Rekayasa Ideologi Hukum dalam Hierarki al-Kutub as-Sittah

70 yang 99 dengan 13 sifat yang wajib bagi Allah dengan maksud membesarkan Allah, akan tetapi secara implisit menghambat gairah intelektual manusia. Teologi Asy‘ariyah yang sangat dominan mulai menampilkan sosok ancaman bagi yang menentangnya sehingga perburuan ulama- ulama Mu‘tazilah secara gencar dilakukan bahkan karya-karya mereka diberangus. Kisah Bruno dan Copernicus yang dihukum oleh pihak gereja karena menentang doktin gereja tetap bersikukuh dengan bukti science yang mereka pegang diabadikan sebagai momentum untuk memasuki fase renaiscience. Hal itu sangat terbalik dengan dunia Islam, peristiwa pembakaran karya- karya ilmiah ulama Mu‘tazilah serta pengejaran terhadap ulama Mu‘tazilah tidak dianggap sebagai peristiwa noda di dalam sejarah Islam. Dapat dibayangkan bagaimana tekanan yang dirasakan oleh ulama- ulama Mu‘tazilah dalam berkarya terpaksa tidak mencantumkan nama mereka dan karya mereka tidak dipublikasikan secara terang-terangan. Peristiwa ini mengingatkan bangsa Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto terhadap stigma negatif yang melekat terhadap mereka yang tertuduh berasal dari golongan PKI Partai Komunis Indonesia mendapat perlakuan tidak adil. 128 Dapat dimengerti pasca pemerintahan Mutawakkil ulama berusaha menjauhkan diri dari pemikiran yang berbau Mu‘tazilah. Aliran teologi Asy‘ariyyah yang sangat dominan di awal berdirinya merambah ke bidang ilmu lainnya, termasuk ulama fiqh dan hadits. Ulama fiqh misalnya mulai meninggalkan budaya pendekatan rasional terhadap nas, metode takwil tidak dikembangkan bahkan cenderung ditinggalkan. 129

C. Rekayasa Ideologi Hukum dalam Hierarki al-Kutub as-Sittah

Rekayasa ideologi hukum merupakan hal lumrah dilakukan dalam suatu pemerintahan. Selain bertujuan untuk memobilisasi dan mengarahkan kekuatan masyarakat agar fokus pada tujuan yang hendak dicapai, rekayasa ideologi hukum juga terkandung di dalamnya unsur mengamankan posisi penguasa dalam waktu yang lama, sehingga posisi sebagai in cumbent mendapatkan legitimasi yang kuat dari ideologi hukum yang ada. 130 Mustahil suatu pemerintahan akan bertahan dalam waktu yang lama, apabila tidak memiliki fondasi ideologi. Setiap fase pemerintahan tentunya telah mempertimbangkan faktor-faktor keunggulan dan kelemahan yang dimilikinya. Masyarakat Muslim sejak awal pembentukannya selalu menjadikan patron Nabi sebagai sumber referensi hukum dan berperilaku. Apresiasi masyarakat Muslim terhadap wahyu yang dibawa olehnya dalam wujud al- Qur’an hampir sama tingginya terhadap hadits Nabi. Keadaan ini dimanfaatkan oleh penguasa-penguasa di dalam sejarah Islam, terutama menyangkut dengan hadits, sehingga tidak mengherankan peran hadits sangat urgen dalam melegitimasi sesuatu. Sejarah umat manusia yang selalu mencari bentuk kesakralan sebagai media untuk tunduk kepada kekuatan yang Omni Power yang berasal dari luar diri manusia secara otomatis memberikan otoritas yang tinggi kepada pihak-pihak yang memiliki kemampuan dalam mengadakan penyembahan kepada Tuhan. Dalam konteks Islam, otoritas yang dimiliki Nabi menempatkan dirinya sebagai individu yang tertinggi dalam stratifikasi sosial melahirkan bentuk kepatuhan dari masyarakat yang menganggapnya sebagai manusia yang mendapatkan legalitas langsung dari Allah. Pada awalnya, bentuk kepatuhan yang muncul pada masyarakat Muslim terhadap ajaran yang dibawa olehnya sebagai bentuk kewajiban. 131 Kepatuhan di dalam diri manusia biasanya muncul ketika berhubungan dengan nilai-nilai yang dianggap sakral, nilai kesakralan biasanya muncul ketika berhubungan dengan kekuatan yang di luar diri manusia yang berkuasa atas diriya. Masalahnya sikap kepatuhan terhadap nilai-nilai sakral tersebut harus dipahami dalam tataran refleksi sebagai kewajiban obligation, atau kesukarelaan Volunteer. Pada umumnya, masyarakat yang menggunakan konsep kepatuhan dalam konteks obligation kepada pemilik otoritas. 132 Sikap untuk mendapatkan legitimasi sebagai pemilik otoritas muncul ketika berhubungan dengan hal sakral. Terlepas adanya faktor kebutuhan terhadap hadits yang semakin tinggi, kodifikasi hadits yang dimulai awal abad ke-2 H, diwarnai adanya motivasi untuk mendapatkan otoritas sebagai pihak yang paling kompeten di dalam masyarakat Islam. Usaha kodifikasi hadits agak tercoreng dengan motivasi yang 71 berlebihan dalam memperoleh legitimasi pemilik otoritas. Hal tersebut digunakan sebagai alat untuk menjatuhkan pihak lawan yang juga menggunakan hadits sebagai alat untuk memperoleh legitimasi sebagai pihak yang paling memiliki otoritas di dalam masyarakat Islam. 133 Skema anatomi hierarki kitab-kitab hadits standard di dalam masyarakat Muslim merupakan refleksi pertaruhan entitas politik, budaya, maupun agenda oleh elit Muslim pasca era Khulafaur Rasyidin. Sangat disayangkan, rivalitas politik yang terjadi menghilangkan nilai objektivitas yang ada sehingga mengorbankan nilai yang lebih besar dalam persatuan masyarakat Muslim. Hal tersebut berimplikasi dalam stagnasi karya-karya fiqh karena adanya pembatasan dalam menggunakan sumber hadits itu sendiri. Secara kasat mata, ulama hadits yang terlibat dalam pembentukan format hierarki kitab-kitab hadits yang dikenal sampai saat ini. Mereka selalu mengarahkan umat Islam agar memiliki semangat obligation terhadap struktur kitab-kitab hadits yang ada. Tidak mengherankan adanya claim perception antara beberapa ulama hadits yang menyatakan suatu hadits tertentu, baik itu untuk meninggikan derajat hadits tertentu maupun merendahkannya. Lahirnya hadits versi Sunni dan Syiah merupakan gambaran dari setting agenda yang dilakukan oleh aktor-aktor sejarah dalam masalah hadits yang ingin mendapatkan legitimasi dari umat Islam. 134 Kurangnya usaha untuk mengarahkan umat Islam agar lebih menghargai hadits secara tulus tanpa membedakan simbol-simbol aliran teologi tertentu yang cenderung bersifat politis mengindikasikan kegagalan dalam memperkenalkan hadits secara holistik seperti halnya al- Qur’an. 135 Dapat dipastikan apabila kodifikasi al- Qur’an dilakukan pasca era Khulafaur Rasyidin maka Al- Qur’an yang diterima umat Islam mungkin tidak seperti sekarang ini yang bersifat satu bentuk, akan tetapi al- Qur’an dengan berbagai versi bentuk bacaan maupun derajat kesahihannya. Setiap orang tidak terlepas dari ideologi hukum yang diyakininya, termasuk juga imam-imam hadits yang menuliskan lafaz-lafaz hadits yang terdapat di dalam kitab-kitab hadits. Sebab yang membuat judul- judul pembahasan di dalam kitab-kitab hadits itu tanpa adanya intervensi Allah, sehingga atmosfir sosial yang ada pada waktu itu sangat berpengaruh. 136 Hampir di setiap kitab-kitab hadits umumnya menjadikan bab thahârah bersuci sebagai judul pembahasan yang utama. Sangat berbeda sekali dengan al- Qur’an yang menempatkan Surah al-Fatihah sebagai surah pembuka yang diakui bukan menitikberatkan aspek fiqh ibadah di sana. Pembahasan tentang masalah thahârah terkadang mendapatkan porsi pembahasan yang sangat berlebihan dibandingkan tema-tema lainnya, terkadang pembahasan tersebut kontra produktif disebabkan oleh tidak cocok diterapkan di daerah tertentu. Pasca Khulafaur Rasyidin dalam politik umat Islam mengalami kemunduran yang sangat berat, karena sistem pemerintahan yang dibangun atas dasar monarki. 137 Sistem ini banyak menghabiskan energi penguasa untuk mendapatkan legitimasi dengan berbagai cara, termasuk berusaha mengintervensi wilayah keagamaan publik. Tidak mengherankan, walaupun penguasa-penguasa Muslim seperti Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiah, serta beberapa Dinasti di dalam Kerajaan Islam masih menggunakan label khalifah sebagai penguasa umat Islam. Kebebasan berpikir tidak pernah terjadi di wilayah-wilayah yang berhubungan dengan khalifah, hal ini dapat dibuktikan tidak adanya kontrol publik terhadap perilaku sosial dan politik mereka. Transparansi tidak pernah terjadi sebagaimana yang dipahami dalam konteks pemerintahan demokrasi modern, seakan mereka berada di luar hukum. 138 Peristiwa berdirinya dinasti-dinasti pasca Khulafaur Rasyidin di dalam Islam, pada umumnya terjadi dengan jalan pertumpahan darah. Pengalaman buruk tersebut sangat membekas pada umat Islam, khususnya ilmuwan. Ilmuwan-ilmuwan di awal-awal berdirinya dinasti-dinasti Islam bersikap tidak mau mengambil resiko yang bisa menurunkan citra khalifah, karena sikap tersebut berarti konfrontasi yang dapat me-delegetimasi eksistensi khalifah itu sendiri. Jalan yang ditempuh ulama ketika itu dengan jalan menghindari kemarahan penguasa dengan menitikberatkan aspek-aspek pembahasan yang bersifat hukum domestik di masyarakat. 72 Rekayasa ideologi hukum yang paling efektif dengan mengontrol kodifikasi hadits, hal ini sangat penting dilakukan sebagai bentuk untuk mengontrol masyarakat juga menampilkan sosok khalifah sebagai pihak yang sangat peduli dengan hadits itu sendiri. Imam al-Bukhari yang telah menghafal lebih dari dua juta matan hadits serta jalur periwayatannya mustahil tidak mengatahui konstalasi politik di masa dia hidup. Hadits yang ditulisnya di dalam kitab sahîh itu harus dipahami manifestasi dari proses seleksi hadits-hadits yang dianggap aman untuk dipublikasikan dari ketersinggungan khalifah. Jangan dipahami bahwa dari dua juta hadits yang dihafalnya hanya 6000 hadits tersebutlah yang paling sahîh, 139 karena bila demikian alangkah naifnya menganggap Imam al-Bukhari sebagai punggawa hadits yang dhabit dan tsiqah bila dia tidak menghadirkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ali ibn Abi Thalib, Fatimah binti Muhammad, atau hadits-hadits yang berhubungan dengan politik musyawarah. 140 Hadits-hadits yang terdapat di dalam kitab haditsnya dapat dipahami sebagai hasil dari sinergi yang paling aman antara kebutuhan umat terhadap hadits dan untuk menjaga kepentingan penguasa ketika itu. Arah pemikiran dilakukan untuk tetap mendapatkan legitimasi dari umat Islam melalui politik ideologi menginfiltrasi ulama-ulama hadits agar membuat skema hadits yang membuat posisi nyaman bagi penguasa. Mengangkat ulama-ulama tertentu untuk menempati posisi sebagai qadi selain bertujuan untuk kepentingan birokarasi juga untuk mengakomodir kepentingan masyarakat terhadap hukum. Perbedaan hadits antara hadits versi Sunni dan Syiah bukan terletak pada tataran teologinya, akan tetapi lebih banyak dipengaruhi ideologi politik yang menggerakkan sejarah kodifikasi kedua mazhab terbesar di dalam Islam. Sebenarnya, salah satu cara untuk menguji kehujjahan suatu hadits dapat dilakukan dengan membuat verifikasi atau cross check di kitab-kitab hadits yang diakui di kalangan Sunni maupun Syiah. Makin tinggi aseptabilitas matan dari keduanya semakin tinggi nilai keautentikan suatu hadits, cara ini walaupun masih belum diaplikasikan di dunia Islam tidak ada salahnya kalangan akademik memulainya. Pada mulanya, kebutuhan umat Islam terhadap hadits dipicu akan justifikasi yang diperlukan dalam masalah-masalah hukum, sehingga kitab-kitab hadits yang memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap hadits-hadits hukum sangat diperlukan. Tidak mengherankan kitab hadits yang kurang memenuhi selera masyarakat awam tersebut kurang mendapat perhatian, termasuk beberapa kitab hadits yang telah eksis sebelum kitab hadits Sahîh al-Bukhâri; seperti musnad Ibn Sa‘ad. 141 Kitab ini kurang populer dibandingkan kitab hadits standard yang telah dikenal di masyarakat, walaupun hadits maupun periwayatan di dalam kitab ini autentisitasnya dapat memenuhi kriteria yang telah disebutkan ulama hadits. Akan tetapi, kitab ini berbentuk musnad yang kurang memenuhi kebutuhan masyarakat awam terhadap matan hadits. Peristiwa mihna adalah salah satu peristiwa yang kelam di dalam sejarah Islam, akan tetapi peristiwa counter attack setelah peristiwa mihna itu merupakan tragedi keilmuan yang terbesar dalam sejarah disebabkan oleh pemasungan ide-ide kebebasan ilmiah bukan hanya mengancam ilmuwannya juga karya- karya mereka. Peristiwa tersebut memaksa ilmuwan yang dicap sebagai golongan Mu‘tazilah terpaksa menggunakan nama samaran di setiap karya mereka. Pemasungan ide- ide Mu‘tazilah tersebut bukan karena peristiwa mihna saja, juga yang tak kalah pentingnya menghilangkan semangat rasional Mu‘tazilah, yang merasa tidak terakomodir di dalam konstalasi kitab-kitab hadits yang sudah ada. Karya-karya kitab- kitab hadits standard jarang sekali menjadi objek justifikasi dalam paham rasional. Itu sebabnya mereka dianggap sangat selektif dalam menerima hadits kalau ditelusuri lebih jauh bukan disebabkan oleh keraguan mereka terhadap hadits, akan tetapi disebabkan oleh resourses hadits yang ada banyak membahas yang jauh dari pembahasan rasional mereka. 142 Dalam kurun waktu sampai abad ke-5 H dinasti-dinasti yang muncul pasca Khulafaur Rasyidin sangat berkepentingan sekali menggunakan ideologi hukum sebagai sesuatu yang urgen dilakukan. Permasalahannya penggunaan aliran mazhab tertentu sebagai simbol ideologi hukum yang dianut oleh negara dilakukan dengan dua cara, yaitu mengadopsi kecenderungan pemahaman ideologi hukum yang 73 telah berkembang di masyarakat atau pihak penguasa membawa sendiri ideologi hukumnya melakukan penetrasi pemikiran ke masyarakat. 143 Terkadang penguasa sangat lihai memanfaatkan posisi ulama dalam memperkuat posisi kekuasaannya dengan memberikan kekuasan kepada ulamaqadi dalam masalah-masalah yang bisa menaikkan citra mereka. Otoritas yang diberikan kepada ulama dalam menghukum peminum khamar merupakan politik pencitraan yang dilakukan. Betapa tidak, hal tersebut memberikan sinyal betapa khalifah adalah sosok yang religi di dalam kehidupannya sehingga yang diharapkan dukungan kesetiaan rakyatnya. Hasan asy-Syaibani adalah sosok ulama yang memenuhi syarat di mata Harun ar-Rasyid sehingga diangkat sebagai qadi utama yang membawahi seluruh pengadilan di wilayah Abbasiah. 144 Pengangkatan Hasan asy-Syaibani adalah langkah maju yang dilakukan khalifah untuk memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ulama sekaligus diberikan kekuasaan sebagai umara. Hasan asy-Syaibani sebagai ulama fiqh memiliki pola pikir tentang penerapan hukum yang seragam di wilayah Abbasiah. 145 Upaya penyeragamannya adalah untuk menjamin ketertiban masyarakat, tetapi langkah ini menimbulkan efek yang tidak dibayangkan sebelumnya. Tentu saja penyeragaman dengan menjadikan enam kitab utama dalam mazhab Hanafi sebagai sumber rujukan hukum yang berlaku dimulai pada masa Harun ar-Rasyid. Istilah al-Kutub as-Sittah pertama sekali muncul pada era ini ketika Hasan asy-Syaibani sebagai qadi utama, ketika mengeluarkan maklumat kepada seluruh hakim di wilayah Abbasiah untuk menjadikan al- Kutub as-Sittah mazhab Hanafi sebagai sumber rujukan hukum dalam memutuskan perkara. 146 Di sini awalnya mulai memudarnya pengaruh filsafat yang mengajarkan kebebasan berpikir yang rasional dan menghasilkan pola inklusif dalam menerima suatu kebenaran menjadi satu warna cenderung kaku. Walaupun canonical enam kitab-kitab utama dalam mazhab Hanafi tersebut pada saat itu dinilai sebagai langkah yang maju karena mampu merealisasikan penyeragaman hukum tidak akan mungkin bisa terwujud tanpa izin atau perintah dari Khalifah Harun ar-Rasyid itu sendiri. 147 Khalifah sangat berke- pentingan dalam kegiatan canonical tersebut untuk lebih memantapkan kedudukan Dinasti Abbasiah. Dinasti Abbasiah pada satu abad pertama sedang giat-giatnya membangun citra Dinasti yang lebih baik dari Dinasti Umayyah sebelumnya. Mereka memposisikan diri sebagai penguasa yang sangat mengakomodir semua golongan tidak seperti Dinasti Umayyah yang hanya memberikan privilege kepada bangsa Arab. 148 Akan tetapi, pada masa Harun ar-Rasyid sudah mulai dirasakan kekuatan masyarakat non- Arab yang harus dijinakkan dalam bingkai legalisasi al-Kutub as-Sittah mazhab Hanafi sebagai undang- undang negara. Walaupun resistensi terhadap mazhab Hanafi ini masih ada di dalam masyarakat, akan tetapi dinilai tidak cukup kuat untuk menandingi dominasi mazhab ini yang didukung oleh negara. Resistensi dari mazhab ini biasanya datang dari kelompok konservatif yang disebut sebagai ahli hadits yang merasa sebagai pembela hadits yang diklaim kurang mendapat tempat dalam Mazhab Hanafi. 149 Mazhab Hanafi dalam hal penerimaan terhadap hadits ada miripnya dengan Mu‘tazilah yang hanya mau menerima hadits mutawatir dan tidak mau menerima hadits ahad. Walaupun Mazhab Hanafi tidak sampai seekstrim Mu‘tazilah dalam menerima hadits, bagi mereka hanya hadits yang dikategorikan mutawatir dan sahîh saja yang dapat dijadikan hujjah. Memang agak dilema dalam masalah penerimaan terhadap hadits ahad. Pada awal abad pertama Dinasti Abbasiah, pengaruh filsafat helenisme cukup dominan dalam mempengaruhi pemikir- pemikir Muslim sehingga alasan Mu‘tazilah hanya mau menerima hadits mutawatir dapat dipahami. 150 Hadits ahad yang dipahami tidak mencapai derajat mutawatir berarti terdapat keraguan terhadap autentisitas hadits tersebut sehingga tidak layak untuk menerimanya sebagai dalil untuk berhujjah. 151 Apalagi bila digunakan dalam hukum tentunya akan menimbulkan keraguan umat Islam untuk menerima hukum tersebut. 152 Kritikan orientalis terdapat inkonsistensi ulama karena masih tetap mengakui hadits ahad dijadikan dalil dalam hukum. 153 Logika yang dibangun dengan menggunakan sillologis antara konsep kebenaran yang terwujud dalam ‘ilm, yakin, qath‘î tidak terdapat di dalam hadits 74 ahad apalagi hadits dha‘îf. Sebagian ulama yang mendhaifkan antara satu hadits dengan hadits lainnya mengindikasikan terdapat masalah autentisitas hadits tersebut dan hampir semua hadits mengalami masalah kecuali hadits mutawatir yang jumlah hanya sedikit. Kritikan orientalis ini bila diambil dari sisi positifnya diharapkan untuk lebih memantapkan bangunan hadits yang selama ini ada lebih kokoh dan bisa dipertanggungjawabkan. Argumen yang dibuat oleh beberapa ilmuwan Barat tersebut didasari keraguan refleksi logika yang berasal dari sumber filsafat. Masalahnya konstruksi bangunan hadits yang dibuat oleh ulama tidak dalam tahap keraguan terhadap hadits karena hal tersebut telah selesai ketika sahabat-sahabat sebagai agen pertama pewarta hadits telah menerima Islam. Usaha yang dilakukan adalah dengan menyortir sebanyak mungkin hal-hal yang bisa mengotori kemurnian hadits. Sebagai manusia generasi ulama mulai dari zaman Dinasti Umayyah sampai Dinasti Abbasiah tentunya memiliki kapasitas yang berbeda, terutama dalam menyortir hadits-hadits yang berkembang ketika itu. Akan tetapi, dengan menyatakan hadits ahad tidak bila dijadikan dasar hukum tentunya sangat gegabah karena bukan berarti suatu hadits yang tidak menempati posisi muatwatir diragukan originalitasnya. Karena walaupun satu orang bila dianggap tsiqah maka hadits tersebut dapat dijadikan hujjah. Hadits yang berkaitan tentang kehidupan rumah tangga Nabi Muhamamad tentunya hanya sedikit sahabat yang mengetahui atau menyaksikan, seperti halnya dalam masalah mandi wajib. Simbol Khalifah Abbasiah di dalam sejarah Islam mendapat tempat tersendiri karena dianggap sebagai dinasti yang membangun peradaban di dalam dunia Islam. 154 Dinasti ini dianggap sebagai simbol pemersatu yang memiliki otoritas tertinggi yang dipatuhi masyarakat Muslim. Dinasti Abbasiah dianggap bersikap netral dalam konflik Sunni dan Syiah sehingga dipatuhi oleh berbagai pihak. Sebenarnya, Dinasti Abbasiah secara defacto memerintah hanya satu abad saja. Ketika kerajaan-kerajaan lainnya yang menguasai daerah Dinasti Abbasiah selama empat abad berikutnya masih membiarkan Dinasti Ababsiah ini berdiri, agar mendapat legitimasi dari umat Islam secara general. 155 Walaupun realitasnya Khalifah Dinasti Abbasiah hanya menguasai kota Baghdad saja praktis seperti negara kota. Akan tetapi, persepsi kesakralan Dinasti ini sudah menjelma menjadi alat legitimasi kesinambungan suatu kerajaan. Tak mengherankan mulai Dinasti Buhaiwi, Saljuk, Fatimiyyah yang Syiah tetap tidak menghancurkan struktur utama kekhalifahan Abbasiah karena simbol legitimasi yang diberikan oleh khalifah sangat berguna untuk memerintah wilayah Islam yang luas. 156 Sangat disayangkan ketika muncul persaingan tiga Kerajaan besar di abad pertengahan Turki Utsmani, Safawi, dan Mughal di India mereka tidak mengenyampingkan perlunya legitimasi simbol Khalifah Abbasiah di Baghdad. Peristiwa ini sangat disayangkan karena menghilangkan kesempatan besar untuk menyatukan umat Islam dalam satu simbol pemersatu. Dinasti- Dinasti yang mengusai wilayah kekhalifahan Abbsiah rentang abad ke-4 sampai abad ke-7 H tetap mempertahankan simbol Khalifah Abbasiah sebagai legitimasi eksistensi mereka. 157 Walaupun dalam rentang waktu yang telah disebutkan di atas kekuasaan politik Dinasti Abbasiah hampir tidak ada, akan tetapi Dinasti ini masih memiliki kekuasaan dari sisi spiritual. Sebenarnya simbol kekuasaan spiritual tetap dipertahankan oleh dinasti-dinasti di atas sangat berguna untuk memobilisasi massa ketika memerlukan dukungan masyarakat secara instan. Simbol kekuasaan spiritual sebenarnya sudah mulai mendapat tempat di hati umat Islam ketika dinasti-dinasti yang menguasai wilayah kekuasan kekhalifahan Abbasiah tetap mempertahankannya. Tidak mengherankan ketika Dinasti Fatimiyyah yang berkuasa ketika itu demi mendapat dukungan publik secara luas membangun pusat pendidikan ternama Universitas al-Azhar di Mesir sampai sekarang tetap eksis yang mayoritas Sunni. Manuver yang dilakukan oleh Dinasti Fatimiyyah tersebut dengan tidak membangun pusat pendidikan bergengsi di wilayah mayoritas Syiah, indikasi mulai mencairnya hubungan antara Sunni dan Syiah. Legitimasi yang diberikan oleh Khalifah Abbasiah di Baghdad terhadap Dinasti ini menambah kuat posisi di mata umat Islam yang mayoritas Sunni. 158 Bahkan, pada masa Dinasti ini, mem- berikan akses dukungan ekonomi dan politik terhadap kegiatan yang diadakan di kampus ini. Mesir yang merupakan basis kuat kekuatan Sunni tergolong wilayah yang kurang begitu kuat infrastruktur pendidikan 75 seperti halnya di wilayah Islam lainnya yang sudah mapan melahirkan ilmuwan-ilmuwan Muslim seperti Baghdad, Kurasan, Bukhara, maupun Samarkan. Tampaknya pilihan untuk mendirikan Universitas al- Azhar di Mesir bukan tanpa pertimbangan yang matang, akan tetapi didasari oleh pertimbangan politik untuk mendapat simpati Sunni terhadap Dinasti ini Simbol Dinasti Abbasiah yang dianggap memiliki otoritas politik dan spiritual menjadikan al-Kutub as-Sittah zaman Harun ar-Rasyid seperti nomor dua setelah nas. Istilah al-Kutub as-Sittah sudah melekat memiliki nilai kesakralan yang sangat tinggi di dalam Dinasti Abbasiah. Akan tetapi, seiring dengan mulai meredupnya kekuasaan Dinasti Abbasiah yang pada awalnya identik dengan pionir dalam masalah rasionalitas di dalam Islam, tetap saja masih meninggalkan legacy yang masih tetap ada di masyarakat. 159 Istilah al-Kutub as-Sittah dianggap istilah yang sangat familiar dengan kitab undang-undang negara menjadi kata sakti yang dapat membuat justifikasi terhadapnya. Tidak mengherankan ketika ulama hadits mengisi kekosongan tempat yang ditinggalkan oleh Mu‘tazilah di panggung politik Dinasti Abbasiah, masih menggunakan terminologi al-Kutub as-Sittah terhadap kitab-kitab hadits yang mereka urutkan secara hierarki. Istilah al-Kutub as-Sittah yang identik dengan kitab-kitab fiqh yang digunakan pada masa Dinasti Abbasiah ketika Hasan asy-Syaibani sebagai qadi menjadi locust ulama-ulama hadits dalam menyusun hierarki kitab-kitab hadits. Pencaplokan istilah al-Kutub as-Sittah yang berasal dari kitab-kitab fiqh menjadi istilah kitab-kitab hadits secara tidak langsung merupakan plagiasi dalam menggunakan istilah. Plagiasi istilah ini tentunya memiliki maksud tertentu agar umat Islam yang sudah menganggap istilah al- Kutub as-Sittah sebagai kitab undang-undang hukum yang diakui negara selama lima abad lamanya juga mendapat legitimasi kuat dari umat Islam. 160 Plagiasi ini tampaknya jalan pintas yang dilakukan oleh ulama hadits agar usaha mereka lebih bisa diakui oleh segenap lapisan masyarakat. Akan tetapi, langkah ini terasa kurang elegan karena terkesan manipulatif walaupun kurang pantas disebutkan kepada mereka yang sangat dekat dengan simbol-simbol kesalehan. Menggunakan istilah yang sudah sangat lazim dan mendapatkan tempat di hati masyarakat yang sudah dirintis dalam waktu yang lama kemudian mengisinya dengan konten yang berbeda dengan usaha mendapat legitimasi absolut terhadapnya. Berbeda al-Kutub as-Sittah versi fiqh Hasan asy-Syaibani tidak menjadikan kitab-kitab tersebut dalam konteks hierarki. Akan tetapi, dalam bentuk horizontal yang saling mengisi antara satu kitab dengan dengan kitab lainnya. 161 Al-Kutub as-Sittah versi fiqh sangat setara saling melengkapi sehingga hakim di pengadilan tidak harus merujuk pada satu kitab utama karena semuanya equal. Al-Kutub as-Sittah versi ulama hadits melangkah lebih jauh dengan menjadikan istilah tersebut secara hierarki artinya urutan penggunaan lebih diprioritaskan dari kitab hadits yang paling atas, yaitu al- Bukhari dan Muslim. 162 Dengan dukungan jaringan dari ulama hadits ini maka istilah al-Kutub as-Sittah yang identik dengan kitab undang-undang negara menjadi lebih kuat lagi upaya ulama hadits dalam mengggunakan istilah ini.

D. Fiqh: Otoritas Teks, Refleksi Nilai Profan atau Sakral