Fokus infeksi Immunosupresi Usia

dengan metode deteksi yang sama sandwich principle. Pada pemeriksaan ini, antibodi pertama akan berikatan secara spesifik dengan katalcin dan terikat di suatu coated tube tabung yang dilapisi sedangkan antibodi kedua akan berikatan dengan terminal dari molekul calcitonin. Antibodi kedua ini akan dilabel dengan luminescent tracer dan akan berikatan dengan tabung yang sudah mengikat CCP-I calcitonin peptide-I. Pengukuran kadar PCT selanjutnya dilakukan dengan luminometer yang akan menerima signal dari antibodi yang terikat luminescent tracer. Teknik pengukuran yang berlapis ini disebut metode sandwich. 27 Dengan bervariasinya teknik maupun alat dalam mengukur PCT maka penting untuk mengetahui uji apa yang digunakan sebelum interpretasi hasil dilakukan. Penggunaan PCT-Q, dengan nilai ambang terendah 0,5 ngml, angka ini masih 10 kali lipat dari nilai normal PCT dan cukup banyak pasien dengan infeksi ringan yang tidak terdeteksi. Demikian juga dengan PCT-ILMA LIA, hasilnya tidak dapat dipercaya jika nilai billirubin dan trigliserida sangat tinggi. Saat ini, VIDAS PCT dengan mampu mendeteksi nilai PCT terendah 0,09 ngml dan PCT KRYPTOR dan Elecsys merupakan uji yang paling sensitif dan akurat. 27 Sebelum memilih alat uji perlu diperhitungkan kondisi klinis yang dihadapi seperti :

a. Fokus infeksi

Infeksi saluran nafas, meningitis, infeksi intra abdomen, pankreatitis, dll. Setiap fokus infeksi memiliki perbedaan nilai PCT yang diharapkan. Infeksi yang sifatnya terlokalisir umumnya juga menghasilkan nilai PCT yang lebih rendah. 11,27

b. Immunosupresi

Infeksi bakteri pada penderita HIV akan meningkatkan kadar PCT, namun nilainya tidak akan meningkat tajam dibanding pasien dengan HIV negatif. 11,28 Penggunaan steroid tampaknya tidak mempengaruhi PCT. 11

c. Usia

Pada periode neonatus kadar PCT akan sangat tinggi. Pada anak-anak batasan kadar PCT belum jelas. Terdapat beberapa bukti bahwa kadar PCT rendah pada usia lanjut. 11,28 Universitas Sumatera Utara 2.3 Peran PCT dalam Diagnostik Dalam hal diagnostik, peran PCT sudah sangat jelas. Studi yang membandingkan PCT dengan CRP dalam membedakan proses infeksi dan inflamasi menunjukkan keunggulan PCT dengan sensitivitas 85 Vs 78 dan spesifisitas 83 Vs 60. PCT juga lebih sensitif dalam membedakan infeksi bakteri dengan infeksi virus. 14 Simon dkk, dalam studinya secara tegas menyimpulkan bahwa dengan nilai cut off PCT 0,25 ngml maka PK berat sudah dapat disingkirkan. 13,14,29 Sejak Pasteur dan Sternberg berhasil mengkultur pneumococcus dari darah pada tahun 1881 dan Christian Gram berhasil mewarnainya 5 tahun kemudian, dalam diagnosis pneumonia juga dibutuhkan pembuktian kuman sehingga pengobatan dapat berdasarkan kuman penyebab. 24 Hingga saat ini, meskipun fasilitas identifikasi kuman yang sudah maju, sebanyak 70 pasien yang terdiagnosis pneumonia komunitas dari radiologik tidak dijumpai kuman penyebab. Keadaan ini selanjutnya akan mempersulit keputusan klinisi untuk memulai antibiotik. Dalam keadaan ini studi oleh Christ Crain dkk memberi bata san kadar PCT ≥ 0,25 ngml mengindikasikan penyebab bakteri dan dapat dimulai pemberian antimikroba. 10,24 gambar 2.3.1. Bagaimana interpretasi kadar PCT dihubungkan dengan mikrobiologi klinik dapat dilihat pada tabel 2.3.1. Studi ini menggunakan kultur darahsputum, pemeriksaan antigen Streptococcus pneumonia dan Legionella pneumophila hingga multiple reverse transcription-Polymerese Chain Reaction RT-PCR untuk mendeteksi etiologi kuman. Pada tabel ini terdapat 7 kemungkinan dengan interpretasinya. Kemungkinan kedua baris ke-2 menunjukkan kenaikan kadar PCT tanpa dijumpai adanya kuman. Kondisi ini menunjukkan adanya respon immunitas innate terhadap patogen yang tidak dapat dideteksi oleh modalitas yang ada. Sedangkan adanya meskipun bakteri didapatkan belum dapat dipastikan bahwa kuman itu bersifat patogen atau invasif karena PCT akan meningkat dalam keadaan rangsangan immun yang tidak dipicu oleh kuman komensal tidak bersifat patogen. 24 Tampaknya penelitian ini tidak memperhitungkan kemungkinan adanya kuman-kuman yang tidak akan meningkatkan kadar PCT Universitas Sumatera Utara seperti mycoplasma pneumonia yang bisa saja tidak terdeteksi dengan uji mikrobiologi. 25 Sumber : Am J Respir Crit Care Med, 2006 13 Gambar 2.3.1. Manfaat Procalcitonin Pada Infeksi Saluran Nafas Bawah Tabel 2.3.1 Aplikasi Kadar PCT Dalam Interpretasi Kuman pada Pasien Infeksi Saluran Nafas Bagian Bawah Sumber : Journal of Clinical Microbiology, 2010 24 2.4 PCT dalam Menentukan Prognostik Masia dkk mendapatkan bahwa nilai PCT akan meningkat sesuai dengan skor derajat keparahan PSI dan hal ini berhubungan dengan peningkatan Universitas Sumatera Utara mortalitas dan komplikasi yang terjadi. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh Beovic, dkk yang menegaskan tidak ada hubungan antara PCT dengan nilai skor PSI. 7 Sebagai alat prognostik, studi oleh Huang dkk, melibatkan 2.000 penderita PK yang diketahui dari klinis dan radiologik, kemudian 1.651 pasien diikutsertakan dalam kohort selama 30 hingga 90 hari, setelah diambil serum PCT pada hari pertama. Juga dilakukan stratifikasi derajat keparahan PK dengan Pneumonia Severity Index dan CURB-65. Hasilnya, didapatkan juga kadar PCT 0,1 ngml memiliki angka kematian hari ke-30 dan ke-90 akibat PK yang rendah meskipun skor PSI berada pada grup IV atau V. Keadaan ini juga dijumpai pada pasien dengan skor CURB- 65 ≥ 3. Studi di atas menunjukkan bahwa sebagai alat prognostik, kadar PCT lebih baik dibandingkan daripada PSI dan CURB-65 clinical scoring systems 7,8 Pada studi Jean dkk, PCT dihubungkan dengan skor derajat keparahan pneumonia. Pada penderita pneumonia dengan nilai PSI yang rendah PSI, kelas I-II, PCT ternyata dapat memprediksi kuman penyebab pneumonia. Kadar PCT akan meningkat pada pneumonia bakteri dibanding non-bakteri. Pada penderita dengan PSI tinggi PSI, kelas III-IV PCT lebih merupakan alat prognostik dibanding diagnostik. 7,8,31 Adanya inkonsistensi dalam beberapa studi yang mencoba mencari hubungan antara PCT dengan skor prognostik seperti PSI dan CURB-65 mendorong Kruger dkk, melakukan suatu studi pada 1671 pasien PK dan melaporkan bahwa kadar PCT dapat memprediksi keparahan dan dampak klinik PK dengan akurasi yang sama dengan skor CRB-65. Pada studi ini skor prognostik CURB-65 dimodifikasi untuk mempermudah penelitian dilakukan di sarana kesehatan primer. Pada studi ini didapati kadar PCT ≤ 0,228 ngml pada awal pasien masuk memiliki risiko kematian yang rendah akibat PK. Temuan ini hampir mendekati angka yang didapatkan oleh Christ Crains dkk ≤ 0,25 ngml. 31 Dalam suatu studi retrospektif mendapatkan kadar PCT 1,5 ngml pada pasien PK yang terinfeksi Legionella sp memiliki risiko kematian dan kebutuhan akan fasilitas rawatan ICU yang tinggi. 28 Schuetz dkk mencoba membandingkan kenaikan CRP, lekosit dengan PCT dalam menilai risiko kematian dalam 90 hari. Hasilnya, PCT memiliki akurasi yang lebih baik akan tetapi antara pasien yang meninggal dengan yang Universitas Sumatera Utara selamat, tidak dijumpai rentang range PCT yang besar. Sedangkan jika PK dibagi sesuai dengan derajat keparahan, maka didapatkan rentang nilai PCT yang besar. 28 Peran PCT sebagai prognostik pneumonia tidak hanya pada PK. Di Indonesia, Rumende dalam disertasinya membandingkan PCT dengan Lipopolysaccharide-Binding Protein LBP sebagai prognostik pasien dengan ventilator associated pneumonia VAP yang dirawat di ruang rawat intensif di RSCM. Hasilnya, PCT lebih sensitif dibanding LBP 80 – 81,3 Vs 60 – 73 dalam menentukan kematian pasien VAP, akan tetapi keduanya memiliki spesifisitas yang rendah 25 – 30 . Disimpulkan bahwa peningkatan PCT dapat menjadi petunjuk adanya respon tubuh terhadap infeksi bakteri oleh makrofag yang aktif sedangkan LBP yang dihasilkan oleh sel alveoli tipe 2 lebih menunjukkan beratnya keterlibatan paru. Jika kedua biomarker ini digabungkan, sensitifitasnya akan meningkat menjadi 88,5 – 96,3 dengan spesifisitas 53,2 – 66,7 untuk menentukan prognostik pasien VAP. 32 2.5. Skor Klinis Pneumonia Penilaian derajat keparahan pneumonia merupakan komponen penting dalam tatalaksana PK. Hal ini membuat munculnya berbagai sistem skoring PSI, CURB-65, modified ATS m-ATS dsb. Skor PSI diperkenalkan pada tahun 1997 yang melibatkan 50.000 penderita pneumonia. Skor ini terdiri atas beberapa variabel klinik Tabel 2.6.1 yang membagi pasien menjadi 5 tingkatan berdasarkan risiko kematian dalam 30 hari klas I= 0,1 – 0,4; klas II= 0,6 -0,7; klas III= 0,9 – 2,8; klas IV= 4 – 10; klas V: 27. Skor PSI menunjukkan kemampuan prediksi yang baik dengan AUC: 0,74 -0,83 dan direkomendasikan pemakaiannya oleh American Thoracic Society ATS dan Infectious Disease Society of America IDSA. Akan tetapi, terlalu kompleks dan banyaknya variabel yang harus dinilai membuat sistem skor ini tidak praktis dan digunakan dalam klinik sehari-hari. 6,8 Skor CURB-65 Gambar 2.6.1. diperkenal oleh British Thoracic Society BTS pada tahun 2003 yang melibatkan 12.000 penderita pneumonia, terdiri atas 5 kategori yang dihubungkan dengan risiko kematian dalam 30 hari. Skor 0-1 masuk dalam kategori skor kematian rendah dimana skor 0= 0,7 dan skor 1= Universitas Sumatera Utara 3,2. Skor 2= 13 masuk kategori risiko kematian sedang dan skor 3 masuk dalam skor kematian tinggi 3= 17, 4= 41,5 dan 5= 57. Kemampuan prediksi dari skor ini hampir sama dengan PSI yaitu dengan AUC: 0,73 -0,83. Keunggulan CURB-65 terletak pada variabel yang digunakan lebih praktis dan mudah diingat. ATS dalam guideline PK yang terbaru menyadari kompleksitas dari skor PSI dan merekomendasikan penggunaan CURB-65. 6,8 Baik skor PSI maupun CURB-65 sama-sama memiliki kelemahan yang sama, yaitu masih bergantung pada hasil pemeriksaan laboratorium. Keadaan ini melahirkan skor CRB-65 yang menghilangkan unsur ureum. Manfaat dari skor CRB-65 ini adalah dapat digunakan oleh dokter umum di tingkat layanan primer. Skor ini dikatakan memiliki peforma yang sama dengan PSI dan CURB-65 dengan AUC: 0,69 – 0,78. Sayangnya, penggunaan skor ini belum teruji dengan jumlah sampel yang besar seperti pendahulunya sehingga validasinya masih perlu diuji. 6,30 Tabel 2.5.1. Pneumonia Severity Index PSI Sumber : QJ Med, 2009 6 Selain petanda inflamasi, sistem koagulasi juga dikatakan memiliki potensi dalam menilai risiko kematian penderita PK. Aktifasi sistem koagulasi dan aktifitas fibrinolisis merupakan gambaran yang dijumpai pada keadaan sepsis berat. 14 Querol-Ribelles dkk, mencoba menghubungkan kadar plasma D-dimer terhadap mortalitas pada 302 pasien PK. Hasilnya adalah kematian lebih banyak terjadi pada pasien dengan D-dimer yang tinggi 3.786 Vs 1.609 ngml dengan p 0,00001. Selain itu, didapatkan juga hubungan linier antara D-dimer dengan skor Universitas Sumatera Utara PSI. 31 Hasil ini membuka peluang untuk penelitian terhadap petanda koagulasi lainnya seperti prothrombin fragment 1.2 PF1.2, thrombin-antithrombin complex dan fibrinogen dalam hubungannya terhadap PK. 5,14 Sumber: Thorax, 2009 7 Gambar 2.5.1. Skor CURB- 65 2.6. Sepsis Akibat Pneumonia Komunitas Di Amerika Serikat, lebih dari 1 juta penderita PK setiap tahunnya dan 10 dari penderita harus dirawat di ICU intensive care unit. Pada PK yang dirawat jalan mortalitas sebesar diperkirakan 5, jika penderita PK dirawat inap maka mortalitas meningkat hingga 12 dan akan semakin meningkat menjadi 22 jika pasien dipindahkan ke ICU. Keadaan ini disebabkan perjalanan PK menjadi sepsis berat PK berat yang ditandai dengan adanya disfungsi organ. 34 Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana lipolisakarida atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan suhu tubuh, perubahan jumlah lekosit, tachycardia dan tachypnea. Sedangkan sepsis berat adalah sepsis yang ditandai dengan hipotensi atau disfungsi organ atau hipoperfusi organ. 35 Universitas Sumatera Utara Pada tahun 1992, menurut The American College of Chest Physician ACCP and The Society for Critical Care Medicine SCCM Consensus Conference on Standardized Definitions of Sepsis, telah mempublikasikan suatu konsensus dengan definisi baru dan kriteria diagnosis untuk sepsis dan keadaan- keadaan yang berkaitan dan menetapkan kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome SIRS, sepsis berat dan syok sepsis dibawah ini: - Bakteremia : adanya bakteri dalam darah, yang dibuktikan dengan kultur darah positif. - SIRS : respon tubuh terhadap inflamasi sistemik, ditandai dua atau lebih keadaan berikut : 1. Suhu 38ºC atau 36ºC 2. Takikardia HR 90 kalimenit 3. Takipneu RR 20 kalimenit atau PaCO2 32 mmHg 4. Lekosit darah 12.000µL, 4.000µL atau netrofil batang 10 - Sepsis : SIRS yang dibuktikan atau diduga penyebabnya kuman. - Sepsis berat : sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan penurunan kesadaran. - Syok sepsis :sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara adekuat, bersama dengan disfungsi organ. - Hipotensi : tekanan darah sistolik 90 mmHg atau berkurang 40 mmHg dari tekanan darah normal pasien. - Multiple Organ Dysfunction Syndrome: Disfungsi dari satu organ atau lebih, memerlukan Intervensi untuk mempertahankan homeostasis. 35,36 Dremsizov, dkk melakukan studi untuk menilai kemampuan SIRS dalam memprediksi terjadinya sepsis, sepsis berat dan kematian pada pasien PK. Hasil yang didapat antara lain bahwa 50 dari penderita PK yang dirawat akan jatuh ke sepsis. Selain itu, jika dibanding dengan PSI, kriteria SIRS tidak lebih baik dalam memprediksi perburukan sepsis pada PK. Implikasi klinis dari studi ini adalah dapat digunakannya PSI bukan hanya untuk skor prognosis tetapi juga sebagai petunjuk adanya disfungsi organ. 37 Universitas Sumatera Utara

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL