarnya. Bahkan sahabat-sahabat yang dikenal kewara’annya diminta bersumpah dan membawakan saksi ketika meriwayatkan hadits, seperti yang dialami Ali ibn Abi Talib dan Abu Musa ketika meriwayatkan hadits. Utsman juga pernah melarang seseorang meriwayatkan hadits yang tidak diriwayatkan pada masa Khalifah Abu Bakr dan Umar.46
Fatima Mernisi juga mengkritik hadits-hadits yang bersumber dari Abu Hurairah yang terkenal misoginis, sesuatu yang bertolak belakang dengan pandangan dan perilaku Nabi. Karena itu, Mernisi mengajukan hadits pembanding dari Aisyah yang matan-matannya berkaitan dengan perempuan.47
Fiqh tidak dapat dipisahkan dari hadits. Karena itu, Wael B. Hallaq mengatakan bahwa hukum Islam bersifat dinamis dengan ijtihad-ijtihad baru dari ulama sepanjang zaman.48 Hal ini dibantah oleh Calder
yang menyatakan sejak abad ke- 10 sampai abad ke-19 sama sekali tidak ada hukum Islam yang orisinal lahir dari metodologi ulama dan menggunakan sumber-sumber Islam.49 Karena itu, menurutnya hukum
Islam selama sembilan abad hanya mengadopsi hukum-hukum dari luar, paling tidak hanya berkutat pada masalah-masalah yang sudah dibahas ulama-ulama sebelum abad ke-5 H. Produk-produk hukum yang dihasilkan oleh ulama stagnan ditandai setelah Imam Syafi‘i dengan al-Risâlah sangat sulit menemukan karya-karya ulama fiqh yang original. Hal ini dapat dilihat dari usaha qanûn pada masa Turki Utsmani dengan mengimpor produk-produk hukum perdagangan dari Perancis kemudian diberi label dalam bahasa Arab lalu umat Islam menganggapnya sebagai hukum Islam.
Berbeda dengan Calder, Hallaq lebih memahami bahwa hukum Islam itu bersifat dinamis dan berevolusi, artinya dia memahami hukum Islam merupakan produk hukum yang dipraktikkan sehari-hari dan dilegitimasi dengan ulama-ulama yang memiliki otoritas. Yang dimaksud ulama yang memiliki otoritas di sini ialah fatwa-fatwa ulama yang membahas masalah-masalah fur‘iyyah. Kemudian fatwa tersebut dipraktikkan dalam komunitas masyarakat yang lebih besar, dengan mendapatkan dukungan dari ulama-ulama sezamannya.50 Walaupun Coulson menolak fatwa-fatwa individu setelah abad ke-5 H karena tidak
memiliki otoritas keilmuan dan lebih condong pada fatwa yang bersifat komunal.51 Bagi Hallaq, menunggu
fatwa secara komunal akan memakan waktu yang lama, sementara perubahan permasalahan sosial sangat cepat dan perlu direspons dengan fatwa furu‘.
Jika dicermati tuduhan Calder bahwa ijtihad dalam hukum Islam telah tertutup ada benarnya juga di satu sisi bila merujuk pada kenyataan dalam konstalasi ijtihad ulama yang sampai saat ini hanya melakukan proses Islamisasi terhadap produk-produk hukum yang ada. Hallaq juga mengakui secara tersirat bahwa perubahan hukum Islam itu berevolusi dengan usaha yang dilakukan oleh ulama-ulama kontemporer dengan fatwa furu‘, pada awalnya hanya usaha labelisasi keislaman. Ulama kontemporer mengakui sulit keluar dari lingkaran kejumudan yang ada selama ini. Langkah pertama yang mereka lakukan adalah
(6)
dengan labelisasi keislaman atau meminjam istilah Ismail al-Faruqi dan Naqib Alatas “Islamisasi ilmu pengetahuan.” Ketika sumber daya sudah memenuhi maka ulama akan menemukan ijtihad yang orisinal dalam menjawab persoalan di masyarakat. Itu sebabnya Hallaq menggunakan terminologi evolusi dalam hukum Islam, sebab tidak mungkin melakukan revolusi hukum jika bahan-bahan dari revolusi itu berasal dari racikan luar (Barat).
Bukan berarti pula penulis mengakui pendapat Joseph Schacht yang mengatakan terbentuknya hukum Islam itu dimulai pada abad ke-3 H. Hal ini disebabkan oleh kodifikasi sunnah menjadi hadits sebenarnya diciptakan pada masa ini sehingga terbentuknya hukum Islam berawal pada abad ke-2 H.52
Schacht memahami dari sisi terbentuknya teks-teks hadits yang kemudian menjadi dasar hukum. Bila demikian, bagaimana pula dengan nabi-nabi dari sejak Nabi Adam sampai Nabi Musa. Mereka tidak menerima wahyu Allah dalam bentuk kitab atau tulisan kecuali sejak Nabi Musa sampai Nabi Muhammad Saw. Konsekuensinya, bila merujuk pendapat Schacht dasar terbentuknya hukum harus merujuk pada sumber yang tertulis berarti nabi-nabi sebelum Nabi Musa as seperti Nabi Nuh as, Ibrahim as, Luth as, dan lain-lain, mereka tidak membawa dan menyebarkan hukum Allah. Salah satu fungsi utama seorang nabi adalah menyampaikan hukum Allah kepada kaumnya masing-masing. Karena manusia mengenal tulisan sejak 3200 SM dengan merujuk umur dari huruf-huruf dinding yang terdapat di dinding piramid (hiroglif),53 pada masa Mesir kuno sezaman dengan Firaun yang menentang ajaran Nabi Musa.
Kemungkinan atas dasar ini mengapa Allah menurunkan wahyu pertama kali dalam bentuk kitab/tulisan karena masyarakat pada masa Nabi Musa sudah mengenal tulisan. Alangkah naifnya bila Allah menurunkan wahyu dalam bentuk tulisan kepada masyarakat yang belum mengenal tulisan. Akan tetapi, bukan berarti hukum belum terbentuk pada umat-umat sebelum Nabi Musa ketika tulisan belum ditemukan dan itu mustahil.54
Ulama akan terus mengalami kesulitan dalam menghasilkan produk ijtihad yang orisinil dalam merespons persoalan umat yang kian terus mengalami perkembangan yang luar biasa bila hanya menggunakan pola-pola konvensional. Salah satu hal yang menjadi kelemahan ulama selama ini dalam menghasilkan hasil ijtihad yang original kurang kritis terhadap metodologi ulama klasik dalam memahami al-Qur'an dan hadits.55 Terutama dalam masalah hadits, persoalan utama stagnasi berijtihad hukum di
kalangan ulama karena laju perkembangan masyarakat. Hal tersebut tidak sebanding dengan kemampuan ulama untuk menghasilkan ijtihad yang memadai dalam menjawab persoalan zaman. Sering kali tanpa disadari dikhotomi antara masalah agama dan sosial kemasyarakatan terbentuk. Karena pihak ulama yang secara de facto memiliki otoritas diasumsikan tidak memiliki kapasitas dalam memecahkan persoalan yang ada.
Kajian fiqh56yang menitikberatkan pada aspek-aspek perilaku mukallaf di masyarakat cenderung
bersifat responsif, artinya kajian fiqh bersifat reaktif terhadap perilaku-perilaku masyarakat dengan berlandaskan dalil-dalil nas maupun ijtihad dari ulama. Usul fiqh objek kajiannya menyangkut nas al-Qur'an dan hadits, yaitu nas digunakan sebagai rekayasa sosial.57 Dengan demikian kajian fiqh dan usul
fiqh sebenarnya saling terkait dan melengkapi, akan tetapi kajian fiqh lebih bisa menjelajahi wilayah yang lebih bebas karena berbasis dengan dinamika masyarakat. Masalahnya kajian fiqh yang seharusnya dapat menjangkau segala aspek kehidupan manusia terhalang dengan ketentuan-ketentuan klasik yang lebih mengedepankan hierarki kitab-kitab hadits yang cenderung mengistimewakan aspek-aspek ibadah ritual. Hal tersebut dapat dibuktikan sekian lama umat Islam terbelenggu oleh aturan-aturan yang bersifat ad-hoc seperti hierarki al-Kutub as-Sittah dianggap sebagai yang sesuatu yang tidak boleh diganggu gugat kalau tidak ingin mengatakan kultus.
Kemudian terdapat perbedaan di kalangan ulama tentang masalah sunnah, yaitu antara sunnah
tashrî‘iyyah dan non-tashrî‘iyah.58 Hal itu muncul karena adanya hadits-hadits Nabi Muhammad saw yang
(7)
peristiwa penyerbukan buah kurma ketika Nabi Muhammad saw menegur perbuatan mereka dalam menyerbuk buah kurma tersebut. Karena ditegur ternyata hasil pertanian kurma mereka menjadi anjlok sehingga mereka mengadukan perihal tersebut kepada Nabi dengan menjawab “kalian lebih tahu dalam urusan dunia.”59 Hadits-hadits yang senada yang menunjukkan sisi kelemahan diri Nabi Muhammad saw
sebagai manusia membuat al-Qarâfi membagi peran Nabi Muhammad sebagai rasul, pemimpin atau kepala negara, atau sebagai manusia biasa.60
Besarnya pengaruh hierarki kitab-kitab hadits dapat dilihat betapa berpengalamannya ulama klasik sampai sekarang ketika berbicara masalah ibadah mahdha. Terkadang tata cara ibadah seperti shalat dapat mengindikasikan paham teologi atau untuk kasus di Indonesia (baca: paham organisasi keagamaan). Karena banyaknya pendapat yang dikeluarkan ulama dalam masalah ibadah ritual.61 Akan tetapi, ketika
diminta menyelesaikan masalah yang timbul akibat kemajuan zaman dan teknologi kurang sekali bahkan tidak bisa menyelesaikannya. Bagi umat Islam mendapat garansi bahwa Allah dan Nabi Saw. telah menjamin bahwa Islam agama yang sempurna bisa menjawab segala tantangan zaman menjadi semacam sugesti yang tetap tertanam di sanubari umat Islam. Sugesti tersebut membuat berbagai persepsi yang berbeda di antara umat Islam yang diwakili oleh ulama.
Ada yang berpaham bahwa di dalam Islam memiliki al-Qur'an dan hadits dapat menjawab segala persoalan umat dengan kondisi saat ini maka mereka sering berapologi kembali kepada hukum Allah, yaitu al-Qur'an dan hadits. Akan tetapi, ketika ditanya tentang cara mengeluarkan intisari nas dalam menjawab tantangan zaman, mereka sering berapologi kembali. Ada juga orang memiliki paham yang lebih realistis dalam memahami keadaan dengan berusaha meminjam metodologi atau prosedur-prosedur keilmiahan dari luar lalu digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan kemasyarakatan. Seperti halnya dalam masalah fiqh dengan melakukan islamisasi, kemudian ada juga berusaha untuk menjawab persoalan umat dengan kemampuan sendiri. Akan tetapi, dalam tataran tertentu mengalami kesulitan karena second liner (garis kedua) atau kalau meminjam istilah ekonomi kelas menengah masyarakat ilmiah di umat Islam belum terbentuk. Hal ini berbeda dengan masyarakat Barat yang memiliki beberapa lapis masyarakat ilmiah yang terhubung dari level atas misalnya dalam Islamic Studies ada Ignez Goldziher,62 Josepht
Schacht63 dapat diterjemahkan oleh Noel J. Coulson, John Wansbrough,64 dan disambut oleh Johansen,65
Gibbs,66 serta dijabarkan oleh peneliti-peneliti yang berpusat di universitas-universitas Barat.
Jurus pengkafiran,67ingkâr al-Sunnah serta label-label sesat lainnya masih menghantui
ilmuan-ilmuan Muslim, sehingga banyak di antara ilmuan-ilmuan Muslim yang tidak berani untuk melawan arus besar pendapat yang ada. Masyarakat Barat sudah selesai dengan hal ini sepuluh abad yang lalu dengan dihukum matinya Bruno, Capornicus karena menentang dogma gereja.68 Dengan demikian menurut penulis selama
jurus-jurus penghambat untuk kemajuan Islam itu dan kalangan internal tidak berusaha untuk menyelesaikannya jangan harap kemajuan keilmiahan dalam masyarakat Muslim akan eksis.
Kuatnya otoritas hierarki di dalam kitab-kitab hadits dapat dilihat bahwa ulama-ulama hadits seperti Imam al-Bukhari dan Imam Muslim hampir dianggap setara dengan Nabi yang maksum bagi sebagian umat Islam. Walaupun tidak diucapkan atau ditulis secara jelas, akan tetapi dalam praktiknya kriteria-kriteria hadits yang mereka buat dianggap sudah final. Karena itu, tidak perlu lagi diubah bahkan kalau sudah merujuk pada hadits yang diriwayatkan mereka berdua hampir sama qath‘î-nya dengan al-Qur'an. Karena merasa mendapatkan legitimasi kesakralan tetapi hal sama kurang mendapatkan legitimasi bila diriwayatkan dari yang lain. Bila demikian tetap dipelihara maka akan menyulitkan kajian-kajian fiqh untuk berkembang. Karena ada kaedah hukum yang dipakai oleh semua termasuk fiqh Equality before the law persamaan hak di depan hukum. Bagaimana bisa kajian hukum Islam akan berkembang bila memperlakukan kitab-kitab hadits sarat dengan kasta padahal berasal dari sumber yang sama.69
Dalam masalah pengembangan pemahaman hadits ulama terhambat karena kekhawatiran yang muncul bila mereka mempertanyakan baik itu dari segi sanad maupun matan hadits akan disebut inkâr
(8)
al-Sunnah. Berbeda dengan ulama yang mendalami al-Qur'an mereka agak bebas dalam menginterpretasi isi kandungan al-Qur'an tanpa disebut sebagai inkâr al-Qur'an, karena Al-Qur'an dipandang memiliki otoritas yang tinggi sehingga tidak mungkin ternodai. Akan tetapi, ketika menyangkut dengan hadits terutama al-Kutub as-Sittah bagi ulama seakan menempatkannya seperti Mushaf Utsmani yang tidak bisa lagi dipertanyakan karena dianggap sebagai hal yang sudah baku.70
Untuk bisa menentukan kriteria kitab hadits yang layak dijadikan hujjah tentunya merujuk pada masa abad ke- 2, 3, dan 4. Ketika usaha keras untuk menghimpun dan mengkodifikasi hadits dilakukan, sekarang waktunya mengonsolidasi sumber daya yang ada agar tidak lagi terjebak pada kooptasi hierarki hadits konvensional karena akan mematikan kreativitas ulama. Hal itu sudah terbukti beberapa abad lamanya kevakuman ijtihad melanda dunia Islam bahkan masih terasa sampai sekarang ini. Imam Syafi‘i atau Imam Abu Hanifah tidak akan mungkin menjadi mujtahid besar sampai sekarang ini jika mereka hidup setelah abad ke-4 H ketika hierarki kitab-kitab hadits sudah mulai terbentuk.71 Karena mereka akan mengalami
kesulitan dan terjebak dengan resources hadits yang terbatas akibat hierarki kitab-kitab hadits. Terutama adanya asumsi yang berkembang di kalangan umat Islam dua kitab hadits di puncak hierarki menjadi rujukan utama dan yang paling sahih.
Bagi umat Islam otoritas naskah maupun teks memiliki legitimasi tersendiri terutama yang terkait dengan Al-Qur'an dan hadits.72 Beberapa abad setelah kejumudan melanda dunia Islam jalan pintas yang
dilakukan oleh pemerintahan Islam. Dengan mengimpor produk-produk pemikiran dari Barat baik itu dari hukum, politik, ekonomi, dan lain-lain kemudian diberi label Islam baik secara formalistik maupun legalistik seperti yang yang terjadi pada masa Kekhalifahan Turki Utsmani.73 Hal itu hanya solusi sesaat
karena apabila hal tersebut terus terjadi maka akan terjadi krisis identitas atau kegamangan identitas. Bukankah selama ini umat Islam tidak ada masalah menggunakan resources dari luar bahkan sebagian merasa tenang-tenang saja seperti yang terjadi pada masyarakat Muslim kontemporer.
Sumber daya hadits yang begitu banyak menjadi sia-sia akibat sangat tergantung pada kriteria kesahihan suatu hadits yang dibuat ad-hoc.74 Selama ini umat Islam tidak pernah mempertanyakan
kesahihan pendapat kalangan luar. Kebanyakan masyarakat muslim menganggap benar pemikiran mereka dengan mengadopsinya berbagai bidang khususnya dalam tataran keilmiahan.
Seperti pemikiran konsep pembagian kekuasaan negara yang dilontarkan oleh Montesque tentang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bahkan revolusi masyarakat Arab di awal tahun 2011 yang bermula di Tunisia dengan tumbangnya rezim Ben Ali yang telah memerintah selama 26 tahun menyeberang ke Mesir dengan runtuhnya kekuasaan Husni Mubarak selama 31 tahun. Kemudian berlanjut di Libya yang meruntuhkan kekuasaan Muammar Khadafi yang telah memerintah selama 42 tahun kemudian menyebar ke seluruh negara Arab. Revolusi masyarakat Arab itu ingin memiliki masyarakat yang demokrasi kekuasaan berada di tangan rakyat. klaim tradisi itu hampir tidak mungkin dimiliki dalam sejarah masyarakat Muslim kecuali di Barat adalah tidak benar, padahal sebenarnya telah tumbuh di era awal pemerintahan khulafaurrasyidin. Mereka sudah dianggap mapan dalam berdemokrasi mulai dari masa Romawi dengan konsep senatornya dan mendapat gaung yang mendunia, dengan konsep liberty pasca revolusi Perancis yang menumbangkan rezim Louis XVI.
Umat Islam semestinya mengubah paradigmanya tentang hadits. Artinya, kitab hadits Ibn Hibban harus dipandang sama derajatnya dengan kitab Sahîh al-Bukhârî, atau kitab Mu‘jam al-THabrâni harus dipandang selevel dengan kitab Sahîh Muslim,75 serta kitab-kitab hadits yang muktabar lainnya dalam
kurun abad ke-2 hingga ke-4 adalah sama derajatnya karena telah melawati verifikasi yang mendalam dari para ulama pengkritik hadits.76 Jika hal ini terjadi maka umat Islam akan memiliki sumber hadits yang
memadai sehingga dapat dijadikan statuta hukum yang baku. Bila kitab-kitab hadits tersebut menjadi statuta yang baku maka ulama akan lebih kreatif dalam menjawab persoalan-persoalan hukum. Ketika telah menjadi statuta maka ia memiliki konsekuensi yang positif karena memiliki legitimasi yang kuat
(9)
secara legal-formal. Selama ini, minimnya kreativitas dalam rekayasa hukum disebabkan oleh minimnya sumber hukum yang otoritatif.
***
Dari deskripsi di atas, masalah utama kajian ini adalah bagaimana hubungan otoritas hierarki al-Kutub as-Sittah dengan kajian fiqh? Derivasi masalah ini adalah: Kenapa hierarki al-Kutub as-Sittah memiliki otoritas dalam sejarah hukum Islam?; Apa dampaknya terhadap fiqh?; dan, bagaimana implementasi kajian fiqh terhadap kesetaraan dalam kitab-kitab hadits tanpa adanya hierarki?
Buku ini bertujuan untuk meneliti sejarah, motivasi, dan bias-bias kekuasaan dalam hal penempatan kitab-kitab hadits tertentu ke dalam suatu kelompok dalam hierarki kitab-kitab hadits yang selama ini kita kenal, agar terdapat pemahaman yang utuh dalam kodifikasi hadits dan dampaknya terhadap ijtihad hukum. Sebab, selama ini sering dicari dan dibuat diagnosa penyebab kemunduran intelektual umat Islam terutama dalam menghasilkan metode ijtihad yang genuin dalam merespons dinamika masyarakat muslim. Kebanyakan diagnosa akademisi dalam menganalisis penyebab stagnasi berijtihad disebabkan oleh ketidakmampuan ulama dalam memunculkan metode baru berijtihad sehingga muncul pemahaman tentang tertutupnya pintu ijtihad. Hal ini mendorong kalangan pembaru agar ijtihad dibuka kembali, yang dimulai oleh M. Abduh awal abad ke-19, dan diteruskan oleh para pembaru berikutnya.
Jadi buku ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menganalisis sejarah lahirnya al-Kutub as-Sittah sehingga menjadi kitab-kitab hadits yang otoritatif. Hal ini penting untuk memetakan wilayah-wilayah otoratif nas yang absolut dan wilayah-wilayah yang hanya memiliki otoritas yang relatif.
***
Kajian tentang hubungan hierarki al-Kutub as-Sittah dengan disorientasi berijtihad di dalam fiqh sejauh ini belum penulis temukan dalam literatur-literatur hadits maupun fiqh. Oleh karena itu, penulis mengetengahkan karya-karya yang hanya merepresentasikan hubungan hadits dan hukum Islam.
Wael B. Hallaq, dalam karyanya Authority, Continuity, and Change in Islamic law,77 menggambarkan
tentang sejarah lahirnya otoritas dalam menetapkan suatu hukum. Ketetapan hukum tersebut menjadi jurisprudensi hukum Islam dari masa ke masa. Ia menyatakan bahwa hukum Islam adalah produk hukum yang terus mengalami evolusi mencari bentuk ideal menurut tempat dan masanya. Artinya, hukum Islam itu dinamis dan tidak pernah berhenti untuk merespons dinamika masyarakat. Hallaq menolak anggapan kalangan orientalis yang mengatakan bahwa ijtihad hukum dalam sejarah Islam telah berhenti sejak abad ke-3 H/ke-10 M setelah dipublikasikannya al-Risâlah karya Imam Syafi‘i.
Dalam karyanya yang lain, An Intoduction to Islamic Law,78 Wael B. Hallaq menjelaskan tentang
epistemologi syariah serta siapa saja yang boleh memberikan legal opinion atas nama syariah. Dalam buku ini Hallaq juga menggambarkan dinamika hukum Islam dari masa ke masa. Akan tetapi, ia tidak secara spesifik membahas stagnasi berijtihad di kalangan umat Islam. Tampaknya Hallaq menggambarkan peran ideal ulama dalam menginterpretasikan syariah di tengah-tengah masyarakat. Jadi buku ini menggambar-kan seamenggambar-kan-amenggambar-kan tidak ada masalah yang terjadi dalam menghasilmenggambar-kan produk-produk ijtihad yang genuin dalam bidang hukum.
Dalam karyanya yang lain lagi, From Fatwas to Furû, Growth and Change in Islamic Substantive Law,79 Hallaq menjelaskan konstruksi hukum Islam yang dibangun melalui fatwa-fatwa ulama yang
memiliki otoritas sebagai mufti maupun qadi dalam membahas masalah-masalah kasuistik yang terjadi dari masa ke masa. Hallaq membahas produk-produk fatwa yang dikeluarkan oleh mufti dan qâdhi. Terhadap pendapat Hallaq ini, beberapa sarjana Barat mengkritik pernyataan Hallaq tentang dinamisme hukum Islam dari masa ke masa. Salah satu yang terkenal ialah dari mazhab Hanafi Khayr al-Din al-Ramli
(10)
(1081 H/1671 M) yang oleh Calder dituding sebagai seorang yang taklid terhadap mazhab sehingga tidak layak disebut mujtahid.
Kemudian Abu Rayyah dalam karyanya Adhwa ’ala Sunnah wal Muhammadiyah au Difâ‘u ‘ala al -Hadîth.80 Abu Rayyah adalah seorang ulama Mesir yang difitnah oleh kalangan yang menentang
pendapat-pendapatnya terutama karena metode kritik matannya. Hadits-hadits yang berasal dari sanad Abu Hurairah dipertanyakan keasliannya serta analisis matan yang terkandung di dalamnya. Dasar Abu Rayyah mengkritik Abu Hurairah didasarkan beberapa hal, di antaranya karena Abu Hurairah yang relatif terlambat masuk Islam. Menurut sumber yang didapatkannya, Abu Hurairah hanya satu tahun Sembilan bulan menemani Nabi, akan tetapi meriwayatkan hadits yang begitu banyak. Terlebih lagi kritik hadits yang diriwayatkannya itu tidak pernah dikatakannya pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar. Dengan kata lain, menurut Abu Rayyah, hadits-hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah tidak mendapatkan verifikasi dari Abu Bakar dan Umar, yang keduanya dikenal selektif menerima hadits. Buku ini menganjurkan kepada akademisi untuk mengkritik matan hadits meskipun dari segi sanad dapat dipertanggungjawabkan. Namun, jika secara matan bertentangan dengan akal sehat dan etika maka hadits tersebut perlu dipertanyakan kualitasnya.
Fu’ad Jabali dalam karyanya, A Study of the Companions of the Prophet: Geographical Distribution and Political Alignments,81 membahas persebaran para sahabat ke berbagai wilayah yang memengaruhi
persebaran hadits serta politik yang menyertai persebaran tersebut. Fu’ad Jabali menyoroti motivasi-motivasi politik yang terjadi di awal-awal Islam serta peran sahabat dalam masyarakat di wilayah-wilayah tempat mereka menetap.
Harald Motzki dalam karyanya Author and His Work in Islamic Literature of the First Centuries: the Case of Abd al-Razzâq’s Mucannaf. Ia adalah salah seorang pemerhati hadits yang sekarang menetap di Frankfurt. Hal yang berkaitan lahirnya hukum Islam pada awal abad ke-2 H dengan munculnya kodifikasi hadits. Bukti adanya manuskrip tentang hukum Islam semasa Nabi Muhammad membantah argumen yang dibangun oleh Joseph Schacht dan pendukungnya.82 Motzki mengatakan, sebaiknya tesis Schacht itu
dibalik, selama tidak ada ‘illat yang membuktikan hadits tersebut sampai kepada Nabi Muhamamd maka sahîh hadits tersebut e-silent.
***
Secara metodologis, buku ini hendak membuktikan diagnosis penulis bahwa hierarki al-Kutub as-Sittah ternyata berpengaruh negatif terhadap kreativitas fiqh. Hal ini dibuktikan dalam karya-karya fiqh dengan metodologi orisinal hanya terjadi pada abad ke-3, 4, 5, dan 6. Banyak diagnosis yang dilakukan oleh ulama. Bahkan mujaddid abad ke-20 seperti M. Abduh terus menerus menyatakan telah dibukanya pintu ijtihad. Untuk membuktikan diagnosis ini, penulis menggunakan ground theory dalam membaca fenomena di tengah masyarakat. Di kalangan akademik, ground theory digunakan untuk mengalisis data yang muncul dalam penelitian kualitatif. Paradigma tentang hierarki al-Kutub as-Sittah di kalangan fuqaha dilihat dari perspektif ground theory. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan bias vested interest dalam suatu penelitian. Ground theory sering digunakan dalam penelitian kualitatif dalam menyajikan data apa adanya.
Penelitian kualitatif berusaha memahami objek kajian secara holistik dengan unsur-unsur yang menyertainya, seperti persepsi, motivasi, perbuatan, tingkah laku, dll.83 Dengan sifat penelitian ini
diharapkan dapat menjawab persoalan penelitian, yaitu adanya korelasi stagnasi berpikir antara hierarki kitab-kitab hadits dan fiqh. Tujuannya adalah agar ulama kontemporer mampu melakukan terobosan dengan menjadikan setiap kitab hadits yang sudah diverifikasi tidak hanya terbatas pada kitab al-Kutub as-Sittah, tetapi juga pada kitab-kitab sebelum abad ke-4 H dan diperlakukan sama (horizontal). Hal ini
(11)
akan memudahkan ulama dalam menetapkan hukum yang dinamis tanpa dihantui kesakralan hierarki tersebut.
Pada analisis data, penulis menggunakan analisis dengan berbagai pendekatan, baik sejarah, ilmu-ilmu hadits yang baku, maupun kaedah-kaedah sosiologi hukum yang berlaku di kalangan akademisi. Hal ini penting untuk menjaga kualitas analisis dalam penelitian ini. Dengan demikian, analisis isi data dapat diukur dengan ukuran yang baku di kalangan akademisi. []
Catatan Kaki
1 Urutan d ar i se mb ila n k itab -k itab had its, ya itu Sah îh al -Bukh â rî, Sah îh Musl im, Sunan A bî D âwu d, Suna n al-Nasâ’î, Sunan al-Tarmidhî, Sunan Ibn Majâh, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Muwatta’ Anas ibn M âli k, dan Sunan al -Dâ ri mî. Al -Kutu b al- Th a maniy ah yang ar tinya d elapa n hanya denga n tida k m eny erta ka n ki tab had its yang t era kh ir, b eg itu s e lan jutny a. Wa laup un ada u la ma had its yang me ne mpat kan ki tab
al-Muwaththa’ l ebih t ingg i der aja tnya dar i S ah îh al- Bukh âri dan Sah îh Musli m, itu hany a pendapat mino r. Li hat Shah Wa l îyu l lah a l -Dah la wî, Hu jj atul lah al -Ba lig ah (Be irut: Dâr a l-Ma‘rifah,t.th), Juz 1, hlm. 14. Li hat j uga, Mu stafa a l-Sibâ‘î, Al -Sunnah wa Ma kân atuh â (Be irut: Dâ r al -Salâ m, 201 0), h l m. 250-25 1.
2 Hi era rk i al -Ku tub al- Kh a msah i ni a wa lnya d ipandang oleh u la ma had its s ebaga i standar yang pal in g
kuat, a kan tet api Sunan Ibn M âj ah dim asu kka n m enj ad i k itab had its standa r yang m e mi l ik i keu nggul an kar ena adany a matan had its h adits yang t ida k terda pat di dalam kit ab hadits seb e lu mnya. Lihat a l -Naw aw î, Al -T aq rîb li al -N aw awî Fan Usul al -Had îth (Kairo:‘Abd al-Rah mân Muh am mad, t.th), hl m. 2.
3 Muhammad ibn Ja’far al-Ka tthân î (1345 H), Al Ri sâla h alMusta th raf ah li Ba yân Mash h ûr Kutub a l -Sunnah al -Mush a rr afah (B e irut: Dâ r al -Kut ub al -‘Ilmîyah, 1995), C. I, hlm. 10-14.
4 Mah mud a l- THa hhân, U sul a l- Takh rî j wa D ir âsa t a l -As ânîd (B e irut: Dâ r a l-Qur’an al- Ka rî m, 19 79), hl m .
48. Liha t juga Abû al-F adhl Muha mm ad ibn Thâh ir a l - Maqd is î, Sh urûth al -A’immah al- Kh a msah (Be iru t: Dâr al- Kut ub al-‘Ilmiyyah, 1984), hlm. 24.
5 Ibn Abi Hati m al- Raz î, Kita b al-Jar’h wa al-Ta‘dîl (Hayd erabat: Maj l is Dâ’irat al-Ma‘arif, 1953) Juz II, hl m.
26-31.
6 Seja rah t ent ang s iapa ya ng t er leb ih da hul u m enggun a kan ist i lah a l-Ku tub a s - Sit tah ada be rbaga i v ers i,
akan t etap i yang j e las pada masa p em er int ahan Ha ru n al -Ra shid, a l-Ku tub as - Si tt ah laz i m diguna ka n untuk na ma-n ama kit ab fiqh yang m en jad i ref er ens i ha ki m. Se men tara i tu, sepan jang pen car ian p enu li s tentang ist il ah in i m uncu l d i ka langa n ula ma had its pe rtama s e ka li d is ebutk an ol eh I bn Sa lah . Lihat Ib n Haja r al -Asqâ lan î, Al-Nuqad ‘ala Kitâb ibn Salah, vol.1 (‘Ajmân: Maktabah al-Fu rqân, 2003), h lm. 153.
7 Uku ran k ede kata n m asa d engan Nab i, me rupa kan ba ro met er cu kup ras iona l ya ng di la ku kan ula ma hadi ts
kar ena m engh inda r i distor si pe ra wi maupun m atan hadits itu send ir i. Mahm ud al - Thah han, Ta ysî r Musth alah a l-H adî th (Be ir ut: Dâr a l-Qur’an al-K ar îm, 1 979), hl m. 42 -44.
8 Muhammad ‘Ajjaj al- Khat ib, Al- Sunnah qa bla al -T ad wî n (Kairo: Ma ktab ah Wahbah, 1963), hl m. 350 -35 9. 9 Penj e lasan t entang t er jad inya p erb edaan pe ndapat di ka langan u lam a sala h satunya ada l ah p erb edaa n
pende kat an. Mah mud Is ma il ibn Muh am mad M ushf i l, Ath ar a l-Kh i lâ f al-F iqh (Ka iro: Dâr al -Sal âm, 2007) , hlm. 2 56 -25 7.
1 0 Syai kh Muha mm ad al -Kh udhar î B e k, Tâ ri ch al -Tashrî‘ al-I slâ m (Be i rut: Dâr a l- Kutub a l- Is lam iya h,t.th),
hlm. 1 68 -16 9.
1 1 Abdul Wahâb Kha ll âf, Al- Siy âsah al-Shar‘iyyah aw Nizâm al- Da wlah al-Islâmiyyah fî Shu’ûni al -Dustur iyah wa al -Kh â ri jiy yah w a al - Mâli yah (Kairo: Mathba‘ah al-Sa laf iyah, 13 50 H), hl m. 50 -6 5.
1 2 Amany Lub is, Si st em Pe me rin tah an Olig ar ki da lam Se ja rah Isl am (Jakar ta: UI N Jakarta Pr ess, 2005), hl m.
79-84.
1 3 Perubah an q aw l q adî m ke qa wl Jad îd s er ing di jad i kan r uju kan o l eh u la ma -u la ma f iqh, bah wa hu kum f iqh
teru s be rk e mbang dan b er ubah s esua i d engan wa ktu d an te mpat. S em enta ra itu sy ar iat ada lah ses uat u yang dia nggap tet ap ka re na m e muat po kok -poko k a jara n Is la m i tu s endi r i. Lihat a l - Qa râdha w î, Al-DHaw âbi th al-Shar‘iyyah li Binâ’ al-Mas âj id, ed is i ter j ema han ol eh Abdul Ha yy ie a l - Kathth ani (Ja karta : Ge ma In san i, 1999), hl m. 50 -6 5.
1 4 Khudha rî Be k, T âr ikh a l-Tasyrî‘, hl m. 312 -317.
1 5 Istilah yang lazim digunakan dalam menggambarkan peristiwa pemaksaan paham Mu‘tazilah kepada
kha laya k t eruta ma meng ena i a l -Qur’an sebagai makhluk.
(12)
1 7 Farouq Abu Zayd, Al-Sharî‘at al-Isl âm iyyah Bayn al -M uh âfizîn wa al -Muja ddi dîn, edis i t e rj em ahan o le h
Huse in Muha m mad (Jaka rta: P3M, 1 986), hl m. 49.
1 8 THâhâ J. al-‘Awânî, “Taqlid and the Stagnation o f the Muslim Mind,” dalam Am er ic an Jou rnal of Isl ami c Soc ial Sc ien ce, Vol. 8, No.3 (19 91), hl m. 8 -9.
1 9 Muha m mad Muha m mad Abû Shu hbah, Fî R ih âb al- Sun nah al- Kutub al- Sih h âh al- Si t tah (Kairo: Majma’
al- Buhûth a l- Is lâm iy yah, 1995). Lih at juga A bû a l- Tay yib a l-Sayy id S iddîq Has an Kh ân al -Q anû jî, A l-Hith th ah fî Dh ik r al - Sih âh al- Si tt ah, Tahqîq: ‘Alî Hasan al-H alab î (B ei rut: Dâr a l -Jay l, t.th.), hl m. 90 -11 0.
2 0 Must hafâ Ah mad Al -Zarqâ’, Al -Mad kh al al- Fiq ih i al -‘Amm (Damaskus: Mathabi’ Alif Ba al-Ad ib, 1967),
hlm. 1 76.
2 1 Sebena rnya h ie rar k i a l-Ku tub a s- Sit tah yang d is ebut ka n di a tas mas ih i kh t ilâ f d i ka langan ula ma hadi ts.
Pada l eve l hi era r ki k itab - k itab h adits sa mpai l ev el k e -5 hamp ir t ida k ada pe rbeda an yang be rart i. A ka n tetap i, k et ik a m em asu kk an k itab hadit s yang k e -6, m ayori tas u lam a m en empa tka n Sun an I bn Mâ ja h
sebaga i k itab yang ke -6, dan orang yang p erta ma ka li men e mpat kanny a adal ah Abû a l -F adl Muh am ma d ibn T Hâh ir a l- Maqd îs i. Al- Maqd îs i, Sh urû th al -A’immat, hlm. 24.
2 2 Racha El -Omari, “Accommodation and Resistence: Classical Mu‘tazilites on Hadîth,” dalam Journ al o f Nea r Ea ste rn S tudi es, vol. 7 1, i ssue 2 ( Octob er 2 012), hlm. 231 - 256. Da la m dun ia hu ku m konve nsio na l dik ena l s tu fenb au th eor y ya ng di k em uk aka n ol eh Hans K els en, yang m ene kan kan asp ek l ega l itas s uat u huku m ce nde rung berb entu k hi er ar ki. Ha l ter sebut m en jadi kan hu ku m yang leb ih r endah tida k bol e h bert entanga n dengan yang leb ih t inggi. T eor i i ni lazi m diguna k an di dal am s iste m k en egar aan mod er n yang me ngatur konst itus i sebu ah nega ra. T eor i in i m e mang m em i l ik i k esa maan d engan bahasan da la m buku in i, tetap i yang m emb eda kann ya pada substans i lega lit as huku m yang diba nding kan. Da lam al -Kutub as - Si t tah , substans i l ega l itas m e mi l ik i di m ens i transend e nt al, s ehi ngga hi era r ki otor itas ya ng
terkandung di dalamnya cenderung dipahami permanen. Lihat, Paolo Sandro, “An Axiomatic Theory of Law,” dalam Res Publ ica 1 7 (2011), hl m. 343 -354.
2 3 Al-‘Asqâlânî, Hady al - Sâ rî, hl m. 8 -14. Abû Bakar Muha m mad ib n Mûsâ a l-Hâz i mî, Shurûth A’immat al -Kh amsah (B e irut: Dâ r al -Ku tub al -”Ilmîyah, 1984), C. I, hlm. 68.
2 4 Nasr ibn Muzah î m Al- M inqa rî, Waq‘at Siffin, edited by ‘Abd alSa lâ m Mu ham mad Ha rûn (B e irut: Dâr a l
-Jîl, 199 0), hl m. 82.
2 5 Al-Sha w kân î, I rsh âd al- Fuh ûl i lâ Tah q iq a l -Haq min ‘Ilm al-Usûl (Ka iro: Mus tafâ a l- Bâbi al -Ha lab î w
a-Awl âduh,1973), h lm. 70.
2 6 Mah mud a l- THa hhân, Tays îr Musth a lah a l -Ha dî th (Ku wa it: Mar kaz a l- Hudâ l i al -Di râsat, 1984), C. V II ,
hlm. 1 31 -13 2.
2 7 Ibn Sh ihab a l- Zuhr i adal ah u la ma had its yang d e kat d en gan pengu asa Uma yyah. S em ent ara itu, sebag ia n
ula ma la innya m en jaga j ara k dengan k e kuasa an kar en a faktor trau ma pe rpe cahan yang ti mbu l ak iba t berd ir inya i mpe r ium in i, s epe rt i I ma m Ma li k y ang m en olak k itab al-Muwaththa’n ya d ijad i kan u ndang
-undang negara, w ala upun akh ir nya piha k pengua sa mema ksa kan untu k m en jad ika n al-Muwaththa’
sebaga i k itab undang - undang n egara. T ugas I mam a l -Zu hr i adal ah m engh impun had its -had its yan g mas ih be rupa or al t rans miss ion k e dal am da la m bent u k te ks t ertu l is. M ustafa a l -Shak’ah, Isl âm B il â Madh âh ib ( Ka iro: Dâr a l- M isr iyah al -Lubnân iyah, 199 1), hlm. 4 05.
2 8 Sunnah bag i keb anya kan o ri ent al is tida k b er asa l dar i m asa Nab i, t etap i d ibuat ol eh u mat Is la m abad k e
-3 H. Hal ini d itanda i o leh t er l egi ti mas inya s unnah pa da awa l abad k e --3 H k eti ka mun cul u saha untu k men ye l ek si su nnah yang b er ke mbang s et el ah dit er j em ahkan ke da la m ben tuk t e ks -t e ks had its. Josep h Sacht da lam “Pre- Is la mi c Ba c kground and Ear ly D eve lo pment of Jurisprudence” dalam La w in Th e Mid dl e Eas t, ed it ed by Ma j id Kh addur i and H erb ert ( Li eb esny: M iddl e East Inst itut e,1995), h lm. 28 -30.
2 9 Joseph Schac ht, Th e O ri gins of Muh a mm adan Ju ris prud ence, c et. I I (Oxfo rd: Clar endon Pr ess, 1959), hl m .
149.
3 0 Bagi F azl ur Rah man, ke sal ahan or ie nta lis da la m m em ah ami h adit s hanya men yanda rka n pada aspe k bu kt i
tertu l is se mata. Padaha l ku ltu r Arab yang ber lak u pada masa itu dan tetap dip er tahan kan sa mpa i se karang i ala h haf ala n. Bag i o rang A rab, hafa lan m er u pakan suatu b u daya yang s udah me l e kat da la m dir i me re ka yang d ibu kt ika n d engan kont es ha fal an s yai r -sya i r t erp il ih. Apa lag i a l -Qur’an dan hadits yang dipe rca ya sebaga i man if estas i petu nju k Al lah m e la lui N abi -Ny a diaku i m em i li k i ni la i yang leb i h tingg i dar i kar ya - kar ya sya i r Jahi l iyah. Faz lur Rah ma n, Isla m an d Mod ern ity (Chi cago: Un iv ers ity o f Chic ago Pres s, 1982), hl m. 18 - 22.
3 1 Muhammad Hamidullah, “Aqdam Ta’lîfi al- Hadî th al- Naba wi -Sah îfah Ham man ibn Mu nabbih w a
Ma kanat uha f i Târ i kh I l m a l -Hadîth,” dalam Ma jall at al -Majma’ al-‘Ilmi al-‘Arabi 28 (1 953), h lm. 9 6 -11 . Muha m mad Ha midu l lah, Th e Ea rlie st Ex tan t Wor k o n th e Had îth : Sah î fah Ha mm am i bn Munab bih , Com pr ising al -S ah îf ah al -S ah îh ah o f Abu Hu ra yyah , pr epa red fo r pupil Ha mm an i bn Muna bbih , tog eth e r
(13)
with an in tro duc ti on to th e His to ry of th e Ea rl y C omp il ation o f h ad îth , edis i k e-5 (r ev is i) (Pari s: Cent e r Cultu re l Is la m ique, 19 61), hl m. 270 -281. Muhammad Hamidullah, “Early History of the Compilation of
the Hadîth” dalam Is la mic Li te ra tur e, vol.12, 3, Lah o re ( 1966), hl m. 5-10.
3 2 Seorang ilmuan muslim asal Turki yang telah membuat semacam ensiklopedi tentang tabi‘in dan karya
-karya mereka. Tesisnya, “Buhari’nin Kaynaklari” (The Sources of al-B ukh âr i). Ia b erp endapat bah w a tradi si ora l dan tu li san hadi ts yang di ri wa yat kan ol eh Sah ih al -Bukh âr î bera sal da ri abad ke -7 M. Fu at Sezgi n adala h juga s eorang i lmua n yang m er aguk an Columb us sebaga i p ene mu pe rta ma B enua Am e ri ka . M enuru tnya, B enua Am er i ka dit e muk an pert ama kal i o le h umat Is la m yang dita ndai d eng an pet a yang
digunakan oleh Columbus berasal dari tulisan berbahasa Arab. Lihat Fuat Sezgin, “Islam History of Science and Technology Needs to Speak,” dalam Tu rkis h Daily Ne ws, 27 De se mbe r 2008.
3 3 M. M. Azam i, Stu dies in Ea rly H adî th Li te ra ture: with a C ri tic al E di tion of Som e Ea rl y Te xts (Ind ianapo l is:
Ame ri can Trus t Publ ica tion, 19 68 -19 92), hl m. 25.
3 4 Dala m masa lah otor itas ini A rkoun men yorot i bagai ma na ske ma otor itas yang t erb entu k dal am s eja ra h
Isl am t e ruta ma d ila ku kan ol eh qad i y ang d ibe ri tug as ol e h p enguasa Mus li m da la m m en ye l esai ka n banyak ka sus, wa lhas il k eputu san - kep utusan qadi t ers ebut s e ir ing p er k emba ngan wa ktu me m il i k i otoritas da la m m enafs i rka n nas al -Qur’an dan hadits. Secara eksplisit dia memaparkan bahwa otoritas mut lak da la m m enafs ir kan nas han ya pada Al lah seh in gga mengan ju rk an susunan ka edah - ka edah yan g sudah terb entu k se la ma in i har us dir ev is i sesua i denga n dinam i ka mas yara kat Mus li m. Lihat Moha mm e d
Arkoun, “The Concept of Authority in Islamic Thought: La Hukm a Illa L illah”, dalam Th e Isla mi c Wo rld : Fro m Clas sic al to Mo de rn Tim e, ed it ed: by C.E.Bos wor t h, Char les Is saw i, Rog er Savory and A.L Udv it ch (London: Th e Dar w in Pr ess, 1995), h lm. 31 -54.
3 5 Moha mm ed Ar koun, Th e Conc ep t of Auth o ri ty in Isla mi c Th ough t ( London: Oxford Un ive rs ity Pr ess, 20 10),
hlm. 4 2 -44.
3 6 M etode i ni dip andang pal ing ku at dala m m eny el e ks i hadits m en jad i sah îh, dan banyak ul ama had it s
yang me ru ju k pada me tode i ni. Ibn a l -Salah Abû ‘Amr ‘Uthmân ibn ‘Abd al-Rah mân a l-Shah râzû rî ,
Muqadd imah i bn al - Salah fî ‘Ulûm al-H adî th (Be ir ut: Dâr al -Kut ub al -‘Ilmîyah, 1995), C. I, hlm. 17-21.
3 7 Walaupu n sebag ian ul ama menga nggap Kha l ifah U m ar ibn Abdul Az is sebaga i kh al ifah t erba i k dar i
Dinast i Uma yyah ba hka n s ebagai kh al ifa h k e li ma d al am ling kup Kh al îfah al- Nubu ww ah , ha l t ers ebu t bukan b era rti k ebi ja kan pol it i knya t ida k bol eh di k rit i k.
3 8 Walaupu n perp ec ahan t eolog is dala m Is la m tid ak m en jurus pada t erb e lahnya aga ma m en jad i dua,
sepe rt i halny a agama K rist en m en jad i Kato li k dan Protestan, dampa kny a tetap lah sangat parah ka r en a mas ing - mas ing al ir an m erasa pa li ng bena r seh ingga m emu ncu l kan si kap e kst r em dan funda m enta li sti k di da lam internal umat. M.T Maloney, Abdul Kadir Civan, Mary Francis Maloney, “Model of R e lig iou s Schis m wit h Apl icat ion to I slam” dalam Pub li c Ch oi ce, Pro Ques t (2010), h lm. 441 -460.
3 9 Abû Dâwûd Al-S i ji stân î, Sunan A bî Dâ wûd, tahq îq: Muha m mad M uhy a l -Dîn ‘Abd al- Ham îd (B ei rut :
Ma ktabah a l-‘Asriyyah, t.th).
4 0 Seharu snya eva lua si te rhadap otent is itas had its tida k hanya berh ent i p ada aspe k ket e rsamb unga n
sanad, tetap i l ebih komp reh ens if pada m asa lah aut ent i sitas matan j uga. Char les J. Adams, Th e Auth o ri ty of Th e P roph e ti c Had ith in th e E yes of Some Mod e rn Muslims, ed. Donald P. Lit.thl e (Leid en: E.J. Bri ll , 1976), hl m. 20 -2 6.
4 1 Rosul Jafarian, “The Encyclopedia Aspect of Bihal al-Anwar” dalam London: Journal of Shi‘ah Islami c Stu dies, Trans lat ed by Fa te me h Abolghas e mi (Autu m 2 008), hl m. 1 -16.
4 2 Muha m mad ibn Matha r Al -Zah rân î, T ad wîn a l- Sunnah a l-Nabawiyyah Nas’atuh wa T ath a w wuruh min a l -Qa rn al -A ww al il â N ih âyah a l - -Qa rn al -Tâsi‘ (Mad înâh: Dâr al- Khud hayr î, 199 8).
4 3 Uma r m ela rang p ra kti k sunnah, bai k se cara ora l mau pun tu lis an, kar ena aka n m en i mbul kan ko mp eti s i
yang ku rang bai k da la m penu l isan A l -Qur’an dan had it s, yang juga di sin ya li r sebag ai muasa l mu ncu lny a hadits qu dsî ya ng m enc antu mka n la faz Qâla All âh u (Allah berfirman). Nabia Abbott, “Studies in Arabic
Literary Papyri, II: Qur’anic Comentary and Tradition” dalam E ar ly D evelo pm ent o f W rit. th en T r ad itio n
(Chicago: Ch icago U niv e rsit y Pr ess, 1967), h lm. 11.
4 4 M etode yang p ent ing d ala m I lmu r ij âl al-h a dîth m er upakan cabang yang pent ing. Ma ksud dar i ri jâ l a l-h aditl-h ada lah na ma -na ma tokoh ya ng me mb entu k rang ka ian sanad atau i sti lah la innya ra w i hadi ts. Il m u in i dibagi men jad i dua bagian, ya itu Tâ ri kh al Ru wah dan Il mu al-Jar’h wa al-Ta‘dîl. Muha mm ad Ajaj a l-Khat ib, Usûl a l-Hadith ‘Ulûmuhu wa Musthalatuhu (B ei r ut: Dâr al- F ik r, 1989), hl m. 203.
4 5 Fazl ur Rah man, Isla m and Mo de rni ty: Tr ansfo rm at ion o f an In te lle ctu al T ra di tion (Ch icago: T he Ch i cago
of Univ er sit y Pre ss, 1982).
4 6 Li hat Abu Rayy ah,Adhwa’ Ala Sunnah wal Muhammadiyah aw Difâ’u ‘ala al- Had îth (Ka iro: Dâr a l-Ma‘ârif,
(1)
dimoto ri oleh Imam Hanabila. Mazhab Syafi‘i dan Maliki dianggap pro kepada kelompok tradisiona l (ulam a hadit s) seh ingga kh al ifa h me l ir i k mazh ab Hana fi sebag ai mazhab r es mi n egara y ang diangga p leb ih mod erat. Nu ri t Safir, Th e Histo ry of an Is lam ic Sch ool of La w: Th e Ea rly S pr ead of Han af ism ,
(Cambr idge, Mass.: Isl am ic Lega l Stud ies Prog ram at H arvard Law Schoo l and Harva rd Uni ve rsi ty Pre ss, 2004), hl m. 99 -1 00.
2 1 2Gut as D, G ree k Th ough t, Ar abi c Cultu re. Th e Gr ae co - Ar abi c T r ansla tion Mov em ent i n Ba gh dad and Ea rl y
Abba sid Soc ie ty 2nd -4th / 8th -1 0th Cen tur ies, (London: Routl edge, 19 98).
2 1 3Swa rup. Ra m, Unde rs tand ing th e H adi th ; Th e Sa cr ed o f Tr adi tions of Isl am, (Port land: P romoth eus Book s,
2002).
2 1 4Motzk i. Hara ld and Ni col et Boe khof f -Van de r Voort. Sean W. Anthony, Analysing Musli m Tr adi tions :
Stu dies in Leg al, ex ege ti cl e and Ma gh azi H adi th (l eid en : Bri l l Publ ish er, 20 13).
2 1 5El -H ibr i. Ta yeb, Re int er pr eti ng Isla mi c His to riog ra p h y; Harun al - Rash id an d Na rat ive o f th e A bbas id
Cal iph a te, (Port land: Camb ridg e U niv er sit y Pre ss, 2000 ).
2 1 6Christopher Melchert, “How Hanafism Came to Originate in Kufa and Traditiona lism in Medina.” Isla mi c
Law and Soci et y, 6, no. 3 (1999), hlm. 31 8 -47.
2 1 7Ibn a l-Fa ra î, Tâ rîkh al - ‘Ulama wa- a r- Ruw ât li-’l- ‘Ilm bi-’l- Andalus, ed. ‘Izzat al-Su sayn î, 2 vols. (Kairo:
Ma ktabat a l- Khân j î, 1954), 1, hl m. 265 -6.
2 1 8Ali Ameer, “Islamism: Emancipation, Protest and Identity.” Jou rna l of Muslim Mino ri ty A ffa ir s 20.1 (2000),
hlm. 1 1 -28.
2 1 9Maa ik e van Be rk e l and Nadia M ar ia El Che i kh -oth ers, Crisi s and Cont inui ty at Ab basi d Cour t; For mal an d
Info rm al Po li tic s in th e Ca liph o f Muqt adi r (Le iden: Br il l , 2013).
2 2 0Judit h E Tuc ke r, In th e House of th e L aw: G ende r and Isla mi c La w in Ot to man Sy ri a and Pa les tin e
(Ber k el ey: U niv er sit y of Cal ifor nia P res s, 1998).
2 2 1Johnston David L, “Maqâsid ash-Shari‘ah: Epistemology and Hermeneutics of Muslim Theologies of
Human Rights.” Konin kl ij ke B ri ll N V (2007), h lm. 14 9 -1 61.
2 2 2George Klein, “Dogma or Debate?” N atu re 3 90.6658 (Nove mbe r 1997), h lm. 35 4-355.
2 2 3Daniel Sarewitz, “Normal Science and Limits on Knowledge: What We Seek to Know, What We Choose
not to Know, What We Don’t Bother Knowing.” Soc ial R esea rch 7 7.3 (Fal l 20 10), hl m. 997 - 1003.
2 2 4Scott Lucas, “The legal Principles of Muhammad Ibn al- Buk hâr î and Th e ir Re lat ionsh ip to Cla ssi ca l Sa laf i
Islam.” Isl ami c L aw Soc ie ty, vol. 13, no. 3 (2006), h lm. 2 89 -324.
2 2 5G.H.A Juynbo ll, Enc ycl ope dia o f C anoni cal H adi th (Le iden: Br il l, 200 7).
2 2 6Scout Lucas t, Const ru ctiv e C rit ics, Ha dith L it er atu r e, and Ar ticu la tion of Sunn i Isla m; Leg ac y of th e
Generation of Ibn Sa‘d, Ibn Ma‘in, and Ibn Hanbl, (Le ide n: Bri l l Publ ish er, 20 04).
2 2 7Sen tur k R ec ep, N ar ativ e So ci al S t ruc tur e; Ana tom y of Hadi th T rans miss ion N et wo rk, 61 0 -15 05, (Portl and:
Stanford Un iv ers ity P res s, 2005).
(2)
2 2 9Scott C Luc as, Cons t ruc tive C rit ics, H adi th Li te ra tur e, and A rt icul at ion of Sunni Isla m; th e Le gac y o f
Gene ra tion o f Ibn Sa‘d, Ibn Ma‘in, and Ibn Hanbal, ( Le i den: Br i ll A cade m ic Pub li she rs, 200 4).
2 3 0Vardit Tokatly, “The ‘Alâm al- Hadi th of al-Khaththâbî: A Commentary on Bukhârî’s S]ahih or Polemical
Treatise?” Stud ia Is la mic a 92 (2001), h lm. 53 -91.
2 3 1Ha rald Motz k i, Hadi th , O ri gin and Deve lopm ent s, (Portla nd: Ashgate Pub l ish ing, 2004).
2 3 2Pe rl u di la ku kan r efo rmas i p em i ki ran t erh adap se suat u yang seb ena rnya t ida k m e mi l i ki k esa kra lan y ang
harus diperlakukan secara kaku di dalam Islam. Lihat Noor. Farish, “Toward an Is la m ic Refo rm ation: Civ i l Liberties, Human Rights, and International Law.” Journ al of Musli m Mino ri ty Af fa irs 20.2 ( Octob er 2002) , hlm. 3 76 -37 8.
2 3 3Tamir Moustafa, “Liberal Rights Versus Islamic Law? Construction of Binary in Malaysian Politics, La w
and So ci ety Revi ew 47.4 (2013), h lm. 771 -802.
2 3 4Andreas Krebs, “Islamic Law and the Challenges of Modernity.” Soc iolog y of R eli gion 66.4 (Wi nte r 2005),
hlm. 4 37 -39.
2 3 5Ban ya k pi hak yang m el ihat m etode qiy as ada lah e le men as ing yang mas uk k e da la m kul tur p em i k ira n
Islam. J. Schacht, “Foreign Elements in Ancient Islamic Law.” Jou rnal of Co mpa ra tive Le gisl atio n & Int ern atio nal La w, 32, (1950), hlm. 9. Harald Mot zk i m el ihat bah wa banya knya i l mu wan hidup di be ka s wi la yah yang sudah ma ju p eradaban nya seb e lum Isl am m ena mbah ka ya khaz anah pe m ik ir an yan g ber ke mbang d i era awa l p emb ent uka n al i ran f iqh. Ha ra ld Motzki “The Role of Non-A rab Conv erts in th e Development of Early Islamic Law.” Isl am ic L aw & So ci ety , 6 (1999), h lm. 29 3.
2 3 6Sadi k J al-‘Azm, “Islam and the Science-Religion Debates in Modern Times.” Euro pea n Revi ew 15.2 (Jul y
2007), hl m. 283 - 295.
2 3 7Lori Peek, “Becoming Muslim: The Development of Religiuous Identity.” So cio logy of R eli gion 66.3 (Fal l
2005), hl m. 215 - 245.
2 3 8M Alper Yalcinkaya, “Science an as Ally of Religion: A Muslim Appropriation of the Conflict Thesis.”
Bri tish J ourna l fo r th e His tor y of Sc ien ce 44.2 (Jun e 201 1), hlm. 161 -181.
2 3 9Naazneen Diwan, “Carving Out a Pub l ic Spac e for M ult ifu l Int erp re tat ions of Is la mi c Law: A Loo k at th e
Conference on Women’s Rights: Beyond Rethoric.” Journal of Middle East Women’s Studies 6.2 (Spri ng 2010), hl m. 115 - 122.
2 4 0Sis te m h el ah wa laupu n dit uduh s ebagai b entu k la in dari riba yang d ipra kt ik kan o l eh pe la ku b isn is pada
masa D inas ti Abba sia h yang dit awa r kan o le h m azhab H anafi, aka n t etapi m en jad i so lus i pada z ama nnya . Lihat Martensson Ulrika, “ ‘It’s the Economy, Stupid’: Al-Abarî’s Analysis of the Free Rider Problem in Abbâsid Caliphate.” Jou rna l of E conom ic an d So cial H i stor y of th e Or ien t, vol. 54, issu e 2 (June 2011), hlm. 2 03 -23 8.
2 4 1Ghislaine Lydon, ”A Paper Economy of Faith Without Faith in Paper: Reflection on Islamic Inst itut iona l
History.” Journ al o f Econo mi c B eh avio r and O rg aniz ati on, vol. 71, issu e 3 (S epte mbe r 20 09), hl m. 64 7 -659.
2 4 2 Wae l B. Hallaq, “Can the Shari’a be Restored?” in Isla mi c Law an d th e Ch al leng es of Mode rni ty, ed.
Yvonn e Haddad an d Ba rbar a Stowass e r (Lanh am, MD: Row man and Litt l ef ie ld, 200 4), hlm. 2 1 -53.
2 4 3Johansen Baber, “Apostasy as Objective and Depersonalized Fact: Two Recent Egytian Court
(3)
2 4 4Sebenarnya, metode ta’wil ya ng di k embang kan o l eh Ibn Qu tayba dapat me mb er ik an kont r ibus i dala m
penge mbanga n metod e he rm en eut i ka di aw al pe r ke mbangan hu ku m Is lam s ej ala n dengan apa yan g dilakukan oleh Imam Syafi‘i. Akan tetapi, tampaknya golongan konservatif literalis, terutama ahli hadi ts, tidak mau menerima ini sehingga hanya dikembangkan oleh golongan teologi Mu’tazila. Lihat E. Dic k inson, Th e Deve lopm ent o f Ea rly Sunni te Ha dith C ri tic ism, ( Le id en: E.J. Bri l l, 2001), hl m. 6.
2 4 5Pe mb er la kuan hu ku m k e luarg a di da era h Gaza yang dik u asa i Ha mas Pa lest ina yang m asi h di e mbargo
oleh Isra e l dar i lau t, udara, maup un darat. K asus hu ku m yang be rk aita n dengan masa lah ke lua rga tid a k serta m erta ha rus d iaj uka n k e pengad i lan laya knya d i negara -neg ara lai n. Kar ena inf rast ruk tur s ist e m pengad ila n, baik dar i seg i bangunan ma upun sumb er d aya manus iany a, me mbuat bent uk hu ku m di sana banyak d il ak uka n m ela lu i pros es k ead il an di luar p e ngadi lan. Sheh adeh, N, Jus ti ce with ou t D ram a; Ena ct ing Fam ily La w in Ga za Ci ty Sh a ria C our t, (Ph.D. Th es is, Th e Hague: I nst itu te of Soc ial Stud ies , 2005).
2 4 6Ron Shaham, “Ikhtishâb in Islamic Jurisprudence and Modern Law.” Jou rnal of th e A me ri can O rien ta l
Soc ie ty 131.4 (20 11), hl m. 605 - 627.
2 4 7Nu‘man Ibn Muhammad, The Pillars of Islam; Dawâ’im al- Islâ m of al- Q âdi an -Nu‘man, tr ans. Asaf A.A.
Fyze e, ed. Isma i l Ku rban Hu se in Poona wal a (Portla nd: Oxfo rd Un iv ers ity Pr ess, 20 02).
2 4 8Renee G Scherlen, “Islam and Equality: Debating the Future of Women and Minority’s Rights in the
M iddl e East and North Af ri ca/ and Others.” NW SA Jour nal 13.3 (Fa ll 2001), hl m. 231 -237.
2 4 9Musab Hayatli, “Islam, International Law and the Protection of Refugees and IDPs.” Fo rc ed Mig ra tio n
Revi ew, Suppl. Isla m, Hum an Ri gh ts a nd Dis pla ce men t, (June 2012), h lm. 2 -3
2 5 0Ahmed Rumee Tikkun, “Is lamic Law and the Boundaries of Social Resposiblility. ”Li te ra ry R ef er enc e
Cen te r, vol. 28, issu e 1 (Wint e r 2013), h lm. 23 -69.
2 5 1Abdulmumini A, “Judicial Practice in Islamic Family Law and It’s Relation to ‘Urf (Custom) in Northern
Nigeria.” Isl ami c L aw a n d So ci ety, vo l. 20, is sue 3 (20 1 3), hlm. 272 -318.
2 5 2Younes Soualhi, “The Question Methodology in the Science of Maqâsid ash-Shari‘ah (Objectives of
Islamic Law).” In te rna tion al Jou rnal o f Hum ani ties, vo l 5, issu e 11 (F ebrua ry 200 8), hl m. 91 -97.
2 5 3Louay Safi, “The Maqâsid Approach and Rethinking Political Rights in Modern Society.” In tel ec tua l
Discou rse s, vol 18, i ssu e 2 (2010), hl m. 211 -233.
2 5 4 Muhammad Ramiza Wan, “Shari‘ah Court Judges and Judicial Creativity (I jti had) in Ma lays ia an d
Thailand: A Comparative Study.” Jour anl of Musli m Minori ty Af fa irs, vol. 29, issu e 1 (Marc h 2009), hlm . 127-13 9.
2 5 5Mesut Okumus, “The Influence of Ibn Sina on al-Ghazzali in Qur’anic Hermeneutics.” Musli m Wo rl d, vol.
102, issu e 2 (Apr il 2012), hl m. 39 0 -411.
2 5 6Mona Atia, “A Way to Paradise’: Pious Neoliberalism, Islam, and Faith Based Development.” An nals o f
th e Asso ci ati on of A me ri can Geog ra ph e rs, vol. 102, issu e 4 (July 20 12), hl m. 808 - 827.
2 5 7Mustafa Numen Shah, “Classical Islamic Discourse on the Or ig ins of La ngagu e: Cult ura l M emo ry and t h e
Defence of Orthodoxy.” In te rna tion al Revi ew for th e H isto ry o f R eli gion, vol. 5 8, iss ue 2/3 (2 011), hl m . 314-34 3.
2 5 8Jan Loop, “Divine Poetry? Early Modern European Orientalists on the Beauty of Koran.” Ch u rch H is to ry
(4)
2 5 9Gabeba Baderon, “Methodologies: Silent, Secrets, Fragments.” Cr iti ca l Ar t: A South - No rth Jou rnal of
Cul tura l and M edia S tudie s, vol. 21, is sue 2 (2 007), hl m . 276 -290.
2 6 0Ahm ad Younus Mohd Noor, “The Intelect of Traditional Muslim Theologians in Dealing with the
Scientific Exegesis.” In te rna tion al Jou rnal o f Hum ani tie s, vol. 9, issu e 11 (2011), h lm. 10 1 -11 0.
2 6 1Fathullah Najarzagedan, “An Examination of Literary Miracle of the Qur’an as Evidence that the Science
of Qur’anic Exegesis is Possible.” Journal of Shi‘ah Is la mic S tudies, vo l. 4, issu e 2 (201 1), hl m. 199 -2 17.
2 6 2Moham m ed El- Tah ir E l-Mesawi, “From ash-Shâthibî’ s Legal Legal Hermeneutics to Thematic Exegesis
the Qur’ân.” In te lle ctu al Dis cou rse, vo l. 20, issu e 2 (201 2), hlm. 189 -214.
2 6 3Sabri Ciftci, “Secular- Is lam ist C le avage, Va lu es, and Support for Demo cra cy and Shari ‘ah in the Arab
World.” Poli ti cal Re sea r ch Qua r te rly, Vo l. 66, issu e 4 (D ec emb er 2 013), hl m. 781 -793.
2 6 4Luca Mavelli, “Between Normalisation and Exception: The Securitisation of I sla m and th e Cons tru ctio n
of the Secular Object.” Mil leniu m (0305 829 8), vo l. 41, 2 (January 201 3), hl m. 159 -1 81.
2 6 5Laur i e Patton and Robin. Ve rmon K -Newby Gordon D, “Comparative Sacred Texts and Interactive
Interpretation: Another Alternative to the World Religions Class.” Te ach in g Th eolo gy an d Rel igion, vol . 12, issu e 1 (Januar y 2009), h lm. 37 -49.
2 6 6Gloria Schaab, “Sacred Symbol as Theological Text.” Heyth rop Journ al, vol. 50, issu e 1 (Januar y 2009),
hlm. 5 8 -73.
2 6 7B ert ra m I Spe ctor, De te ct ing C or rup tion in D evelo pin g Count ri es: Id ent ify ing Causes /S t rat egi es fo r A ct ion
(Delh i: Ku ma ria n Pre ss, 2012).
2 6 8Bulent Senay, “Change and Changeability: Ethics of Disagreement and Public Space in Islamic Thought.”
Journa l fo r th e S tudy o f R elig ion and Ide olog ies, vol. 9, issu e 26 (August 20 10), hl m. 128 - 162.
2 6 9Jasser Auda, “A Maqâsidî Approach to Contemporary Aplication of Shari‘ah.” Int ell ec tual Dis cour se, vo l.
19, issu e 2 (2011), h lm. 19 3 -21 7.
2 7 0Intisar Rabb, “Islamic Legal Maxims as Substantive Canons of Construction: Hudûd.” Is lam ic L aw an d
Soc ie ty vol. 17, issu e 1 (Januar y 2010), h lm. 63 -125.
2 7 1Felicitas Opwis, “Shifting Legal Authority from the Ruler to the ‘Ulamâ: Rationalizing the Punisment for
Drinking Wine During the Seljûq Period.” Wal te r d e G r uyte r, vol. 86 (201 1), hl m. 65 -87.
2 7 2Farish Noor, “Negotiating Islamic Law.” Fa r E ast ern Econo mic Revi ew, vol. 165, iss ue 37 (Sept emb e r
2002), hl m. 23 -3 3.
2 7 3Huri Islamoglu, “Beyond Histories of Stagnation to Living Histories of Possibi lities.” I nte rna tion al
Journa l of Mi ddl e E ast S tudies, vo l. 44, iss ue 3 (August 2012), hl m . 536- 538.
2 7 4Malik Muhammad Tariq, “Ali’s Shari‘ati View of Islamic Modernity.” Di alogu e (P aki stan), vol. 8, is sue 3
(Septe mbe r 2013), h lm l. 334 -335.
2 7 5Tauseef Ahmad Parray, “The Legal Methodology of Fiqh al-‘Aqalliyat and Its Critics’: An Analytical
Study.” Jou rnal o f Musli m Mino ri ty A ff ai rs. Vol. 32, issu e 1 (Ma rch 2 012), hl m. 88 - 107.
2 7 6Joseph E Lowry, “Some Preliminary Observations on al-Shafî‘î and Later Usul al-Fiqh’: The Case of the
(5)
2 7 7David Johnston, “A Turn Epistemology and Hermeneutics of Twentieth Century Usul al-Fiqh.” Isl ami c
Law and Soci et y, vol. 11, i ssu e 2 (Apri l 200 4), hl m. 233 - 282.
2 7 8‘Abd Carney, “Twilight of Idol? Pluralism and Mystical Praxis in Islam.” In te rna tiona l Jou rnal fo r
Ph iloso ph y of Rel igion, vo l. 64, iss ue 1 (August 2 008), hlm. 1 -20.
2 7 9Muhibbuddin, “Principles of Islamic Polity Toward ahl Kitâb and Religious Minorities.” Jou rnal o f Mus li m
Minori ty Af fai rs, vol. 2 4, issu e 1 (Apr il 2 004), hl m. 163 - 174.
2 8 0Muhammad Tariq Gauri, “Scope of Human Rights in Islam: An Analytical Study of Islamic Concept of
Human Rights.” Di alogu e (Pa kis tan), Vol. 5, i ssue 4 (Oc tober 201 0), hl m. 17 -31.
2 8 1David Hollenbach, “Comparative Ethics, Islam, and Human Rights: Internal Pl ura l ism and Poss ib l e
Development Tradition.” J ourna l of Re ligi ous E th ic s, vol. 38, iss ue 3 (Sep te mbe r 2010), h lm. 58 0 -58 7.
2 8 2Robert Carle, “Tariq Ramadhan and the Quest for a Moderate Islam.” Soc iet y, vol. 48, issue 1 (Februa ry
2011), hl m. 58 -6 9.
2 8 3Billy Lucas, “The Right to Believe Truth Paradoxes of Moral Regret for No Belief and the Role (s) of Logic
in Philosophy of Religion.” In te rna tiona l Journ al fo r Ph iloso ph y of Re ligio n, vol. 72, issue 2 (Octob e r 2012), hl m. 115 - 138.
2 8 4Anna Munster, “Let There No Compulsion in Religion: Tafsir Comparison on the Verse 2: 256.”
(6)