Disorientasi Kriteria Ijtihad dalam Fiqh

46 Oleh sebab itu, ada berbagai alternatif yang memungkinkan terbentukknya kekhalifahan masa depan yang penting tidak menyinggung dua poin di atas. Akan tetapi, yang paling penting di sini ialah sistem khilafah masa depan harus sistem khilafah yang bisa mengadopsi nilai-nilai domestik setiap paham internal umat Islam menjadi nilai universal. 48 Dikhotomi antara Sunni-Syiah pada masa lampau harus dihilangkan serta berimplikasi hilangnya istilah “mereka” berubah menjadi “kita”. Ini penting, karena umat Islam tidak mungkin berhasil mewujudkan khilfah bila masih ada friksi-friksi di dalam internal umat Islam. Kemudian khilafah masa depan harus mempunyai kekuasaan yang jelas bukan seperti Paus di vatikan hanya dianggap sebagai pemimpin rohani yang tidak memiliki kekuasaan dari segi hukum. Khilafah masa depan Islam harus mempunyai kekuasaan, baik dari segi politik, yuridis, maupun masalah ekonomi. Karena itu, aturan yang jelas akan memberi dampak yang bagus terhadap eksistensi khilafah bagi umat Islam dan dunia. Masalahnya sekarang apakah pemimpin Muslim di dunia ini memiliki kemauan politis untuk mewujudkannya. Karena itu, khilafah ke depan dibentuk bukan untuk mengatur hal-hal yang bersifat detail, akan tetapi beberapa permasalahan yang dianggap stategis bagi dunia Islam. Hal ini bukan bermaksud untuk mengebiri kekuasaan masing-masing negara-negara Islam. Skema baru kekuasaan khilafah harus dirembukkan bersama karena sangat urgen bagi dunia Islam yang saat ini lemah, miskin, dan mudah terpecah belah. Tentu akan lebih mudah mengkonsolidasi segala potensi yang ada selama ini seperti yang diketahui bersama bahwa wilayah yang didiami umat Islam di dunia ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa mulai dari minyak buminya, emas, gas sampai produk-produk hutannya. 49 Untuk bisa mengejawantahkan sistem khalifah masa depan maka harus mengacu pada nilai-nilai universal syariat Islam itu sendiri. Syariat Islam mengandung nilai-nilai universal dan nilai domestik. Nilai universal adalah nilai-nilai global yang menandakan Islam sebagai agama rahmat bagi alam, seperti nilai keadilan, toleransi, menghargai kemajemukan, persamaan hak di depan hukum, dll. 50 Nilai domestik adalah nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Islam, nilai-nilai lokal ini adalah suatu keniscayaan yang harus tetap ada di dalam kehidupan manusia. 51 Perlu adanya keterbukaan dalam memahami kondisi sosial kultural umat Islam dunia. Dewasa ini secara faktual umat Islam terdikhotomi pada istilah-istilah Islam Sunni dan Syiah. Agaknya warisan konflik masa lalu harus sudah diakhiri dengan membuka pintu selebar-lebarnya atas warna pemahaman Muslim Syiah. Seperti sedikit sekali hadits yang dipakai oleh kalangan Sunni yang berasal dari golongan ahli bait, khususnya yang bersanadkan kepada Ali atau Fatimah putri Nabi. Padahal, bagi Muslim Syiah, hadits- hadits dari keduanya jumlahnya sangat banyak. Memang ada sedikit kenaifan bagi Muslim Sunni yang kurang mau menerima hadits dari ahli bait, padahal secara logika tentu banyak perkataan maupun perbuatan Nabi yang diriwayatkanoleh keduanya karena mereka lama satu rumah dengannya. 52 Dengan demikian, perlu adanya kelapangan hati dalam memahami dan membuka diri tentang Syiah bagi kalangan Sunni atau sebaliknya. Tujuannya untuk lebih memantapkan bahwa perbedaan di dalam umat Islam menjadi rahmat bukan membawa kemudharatan.

C. Disorientasi Kriteria Ijtihad dalam Fiqh

Semua peradaban di dunia ini lahir disebabkan oleh penggunaan akal yang maksimal untuk merespon tantangan yang dihadapi, baik itu tantangan kehidupan fisik maupun kehidupan rohani. Allah tidak pernah membatasi akal manusia untuk menjelajahi wilayah-wilayah pemikiran manusia. Akan tetapi, hanya memberi rambu-rambu agar fokus pada ciptaan Allah. Masalahnya sering sekali yang membatasi akal manusia untuk berimprovisasi dalam kehidupan ini bukan Allah. Manusia itu sendiri dengan menggunakan agama sebagai alat legitimasi, padahal Islam tidak pernah membatasi akal, hanya memberikan gambaran konsekuensi yang akan diterima terhadap pilihan hidup. 53 47 Banyak diagnosa dari ilmuan Muslim tentang penyebab kemunduran berijtihad dalam Islam, mulai dari aspek filsafat hingga pada porsi yang besar terhadap tasawuf. Adanya fakta keterbelakangan umat Islam disebabkan karena meninggalkan aspek rasionalitas Islam. 54 Sering juga diasumsikan awal mula kemunduran Islam dimulai setelah penaklukkan Arab oleh bangsa Mongol. Asumsi penyerangan ini tampaknya dapat dibantah, karena asumsi ini hanya menitikberatkan penghancuran fisik kota Baghdad sebagai ibukota khilafah Abbasiah dan pusat buku. Naif bila menjadikan invasi Mongol sebagai titik pangkal kemunduran berpikir umat Islam sehingga efeknya sampai berabad-abad lamanya hingga kini. Bandingkan dengan bangsa Jerman dan Jepang yang mengalami kehancuran total, tetapi bangkit kembali dalam waktu tiga puluh tahun, bahkan sekarang menjadi salah satu bangsa yang memiliki peradaban yang tinggi di dunia. Islam sebagai dîn mengklaim sebagai agama penyempurna agama samawi sebelumnya. Islam tidak pernah memproklamasikan sebagai satu-satunya agama yang membawa ajaran tauhid, tetapi ajaran tauhid ini telah dibawa oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. Salah satu faktor keberhasilan Islam menyebar dengan cepat sehingga dapat menumbangkan kerajaan besar Persia dan Romawi terletak pada nilai adaptasi yang dapat melekat pada suatu sistem nilai yang sudah ada. Nabi Muhammad Saw. tidak pernah memberangus tatanan nilai yang tidak bertentangan dengan konsep tauhid, bahkan dalam banyak hal dia sering menggunakan sistem yang sudah ada diberi warna Islam. 55 Adanya usaha untuk memurnikan ajaran Islam dari hal-hal yang bukan berasal dari Islam. Pemahaman seperti ini akan melahirkan sikap hipokrit berkedok untuk pemurnian Islam, akan tetapi pada dasarnya adalah pembongsaian Islam dengan merujuk atmosfer awal kehidupan umat Islam. Masa menutup diri umat Islam terjadi pasca Khalifah al-Mutawakkil. Hal itu ditandai dengan mulai terputusnya umat Islam dengan dunia luar baca filsafat sehingga yang muncul adalah semangat justifikasi terhadap pemikiran-pemikiran yang sudah dianggap baku. 56 Islam berkembang ketika bersentuhan dengan pluralitas peradaban yang melahirkan ilmuwan- ilmuwan kela s dunia di abad pertengahan disebabkan oleh kemampuan ajaran Islam dalam mensintesa dengan sistem nilai yang lain sehingga melahirkan sintesa baru. Islam tidak akan mungkin bisa menjelma menjadi suatu peradaban bila masih mengisolasi diri, karena hanya dengan menjelajah ke wilayah-wilayah pemikiran di luar Islam akan ditemukan suatu bahan baku pemikiran yang melahirkan peradaban. Islam memang diturunkan bukan dalam bentuk bahan jadi, akan tetapi masih dalam bahan baku tergantung pada umat Islam itu sendiri dalam menggunakan resep kehidupan. Padahal, penggunaan pendekatan hermeneutika dapat dilakukan untuk menjelaskan beberapa konten nas yang bila didekatkan dengan pendekatan klasik kurang mendapatkan hasil yang baik bahkan cenderung monoton. Sikap terbuka pada penggunaan metode dari luar niscaya akan melahirkan ilmu baru, karena sudah menjadi nature law setiap manusia tidak bisa berdiri sendiri harus berhubungan dengan orang lain. 57 Pintu ijtihad memang tidak pernah ditutup, lagi pula siapa pula yang memiliki otoritas untuk menutup pintu ijtihad, akan tetapi yang terjadi adalah fuqaha tidak memiliki alat untuk mengangkat intisari nas akibat dari solitire terhadap dunia luar. 58 Konsekuensi yang terjadi selama ini hanya fatwa- fatwa yang berusaha menjelaskan hukum berdasarkan logika hukum yang digunakan oleh imam mazhab. Sering kali al- Qur’an dan hadits dipandang sebagai produk akhir yang tidak perlu diolah lagi karena berasal dari Allah. Pemahaman seperti ini akan menjadikan al- Qur’an dan hadits sebagai kitab yang kaku dan tidak bisa menyelesaikan persoalan manusia. Banyak kasus yang dipaparkan dalam al- Qur’an dan hadits dipahami sebagai doktrin yang sudah final, padahal bila melihat aspek kemaslahatan agaknya kurang diterima. Misalnya, zakat bagi petani bisa sampai sepuluh persen, sementara penghasilan profesi yang berpenghasilan lebih dari seratus kali lipat hanya dibebankan 2,5 persen diqiyaskan dengan zakat emas dan perak, atau zakat perdagangan dengan alasan zakat bagi petani tersebut sudah mufassal. 48 Sebenarnya, banyak peluang untuk bisa menjawab persoalan-persoalan fiqh yang dewasa ini kurang digarap akibat dogma-dogma fiqh masa lalu. Zakat profesi adalah salah satu satu ijtihad baru yang terlepas dengan pembahasan fiqh klasik. Zakat profesi ini dianggap urgen untuk diterapkan, karena terdapat dimensi keadilan di dalamnya. Seorang petani yang penghasilannya relatif kecil saja harus membayar zakat 5 persen bila dengan biaya pengairan dan 10 persen kalau tadah hujan. Di sisi lain, profesi seperti pengacara, pengusaha, maupun politisi bisa mendapatkan penghasilan yang lebih besar, tentu harus membayar zakat juga. Logika penerapan zakat profesi ini sudah tepat, tetapi bias metodologi hukum fiqh klasik sangat kental terasa maka zakat profesi yang telah disebutkan di atas diterapkan sebesar 2,5 persen. 59 Hal tersebut diqiyaskan dengan zakat perdagangan atau bisa zakat emas atau perak yang menuntut adanya haul dan nisab, sementara itu bila digunakan standard zakat pertanian akan berbicara lain. Mengapa zakat profesi tidak diterapkan sampai dengan 10 persen seperti yang terdapat dalam bidang pertanian, tentunya sangat jelas ketidakadilan bila hanya berargumen ketentuan zakat sudah mufassal sehingga sudah dianggap qath‘î. Padahal, ketentuan nas membayar zakat diberlakukan ketika Nabi berada di Madinah, tentunya hal ini harus dipahami dalam konteks realitas sosial masyarakat ketika itu kebanyakan orang kaya berprofesi sebagai petani. Sekarang ini profesi petani identik sebagai marjinal, tetapi masih dibebani juga membayar zakat antara 5-10 persen. Terkadang penggunaan qiyas dalam fiqh sering menghilangkan sisi keadilan dalam kasus ini, jadi perlu ada rumusan baru yang bisa menjawab persoalan umat. 60 Hambatan perkembangan hukum Islam terkadang disebabkan oleh masih sangat kuatnya otoritas fiqh klasik mengikat pemikiran umat Islam. Demikian juga sulitnya membedakan antara Islam dengan kultur Arab yang terefleksikan dari kehidupan Nabi Muhammad Saw., sahabat hingga generasi awal umat Islam. Hal yang perlu dilakukan adalah melakukan verifikasi, apakah kultur Arab sama dengan Islam? Karena sering kali terjadi kerancuan dalam memahami tentang hal ini. Perlu adanya ketegasan dalam mengidentifikasi antara hal yang bersifat Islam dan Arab. Ketidakjelasan dalam mengidentifikasi ini mem- buat kajian fiqh kurang bergerak ke arah yang dinamis karena hanya mengarah pada persoalan-persoalan bersifat Arab centris. Banyak kajian fiqh klasik yang mengambil porsi pembahasan yang sangat melelahkan selama berabad-abad tentang suatu permasalahan, terkadang topik itu hampir tidak dialami di bagian dunia Islam yang lain. 61 Pembahasan tentang bersuci dengan sesuatu selain air, air musta‘mal, budak, merupakan kajian lokal Arab, tetapi sering dianggap sebagai kajian umum umat Islam. Ketika persoalan fiqh dianggap mengalami kebuntuan maka yang terjadi adalah produk-produk fiqh yang bersifat pensyarahan terhadap fiqh sebelumnya. Fiqh-fiqh temporer hanya merujuk pada turats yang sudah ada tanpa memiliki kekuatan untuk melahirkan topik pembahasan yang baru dalam fiqh. Ada asumsi yang berkembang bahwa yang memiliki otoritas dalam melahirkan karya-karya fiqh adalah ulama yang berasal dari dunia Arab. Hal ini sebabkan pola pemahaman tentang kajian fiqh sangat kental memfokuskan pada metode penggunaan bahasa Arab. Akibatnya, timbul persepsi yang begitu kuat di kalangan umat Islam yang paling otoritatif dalam berijtihad dalam masalah fiqh adalah ulama yang memiliki latar belakang bahasa Arab yang bagus. Tentu saja kalau hanya berpatokan dengan ini, maka hanya ulama-ulama yang berasal dari Arab saja yang dianggap paling otoritatif dalam berijtihad dalam masalah fiqh. Memang tanpa kemampuan bahasa Arab akan sulit untuk memahami teks-teks nas, akan tetapi kemampuan bahasa Arab yang dimaksud bukan hendak menuntut harus sampai pada tingkat kemampuan yang bersifat total. Sangat sulit dicapai oleh ulama yang tidak tinggal dan memiliki kultur Arab. 62 Tentu kemampuan bahasa Arab yang dimaksud memiliki batas standar kemampuan terhadap kaedah-kaedah secara umum. Untuk bisa memahami nas secara proporsional tidak hanya kemampuan bahasa yang dibutuhkan juga kemampuan keilmuan yang lainnya, seperti filsafat, sains, ekonomi, kedokteran, atau ilmu humaniora lainnya. 49 Kajian-kajian seperti hubungan antara umat Islam dan umat Hindu dan Buddha jarang dijumpai dalam karya-karya fiqh. Di Indonesia yang merupakan tuan rumah agama-agama di atas sangat diperlukan. Bahkan, sebelum Islam hadir di Indonesia, Hindu dan Buddha sudah berabad-abad lamanya berkembang, tetapi fiqh yang mengatur hubungan agama sangat sedikit. 63 Lain halnya dengan ahli kitab yang sering dipahami sebagai orang-orang Yahudi dan Nasrani banyak sekali pembahasan tentang hal ini. Padahal, umat Islam di Indonesia sangat jarang berhubungan dengan Yahudi tampaknya hal ini menandakan betapa kuatnya pengaruh kultur Arab dalam pembahasan fiqh. Kekeliruan umat Islam mempersepsikan ajaran Islam hanya bersifat parsial bukan kaffah hanya akan menyulitkan umat Islam itu sendiri. Konsep dîn sering diartikan sebagai agama yang terbatas hanya pada tataran teologi. Kalau dîn al-Islâm hanya diartikan agama dalam konteks teologi berarti merendahkan Islam itu sendiri. Padahal Islam adalah satu-satunya yang bisa digandeng dengan institusi modern, seperti Islamic Bank, Islamic Stock Exchange, Islamic Insurance, Islamic Law, Islamic Bond. Keluwesan Islam yang bisa diimplementasikan dengan nilai-nilai institusi modern mengindikasikan bahwa Islam merefleksikan nilai komprehensif dalam ajarannya, tetapi kenyataannya sering dipahami hanya secara parsial. 64 Kajian fiqh tidak hanya berkisar dengan masalah-masalah hukum, akan tetapi berkaitan dengan bidang keilmuan lain secara luas. Bahkan, Imam Abu Hanifa menggunakan istilah Fiqh al-Akbar dalam bukunya yang kebanyakan berisikan tauhid. Hal tersebut menandakan terjadinya reduksi makna fiqh yang hanya berkaitan dengan masalah-masalah hukum. Sayangnya, hal tersebut dibatasi lagi dengan pembahasan yang berkaitan dengan ibadah mahdhah dan sebagian yang berkaitan dengan masalah- masalah humaniora, seperti yang berkaitan dengan perkawinan dan jual beli. 65 Reduksi makna fiqh tersebut sampai sekarang masih dirasakan dampaknya, sehingga pembahasan fiqh menjadi kering disebabkan oleh kurangnya bahan baku dalam berijtihad. 66 Karya fiqh tersebut mengisyaratkan pentingnya melakukan inter-dicipliner dalam membahas suatu persoalan agar memberikan solusi yang lebih mendalam. Sebagai contoh bisa dilihat dalam kasus zakat profesi dan petani yang harus membayar zakat hingga 10 setiap panen, kalau hanya melakukan metode qiyas tidak akan mungkin dapat memenuhi prinsip-prinsip keadilan yang diakui secara universal. Metode qiyas hanya didasarkan pada ilmu lughat tentunya akan mendapatkan hasil yang berbeda bila didekatkan dengan pendekatan ilmu sosial, antopologi, atau etnologi. Kajian fiqh memiliki dua nilai yang melekat di dalamnya, yaitu nilai adoptif dan nilai antisipatif. Dua nilai ini terbukti dapat menjawab persoalan-persoalan fiqh ketika dihadapkan pada suatu situasi yang mengharuskan untuk memberikan jawaban secara hukum. Nilai adoptif fiqh dapat dilihat dalam beberapa topik yang sebelumnya tidak dijumpai pada zaman Nabi, akan tetapi karena kebutuhan terhadap hukum maka harus diputuskan. 67 Bahkan, ada kecenderungan untuk melakukan adopsi terhadap pemahaman Syiah yang selama ini dianggap sebagai suatu yang sangat jarang terjadi. Seperti kondisi jalanan di Jakarta yang sangat macet, tentunya akan menyulitkan dalam melaksanakan shalat bagi beberapa profesi yang mengharuskan melewati jalanan macet seperti di Jakarta. Kebolehan untuk menggabung antara dua shalat terutama zuhur dan ashar akan menjadi jalan keluar bagi mereka yang membutuhkan solusi hukum. Selama ini dalam pemahaman fiqh secara umum boleh menggabungkan dua shalat atau menjamak dengan alasan musafir. 68 Untuk membangun konsep fiqh yang berbasis situasi sekarang, terletak pada kemampuan dalam membuat pemetaan yang benar terhadap kebutuhan fiqh itu sendiri. Masalahnya, kajian fiqh yang diakui secara faktual mengalami stagnasi, tetapi selalu diharapkan kebangkitannya karena umat Islam tidak akan mungkin terlepas dari pengaruh fiqh itu sendiri yang sejak awal berdirinya, founding fathers kajian hukum Islam yang diawali oleh Nabi kemudian dilanjutkan dengan sahabat tidak pernah memisahkan Sunni dan Syiah. [] 50 Catatan Kaki 1 Andrew F. March, “Genealogies of Sovereignity in Islamic Political Theology,” dalam Social Research, Vol 80: 1 Spring, 201 3, hlm. 2 93 -31 5. 2 Jurj î Za idân, T âr ikh a t- Ta mad dun al- Isl amî, Juz I Ka iro , Munsh î a l -H i lâl, t.th, hl m. 43. 3 Pada umu mny a, ula ma hadi ts e nggan t er l ibat da la m per masa lahan yang b isa m eng ura ngi k em ul iaa n sahabat, ter utam a hal -ha l yang m enyang kut p ert enta ngan polit i k di anta ra m er e ka seh ingga me re k a dapat terh indar dar i asum si yang m er endah kan sahab at Nabi. Muh am mad ibn Sâm i l as -Sul m î, Manha j Kit âba t a t- Tâ rikh al- Islâ mî R iyadh: Dâ r ar- Ri sâl at a l- ‘Ilmiyyah, 1987 M1406 H, hlm. 246. Bandingkan: R. Stephe n Hump hr eys, Is lam ic H isto ry London: I.B Ta uris, 1 995, hl m. 69 -7 0. 4 Ibn Hi shâ m, Sî rah an - Nabî Sallahu ‘Alaihi wa Sallam Kairo: Dâr al-Fikr, 1981 M1401 H, hlm. 311. 5 Abû al- ‘Abbâs Muhammad ibn Yazîd, Al-Kâmil li al-Mubarrad Kairo: Dâr al-Fikr, t.th, hlm. 266-267. 6 Mah mud Muh am mad Z iyâ rah, Al- ‘Arab qabla al-Islâm Kairo: Dâr at-Ta’lîf bi al-Mâliyyah, 1968, hlm. 629. 7 Ibn al -Asî r, Al -Kâ mil fî a t- Tâ ri kh, Jil id I I B ei rut: Dâr Sa dir wa Dâr B e irut, 1 965 M1385 H, hlm. 3 85. 8 Ibn A‘sam, Al-Futûh, Jilid I, hlm. 524. 9 Ahmad Kaz e mi Moussav i, The Struggle for Authority in Nineteenth Century Shi‘ite Community: The Emergence of Institution of Marja‘i -Taqlîd Montreal: Institute of Islamic Studies McGill University, 1991, hlm. 7 9 -82. 1 0 Hawt ing. G.R., The Fi rst Dyn ast y of Isla m; the Um ayya d Cal ipha te AD 661 -750, 2 n d ed. Routl edge: Libra r y Congress C lass if i cat ion: DS38. 1 1 Robert A Ca mpbe l l, Le ade rs ihp Su cess ion in Ea rly Is l am: E xplo rin g the Na tu re an d Ro le o f His tor ic a l Pr ece den ts Sydn ey: Cape B r eton Un iv ers ity, 200 8. 1 2 Mua w iyah m engang kat put ranya Y azid s ebaga i pengg antin ya me nanda kan be rak hi r nya s ist em k hi lafa h di dala m Is la m dan be rubah men jad i si ste m mon ar ki a bsolu t. Lihat Ibn A‘sam, Al-Futûh Beirut: Dâr al- Kutub a l- ‘Ilmiyyah, 1986 M1406 H, hlm. 353. 1 3 Mahafzah Husain Ali,”The Development of the Job of the Secretaries of State and Their Role in Early Period of Islam,” dalam European Scientific Journal, 8.8 April 2012. 1 4 Tah ir Mah mood et a l., ed., C rim inal La w in Is lam an d the Musl im Wo rld: A Co mp ar ativ e Pe rs pec tiv e Delh i: Ins tit ute of Ob je cti ve Stud i es, 2005, h lm. 54. 1 5 Mun cu lnya Is la m di teng ah -t engah w i laya h yang pern ah men jad i pusat perad aban Per sia da n Rom aw i me mbantu p er cepa tan Baha sa Arab s ebagai Bahasa Lin gua Fran ca yang bar u. Lihat Step hen H umph re ys, Isla mi c Histo ry: A Fr am ewo r k for In quir y London: I.B T auri s Princ eton Uni ve rs ity Pres s, 1991, hlm. 54. 1 6 Seti ap budaya atau per adaban te ntu m em i li k i rul e of condu ct yang b isa m eng ik at se mua anggot a komu nit asnya untu k be r lak u hidup t ert ib. Sangat naif bila me nudi ng agar se mua unsu r -un sur dar i non - Isl am ada lah bu ru k. Lihat Noe l J. Coulso n, The H isto ry of Is lam i c La w Edinbu rgh: Edi nburgh Un ive rs it y Press, 19 64, hl m. 64. 1 7 Ada beber apa ist i lah yang b er ka itan deng an hadi t s, seper ti sun nah, ats ar, dan khabar. Sunn ah me rupa kan s egala s esua tu yang di sandar kan at as di ri Nabi Muh am mad Saw. da la m sega la p e rbuatan , per kataan, maupun k etet apannya. A kan t etap i, dala m masa lah sunn ah in i ada b ebe rapa pe nde kata n dala m men i la i sunnah itu se ndi ri. B iasan ya, golongan muhaddi tsîn ah li had its me ndef in is i kan sunna h sega la s esua tu yang d isand ar kan k epada Nabi M uham mad mul ai da r i l ahi r h ingga waf atnya. M enu ru t usûliyyîn u lama us ul, yang di ma ksud deng an sunna h adalah k eb iasaan Nabi Muha m mad, bai k it u per kataan nya, pe rbuatan nya, m aupun ket etapa nnya y ang m enyang kut da l a m ma sal ah - masa lah hu ku m syara‘ dimulai ketika Muhammad diangkat sebagai Nabi. Dalam masalah sunnah ini, masih terjad i perb edaan di kal angan u lama t entang adan ya sunnah tashri‘iyyah dan sunnah non-tashrî‘iyyah. Istilah in i muncu l dis ebab kan o l eh adan ya s unnah - sunnah te rtent u ya ng d ipandang sebaga i p erbu atan Nab i yang m engandung s is i ke manus iaa n yang bi sa sa lah. Li hat Shî ruw ayh b. Shahrud âr ad -Da yla m î, Fi rda w s al-A kh bâ r, 2 vol s. Be irut: Dâ r al -F ik r, 14181 997, hl m. 244. 1 8 Agak aneh b ila t ida k ada ria k pol iti k yang t imbu l ak ibat penobatan Yaz id sebaga i putra m ahkot a Dinast i Umay yah, ka laupu n ada sudah dir eda m dengan ke kuata n polit ik ya ng dim i l ik iny a. Li hat M uham mad Ab û Zahra, Mal ik; Ha y ât wa Arâ’ah al -Fiqhiyyah Kairo: al-Angelo al-Micriyyah Bookstore,1946. Lihat juga Abdulha li m A l-Jondi, Ma lik ibn An as Ka iro: Dâr a l- Ma þârif, 19 83. 1 9 Hodgson M, “The Role of Islam in World History,” dalam International Journal of Middle East Studies, 121970, hl m. 99 -12 3. 51 2 0 Lang kah po l iti k yang d i lak uk an o leh Mua wi yah t ida k bisa hanya di l ihat d ar i sat u asp ek sa ja, t etap i atmosf er k et egangan yang d ic ipta kan ma sih te rasa sampa i saa t ini. K enn edy Hug, Th e Gr eat A ra b Conque sts; How th e Sp rea d Isla m C h an ged th e Wo rld W e Live in Portland: Da Capo Press, 2007, hlm. 78-89. 2 1 Ma ka ket i ka Mua w iyah b er usaha me mp ero leh l eg iti m asi ba iat an akn ya Yaz id, banya k dar i ka langa n sahabat yang tida k s etu ju d engan lang kah in i ka rena me re ka m en ila i me nya lah i apa ya ng dig ar is ka n oleh Nab i Mu ham mad Sa w. Lihat Abdu l ka ri m Za idan , Nada m al -Q adhâ fî asy - Syari‘ah al-Islâmiyyah Beirut: Mu’assasah ar -Risâlah, 1997, hlm. 13. Lihat juga Salah al-Lidân, Hâl al-Mutaham fî Majlis al-Qa â Riyad h: Mu cam afa Let aba wa an -Na shr, 199 5, hl m. 18. 2 2 Sali h Said Agh a, The Revolution which Toppled the Umayyads; neither Arab or ‘Abbasid Leiden: Brill Acade m ic Pub lis he rs, 2003. 2 3 Hamzah a n - Nashâ rat i, Tâ ri kh as - Sahâ bah w a at - Tabi‘în, Juz 1 t.tp:t.th. 2 4 Kuatn ya bent eng pe rtahan an Roma w i di Kon stant inop el me mbuat imp er iu m in i te tap bert ahan sa mpa i bebe rapa abad ke mud ian. A khi rnya, pada masa Su l tan Sula i man a l -F ati h 12 Me i 1 453 M dapa t men ak lu k kan Kon stant inope l. 2 5 Kha li l Abdul Ka r im, Ne ga ra Madin ah Poli ti k Pena kluk kan Masya ra ka t Suku A rab Jaka rta: LKiS, 2005 , hlm. 4 6 -49. 2 6 Must afa as - Sibâ‘i, As-Sunnah wa Makânatuhâ fî Tashrî‘i al-Islâm Kairo: Dâr al-Islam, 2010, hlm. 388. 2 7 Mazh ab res m i nega ra pada masa D inast i U mayya h adalah Mazhab Ma l i k i di mul ai ket i ka Kh al ifa h Uma r ibn Abdul Azi s me mb er la kuk an k itab te rseb ut sebaga i ki tab undang -unda ng negar a. Banya k fak tor yan g me lata rbe la kang i mengap a ki tab al- Muwaththa’ dijadikan sebagai undang -undang negara. Muhammad A. Al-Ra ml i, N ahay t al- Muhta j ‘alâ Sharh al-Minhâj Kairo: Mustafa al-Bâbi al-Halabi, 1375 A.H. 2 8 Abû Bak r Ibn a l-Arab î, Ahkâ m al - Qur’an, ed. Alî Muhammad al-Bijâwî, 2 n d ed. Kairo: Maktabat ‘Îsâ al- Bâbî a l-Sa lab î, 13871 967, hl m. 580. 2 9 Tida k sed i ki t di anta ra ula ma hadi ts juga m ene mpat kan kit ab al- Muwaththa’ ini juga sebagai kitab hadits yang m ene mpat kan pos is i k e -6 da ri Kutub a s- Sit tah bu kan Sunan I bn Mâj ah . Lihat Ma jd ad -D în Abû as - Sa’âdât al-Mubârak ibn Muhammad ibn al-Al-Atsîr al-Jazarî, Jâmi‘ al-Usûl fî Ahâdîth ar-Rasûl t.tp: Ma ktabat a l-H al wân î, 196 9, hlm. 4 9 -51. 3 0 Walaupu n k emud ian ha ri b ebe rapa ula ma m eng kr it i k ki tab al- Muwaththa’ Imam Malik banyak memuat hadits -had its yang dipanda ng dhaî f. Bahka n, banyak ju ga term uat be rita -be ri ta yang disa mpa ik an buka n hanya hadi ts akan t etap i atsa r ataupu n khaba r. Te r ka dang di dala m k itabnya t ers ebut ada juga ya ng memuat perkataan sahabat maupun tabi‘in. Terlepas dari tuduhan sebagian dari ulama setelah era Ima m Ma li k te rhadap k itab al -Muwa t ta ,’akan tetapi yang perlu digarisbawah i bahwa kebebasan dala m mengg una kan su mbe r daya, bai k itu had its, ats ar, khaba r sahabat maupun tabi‘in ternyata dapat me mbe r ika n solus i te rhadap per soala n -pe rsoa lan di bi dang huku m, bahkan sa mpai de ngan l eve l neg ara . Far id Esac k, Qur’an, Liberation and Plu ralism Oxford: Oneworld, 1997. 3 1 Abd ar-Rah man B adaw i, Madh âhib al -Is lâ miyah , Juz. 1 Be irut: Dâr a l - ‘Ilm wa al-Malâyin, 1971. 3 2 Qayy i m al -Jawz iy ya, Al- Manâ r al -Munîf fî as - S âhîh wa ad- Dha‘îf ed. Abd al-Fattâh Abû Ghudda, 12 t h ed. Be irut: Ma ktab a l- Mambû’ât al-Islâmiyya, 14252004. 3 3 As-Suyû mî, T ad rîb a r- Râ wi Sharh Taq rî b an - Na wâ wî, e d. Abd al-Wahhâb Abd al- La mîf Kai ro: Ma ktaba t at-Tu râth, 142 62005. Kâ tib Ch el eb î, The B alan ce o f T ruth , trans. G. L. Le wis London: Geo rge A ll en Unw in, 195 7, hl m. 148 3 4 Muha m mad Murt a â a l-Zab îd î, Bulgh at al- Ar îb fî Mu sthalah Ât sa r al -Hab îb, ed. Abd a l- Fattâh Ab û Ghudda, 2 n d ed. Al eppo: Ma ktabat a l - Mambû’ât al-Islâmiyya, 14081988. 3 5 Ali Muha m mad As -Sa ll abi, A mi r al- Mu’minin Muawiyah ibn Abi Sufyan ra; Shakhsiy yuhu wa ‘Asruh Kairo: Dar al- Tau zi wa a l- Nasy r al- Is la mi yah, c et I, 142 7 H20 06 M, h lm. 48 6. 3 6 Joseph Scha cht, The O rig ins of Muha mm adan Juri sp rud ence Oxfo rd: Cla rendon P res s, 1959, hl m. 149. 3 7 Ahmad Am in, F aj r al -Is lam i Ka iro: Ma ktabah an -Nahd hah a l- M is ri yyah, c et. x, 196 5, hlm. 21 2 -21 3. 3 8 Mu rtada a l-As ka ri, Di râsah fî a t- Tâ rikh wa al -Had îts, dit er je mah kan ol eh Faton i Had i d engan judu l Sebu ah Ka jian ten tang Se ja rah d an Had its , Band ar La mpung -Ja kart a: YAPI, cet I, 410 H19 89, hl m. 27. 3 9 Li hat Hu sain Ali Mahafzah,”The Development of the Job of the Secretaries of State and Their Role in Early Period of Islam,” hlm. 67-78. 4 0 Muhammad ibn Abi bakar ibn ‘Abd al-Qadir ar-Razi, Mukhtar as-Sihhah, tahqiq Mahmud Khatir Beirut: Ma ktabah Lubnan Nash i run, 1415 H 1995 M, hl m. 73. 4 1 O leg G raba r, The Ea rl y Isl am ic Ar t, 650 -100; Cons tru c ting the Stud y of Isla mi c A r t Portl and: Ashgat e Publi shi ng co., Libra ry Conggr ess C lass if ica tion: 62 60, 2005. 52 4 2 Pene mpata n Ibn Uma r sebaga i i kon sahabat pad a masa Din ast i Umay yah se car a tida k langs ung me m er intah kan k epada masy ara kat M usl i m ket i ka itu untuk l eb ih fo kus pada asp ek ibada h m ahdha h sebaga i bent uk k etaatan t er tingg i. T ida k meng h e ra nkan apab i la dip er hati ka n hadit s -had its ya ng dianggap pa li ng tingg i de ra jatny a adal ah had its -h adits ya ng m enyang kut ibadah kep ada Al lah . Didu kung sosok Ibn Umar adalah sahabat yang sangat wara’ yang menjalani hidup sangat sedehana, kar ena bag inya keh idupan ya ng seb enarn ya adal ah de ngan mend upl i kas i k eh idupan Nab i yang sanga t sede rhana da n c ende rung m is k in. 4 3 Musnad Ah m ad, Juz I II, 12 9, dan 183; dan Juz IV, h lm. 422. 4 4 Kha li l Abdul Kar im, Neg ar a Madinah , Po lit ik P enak luk kan Masy ar aka t Su ku Ar ab Jakar ta: LK iS, 200 5, hlm. 1 23 -13 3. 4 5 Abdul Kadir Civan, Maloney. MT, Mary Frances, “Model of Religious Schism with Aplicationto Islam,” dala m Publ ic Choi ce 14 2.3-4 Mar ch 2010, h lm. 441: 4 60. 4 6 Al-B uthy, Fi qh S ir ah Hi kma h: Jakar ta, 2009, h lm. 35. 4 7 M enge nai lo kas i ibu kota dun ia Is lam ya ng ma suk a ka l ia lah antar a Ma kah atau Mad ina h, kar ena bis a me m ini ma l isi r p erasa an pr i mard iol is me dar i ra sa na siona li sm e mas ing - mas ing u mat I sla m. Kar en a me re ka s udah s epa kat Ma kah dan M adin ah ada lah du a te mpat su ci b agi u mat Is la m d i d uni a. Apabi l a kh ila fah te rbe ntu k ma ka banya k mas lahat yang dapa t diras aka n ol eh uma t Is lam. Lihat John Walb r idge , God and Logi c: Th e C ali ph of R eason Ca mbr idg e: Cam bridg e Un iv ers ity Pr ess, 20 11. 4 8 Mahmoud Dhaouadi, “Macrosociologies -The Arab Political Political Mind’: Its Determinants and Man if estat ions in A rabi c by Moh am mad Ab id a l - Jâbiri,” dalam Washington American Sociological Assoc ia tion , 23, 2 M arc h 1994, h lm. 260. 4 9 Tar m izi Tah er, I sla m A cro ss Bound ar ies Jaka rta: R epub li ka, 20 03, hl m. 81 -82. 5 0 W. Brown, Regul at ing Ave rs ion: Tol er anc e in the A g e of Id ent ity an d E mpi re Pr in ceto n: Prin ce ton Univ er sit y Pr ess, 2008. 5 1 M. Di k eç, Ba dlan ds of the Repub li c: Sp ac e, Poli ti cs, and Urb an Pol ic y Ox ford: B lac k we l l, 2007. 5 2 Abu Zahw, Muha m mad, Al- Hadî ts wa al -Muhadd itsûn Ka iro: Dâr a l-F i kr a l- ‘Arabi,t.th, hlm. 97. 5 3 Adh-Dhahab î, Siyar ‘Alâm an-Nubalâ’ Bashshâr, ed. Awwâd Ma’rûf dan Muhyî Hilâl al-Sirân, vol. 22, 4 t h ed. Beirut: Mu’assasat al -Risâla, 14061986, hlm. 389 -395. Abû al-Khammâb Umar ibn Sasan Ibn Diyya, Adâ’ Mâ Wajab min Bayân Wadh‘ al-Wadhdh‘în fî Rajab, ed. Muhammad Zuhayr al-Shâwîsh and Muha m mad Nâ c ir a l-D în al -Albâ nî B e irut: a l- Ma ktab a l- Isl âm î, 14191 998, hl m. 87. 5 4 Ibn a l-Ja wzî, At -T ahqîq fî Ahâ dît s al -Khil âf , ed., Mas’ad Abd al-Samîd al-Sa’danî and Muhammad Fâris, 2 vols. Be ir ut: Dâr a l - Kutub a l- ’Ilmiyya, 1994, hlm. 464. 5 5 Seja rah me mbu kti kan k eti ka u mat Is la m be rusaha me nj adi kan Is la m sebaga i s ist em ya ng bern i la i tingg i bila meng ala m i asi m ila si de ngan sist e m yang la in m a ka te rj adin ya k ebang kit an perad aban di dala m Isl am. K em undura n berf i ki r te rjad i k et i ka umat Is la m berusa ha untu k me m isah kan di ri d engan si ste m ni lai yang lai n dengan be rbaga i alasan. Sangat di saya ngkan adanya p emah ama n Isl am seb agai s ist e m ni lai yang be ras a l dari su mbe r yang singula r. Aly Ma ns our, Sudûd Cri m es, in: Cherif Bass iouni ed., The Isla mi c C ri mina l Just ic e S yst em London: Oc ean a Publ ic ations, 199 9. 5 6 Charles Kurzman,” Islamic Studies, and the Trajectory of Political Islam,” dalam Contemporary Sociology, 36, 6; Pro Ques t S ocio logy Nove mb er 200 7, hl m. 519. 5 7 Penggunaan metod e qi yas ol eh i mam mazhab bu ka n murn i dar i m er ek a Isla m, akan t etap i jau h sebe lu mnya t e lah digu nak an ol eh Ar istote l es. Si kap menut up dir i sep er ti in i bukan nya m emb aw a ke ma juan b ahk an leb ih ban ya k m adhara t. M uham mad b. Muha m mad Ibn a l -Sâ jj, Al- Mad khal, 4 vols . Be irut: Dâr a l- F ik r, 1990, h lm. 250. Adh -Dhahab î, Ta d hkîr at a l- Huffâ“, ed. Zakariyyâ’ Umayrât, 4 vols. in 2 B ei rut: Dâr a l- Kutub a l- Il m iyya, 14 19199 8, hl m. 1:15 -16. 5 8 Fatw a m erup aka n sa lah sa tu produ k ij tih ad yang me n yesua i kan d engan kond is i ma syar aka t s ehi ngga huku m Is lam tet ap bi sa up da te. Kath l ee n M. Moor e, “Islamic Legal Interpretation: Muftis and Their Fatwas,” dalam Contemporary Sociology, 27, 2, ProQuest Sociology March 1998, hlm. 199. 5 9 Subhi Ma hmas san i, Falsa fa t al- Tashrî‘ fî al-Islâm: The Philosophy of Jurisprudence in Islam, Eng. Trans. Farhat I. Ziadeh, E.J. Lieden: Brill, 1961. Bandingkan: ‘Abd ar -Rahman al-Sabuni, Al-Madkhal al-Fiqhi wa Tâ rikh a l- Tashrî‘ al-Islâmi Kairo: Maktabah Wahbah, 1402 H1982 M. 6 0 Pada masa awa l Is la m, zakat digu nak an sebaga i ala t untuk m end ist rib u si kan ke kaya an k epada piha k - piha k yang l emah s eca ra e konom i se la in sebaga i in strum en untu k m eng is i pundi -pu ndi k eua nga n negar a. Zaka t dib eban kan kepada u mat Is lam, pa ja k bagi non - Mus l im yang h idup dala m p em er inta ha n Isl am. T etap i, se ka rang i ni ke ran cuan t er jad i dis ebab k an adanya beba n ganda pada uma t Is la m, se lai n harus me mbaya r za kat s ebaga i b entu k kepa tuhan kepad a aga ma j uga m e mbaya r paj ak sebaga i ke wa j iban kepad a neg ara. Beban ganda u mat Is lam in i diseb abka n ol eh b el um j el asnya inst ru men yan g 53 diguna kan un tu k m emp ra kti k kan ag ar t ida k te r jadi do uble bu rde n . He rbe rt B erg, M ethod and Theo ry i n th e S tudy o f Is la mic O rig ins Le iden: B r il l Acad e mi c Pu blis he rs, 2003. 6 1 Sebast ian Gunt he r, Ide as, Im ages, and Me thods o f Pot r ayal; Ins ights in to C lass ica l A rabi c L i te ra tu re an d Isla m Le iden: B r il l Acad e mi c Publ ish er s, 2005. 6 2 Adanya ket ida kp er cayaan di r i di kal angan ula ma non -Arab untuk be r ijt ihad se hi ngga persoa lan fiq h kura ng be r ke mbang s ebaga i mana me sti nya. Li hat sa ja kar ya - kar ya u la ma N usanta ra wa laupun m em i li k i ke ma mpuan ana lis is yang tingg i t e rhadap s uatu masa lah t etap sa ja keba nya kan mas ih b er sif at ki tab - ki tab syarah kary a - kary a ula ma T imu r T engah. Ibn Tay mi yya, Ahâd its al -Qus sas, ed. Muha m mad Lu mf î al-babbâgh B e iru t: al- Ma ktab a l- Is lâm î, 140 81988, h l m. 91. 6 3 Seharu snya d i Indon esi a dala m kont e ks m en ja lin hub ungan dengan non -M usl i m yang banya k diba ha s ters ebut ada lah hubungan d engan u mat Hind u dan Bu dha. Te r leb ih lagi w i layah Indon esi a be rtet angg a dengan nega ra -n ega ra yang mayor itas be raga ma Hind u dan Buddha. Farid Esac k, Qur’an; Liberation and Plur alis m O xford: One wor ld, 199 7. 6 4 Azyuma rdi Az ra, Histo rio g raf i Isl am Kon te mpo re r; Wacan a, Ak tuali tas, d an Ak to r Se ja rah Jaka rta : Gra med ia, 200 2. 6 5 Dani el W. Bro wn, Re thin king Tr adi tion in Mod ern I sla mic Thought Camb ridg e: Camb ridg e Un iv ers it y Press, 19 96. 6 6 Muha m mad Abdu l Azi m az - Zarq ani y, Sha rh a z - Zarqani ‘ala Muwaththa’ al Malik Beirut: Dar al Fikr, t.th, cet. ke -1. Ahmad Hasa n, The E ar ly Deve lop men t of Isla mi c Yu risp rud enc e Indi a: Adam Publ ish e r Distr ibuto rs, 1994, ed is i 1. 6 7 Rif’at Fauziy ‘Abdul Muthalib, Tauthîq as-Sunnah fî Qarn ats-Tsâniy al-Hijriy: Usûluhu wa Ittijâha Kairo: Ma ktabah a l K har i ji y, 1981, c et.k e -1, h l m. 13-25. 6 8 Bagi Sy iah bol ehnya m enggabu ngka n zuhur dan asha r, maghr ib dan isya bi sa di lak uka n tanpa haru s adanya ill at s edang musaf ir. B ah kan, tanpa adany a i llat pu n bisa me nggabung kan dua sha lat ya ng sebaga ima na dis ebut di atas. Masa lahn ya se la ma in i adanya k eengg anan untu k m engadops i pem aha ma n fiqh da ri Sy iah b eg itu kuat d engan a lasan yang k urang logis, padah al b isa me mb er ik an sol usi t e rhada p persoa la n f iqh ya ng dihad api masya ra kat. Liha t M ul lâ Alî a l - Qâri’, Al-Masnû‘ fî Ma‘rifat al-Ahâdits al- Mawdû,‘ ed. Abd al-Fattâh Abû Ghudda, 6 t h ed. Be i ru t: Dâr a l- Bashâ’ir al-Islâmiyya, 14262005, hlm. 172. Lihat juga Ahmad al -Ghu mâ rî, Al- Mudâwî li ‘Ilal al Jâmi‘ as-Sâghîr wa Sharh al -Munâwî Kairo: Dâr al- Kutub, 199 6, hl m. 1:214 -2 15. 54 BAB IV QUO VADIS TERMINOLOGI AL-KUTUB AS-SITTAH A. Teks Nas, Refleksi Nilai Profan atau Sakral Memang diakui, Islam berkaitan dengan Arab, baik itu bahasa maupun budayanya. Akan tetapi, mengindentikkan Islam dengan Arab adalah kesalahan karena sama saja meminggirkan Islam sebagai ajaran universal. Pemahaman dan pengamalan Islam hanya diukur dari penampilan seperti layaknya bagian dari komunitas Arab yang mengesankan tingginya dimensi spiritual mereka. 1 Simplifikasi Islam terhadap budaya Arab telah membuat Islam terhambat ke seluruh masyarakat global. 2 Hal ini masih ditambah dengan kaburnya benang merah antara ajaran Islam dan budaya atau yang profan dan yang sakral. Pemetaan terhadap kluster-kluster yang terdapat dalam ajaran Islam tersebut akan memudahkan untuk mengembangkan ijtihad yang sesuai dengan kebutuhan umat Islam dan masyarakat secara umum. Konsep maslahat yang dikembangkan sekarang ini masih sangat mentah karena hanya berbicara pada aspek ideal. Hal itu karena konsep maslahat masih berdasarkan spirit yang tidak terencana dalam melihat realitas. 3 Parahnya, masih ada kecenderungan kuat soal supremasi Arab sebagai pihak yang otoritatif dalam memahami syariat Islam. 4 Bagi umat Islam, orisinalitas teks al- Qur’an maupun hadits secara sains lebih diakui validitasnya dibandingkan dengan teks lain di luar Islam. Akan tetapi, sering kali klaim ini menjadi justifikasi bagi supremasi pemegang otoritas dalam menafsirkan Islam. 5 Bagi umat di luar Arab, seperti Indonesia, tentu miris melihat budaya kekerasan yang ditampilkan media-media yang membudaya di Timur Tengah sebagai pusat Islam. 6 Hal itu menimbulkan tampilan Islam cenderung keras sehingga resistensi budaya luar terhadap Islam menguat. Tidak dapat dipungkiri bahwa citra Islam yang identik dengan kekerasan digerakkan oleh pihak-pihak tertentu. Namun, terdapat semacam justifikasi ketika realitas kekerasan terjadi di pusat penyebaran awal Islam tersebut. 7 Kajian fiqh yang terkadang bersifat lokal tidak akan mungkin bisa berkembang bila masih menganggap supremasi Arab sebagai otoritas tertinggi dalam penafsir ajaran Islam. 8 Supremasi Arab sering kali dirasakan dalam tataran justifikasi penafsiran terhadap teks, lihat saja kajian fiqh yang terkadang sangat Arab oriented, seperti yang berkaitan dengan bersuci dianggap sebagai kajian fiqh yang bersifat general. 9 Di lain pihak, masalah yang menyangkut tentang suksesi maupun pertanggungjawaban terhadap penggunaan kekayaan negara yang diasumsikan sebagai permasalahan krusial terasa diabaikan. Jumlah umat Islam yang dewasa ini yang menembus angka milyaran mayoritas tinggal di luar daerah Timur Tengah secara faktual harus berhadapan dengan sistem kehidupan yang selalu dikontrol oleh paham sekuler. 10 Sikap kompromi yang dilakukan terhadap nilai-nilai sekuler yang berlaku hampir di setiap Negara harusnya dapat dijadikan salah satu sumber fiqh sekarang ini. 11 Penerimaan umat Islam terhadap sistem sekuler yang berlaku di banyak negara bisa menjadi korpus fiqh yang berharga bila diejawantahkan dalam bentuk tertulis. 12 Penafsiran terhadap teks nas akan lebih adaptif terhadap realita sosial yang terjadi di masyarakat Muslim. 13 Kajian fiqh kontemporer sebenarnya tidak harus menunggu terbentuk dewan fatwa di suatu daerah maupun negara, karena setiap Muslim di dunia ini harus bernegosiasi dengan kenyataan yang mereka hadapi setiap hari. Sekarang yang dibutuhkan bagaimana sikap kompromi tersebut mendapat justifikasi dari nas sehingga memberikan jaminan legal dalam mempraktikkannya. 14 Realitas sosial yang dihadapi umat Islam di dunia sering sekali berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, streotype yang sering dikaitkan dalam masalah-masalah tertentu di dalam fiqh akan lebih fair dalam menilainya. Adanya marjinalisasi terhadap peran perempuan di dalam fiqh klasik sering sekali dianggap sebagai permasalahan umum di dalam fiqh, padahal lebih cenderung sebagai masalah lokal 55 bangsa Arab. 15 Bagi negara-negara di luar Arab, seperti Indonesia, peran untuk mencari nafkah tidak mem- batasi porsi yang lebih besar antara suami dan istri. Paradigma pemahaman hukum bahwa seorang perempuan harus ditemani oleh muhrimnya bila berpergian jauh tidak berlaku bagi TKW Indonesia di luar negeri yang jutaan jumlahnya. Di sini juga tampak sikap ambivalen pemerintah negara-negara mayoritas Muslim, bahkan yang mengklaim sebagai negara Islam, yang mendorong penerimaan TKW ke negara mereka. 16 Di Indonesia sendiri, dalam rentang waktu yang lama sampai saat ini, kecuali di Aceh, sejak ditandatangani perjanjian Helsinski, perempuan yang berada di jajaran kepolisisan maupun TNI dilarang mengenakan jilbab ketika bertugas. 17 Belum pernah MUI mengajukan keberatan terhadap peraturan itu, bahkan tidak dilakukan class action di pengadilan terhadap peraturan tersebut. Tampaknya bagi masyarakat Musim Indonesia aparat keamanan perempuan lebih memiliki kewibawaan yang mendekati nilai-nilai maskulin bila tidak mengenakan jilbab. Hal tersebut berbeda dengan negara mayoritas Muslim lainnya di belahan bumi yang lain yang cenderung membolehkan atau mewajibkan pengenaan jilbab bagi perempuan yang bertugas sebagai aparat keamanan. 18 Fiqh klasik hampir tidak pernah membicarakan pola hubungan kerja antara laki-laki dan perempuan, yang merupakan gambaran marjinalisasi perempuan karena dianggap tidak memiliki akses ekonomi dalam masyarakat Arab umumnya. 19 Hal tersebut sangat kontras dengan kondisi kekinian yang mustahil bila membatasi hubungan kerja antara laki-laki dan perempuan. 20 Tidak dapat dipungkiri banyak laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim bekerja di ruangan tertutup, sementara nas jelas-jelas melarangnya. Di negara-negara Muslim konservatif, negara masih membatasi perempuan pada pekerjaan-pekerjaan tertentu. 21 Sementara itu, batasan tersebut tidak mungkin diterapkan di negara-negara lain dengan persamaan hak di depan hukum maupun keadilan bagi semua. Agaknya aneh bila ada negara yang membuat peraturan yang cenderung melakukan opressi terhadap perempuan dengan alasan nas, padahal Khadijah, istri Nabi, adalah seorang pengusaha besar pada masanya yang selalu harus berhubungan kerja dengan banyak laki-laki. Secara tidak langsung sebenarnya Islam tidak membatasi peran sosial perempuan. 22 Agaknya kajian fiqh dalam memahami pola hubungan antara laki-laki dan perempuan akan lebih maju jika merujuk pada negara-negara plural seperti Indonesia sehingga akan memperkaya khazanah hukum. 23 Kaum Muslim melihat pentingnya legalitas dalam melakukan sesuatu sehingga sikap kompromi umat Islam akan lebih bermakna jika mendapatkan legalitas dari pihak yang diakui otoritasnya. 24 Seharusnya sudah saatnya menjadikan daerah-daerah di luar Timur Tengah sebagai bagian penting dalam melahirkan produk-produk fiqh. Permasalahan fiqh yang terjadi lebih kaya karena harus berhadapan dengan lingkungan yang tidak ideal sehingga negosiasi terhadap lingkungan tersebut akan melahirkan produk fiqh yang cocok dengan daerah tersebut. 25 Di sini kajian fiqh diharapkan sebagai wasit bagi umat Islam dalam menentukan rule of conduct sehingga permainan tetap menarik, tetapi harus dilakukan sesuai aturan yang berlaku. 26 Selama ini, dalam konteks wilayah kajian fiqh klasik, belum selesai dalam memetakan rumusan teritori pemerintahan Islam. 27 Konsep fiqh tentang ini hanya memahami pada tataran ideal, yaitu umat Islam diasumsikan sebagai umat yang satu dalam suatu kekhalifahan tunggal. 28 Namun, kenyataannya konsep ideal tersebut hanya bertahan pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. 29 Setelah itu, pemerintahan umat Islam terdiri dari beberapa Negara, yang tidak jarang terjadi peperangan antara satu negara dengan negara lainnya dalam rangka perluasan wilayah. Sering sekali suksesi di dalam sejarah pemerintahan Islam berlangsung dengan jalan pertumpahan darah. Hal tersebut mengindikasikan belum mapan konsep fiqh siyâsah dalam perjalanan sejarah. 30 Sikap apatis yang terjadi di kalangan ulama fiqh memberikan gambaran bahwa persoalan fiqh siyâsah adalah perkara yang sensitif yang cenderung mendapatkan resistensi dari pihak penguasa. Kajian fiqh tentang siyâsa masih kurang 56 berkembang kalau tidak ingin mengatakan bersifat stagnan. Hal tersebut disebabkan oleh tidak mencerminkan prinsip utama ajaran Islam yang memberi kesempatan bagi siapa pun yang terbaik asalkan dilakukan atas dasar musyawarah. Kajian fiqh tentang ini sudah terpasung selama berabad-abad sehingga dampaknya masih dirasakan hingga saat ini. Konsep yang dibangun masih dalam kerangka normatif secara general belum masuk ke dalam substansi di dalam kajian fiqh. Pengaruh feodalisme keagamaan di dalam masyarakat Muslim hingga kini masih sangat terasa, dalam level global misalnya negara Saudi Arabia merasa yang paling berhak untuk mengatasnamakan umat Islam disebabkan oleh dua tempat suci berada di kota Makah dan Madinah. 31 Ketika mereka menghilangkan situs- situs bersejarah di dalam sejarah Islam tanpa melakukan kompromi dengan negara-negara Muslim lainnya merasa tidak bersalah. 32 Dalam tataran local, seperti di Jakarta misalnya, adanya perlakuan khusus terhadap mereka yang bergelar habib yang mengklaim memiliki nasab sampai kepada Nabi. Gelar habib bisa menjadikan seseorang mendapatkan status sosial yang khusus di hati banyak umat Islam. Padahal, jelas Islam tidak pernah mengajarkan kemuliaan seseorang atas dasar keturunan, tetapi didasarkan atas dasar prestasi dalam berhubungan dengan Allah dan manusia. 33 Egaliterianisme adalah salah satu masalah yang belum selesai di dalam masyarakat Muslim termasuk dalam kajian fiqh. Lihat saja konsep sekufu yang terdapat dalam fiqh klasik adalah salah satu syarat di dalam pernikahan didasari oleh pemurnian ras Arab yang dianggap sebagai ras yang paling tinggi agar tidak tercampur dengan ras lainnya. 34 Alibi untuk alasan mendapatkan sakinah di dalam perkawinan, fiqh klasik terjebak pada semangat nasabiyah cauvisme yang tinggi dibungkus dengan justifikasi penafsiran terhadap nas. Sebenarnya, masyarakat Arab memiliki permasalahan tersendiri dalam hal nasab sehingga salah satu misi utama Nabi adalah menegakkan konsep egaliterianisme. Itu merupakan hal yang sangat ditentang oleh orang-orang kafir pada masanya yang sebagian besar pembesar Arab. Mereka tidak mau dianggap selevel dengan orang-orang awam terlebih hamba sahaya. Naif bila ada sebagian umat Islam Indonesia meminta fatwa kepada ulama di Timur Tengah, sikap tersebut dipengaruhi claim perception bahwa Islam di Timur Tengah adalah Islam yang paling otoritatif. 35 Masalah dalam egaliterianisme memiliki efek domino yang menyebar hampir ke seluruh kajian keislaman, termasuk kajian hadits. Tidak heran jika hierarki al-Kutub as-Sittah merupakan gambaran psikologi masyarakat feodal dari pihak penguasa yang selalu ingin mempertahankan status quo. egaliterianisme dalam teks hadits akan berpengaruh besar dalam kajian fiqh karena mendapat instrumen justifikasi dalam jumlah yang cukup banyak untuk memutuskan kasus-kasus hukum yang cenderung rumit. 36 Inkonsistensi terhadap hadits menjadi refleksi dari memudarnya penghargaan terhadap sunnah Nabi. Hanya ada satu keyakinan ketika disepakati teks tersebut, yaitu hadits harus diperlakukan seperti teks al- Qur’an yang tidak ada perbedaan kualitas teks. 37 Seyogianya tidak menggunakan terminologi hadits terhadapnya karena akan membuat rancu umat Islam. 38 Pada dasarnya, Islam membawa spirit untuk melakukan asimilasi maupun akulturasi terhadap budaya lokal, sayangnya hal tersebut terhalangi dengan penetrasi budaya Arab yang berusaha melekatkan diri di dalam Islam. Islam yang sangat adaptif terhadap budaya setempat terkadang dianggap momok bagi budaya yang membawa kearifan lokal yang sudah eksis di dalam masyarakat tersebut. Di Iran, sekarang ini ada semangat untuk menggunakan kembali kalender Persia yang dipakai sejak zaman Zoraster ribuan tahun sebelum Islam lahir. 39 Semangat untuk menghidupkan simbol kebanggaan nasional tidak untuk menjadi penyembah api, tetapi ada kesadaran untuk membedakan antara budaya dan Islam itu sendiri. Semangat ini melahirkan lompatan yang luar biasa sehingga menempatkan Iran sebagai negara yang paling maju dan mandiri di bidang teknologi di Timur Tengah. Mereka juga menggunakan kearifan lokal untuk menerjemahkan Islam ke dalam masyarakat mereka tanpa harus meniru sepenuhnya sistem pemerintahan di negara-negara lainnya di Timur Tengah. 57 Islam di Indonesia walaupun jauh dari Timur Tengah yang merupakan awal penyebaran Islam tetap bertahan sampai saat ini dipastikan karena mengadakan asimilasi dengan budaya lokal yang selama ribuan tahun telah eksis paham Animisme, Hindu, dan Buddha. 40 Islam di Spanyol walaupun telah eksis selama delapan abad, tetapi bisa hilang dari sana karena budaya Kristen yang telah lama eksis tidak diperlakukan sebagai tuan rumah yang harus dihormati. 41 Yang terjadi pada masa pemerintahan Islam di Andalusia Spanyol adalah pemindahan budaya Arab ke dalam masyarakat Spanyol. 42 Sementara itu, reaksi masyarakat Kristen Spanyol yang dimotori oleh Ratu Isabella dan Raja Ferdinand sangat tegas terhadap umat Islam, keluar dari negeri mereka atau kembali ke ajaran Kristen. 43 Islam yang telah berhasil menyebar di wilayah yang sangat luas di muka bumi ini pada awalnya diterima oleh masyarakat lokal karena dianggap sebagai ajaran pembebas dari belenggu penindasan yang merenggut harga diri kemanusiaan. Merebaknya perdagangan budak serta kebanggaan yang berlebih terhadap suatu golongan merupakan hal utama yang dikikis oleh Nabi Muhammad Saw. Penerimaan mereka terhadap nilai-nilai tauhid bukan hal yang berat bagi kafir Quraisy karena nilai-nilai tauhid sudah mereka ketahui dari ajaran Nabi Ibrahim dengan simbol Ka’bah. Namun, hal yang tersulit dalam penerimaan Islam bagi mereka untuk mengakui bahwa seluruh umat manusia sama di mata Allah sehingga paham baru ini akan menghancurkan sendi-sendi struktur masyarakat mereka. 44 Bangunan masyarakat kapitalis Arab Quraisy merasa terancam bila prinsip egaliter yang dibawa Islam diterapkan di dalam masyarakat mereka. 45 Konsekuensinya sirnanya sikap semena-mena yang disebabkan oleh penguasaan terhadap harta yang berlebih, padahal masyarakat lainnya mengalami kekurangan. Bagi Arab Quraisy, penolakan terhadap nilai-nilai tauhid yang dibawa Nabi adalah suatu keniscayaan. Resistensi terhadap Islam ataupun hukum Islam bukan hanya terjadi di negara-negara di luar Islam bahkan juga terjadi di negara-negara mayoritas Muslim. 46 Di Mesir misalnya, penolakan yang berakhir dengan penggulingan terhadap Presiden Morsi yang merupakan presiden pertama terpilih secara demokratis dilakukan karena adanya kekhawatiran terhadap dominasi paham Ikhwanul Muslimin di sana. Adanya ketakutan yang dirasakan masyarakat Mesir umumnya terhadap ajaran Islam yang ketat akan diberlakukan di Mesir. Umat Islam di dunia ini telah menyaksikan bagaimana label Islam digunakan untuk melakukan opressi terhadap orang-orang yang tidak sepaham seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Taliban di Afganistan misalnya yang sangat kaku menerapkan ajaran Islam. 47 Dalam konteks Indonesia, tampaknya umat Islam sendiri banyak menentang ketika simbol-simbol hukum Islam mulai masuk ke dalam ranah publik. 48 Lihat saja pemberlakuan undang-undang pornografi dan porno aksi ketika masih dalam RUU Rancangan Undang-Undang saja menimbulkan polemik dan demontrasi. Ketika disahkan ternyata undang-undang tersebut tidak dipatuhi oleh masyarakat, hal itu muncul karena hukum Islam dikhawatirkan akan dijadikan alat untuk menekan pihak lain atas nama agama. 49 Semboyan Islam sebagai rahmat bagi semua menjadi kabur ketika ormas tertentu menggunakan kekerasan dengan dalih memberantas kejahatan. Nilai pembebas yang seyogianya melekat di dalam hukum Islam berubah menjadi hal yang menakutkan bagi banyak orang. 50 Hal itu karena Islam yang diterima masyarakat sebagai bentuk operessi terhadap nilai-nilai yang mereka miliki. Sikap resistansi ini muncul adalah hal yang wajar sebagai manusia yang merasa terancam dari penetrasi dari luar. Akan tetapi, hal tersebut akan lain responnya bila menjadi budaya lokal sebagal brand ambassador dari ajaran Islam itu sendiri. Penolakan beberapa negara Eropa terhadap full hijab sehingga semacam aib bagi Barat yang selama ini sangat mengagungkan prinsip kebebasan dengan konsep multi-kulturalnya. 51 Apabila dipahami alasan di balik larangan tersebut maka dapat dimengerti karena di Barat sistem masyarakat yang open society. Tampilan perempuan Muslim yang full hijab mengesankan ketertutupan mereka terhadap lingkungan sehingga mengganggu proses interaksi di tengah masyarakat. 52 58 Umat Islam sepakat terhadap nilai-nilai tauhid dan kemanusiaan yang terdapat di dalam nas al- Qur’an dan hadits. Anehnya, ketika nilai-nilai tersebut diimplementasikan ke dalam hukum fiqh terdapat resistensi dalam mempraktikkannya. Seakan adanya kesenjangan yang cukup dalam antara Islam yang diklaim sebagai rahmatan lil alamin ketika diwujudkan dalam bentuk fiqh. Fiqh yang mengatur sampai ke wilayah privat sering sekali mendapat perlawanan dari internal umat Islam terlebih bila terdapat justikasi nas. Sering sekali fiqh klasik tidak memberikan ruang otonom sebagai individu dalam merespon hukum, Kasus-kasus yang di luar mainstream dianggap sebagai penyimpangan terhadap hukum. Supremasi Arab sangat kuat dalam mempengaruhi hukum Islam, sehingga fatwa-fatwa hukum yang lahir di luar kekuasaan bangsa Arab kurang mendapatkan legitimasi hukum yang kuat. 53 Pada abad pertengahan, ada tiga kerajaan besar Islam yang eksis menjadi negara super power, yaitu Turki Utsmani, Safawi, Mughal. 54 Besarnya kekuasaan politik yang mereka kuasai tidak sebanding dengan produk hukum yang mereka hasilkan. 55 Adanya resistensi orang-orang Arab yang merasa tidak pantas berada dalam kekua- saan Muslim lainnya sehingga menimbulkan stagnasi dalam melahirkan produk hukum fiqh. Hal itu disebabkan oleh masih kuatnya legitimasi bangsa Arab terhadap produk fiqh yang dihasilkan yang tertanam di sanubari umat Islam. Pertarungan entitas Arab dan di luar Arab selalu terjadi dalam masyarakat Muslim hal tersebut melemahkan struktur entitas Muslim secara keseluruhan. Sampai saat ini pertarungan entitas tersebut belum selesai sehingga agak sulit mengharapkan kebangkitan fiqh bila masih tidak mengakui otonomi hukum di dalam masyarakat Muslim secara general. Bahkan, ketika pasca kekuasaan al-Mutawakkil masa Abbasiah seiring dengan munculnya kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam lainnya silih berganti tetap mempertahankan simbol kekhalifahan Abbasiah. Kekhalifahan ini dianggap sebagai simbol legitimasi bagi eksistensi kerajaan lainnya, hal tersebut didasari kekhalifahan Abbasiah perwujudan kekuasaan murni bangsa Arab. Kerajaan besar seperti Turki Utsmani demi memperluas wilayah kekuasaannya mulai dari wilayah tradisional tempat lahirnya Islam di Timur Tengah sampai Eropa me nggunakan simbol “Utsman” agar mendapat legitimasi dari orang-orang Arab. Bagi orang-orang Arab, kata-kata Utsmani memberikan dampak psikologi lebih diterima dibandingkan berada dalam kekuasaan Safawi yang identik dengan Persia. Padahal, pusat Turki Utsmani lebih jauh dibandingkan dengan Kerajaan Safawi yang lebih dekat sehingga asumsi di atas dianggap benar. Apalagi Kerajaan Mughal yang kurang merepresentasikan simbol Arab di dalamnya, sementara itu pengalaman bangsa Mughal dalam berinteraksi dengan pusat budaya Hindu sangat berharga dijadikan sebagai bahan kajian fiqh yang cukup berharga. 56 Pada masa Sultan Ali Akbar, merupakan masa yang termasyhur dan paling jaya pada masa pemerintahannya, karena dia mampu meyakinkan orang-orang Hindu diperlakukan sebagai tuan rumah yang dihormati di negerinya sendiri. Langkah sinkretisme antara Islam dan Hindu yang bernama dîn ilâhi merupakan produk fiqh pada masa Ali Akbar zaman Mughal yang patut diberi apresiasi yang tinggi. 57 Langkah tersebut bisa memberi spirit positif bagi terciptanya harmonisasi antara Islam sebagai ajaran pendatang dengan kearifan lokal yang sudah eksis. Sangat disayangkan semangat fanatisme semu yang mengatasnamakan kemurnian Islam sering digunakan tameng untuk membungkam langkah-langkah fiqh lokal yang sangat berharga ini. Padahal, sejarah telah membuktikan pada zaman Ali Akbar inilah puncak peradaban dihasilkan pada masa Kerajaan Mughal, ketika seluruh elemen masyarakat tanpa membedakan etnis dan agama berkomitmen dalam memberikan kemajuan kepada negeri tercinta. Pengalaman interaksi Islam dengan budaya lokal yang pernah terjadi di masa lampau hendaknya dapat dijadikan statuta hukum yang dapat digunakan dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan hubungan antara Islam dengan masyarakat di luar Islam. Sikap tak ramah banyak negara di luar Islam terhadap umat Islam mengindikasikan adanya kesan yang yang keliru terhadap Islam yang ditampilkan oleh golongan tertentu. Kenyataannya the silent majority di kalangan umat Islam sangat moderat terhadap 59 pihak di luar Islam. 58 Gambaran buruk tentang patung Buddha Bamiyan tertua di dunia merupakan cagar alam yang diledakkan dan disiarkan oleh pemerintah Taliban menambah buruknya pemahaman pihak luar terhadap ajaran Islam. Pengalaman buruk di dalam masyarakat Islam terjadi ketika ada sekelompok masyarakat yang membawa label untuk memurnikan ajaran Islam dengan memberangus kearifan lokal. Sikap puritanisme ini sudah sejak lama ada dan sering disamarkan dengan misi nasabiyah arabisasi yang sampai saat ini cukup kuat dirasakan, ter masuk di Indonesia. Biasanya jurus bid‘ah adalah senjata mereka yang sangat ampuh untuk menghancurkan buah interaksi Islam dengan kearifan lokal. Kelompok puritanisme ini sering melangkah terlalu jauh sehingga memandulkan kreasi umat Islam dalam melahirkan fiqh-fiqh lokal yang bisa memberikan solusi pada masyarakatnya. Semangat puritanisme ini biasanya miskin terhadap karya-karya hukum yang ada karena mereka kurang mau berkompromi terhadap nilai-nilai lokal yang ada. 59 Sangat disayangkan semangat puritanisme tersebut tidak memberi solusi terhadap persoalan hukum yang dibutuhkan masyarakat terlebih lagi ada kesan yang tersirat gerakan itu menginginkan agar kembali pada perilaku pada era Nabi Muhammmad Saw. dan sahabat. Gerakan puritanisme ini tampaknya akan menghadapi resistensi masyarakat lokal yang tidak sepaham dengan mereka. 60 Di Inggris, tahun 2012 M, seorang pemimpin agama Kristen terkemuka William Cadburry mengusulkan kepada pemerintah untuk memberi ruang pemberlakuan syariat Islam bagi umat Islam di negaranya. Usulan ini dinilai sebagai solusi untuk meredam munculnya aliran Islam garis keras di negaranya juga sebagai bentuk toleransi yang diberikan kepada umat Islam. Walaupun usulan ini memicu kontroversi karena tidak pernah terjadi sebelumnya, seorang pemimpin agama Kristen meminta pemerintah untuk memberlakukan syariat Islam bagi pemeluk agama Islam. Mulai bertambahnya jumlah umat Islam di Eropa membuat pemerintah di sana mulai memberi perhatian terhadap Islam itu sendiri. Menariknya, di Jerman, mulai tahun 2011, sudah didirikan kampus yang mempelajari Islam secara komprehensif layaknya UIN Universitas Islam Negeri di Indonesia. 61 Kampus yang terletak di Osnaburck tersebut merupakan bagian dari universitas Katolik Osnaburck dekat perbatasan Belanda. Kampus ini didanai dari pemerintah Jerman untuk menghasilkan akademisi Muslim yang cocok dengan kebutuhan masyarakat Muslim Jerman. Seiring meningkatnya jumlah umat Islam secara signifikan membutuhkan beberapa posisi yang harus melayani kebutuhan umat Islam di Jerman, seperti guru-guru agama Islam di sekolah-sekolah yang terdapat pelajar Muslim, Imam atau Khatib di Masjid, atau pemimpin agama yang menjadi penghubung antara pemerintah Jerman dengan umat Islam. Pemerintah Jerman tidak mau mengambil risiko dengan mendatangkan pengajar agama Islam dari luar Jerman karena dikhawatirkan kurang memahami corak masyarakat Jerman. Di bandara Frankfurt Jerman, seseorang yang hendak sholat akan dengan mudah mendapati musholla Mose yang berdampingan dengan tempat peribadatan agama lainnya, seperti sinagoge Yahudi, dan gereja kecil. Agaknya hal tersebut dapat menjadi inspirasi bagi negara Islam lainnya untuk memberikan kesempatan yang sama dalam beribadah, hal tersebut belum pernah terjadi di negara Muslim manapun. Terlebih menyediakan peribadatan bagi orang Yahudi layaknya musholla di bandara-bandara di tanah air. Solusi penyediakan peribadatan yang adil bagi semua pemeluk agama dapat diakui sebagai fiqhnya masyarakat Muslim Jerman. Di sebagian besar umat Islam negara-negara Eropa tampaknya menerapkan hukum fiqh yang berkaitan dengan jilatan anjing hampir mustahil bisa diimplementasikan. Bagi masyarakat Eropa, terutama Jerman yang selalu membawa anjing jika bepergian, terutama dengan bus dan kereta api, tentunya bagi Muslim yang tinggal di sana tidak bisa menghindari kontak dengan jilatan anjing. 62 Hukum tentang jilatan anjing yang sudah sangat jelas di dalam fiqh harus disesuaikan dengan umat Islam yang tinggal di sana. 63 Sejarah fiqh yang dibangun didasari kebutuhan umat Islam semata terhadap hukum Islam ketika pemerintahan Islam sedang berada di puncak zaman keemasan. Dominasi dan peranan umat Islam sangat 60 kuat sehingga produk hukum yang dihasilkan untuk kondisi sebagai pemerintahan sebagai pihak mayoritas. Akan tetapi, dengan kondisi sekarang ini produk-produk fiqh yang ada terkadang tidak bisa menjawab kebutuhan umat Islam dalam hukum fiqh. Fiqh klasik yang dibangun dalam suasana kegemila- ngan umat Islam kurang mengantisipasi kebutuhan hukum, ketika umat Islam dalam posisi marginal, baik secara politik maupun ekonomi. Pemaksaan untuk tetap melaksanakan produk-produk hukum tersebut kepada umat Islam yang sedang mengalami posisi marginal akan menjadi bumerang tersendiri bagi mereka. Kewajiban mengenakan jilbab bagi perempuan Muslimah akan mengalami kendala bagi perempuan Muslim yang ingin berkarier di Perancis karena pemerintahan di sana melarang perempuan Muslim mengenakan jilbab di lembaga-lembaga pemerintah. 64 Bila ukuran kesalehan diukur dari segi kepatuhan mengenakan jilbab bagi perempuan Muslim, maka perempuan Muslim yang bekerja di instansi pemerintahan Perancis tidak ada yang memenuhi kriteria itu. Sering sekali wilayah profan di dalam Islam dipersepsikan sebagai wilayah sakral untuk alasan-alasan tertentu, padahal Islam sangat mengajarkan kondisi umat Islam itu harus disesuaikan dengan beban hukum yang diembannya. Akan tetapi, sikap pemerintah Perancis ini sangat bertentangan dengan semangat kebebasan yang menjadi jargon mereka. Dewasa ini kajian fiqh kurang membumi karena sering sekali mengulang-ulang pembahasan tema- tema fiqh klasik, padahal problem hukum umat Islam zaman sekarang ini lebih kompleks. 65 Agak aneh bila semangat pembahasan tentang hukum Islam masih menghabiskan energi terhadap persoalan-persoalan khilafiyah yang cenderung sekterian yang telah berlangsung lama yang tidak akan mungkin terselesaikan. Padahal, di depan mata banyak persoalan-persoalan hukum yang harus diselesaikan secara cepat. Sudah menjadi pengetahuan umum, banyak umat Islam terutama pihak perempuan yang bekerja menjadi pembantu rumah tangga keluarga non-Muslim, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Fiqh klasik mengklasifikasi orang-orang yang bekerja di wilayah domestik seperti menjadi pembantu rumah tangga adalah budak, terlebih lagi biasanya yang menjadi majikannya adalah Muslim juga. Dewasa ini banyak perempuan Muslim yang bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga yang tentunya meng- urusi berbagai hal termasuk soal makanan ataupun hewan peliharaan. Bagi orang non-Muslim tidak memiliki pantangan dalam soal makanan dan hewan peliharaan, di sisi lain perempuan Muslim yang berkerja sebagai pembantu rumah tangga berkewajiban mengurusi hal-hal tersebut. Hampir mustahil perempuan Muslim yang berkerja di tempat-tempat non-Muslim menghindar dari hal-hal tersebut, apalagi kesulitan dalam melaksanakan sholat, mengenakan jilbab, atau menjaga kehormatan diri. 66 Sampai saat ini belum ada keputusan fiqh yang keluar mengenai hal ini, tampaknya di kalangan ulama kontemporer masih kurang memiliki keberanian intelektual dalam memutuskan perkara-perkara yang tidak ada di dalam kitab fiqh imam-imam mazhab. Kelihatannya ulama nusantara masih menunggu fatwa dari ulama lainnya dalam memutuskan perkara di atas, sementara itu umat Islam di belahan dunia lainnya tidak mengalami persoalan seperti yang dialami di Indonesia TKW bekerja di rumah tangga non-Muslim. Tidak percaya diri dalam memutuskan hukum yang terjadi di daerah sendiri disebabkan oleh adanya persepsi produk hukum Islam Nusantara harus diimpor dari wilayah lain. Sikap inferior dalam memutuskan persoalan-persoalan fiqh yang ada di dalam masyarakat Indonesia khususnya muncul disebabkan oleh belum hilangnya persepsi otoritas dalam Islam. 67 Bahasa Arab sering dianggap sakral sehingga persoalan-persoalan hukum yang muncul sering kali harus dirujuk dengan teks-teks Arab yang sering tidak memenuhi kebutuhan solusi hukum. Nabi sendiri sering menyelesaikan persoalan-persoalan yang dibawa kepadanya dengan memanfaatkan pengetahuan lokal sebelum Islam. 68 Sementara itu, umat Islam di Indonesia seakan mengabaikan pengetahuan lokal yang membentuk kearifan masyarakat, baik yang tertulis maupun tak tertulis digunakan sebagai sumber fiqh lokal. Seakan ajaran-ajaran kebaikan yang tertulis di beberapa serat Nusantara berbahasa Sansekerta peninggalan 61 masyarakat sebelum Islam sesuatu yang haram. Nilai-nilai yang terkandung di dalam kisah-kisah pewayangan sangat baik digunakan sebagai bahan dalam menyelesaikan persoalan hukum. Masalah birokrasi memiliki ciri khas tersendiri yang tidak bisa diberlakukan secara hitam-putih karena harus melihat berbagai elemen. Banyak ajaran nenek moyang bangsa yang bisa digunakan sebagai fiqh siyâsah Indonesia. Semua nilai normatif yang dihasilkan di dalam karya nenek moyang bangsa dapat dijadikan sebagai produk fiqh. 69 Tidak mungkin dapat menyelesaikan kasus-kasus fiqh yang berkembang di masyarakat di suatu wilayah tanpa memberdayakan kearifan lokal yang eksis sejak sebelum kedatangan Islam. Penggunaan serat-serat kuno, baik Sangsekerta, Jawi, kulon, lontar maupun kebiasaan yang baik diambil dari kearifan lokal. Bagi masyarakat Batak Angkola di Sumatera Utara, menikahi sepupu yang semarga dari garis keturunan ayah adalah aib bagi keluarga, sikap tersebut akan mengganggu tatanan masyarakat. Sangat wajar kalau pun pemahaman dalam kitab-kitab fiqh selama ini hal tersebut dihalalkan, akan tetapi bagi masyarakat Batak Angkola yang tinggal di Bonapasogit Kampung halaman diharamkan. Fiqh yang dibentuk untuk menciptakan keteraturan di masyarakat tentu akan menjadikan kekacauan bila hal tersebut diterapkan di masyarakat. 70 Pemaksaan terhadap nilai-nilai fiqh klasik yang diambil dari budaya masyarakat Arab ke dalam masyarakat lokal tanpa memperhatikan kearifan lokal akan membuat kajian fiqh menjadi tidak efektif, bahkan mandul. Inggris adalah negara yang tidak memiliki undang-undang dasar negara, tetapi dapat merumuskan perundang-undangan yang dapat mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat. 71 Pemberdayaan terhadap teks-teks tertulis masa lalu berupa traktat, perjanjian dengan negara lain, piagam sehingga tidak memerlukan undang-undang dasar seperti UUD 45 di Indonesia. Langkah Inggris tersebut berhasil menghasilkan produk hukum yang penting di dalam kehidupan masyarakat dengan spirit pemberdayaan nilai-nilai kearifan lokal mereka. Semangat ini hendaknya juga dimiliki oleh bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim untuk menjadikan kekayaan intelektual yang telah membentuk kearifan lokal bangsa Indonesia untuk menghasilkan produk hukum fiqh. 72 Sebenarnya produk KHI merupakan langkah maju dalam menyikapi kebutuhan akan produk fiqh. Setelah terbentuknya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan seakan tidak ada lagi produk hukum di Indonesia yang mengatur tentang hukum keluarga di Indonesia. Terbentuknya UU no.1 tahun 1974 terkesan bukan untuk mengakomodir aspirasi umat Islam dalam perkawinan, tetapi untuk kepentingan politik terselubung untuk menghambat penyelenggara negara untuk memiliki istri lebih dari satu. 73 Namun, momentum ini bisa digunakan untuk melahirkan produk fiqh yang sesuai dengan nilai-nilai kemasyarakatan Indonesia. Lahirnya KHI tampaknya hanya untuk memenuhi kebutuhan persyaratan administrasi tentang hukum acara dalam berperkara di pengadilan agama, bukan untuk langkah besar yang lebih maju dalam melahirkan produk hukum Islam di Indonesia. Kompilasi hukum Islam di Indonesia hanya memberikan justifikasi legal formal dari salah satu pendapat di dalam kitab-kitab fiqh klasik. Hasil hukum kompilasi ini masih miskin inovasi hukum yang dibutuhkan bagi masyarakat Indonesia. Hal tersebut karena bahan ijtihad hukumnya hanya didasarkan pada kitab-kitab fiqh mazhab. Masa iddah masih juga hanya diberlakukan kepada perempuan tidak untuk laki-laki, padahal di masyarakat Indonesia telah ada konsep masa berkabung selama 40 hari bagi keluarga yang kehilangan pasangannya. 74 Alangkah tidak etis bila seorang istri yang baru seminggu meninggal, suaminya lalu kawin lagi. Walaupun menurut fiqh yang dipahami selama ini dibolehkan, menurut kebiasaan masyarakat Indonesia hal tersebut tidak etis dan menyalahi konsep masa berkabung 40 hari. Konsep hukum Islam membawa misi tahuid dan kemanusiaan yang dibawa oleh Nabi Muhammad bukanlah produk jadi yang bisa langsung diterapkan begitu saja. Keistimewaan hukum Islam didisain sebagai produk hukum yang progressif yang aplikatif. Nilai-nilai progressif di dalam hukum Islam yang 62 seyogianya menjadi katalisator perkembangan hukum Islam menjadi stagnan disebabkan oleh adanya salah persepsi terhadap hukum Islam itu sendiri. Sering sekali kekhawatiran originalitas muncul dalam mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal. Originalitas hukum Islam yang terdapat di dalam nas ditandai dengan adanya pemahaman makna teks nas yang qath‘î dan zanni yang membuat hukum Islam ini dapat berkembang, tetapi tetap tidak kehilangan arahnya. 75 Pemahaman teks yang qath‘î merupakan keniscayaan yang harus ada untuk menjaga originalitas pemahaman teks untuk menjaga penyimpangan dalam berijtihad. Teks al- Qur’an bagi umat Islam adalah suatu yang qath‘î. Sementara itu, dari segi makna walaupun terdapat perbedaan dalam memahaminya tetap saja diyakini ada makna tertentu yang bersifat qath‘î. Begitu juga dalam memahami teks hadits dalam wilayah tertentu diyakini bersifat qath‘î. Masalahnya ketidaksepakatan di kalangan aliran dalam Islam ialah dalam menentukan teks dan maknanya yang bersifat qath‘î. Tampaknya semua makna teks di dalam nas bersifat qath‘î selama mengandung unsur- unsur utama dalam ajaran Islam, yaitu nilai-nilai ketauhidan, penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan nilai-nilai untuk menjaga ketertiban sosial. Nilai tauhid dan kemanusiaan manifestasi ajaran pokok dalam Islam, sementara itu masalah menjaga ketertiban sosial adalah masalah yang bersifat dinamis sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Wilayah fiqh biasanya masuk dalam pembahasan menjaga ketertiban sosial yang di dalamnya banyak terlibat masalah hukum. Sepintas kajian fiqh hanya berkisar pada masalah wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram yang merupakan produk akhir dari pergumulan ijtihad. Selama ini, belum dibedakan produk akhir ijtihad dalam fiqh, baik itu wilayah tauhid, kemanusiaan maupun masalah ketertiban sosial. Ada kerancuan dalam menetapkan hukum karena menyamaratakan wilayah fiqh tanpa mempertimbangkan cluster di dalam fiqh itu sendiri. 76 Hukum wad‘î yang selama ini dikenal kurang mengakomodir secara komprehensif dimensi hukum yang berkembang. Kajian fiqh selama ini terasa kering disebabkan oleh unsur etika kurang dilibatkan di dalam pembahasan fiqh, padahal etika adalah nilai moral yang diakui secara universal. 77 Etika sering sekali membentuk norma yang diyakini berada di atas hukum karena menyangkut kepatutan yang dipatuhi oleh masyarakat. Sudah menjadi kelaziman masyarakat yang menjunjung etika, seperti di Jepang, bagi pejabat pimpinan publik langsung mengundurkan diri bila target yang dijanjikan sebelum berkuasa tidak tercapai, atau ada kesalahan yang terjadi di bawah wewenangnya walaupun bukan dia pelakunya. 78 Sikap ksatria di atas dilakukan walaupun secara hukum tidak bersalah merupakan indikasi kesadaran masyarakat yang tinggi. Implementasi hukum dalam porsi yang besar secara tidak langsung kesadaran masyarakatnya masih kurang sehingga law enforcement harus ditegakkan. Bukankah ada paradigma yang berkembang di dalam masyarakat Muslim umumnya yang meyakini bahwa “adab lebih tinggi dari ilmu” dengan kata lain adab yang identik dengan etika adalah nilai utama dalam hubungan kepada Allah maupun masyarakat. Umar ibn al-Khattab melarang Ibn Umar memiliki jabatan publik termasuk desakan masyarakat yang menginginkan agar anaknya dimasukkan salah satu anggota tim Sembilan. Tim Sembilan ini yang akan menggantikan Umar setelah mangkat dari kursi khalifah. Sikap ini merupakan gambaran etika hukum yang diajarkan Umar kepada umat Islam untuk menjunjung tinggi norma yang sebenarnya sudah ada dalam masyarakat Islam. Sering kali norma digantikan dengan dengan legalitas kepastian hukum hanya untuk menghilangkan nilai-nilai etika yang mengawasi masyarakat. Hukum yang didasari legalitas semata menyandarkan hukum dari pihak yang berkuasa sehingga tidak mengherankan hal ini melahirkan kompetisi untuk berkuasa agar dapat mengontrol masyarakat. 79 Bahkan Nabi sendiri lebih mendahulukan etika dengan tidak melakukan penunjukan pengganti dirinya sebagai pemimpin umat Islam pasca wafatnya. Bila hal tersebut dilakukan maka keputusannya akan bias kepada salah satu pihak, sementara Nabi dalam posisi berdiri di atas semua golongan. 63 Islam sebenarnya telah mengajarkan etika harus melekat dalam penegakan hukum seperti hukum diyat adalah etika hukum yang didasari dari kearifan lokal masyarakat pra Islam. 80 Diyat adalah wujud dari penghargaan yang tinggi akan nilai-nilai kemanusiaan sehingga nas mengabadikannya supaya pesan moral yang terkandung di dalamnya dapat diimplementasikan di dalam masyarakat. Seorang laki-laki yang melakukan shalat tanpa memakai baju walaupun auratnya tertutup sangat tidak memiliki etika ketika menghadap manusia saja memakai pakaian yang lengkap apalagi menghadap Allah. Melakukan poligami walaupun diperbolehkan dalam Islam, tetapi bisa menimbulkan mudharat dan bila ditujukan sebagai tameng agama untuk mengumbar syahwat maka juga tidak beretika. Etika sangat berkaitan dengan norma yang dihormati di dalam masyarakat. Seyogyanya fiqh harus digandeng dengan etika untuk lebih menghidupkan dimensi kemaslahatan hukum bagi masyarakat. 81 Bukankah Nabi mengecam perilaku orang yang memakai kain di bawah mata kaki walaupun ditujukan untuk menunaikan shalat? Bahkan Allah melaknat orang yang melakukan isbâl ketika akan shalat, indikasi betapa Islam mengajarkan etika sebagai bagaian utama dari ajaran Islam. 82 Larangan itu muncul tatkala umat Islam mengalami kesulitan ekonomi akibat embargo yang dilakukan pelaku usaha yang waktu itu dikuasai oleh kaum kafir yang membenci Islam. Embargo tersebut sangat menyulitkan orang-orang yang berada dalam level ekonomi bawah yang merupakan mayoritas pada waktu itu. Akan tetapi, pesan moral dalam larangan isbâl kurang diindahkan oleh banyak kalangan sehingga masih saja terjadi perilaku yang tidak memiliki rasa kesetiakawanan sosial. Unsur etika yang kurang diperhatikan di dalam kajian hukum selama ini membuat khithâb yang terdapat di dalam nas kurang diperhatikan. Banyak di kalangan umat Islam mengartikan konsep Isbâl sebagai bentuk dari ketaatan dalam menjalankan sunnah superfisial tanpa mau memahami adanya stressing point pentingnya mempelajari sosiologi hukum. Sosiologi hukum penting untuk terciptanya ketertiban di dalam masyarakat yang mematuhi aturan-aturan hukum yang telah disepakati bersama. Di sebagian besar negara-negara Barat mengumandangkan azan memakai mikrofon yang dapat didengar lingkungan di luar masjid dianggap tidak memiliki etika walaupun suara lonceng gereja terkadang sangat keras terdengar. 83 Sebagai agama yang dianggap dibawa pendatang seharusnya menghormati norma yang sudah disepakati oleh masyarakat setempat, karena hal tersebut bila dilanggar akan mendapat resistensi dari masyarakat lokal. Sikap tersebut akan berubah seiring bila terjadi kontak sosial yang intens seperti yang terjadi di Inggris ketika salah satu tv swasta menayangkan azan Maghrib secara langsung. 84 Norma- norma terbentuk dari kearifan lokal yang membentuk karakter suatu masyarakat harus dipahami norma sosial di dalam masyarakat jauh lebih banyak daripada teks undang-undang. Di masyarakat, seiring dengan waktu terkadang gestalt yang terbentuk dapat menutupi pesan utama yang terdapat di dalam norma hukum, bahkan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. 85 Gestalt secara sosial terbentuk biasanya dilakukan untuk memudahkan identifikasi di dalam masyarakat, dalam membentuk stratifikasi sosial terkadang menjadi tidak fair ketika memberi kemudharatan bagi pihak tertentu bila gestalt tersebut berdampak negatif baginya. Masih tetap adanya image yang rendah terhadap kulit berwarna, khususnya kulit hitam, di masyarakat Barat masih belum dapat dihilangkan sampai sekarang. Kasus-kasus rasisme sering menjadi isu sensitif dalam masyarakat Barat akibat gestalt yang melekat selama ini, bahwa kulit hitam identik dengan budak yang harus melayani tuannya orang kulit putih. Sayang sekali sekarang ini adanya gestalt yang terbentuk di dalam masyarakat dunia yang mengindentikkan Islam dengan terorisme, hal tersebut dapat dilihat dari keterlibatan dunia Barat dalam beberapa konflik di banyak negara Islam. Bahkan penjara Guantanamo tawanan perang yang semua tahanannya beragama Islam simbol terorisme yang melekat dalam konsep jihad di dalam Islam. Gestalt yang dibentuk dengan sakralisasi yang mengatasnamakan agama akan berimplikasi pada pelaksanaan yang cenderung untuk melakukan tekanan psikologi, bagi golongan yang mempertanyakan dasar hukumnya. Seperti perilaku masyarakat yang menganggap kegiatan ritual tertentu yang dilakukan 64 secara turun-menurun tanpa ada dasar hukum yang jelas di dalam nas. Biasanya, ini terjadi akibat terlalu besarnya pengaruh kepercayaan pra-Islam. Terkadang nas mengadopsi gestalt yang sudah terbentuk untuk kepentingan penyebaran Islam lebih luas seperti justifikasi nas terhadap suku Quraisy dalam kepemimpinan umat Islam. Agak lebih mudah dalam mengakselerasikan konsolidasi masyarakat Arab di masa Nabi menyebarkan Islam ke seluruh penjuru wilayah. Justifikasi kepemimpinan di tangan Suku Quraisy akan meredam gejolak suksesi di kalangan umat Islam ketika itu untuk tetap dalam satu komando. 86 Suku Quraisy ketika itu adalah kelompok masyarakat yang sangat dihormati karena memiliki posisi terhormat bukan saja sebagai pemegang kunci Ka’bah selama berabad-abad lamanya juga memegang posisi penting dalam ekonomi dan politik, khususnya di kota Makkah. 87 Terlebih lagi Nabi Muhammad Saw. juga berasal dari Suku Quraisy sehingga justifikasi nas terhadap gestalt yang selama ini terbentuk tidak mendapat resistensi dari umat Islam umumnya. Pada dasarnya, gestalt bersifat profan sehingga tidak ada alasan untuk melakukan sakralisasi terhadapnya, termasuk juga dalam hal menggunakan simbol-simbol keislaman. Dewasa ini bentuk bangunan kubah selalu identik dengan Islam, karena hampir semua masjid di dunia selalu menggunakan simbol kubah. Akan tetapi, bangunan kubah berasal dari bangunan zaman Zoraster sebelum Islam datang. 88 Artinya, kekuatan adaptasi nilai-nilai yang dibawa Islam dapat memberi tempat terhadap peradaban yang lahir sebelum kedatangan Islam. Seiring dengan terbentuknya image tentang kubah yang identik dengan Islam tersebut maka umat Islam menganggap kubah adalah bagian dari tak terpisahkan dari masjid. Dewasa ini apabila masjid dibangun berbentuk layaknya bangunan gereja yang memiliki salib maka akan mendapatkan resistensi dari sebagian besar umat Islam. Padahal, hal tersebut adalah bagian dari budaya yang membentuk gestalt masyarakat Muslim pada umumnya. 89 Begitu juga dengan corak pakaian sering sekali dianggap sebagai bentuk dari kesalehan seseorang. Memang dalam tataran tertentu dapat dengan mudah menganggap seseorang dianggap sebagai seorang yang taat atau tidak bila dalam berpakaian terlalu ekstrim. Tentu dengan mudah menganggap seseorang bukan muslimah yang taat bila dia memakai rok mini di depan umum, akan tetapi tentunya tidak bijak bila menganggap seperti pakaian gamis adalah bentuk pakaian yang paling islami. Sakralisasi gestalt yang terbentuk dari budaya sangat mengganggu perkembangan budaya Islam itu sendiri karena terhambat pemahaman yang sempit dalam memahami simbol ajaran Islam. Islam identik dengan lambang bulan sabit harus dipahami dalam konteks sejarah terbentuknya lambang tersebut. Lambang tersebut dipopulerkan oleh Kerajaan Turki Utsmani yang menggambarkan betapa luasnya kekuasaan yang pernah mereka raih disimbolkan dengan bulan sabit adalah wilayah kekuasaan mereka. Sebenarnya, gestalt bulan sabit yang sekarang identik dengan Islam bahkan palang merah di dunia saat ini juga menggunakan simbol ini untuk misi kemanusiaan. Pada masa Turki Utsmani, lambang ini menjadi lambang penyemangat pertempuran bagi prajurit-prajurit untuk memenangkan peperangan. Dengan kata lain, simbol ini awal digunakan untuk hal yang berbau peperangan, akan tetapi seiring zaman berubah menjadi simbol dari identitas Muslim. Tak mengherankan bila banyak negara yang mayoritas beragama Islam menggunakan simbol ini dalam bendera kenegaraan mereka. Gestalt yang terbentuk dalam hierarki al-Kutub as-Sittah sangat berpengaruh dalam perkembangan kajian Islam secara umum, khususnya yang berkaitan dengan fiqh. Susunan hierarki al-Kutub as-Sittah dianggap sakral sehingga seluruh ijtihad di dalam Islam harus merujuk terhadap gestalt yang terbentuk tersebut. 90 Pekerjaan kajian fiqh ke depannya harus mampu mengubah persepsi kesakralan yang terdapat di dalam hierarki al-Kutub as-Sittah tersebut menjadi hal yang profan. Begitu juga gestalt yang terbentuk dalam penetapan kesahihan suatu hadits seakan tidak ada lagi ruang untuk melakukan evaluasi terhadap penilaian ulama-ulama hadits yang terdapat di dalam al-Kutub as-Sittah. Seakan ulama kontemporer dipaksa hanya mengikut segala pendapat ulama klasik karena adanya persepsi bahwa mereka saja yang 65 paling otoritatif dalam menentukan bentuk dan kualitas hadits. Seyogyanya semua kitab hadits harus dipetakan layaknya seperti kitab fiqh dalam dua dimensi sakral dan profan. 91 Belenggu sakralisasi hadits terbentuk disebabkan oleh semangat ulama hadits berkompetisi untuk menyusun kitab-kitab hadits yang diharapkan menjadi rujukan utama umat Islam. Segala hal menyangkut tentang kitab hadits yang mereka susun terkesan menjadi sakral. Bila diperhatikan sesama ulama hadits terkadang saling melemahkan argumen masing-masing terhadap penilaian suatu hadits. Dengan demikian, sebenarnya kegiatan periwayatan hadits harus juga disamakan dengan kegiatan berijtihad di dalam fiqh yang bersifat dinamis. Kajian fiqh yang sangat terkait dengan hadits tentunya akan berkembang pesat bila fuqaha diberi kebebasan dalam menentukan hadits-hadits yang terdapat di dalam kitab-kitab hadits yang ada tak terkecuali di luar al-Kutub as-Sittah. Berbeda dengan di Syiah, ulama mereka diberi peluang yang lebih besar dalam menentukan hadits-hadits yang telah dikumpulkan dalam suatu kompilasi besar. Masyarakat Muslim Syiah hampir tidak kehilangan semangat ijtihad disebabkan oleh ulama dari masa ke masa diberi hak yang besar untuk menentukan kualitas hadits yang dipakai dalam berijtihad. Struktur kitab-kitab hadits di dalam Muslim Sunni seakan tidak ada ruang bagi umat Islam belakangan untuk melakukan ijtihad terhadap hadits-hadits tersebut. 92 Kitab-kitab hadits Muslim Sunni walaupun terkesan agak praktis dan sistematis, tetapi cenderung membuat taqlid bagi umat Islam yang hidup setelah masa kodifikasi hadits. 93 Lazimnya pembahasan fiqh yang menitikberatkan aspek perbuatan mukallaf sebagai objek kajiannya masih kurang mengakomodir kebutuhan fiqh saat ini. Di dalam sejarah, Islam yang tidak pernah membebani umat Islam dengan pajak setelah membayar zakat harus mendapat perhatian serius. Efektivitas zakat sebagai instrumen keuangan di dalam Islam yang bukan saja dapat dimanfaatkan dalam konteks sosial maupun profit. 94 Saat ini, hampir setiap kegiatan ekonomi selalu dikenakan pajak di sisi lain Islam tidak mengenal istilah pajak bagi umat Islam kecuali zakat. 95 Dari mulai masa Nabi Muhammad Saw. dilanjutkan pada masa sahabat sampai masa pemerintahan Turki Utsmani yang berakhir pada tahun 1926 M hanya membebankan pajak kepada orang-orang non-Muslim. Umat Islam yang sudah dikenakan zakat mulai dari zakat fitrah, emas perak ataupun perdagangan tidak dikenakan pajak lagi karena akan memberatkan umat Islam dengan beban ganda. 96 Kejadian ini sudah berlangsung sejak lama, hal ini tentunya akan menyulitkan umat Islam dalam berkompetisi di sektor ekonomi karena dana yang bisa digunakan sebagai modal usaha tergerus disebabkan oleh beban ganda membayar pajak sekaligus harus membayar zakat. Pentingnya zakat atau pajak bagi negara merupakan hal yang tak terbantahkan sehingga seorang Abu Bakr khalifah pertama pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw. langsung memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat. Alasan untuk memerangi orang-orang yang mengakui sebagai Nabi bukan alasan utama karena sejak zaman Nabi Muhammad Saw. hal tersebut sudah terjadi. Penolakan orang untuk membayar zakat secara massal tentunya akan mengganggu roda pemerintahan secara langsung maka langkah memerangi kelompok pembangkang ini dilakukan untuk menghindari runtuhnya perekonomian negara. Urgensi pajak dan zakat terhadap penerimaan di banyak negara khususnya Indonesia tidak dapat diragukan lagi. Namun, dalam pelaksanaannya bagi umat Islam terkesan tidak adil. Walaupun di Indonesia sudah diundangkan UU tentang zakat pada 2000, tetapi sampai saat ini tidak diwujudkan karena peraturan pemerintah tentang pelaksanaannya tidak kunjung turun sampai tahun 2013 ini. 97 Seharusnya pajak yang dibayarkan kepada negara dihitung sebagai zakat sehingga apabila ada selisihnya, maka akan menjadi sisa untuk membayar zakat harta. Dengan demikian, beban ganda yang selama ini dirasakan akan dapat diminimalisir secara signifikan.

B. Fiqh, Refleksi Nilai Transendental Aplikatif