Teori Deterrence Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Penodaan Agama

b. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima ganjarannya. Tipe aliran retributif ini disebut fairness; c. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran retributif ini disebut proportionality. Tipe retributif yang disebut vindicative di ataslah yang termasuk teori pembalasan. Di dalam teori-teori retributif ini para pemikir pada dasarnya hanya mencari dasar pembenar dari pidana pada kejahatan itu sendiri, yakni agar setiap perbuatan melawan hukum itu harus dibalas.

2. Teori Deterrence

Terminologi “deterrence” menurut Zimring dan Hawkins, digunakan lebih terbatas pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Namun “the next deterrence effect” dari ancaman secara khusus kepada seseorang ini dapat juga menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan. 91 Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect sebenarnya telah menjadi sarana yang cukup lama dalam kebijakan penanggulangan kejahatan karena tujuan deterrence ini berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan, dengan dua orang 91 Ibid, hlm. 72. Universitas Sumatera Utara tokoh utamanya, yaitu Cessare Beccaria 1738-1794 dan Jeremy Bentham 1748- 1832. Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul dei Delitti e Delle Pene 1764 bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana balas dendam masyarakat. 92 Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun sering juga disebut teori tujuan utilitarian theory 93 Menurut Ahmad Ali, penganut paham utilitarian menganggap bahwa tujuan hokum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Pandangan ini didasarkan pada falsafah sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu instrumen untuk mencapai kebahagiaan tersebut. 94 Sehubungan dengan konsep paham utilitarian itu, maka Curzon sebagaimana dikutip oleh Ahmad Ali mengemukakan bahwa paham utilitarian merupakan suatu filisofi moral yang mendefinisikan kebenaran suatu perbuatan dalam hubungannya dengan pemberian kontribusi yang besar untuk kebahagiaan secara umum dan menganggap kebaikan yang paling pokok adalah untuk 92 Ibid, hlm. 73. 93 Muladi Barda Nawawi A, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana., Bandung : PT Alumni, 1998, hlm. 16. 94 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2008, dikutip dari Ahmad Ali 1996, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis. Jakarta : Chandra Utama, hlm. 87. Universitas Sumatera Utara kebahagiaan sebesar-besarnya bagi keseluruhan warga masyarakat the greatest happiness of the greatest number 95 Karl O. Cristiansen memberi pokok atau karakteristik tentang teori relatif utilitarian sebagai berikut : 96 a. The purpose of punishment is prevention Tujuan pidana adalah pencegahan; b. Prevention is not a final aim, but a means to a more suprems aim, e.g. social welfare Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat; c. Only breaches of the law which are imputable to the perpetrator as intent or negligence quality for punishment Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja missal karena sengaja atau culpa yang memenuhi syarat untuk adanya pidana; d. The penalty shall be determined by its utility as an instrument for the prevention of crime Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegah kejahatan; e. The Punishment is prospective, it points into the future; it may contains as element of reproach, but neither reproach not retributif elements can be accepted if they do not serve the prevention of crime for the benefit or social welfare Pidana melihat ke muka bersifat prospektif, pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. 95 Ibid 96 Teguh Prasetyo Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hal.97-98 Universitas Sumatera Utara

3. Teori Treatment