Hal ini sudah berjalan di Negara kita Indonesia, dengan banyaknya masyarakat yang menyerahkan hartanya mewakafkan hartanya kepada yayasan-
yayasan yang dapat dipercaya.
B.3. Pemberdayaan Wakaf Produktif
Yang dimaksud dengan wakaf produktif adalah tanah wakaf yang berdaya guna dan dapat diambil manfaatnya bagi orang banyak yang membutuhkan,
contohnya adalah sebuah tanah yang diwakafkan kemudian diatas tanah tersebut didirikan sebuah bangunan seperti madrasahsekolah, kemudian sekolah tersebut
tidak memungut biaya terlalu tinggi, tetapi dewan gurunya mendapatkan kesejahteraan yang cukup, kemudian didirikan diatas tanah wakaf itu ruko rumah
toko, yang hasil dari toko itu dapat dimanfaatkan bagi kepentingan ummat, selanjutnya mendirikan Puskesmas untuk membantu kesehatan masyarakat yang
kurang mampu yaitu dengan cara subsidi silang. Harta wakaf, idealnya diproduktifkan sesuai dengan peruntukannya,
sehingga dirasakan manfaatnya oleh orang banyak. Apabila seorang wakif orang yang berwakaf melihat harta yang ia wakafkan dapat dirasakan manfaatnya oleh
orang banyak, ia tidak hanya senang dan gembira. Tetapi juga termotivasi untuk mewakafkan hartanya yang lain. Demikian pula halnya dengan orang yang belum
berwakaf, apabila dia melihat dan merasakan manfaat dari harta wakaf yang ada, maka akan termotivasi untuk berwakaf. Artinya wakaf yang produktif
berhubungan dengan keberlangsungan wakaf itu sendiri. Apabila wakaf dapat diproduktifkan, maka banyak orang yang akan memanfaatkan harta wakaf
tersebut. Sebaliknya bila wakaf yange telah ada tidak dapat dimanfaatkan secara produktif, hal ini akan menimbulkan keengganan orang untuk mewakafkan harta
miliknya.
B.4. Beberapa Persoalan dalam Wakaf
Ada beberapa persoalan yang berhubungan dengan wakaf dan para ulama berbeda pendapat tentang persoalan ini. Diantara persoalan itu yang penting
adalah :
1. Pemilikan harta wakaf
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, bahwa harta wakaf sekalipun telah diwakafklan tetap masih menjadi milik wakif, tidak terjadi
perpindahan milik. Hanya saja wakif tidak berhak mengambil manfaat dan menggunakan harta wakaf setelah ia mewakafkannya. Ia akan memperoleh hasil
tetap berupa pahala yang mengalir, terus menerus diterimanya walaupun ia telah meninggal dunia.
108
Murud-murid Imam Abu Hanifah yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hassan al-Syaibani berbeda pendapat dengan gurunya dalam hal ini, menurut
mereka dengan terjadinya wakaf berarti pemilikan harta itu berakhir dan berpindah menjadi milik Allah SWT. Sebagai pemilik asal dari segala sesuatu,
sesuai dengan hadits Nabi tentang Umar ra. “jika engkau mau maka tahanlah pokok harta tersebut, dan engkau sedekahkan hasilnya, jangan dijual, dihibahkan
dan jangan pula diwariskan”. Menurut Abu Yusuf pindahnya kepemilikan harta wakaf tersebut seperti thalaq, jika seorang suami menceraikan isterinya, bila
sudah jatuh ucapan thalaq maka terjadilahjatuhlah perceraianthalaq itu.
109
Jika mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah akan timbul kesulitan dikemudian hari, yaitu siapa yang akan menjadi pemilik harta wakaf itu jika si
wakif telah meninggal dunia, karena jika ia mempunyai harta, maka hartanya itu akan menjadi milik ahli warisnya, maka jika harta wakaf tadi menjadi milik ahli
warisnya, apakah harta wakaf itu akan dibagi-bagi sebagaimana harta waris ? Oleh karena itu penulis lebih condong untuk mengikuti pendapat yang kedua
pendapat Imam Syafi’i, pengikut Abu Hanifah yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, serta Imam Ahmad bin Hambal, karena kesulitan semacam itu tidak
akan dialami, asal tanah wakaf itu dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik dan benar sesuai dengan peraturan yang ada tentang harta wakaf.
Oleh karenanya menurut penulis wacana tentang adanya wakaf mu’aqqat wakaf sementara, hanya sebagai wacana pemikiran yang perlu dikaji ulang
108
Wahbah al-Zuhaily, al Fiqh al Islamy waadillaatuhu, hal. 152. lihat pula M. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, hal. 638, Ibnu Qudamah, al-Mughni, h. 600
109
Wahbah al Zuhaily, ibid, h. 158
tentang kemaslahatannya. Karena dalam sejarah Islam para sahabat rasulullah SAW seperti sahabat Umar Bin Khattab yang mewakafkan tanahnya di Khaibar,
Abu Thalhah yang mewakafkan kebun Korma kesayangannya, dan Usman bin Affan yang membeli sumur Raumah dengan hartanya, mereka tidak mewakafkan
hartanya secara sementara, yaitu dengan tidak adanya pernyataan yang tersurat tentang itu.
Para sahabat Rasulullah SAW mereka mewakafkan harta mereka dengan tujuan semata-mata mencari keridhoan Allah SWT untuk kebaikan dan
kemaslahatan orang banyak dengan tujuan tidak menjual pokoknya pangkal harta, tidak mewariskannya, juga tidak menghibahkannya kepada siapa saja.
Maka dari sejarah para sahabat yang mewakafkan hartanya dengan syarat tidak dijual, dihibahkan dan diwariskan, penulis menganggap bahwa wacana
wakaf mu’aqqat tidak dapat menjamin kemaslahatan yang abadi, walaupun ada diantara Imam Mazhab yang berpendapat tentang hal ini, penulis lebih condong
kepada Mazhab yang mewakafkan hartanya secara pribadi. Alasannya adalah dikhawatirkan ketika harta tersebut sedang digunakan
oleh masyarakat, kemudian batas waktunya sudah habis, maka harta tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya. Padahal harta tersebut masih dibutuhkan
untuk membantu orang banyak. Dan hadits dari Abu Hurairah yang berkenaan dengan harta yang akan terus mengalir pahalanya sampai pemiliknya meninggal
dunia adalah harta yang diwakafkan dan terus menerus digunakan hasilnya oleh orang banyak.
2. Menukar atau Menjual harta Wakaf