a. Obat di susun secara alfabetis untuk setiap bentuk sediaan. b. Obat dirotasi dengan sistem FEFO dan FIFO.
c. Obat disimpan pada rak. d. Obat yang disimpan pada lantai harus di letakan di atas palet.
e. Tumpukan dus sebaiknya harus sesuai dengan petunjuk. f. Sediaan obat cairan dipisahkan dari sediaan padatan.
g. Sera, vaksin, dan supositoria disimpan dalam lemari pendingin. h. Lisol dan desinfektan diletakkan terpisah dari obat lainnya.
Untuk menjaga mutu obat, perlu diperhatikan kondisi penyimpanan seperti kelembaban, sinar matahari, temperaturpanas, kerusakan fisik, kontaminasi,
dan adanya pengotoran. 3. Tata Cara Penyusunan Obat
a. Penerapan sistem FEFO dan FIFO.
b. Pemindahan harus hati-hati supaya obat tidak pecahrusak. c. Golongan antibiotik harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, terhindar
dari cahaya matahari, dan disimpan di tempat kering .
d. Vaksin dan serum harus dalam wadah yang tertutup rapat, terlindung dari
cahaya, dan disimpan dalam lemari pendingin suhu 4 – 8
o
C. Kartu temperatur yang ada harus selalu diisi setiap pagi dan sore.
e. Obat injeksi disimpan dalam tempat yang terhindar dari cahaya matahari
langsung. f. Bentuk dragee tablet salut disimpan dalam wadah tertutup rapat dan
pengambilannya menggunakan sendok.
Universitas Sumatera Utara
g. Untuk obat dengan waktu kadaluarsa yang sudah dekat supaya diberi tanda khusus, misalnya dengan menuliskan waktu kadaluarsa pada dus luar
dengan mengunakan spidol. h. Penyimpanan obat dengan kondisi khusus, seperti lemari tertutup rapat,
lemari pendingin, kotak kedap udara, dan lain sebagainya. i. Cairan diletakkan di rak bagian bawah.
j. Kondisi penyimpanan beberapa obat. - beri tandakode pada wadah obat,
- beri tanda semua wadah obat dengan jelas, - apabila ditemukan obat dengan wadah tanpa etiket, jangan digunakan,
- apabila obat disimpan di dalam dus besar maka pada dus harus tercantum: jumlah isi dus, kode lokasi, tanggal diterima, tanggal
kadaluarsa, nama produkobat, dan - beri tanda khusus untuk obat yang akan habis masa pakainya pada tahun
tersebut, jangan menyimpan vaksin lebih dari satu bulan di Puskesmas. 4. Pengamatan mutu
Setiap pengelola obat perlu melakukan pengamatan mutu obat secara berkala setiap bulan. Pengamatan mutu obat dilakukan secara visual.
a. Tablet - Terjadi perubahan warna, bau dan rasa, serta lembab.
- Kerusakan fisik seperti pecah, retak, sumbing, gripis, dan rapuh. - Kaleng atau botol rusak, sehingga dapat mempengaruhi mutu obat.
- Untuk tablet salut, disamping informasi di atas, juga basah dan lengket satu dengan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
- Wadah yang rusak. b. Kapsul
- Cangkangnya terbuka, kosong, rusak, atau melekat satu dengan lainnya. - Wadah rusak.
- Terjadi perubahan warna baik cangkang ataupun lainnya. c. Cairan
- Cairan jernih menjadi keruh, timbul endapan. - Cairan suspensi tidak bisa dikocok.
- Cairan emulsi memisah dan tidak tercampur kembali. d. Salep
- Konsistensi warna dan bau berubah tengik. - Pottube rusak atau bocor.
e. Injeksi - Kebocoran
- Terdapat partikel untuk sediaan injeksi yang seharusnya jernih sehingga keruh atau partikel asing dalam serbuk untuk injeksi.
- Wadah rusak atau terjadi perubahan warna. Laporkan perubahan yang terjadi kepada Instalasi Farmasi KabupatenKota untuk diteliti lebih
lanjut. Jangan menggunakan obat yang sudah rusak atau kadaluarsa. Hal ini penting
untuk diketahui terutama penggunaan antibiotik yang sudah kadaluarsa karena dapat menimbulkan resistensi mikroba. Resistensi mikroba berdampak
terhadap mahalnya biaya pengobatan. Obat dapat berubah menjadi toksik
Universitas Sumatera Utara
selama penyimpanan. Beberapa obat dapat terurai menjadi substansi- substansi yang toksik Kementrian Kesehatan RI, 2010.
2.2.5 Distribusi Obat
Pendistribusian adalah kegiatan menyalurkanmenyerahkan sediaan farmasi dan alat kesehatan dari tempat penyimpanan sampai kepada unit
pelayananpasien. Sistem distribusi yang baik harus: -
menjamin kesinambungan penyaluranpenyerahan, -
mempertahankan mutu, -
meminimalkan kehilangan, kerusakan, dan kadaluarsa, -
menjaga ketelitian pencatatan, -
menggunakan metode distribusi yang efisien dengan memperhatikan peraturan perundangan dan ketentuan lain yang
berlaku, dan -
menggunakan sistem informasi manajemen Pengurus Pusat IAI, 2011.
Tujuan distribusi dan pelayanan obat adalah: a.
terlaksananya distribusi obat yang berdaya guna dan berhasil guna dengan penyebarannya yang merata, teratur, serta dapat diperoleh bagi yang
membutuhkan pada saat diperlukan, b.
terjamin mutu obatnya serta ketepatan, kerasionalan, dan efesiensi penggunaan obat, dan
c. pemerataan pelayanan obat kepada masyarakat Anief, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pemberian obat, perlu dipertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
a. efek apa yang dikehendaki, lokal atau sistemik,
b. onset bagaimana yang dikehendaki, yang cepat atau yang lambat,
c. duration bagaimana yang dikehendaki, yang lama atau yang pendek,
d. apakah obatnya tidak rusak di dalam lambung atau di usus,
e. rute relatif aman mana yang mau digunakan, melalui mulut, suntikan, atau
melalui dubur, f.
melalui jalan mana yang menyenangkan bagi dokter atau pasien sukar menelan atau takut disuntik, dan
g. obat mana yang relatif murah Anief, 2007.
2.2.6 Pengawasan Obat
Pemerintah bertanggung jawab atas pengendalian dan pengawasan obat, sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah dan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah perlu membina upaya-upaya dibidang obat agar tercapai tujuan dan sasaran pembangunan dibidang obat. Unsur-unsur kebijakan obat nasional terdiri
dari: a.
penilaian, pengujian, dan pendaftaran, b.
konsepsi daftar obat esensial, c.
pengadaan dan produksi, d.
distribusi dan pelayanan, e.
penandaan, promosi, informasi, dan penyuluhan, f.
pemeliharaan mutu,
Universitas Sumatera Utara
g. pengamanan peredaran dan penggunaan,
h. obat tradisional,
i. sistem informasi obat,
j. peraturan perundang-undangan,
k. penelitian dan pengembangan, dan
l. pengembangan dan tenaga Anief, 2007.
2.2.7 Monitoring dan Evaluasi Obat
Pelayanan kefarmasian di Puskesmas perlu melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan secara berkala. Monitoring merupakan kegiatan pemantauan
terhadap pelayanan kefarmasian dan evaluasi merupakan proses penilaian kinerja pelayanan kefarmasian itu sendiri. Monitoring dan evaluasi dilaksanakan dengan
memantau seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian mulai dari pelayanan resep sampai kepada pelayanan informasi obat kepada pasien sehingga diperoleh
gambaran mutu pelayanan kefarmasian sebagai dasar perbaikan pelayanan kefarmasian di Puskesmas selanjutnya. Hal-hal yang perlu dimonitor dan
dievaluasi dalam pelayanan kefarmasian di Puskesmas adalah: -
Sumber Daya Manusia SDM, -
pengelolaan sediaan farmasi perencanaan, dasar perencanaan, pengadaan, penerimaan, dan distribusi,
- pelayanan farmasi klinik pemeriksaan kelengkapan resep, skrining resep,
penyiapan sediaan, pengecekan hasil peracikan, dan penyerahan obat yang disertai informasinya serta pemantauan pemakaian obat bagi penderita
penyakit tertentu seperti TB, Malaria, dan Diare, dan
Universitas Sumatera Utara
- mutu pelayanan tingkat kepuasan konsumen Depkes RI, 2006.
Manajemen obat di Puskesmas bertujuan agar dana yang tersedia dapat digunakan dengan sebaik-baiknya dan berkesinambungan guna memenuhi
kepentingan masyarakat yang berobat ke Puskesmas Depkes RI, 2003.
2.3 Puskesmas
Puskesmas merupakan unit
pelaksana teknis
dinas kesehatan
kabupatenkota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Secara nasional, standar wilayah kerja
Puskesmas adalah satu kecamatan. Apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar-Puskesmas
dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah, yaitu desakelurahan atau dusunrukun warga RW Depkes RI, 2006.
Tolak ukur penyelenggara upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama adalah Puskesmas yang didukung secara lintas sektoral dan didirikan sekurang-
kurangnya satu di setiap kecamatan. Puskesmas bertanggung jawab atas masalah kesehatan di wilayah kerjanya. Terdapat tiga fungsi utama Puskesmas, yakni:
- pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan,
- pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, dan
- pusat pelayanan kesehatan tingkat dasar.
Sekurang-kurangnya ada enam jenis pelayanan tingkat dasar yang harus dilaksanakan oleh Puskesmas, yakni:
- promosi kesehatan,
- kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana,
Universitas Sumatera Utara
- perbaikan gizi,
- kesehatan lingkungan,
- pemberantasan penyakit menular, dan
- pengobatan dasar Depkes RI, 2004.
2.4 Mutu Pelayanan
Apoteker adalah profesional terakhir yang berinteraksi dengan pasien, terutama pasien yang berobat jalan. Apoteker harus bekerja sama dengan dokter
dalam memberikan informasi kepada pasien mengenai obatnya dan memberikan arahan demi berhasilnya terapi obat yang diberikan. Penyuluhan kepada pasien,
terutama yang tergolong kurang cerdas ataupun tidak dapat baca dan tulis adalah merupakan kewajiban apoteker sebagai drug informer. Dalam hal pemberian
terapi yang rasional dan optimal, kerjasama antara dokter dan apoteker sangat
diperlukan Zaman, 2002.
Goetsch dan Davis 1994 mengatakan bahwa kualitasmutu merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses,
dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan Tjiptono, 2001. Organisasi yang peduli terhadap mutu memiliki sistem nilai yang mendukung
terwujudnya lingkungan yang kondusif untuk menerapkan perbaikan mutu yang berkesinambungan. Budaya mutu dalam organisasi tersebut meliputi tata nilai,
tradisi, prosedur, dan harapan yang mendukung terwujudnya upaya-upaya perbaikan mutu Koentjoro, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Agar dapat tersusun sistem manajemen mutu dalam suatu organisasi pelayanan kesehatan, langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut: a.
persiapan, b.
pembakuan sistem, c.
pengendalian dan pembinaan agar sistem yang dibakukan berjalan dengan baik,
d. perbaikan sistem berkesinambungan, dan
e. penilaian dan surveilan terhadap berjalannya keseluruhan sistem
manajemen mutu, melalui pengukuran kinerja, surveilan kepuasan pelanggan, audit, dan tinjauan manajemen Koentjoro, 2007.
Prasarana dan sarana yang harus dimiliki Puskesmas untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian adalah sebagai berikut:
- papan nama “apotek” atau “kamar obat” yang dapat terlihat jelas oleh
pasien, -
ruang tunggu yang nyaman bagi pasien, -
peralatan penunjang pelayanan kefarmasian, antara lain timbangan gram dan miligram, mortir-stamper, gelas ukur, corong, rak alat-alat, dan lain-
lain, -
tersedia tempat dan alat untuk mendisplai informasi obat bebas dalam upaya penyuluhan pasien, misalnya untuk memasang poster, tempat
brosur, dan majalah kesehatan, -
tersedia sumber informasi dan literatur obat yang memadai untuk pelayanan informasi obat, antara lain: Farmakope Indonesia edisi
Universitas Sumatera Utara
terakhir, Informasi Spesialite Obat Indonesia ISO, dan Informasi Obat Nasional Indonesia IONI,
- tersedia tempat dan alat untuk melakukan peracikan obat yang memadai,
- tempat penyimpanan obat khusus, seperti lemari es untuk supositoria,
serum dan vaksin, dan lemari terkunci untuk penyimpanan narkotika sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku,
- tersedia kartu stok untuk masing-masing jenis obat atau komputer agar
pemasukan dan pengeluaran obat termasuk tanggal kadaluarsa obat dapat dipantau dengan baik, dan
- tempat penyerahan obat yang memadai, yang memungkinkan untuk
melakukan pelayanan informasi obat. Untuk mengukur kinerja pelayanan kefarmasian tersebut, harus ada indikator yang
digunakan. Indikator yang dapat digunakan dalam mengukur tingkat keberhasilan pelayanan kefarmasian di Puskesmas adalah:
a. tingkat kepuasan konsumen: dilakukan dengan survei berupa angket
melalui kotak saran atau wawancara langsung, b.
dimensi waktu: lama pelayanan diukur dengan waktu yang telah ditetapkan,
c. prosedur tetap protap pelayanan kefarmasian: untuk menjamin mutu
pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan, dan d.
daftar tilik pelayanan kefarmasian di Puskesmas Depkes RI, 2006.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif prospektif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang melakukan deskripsi mengenai
fenomena yang ditemukan, baik yang berupa faktor resiko maupun efek atau hasil, dan prospektif adalah penelitian dengan mengikuti subjek untuk meneliti peristiwa
yang belum terjadi Sastroasmoro, 2008.
3.2 Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian adalah setiap resep yang masuk ke apotek Puskesmas. Resep diambil secara acak sistematis dan dihitung menggunakan