Analisis Kebijakan Hukum Pidana Dalam Undang-Undang No 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

(1)

ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

DALAM UNDANG-UNDANG NO. 1/PNPS/1965 TENTANG

PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

NIM : 080200055 YUSTY RIANA P

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

DALAM UNDANG-UNDANG NO. 1/PNPS/1965 TENTANG

PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

ABSTRAKSI Yusty Riana P* Mhd Hamdan** Mahmud Mulyadi***

Pancasila merupakan ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia dan merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara Indonesia. Sila Pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, merupakan pengakuan bahwa Negara Indonesia memandang agama adalah salah satu tiang pokok dari kehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah sebagai sendi perikehidupan Negara. Dengan demikian perlindungan hukum atas adanya kepentingan hukum bagi setiap warga Negara tersebut, maka ketentuan tentang delik agama harus diatur dan dilindungi dalam hukum pidana.

Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana pengaturan terhadap tindak pidana penodaan agama di Indonesia dan bagaimana kebijakan hukum pidana dalam RKUHP untuk Mencegah dan/atau Menanggulangi Tindak Pidana Penodaan Agama.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normative yang emnitikberatkan pada data sekunder dengan spesifikasi deskriptif analitis, yaitu memaparkan tentang peraturan yang berlaku dan kebijakan hukum pidana yang akan diambil dalam menanggulangi tindak pidana penodaan agama. Analitis data yang digunakan adalah metode analitis kualitatif.

Bahwa undang-undang a quo sudah tidak efektif lagi sehingga perlu dilakukan revisi dan pembatasan-pembatasan yang dapat dilakukan terhadap kebebasan beragama. Ada beberapa frasa penting dalam undang-undang ini yang perlu dijelaskan supaya tidak multitafsir yaitu “pokok-pokok ajaran agama”,

“penafsiran yang menyimpang”, “kegiatan keagamaan yang menyimpang”.

Kebijakan hukum pidana dalam RKUHP mengenai penghinaan agama perlu dikaji kembali terutama mengenai kategori perbuatan yang dapat dipidana dan sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap perbuatan penghinaan agama mengingat tujuan pemidanaan telah dirumuskan secara khusus pada Pasal 54 KJUHP Tahun 2008. Oleh karena itu, kebijakan hukum pidana tersebut perlu ditinjau ulang untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam menanggulangi tindak pidana penghinaan agama.

* Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar di Fakultas Huku m USU *** Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar di Fakultas Huku m USU


(3)

KATA PENGANTAR

Segala tantangan dan aral melintang yang pada akhirnya dapat terlewati adalah harga mutlak berkat pertolongan dan wujud kasih karunia Tuhan kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Maka dari itu, sudah sepatutnya penulis memanjatkan puji dan syukur hanya kepada Allah Bapa, Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus atas nikmat karunia yang diberikanNya kepada penulis selama penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis dengan rendah hati mempersembahkan skripsi yang berjudul “Analisis Kebijakan Hukum Pidana Dalam Undang-Undang No

1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia” kepada

dunia pendidikan, guna menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan hukum.

Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat kelulusan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Terimakasih tak terhingga kepada seluruh keluargaku, kedua Orang Tua Tercinta, almarhum Ayahanda Sumihar Purba yang sudah tenang disisiNya dan Ibunda Rusmaida Manullang, mereka berdua adalah orang terhebat yang pernah aku kenal, kepada 5 (lima) kakak/abangku dan 3 (tiga) abang/kakak


(4)

iparku, yaitu Lesma Ernawaty Purba/Jamanatar Pandiangan, Suadry

Frenky Purba, S.P/Dewi Sartika Siagian, S.E , Hevrina Irayanna Purba, A.Md/Dedy Frans Aritonang, S.T (calon abang ipar), Dedy Ryatman Purba, S.T , Zoon Hard Purba, dan 3 (tiga) ponakan-ponakanku yang lucu dan

manis yaitu Christabell Helsa Pandiangan, Solideo Christian Pandiangan dan Edgardo Gavriel Purba. Kalian adalah anugerah Tuhan yang sangat luar biasa bagiku dan kalian menjadi sumber semangat terbesar bagiku dalam menyelesaikan skripsi ini. Karya ini kupersembahkan untuk kalian!;

2. Keluarga Besar Op. Suadry Frenky Purba;

3. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Dr. Mhd Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(5)

9. Ibu Detania Sukarja, S.H. dan Bapak Syaiful Azam, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasehat Akademik selama penulis duduk di bangku pendidikan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

10.Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Mhd Hamdan, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, atas kesediaan baik waktu maupun tenaga dan kesabarannya membimbing, memberi saran, arahan dan perbaikan untuk skripsi ini.

11.Bapak Edi Ikhsan, S.H., M.A., Bapak Edy Zulham, S.H., M.H., dan Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum., dosen terbaik yang telah menorehkan kenangan indah selama saya di Fakultas Hukum ini;

12.Seluruh Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, baik yang masih mengabdikan diri ataupun yang sudah pensiun;

13.Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

14.Kelompok Belajar Gemar Belajar (GEMBEL) yang sudah banyak mengajarkan saya hal-hal positif selama kuliah. Tetaplah jaya dan kobarkan semangatmu! Salam Persahabatan!;

15.Terimakasih untuk Sahabat-Sahabat Ku : Ristama Situmorang, Esteria Maya Rita Lingga, Riswendang Purba dan Melda Theresia Sihombing, terimakasih untuk setiap kisah yang kita lewati bersama, semoga mimpi-mimpi besar kita bisa kita capai;

16.Terimakasih untuk Abang-Abang Terhebat yang pernah saya kenal di kampus tercinta ini : Gading Satria Nainggolan, S.H, Sera Ricky Swanry Siallagan,


(6)

S.H, Alboin Fransius Aditra Roga Pasaribu, S.H, Johannes Tare Pangaribuan, S.H, Satra Lumban Toruan, S.H, dan Suhardi Fonger, S.H, terimakasih buat semua kasih sayang sayang, bimbingan, motivasi, dan semua kenangan yang pernah kita lalui bersama, terlebih atas kebaikannya mengenalkan saya arti sebuah “integritas”, kusukses untuk kalian semua;

17.Terimakasih juga kepada teman-teman dan adik-adik yang telah mendoakan, membantu dan mendukung saya selama penulisan skripsi ini : Melky S Pardede, Dedy Ronald Gultom, Dorothy Rumapea, Fransiska Purba, Wanelfi Simangunsong, Novaria Dwiyanti Silaban, Immanuel Rumapea, Hendrika Sinaga, Erikson Sibarani, Yudha Bastian Pandiangan dan Sahat Berkat Marbun;

18.Terimakasih juga kepada Fans-Fans saya yang telah mendoakan dan mendukung saya selama penulisan skripsi ini : Eko Pahala Naninggolan, Sapta Agung Prasetya Tobing, Jhon Perdana Purba, Tulus Pardamean Nababan, Poltak Sijabat, Firman Sanjaya Sinaga, Tri Yanto Jeremia Siagian, Edberg Bobby Hutagalung, Nathan Lumban Raja, Hary Tama Simanjuntak, Alexsander Simanjuntak, Jack Lumban Raja, Samuel Simanjuntak dan Frimanda Ginting;

19.Terimakasih untuk semua teman-teman TIM DELEGASI FH-USU pada MCC Piala Djokorda Raka Dherana 2010 di Bali yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terimakasih atas kerjasama yang luar biasa dan semua pengalaman kita untuk mencapai arti sebuah perjuangan;


(7)

20.Teman-Teman Seperjuangan Stambuk 2008 di Grup A (semester 1 dan 2), Grup B (semester 3 dst) dan teman-teman Pecinta Departemen Pidana yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu;

21.Seluruh Rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu. Hidup Mahasiswa!;

22.Para penulis buku-buku dan artikel-artikel yang Penulis jadikan referensi data guna pengerjaan skripsi ini, dan

23.Seluruh orang yang Penulis kenal dan mengenal Penulis.

Ada saatnya bertemu, ada juga saatnya berpisah. Ladang di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara akan segera Penulis tinggalkan, untuk mencari ladang yang baru. Terima kasih atas berbagai hal bermanfaat yang telah diberikan kepada Penulis. Semoga Tuhan senantiasa memberikan berkat dan perlindunganNya kepada kita semua.

Penulis berharap kiranya skripsi ini tidak hanya berakhir sebagai setumpuk kertas yang tidak berguna, tapi dapat dipakai oleh setiap orang yang membutuhkan pengembangan pengetahuan mengenai Tindak Pidana Penodaan Agama. Penulis juga mengaharapkan kritik dan saran yang konstruktif terhadap skripsi ini. Atas segala perhatiannya, Penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Maret 2012 Penulis, ( Yusty Riana P )


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ……….…... ii

KATA PENGANTAR ………. iii

DAFTAR ISI ……… v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………... 1

B. Perumusan Masalah ………...…… 6

C. Tujuan Penulisan ……… 6

D. Manfaat Penulisan ……….………. 7

E. Keaslian Penulisan ……….……… 7

F. Tinjauan Kepustakaan ……….. 9

G. Metode Penulisan ………. 13

H. Sistematika Penulisan ………..……. 17

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA A. Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Hukum Indonesia ….… 19 B. Kelemahan Rumusan Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ……… 26

BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana…….. 40


(9)

B. Kebijakan Hukum Pidana dalam RKUHP untuk Mencegah dan/atau Menanggulangi Tindak Pidana Penodaan Agama ……..51

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ……….……. 78

B. Saran ………..…….. 82


(10)

ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

DALAM UNDANG-UNDANG NO. 1/PNPS/1965 TENTANG

PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

ABSTRAKSI Yusty Riana P* Mhd Hamdan** Mahmud Mulyadi***

Pancasila merupakan ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia dan merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara Indonesia. Sila Pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, merupakan pengakuan bahwa Negara Indonesia memandang agama adalah salah satu tiang pokok dari kehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah sebagai sendi perikehidupan Negara. Dengan demikian perlindungan hukum atas adanya kepentingan hukum bagi setiap warga Negara tersebut, maka ketentuan tentang delik agama harus diatur dan dilindungi dalam hukum pidana.

Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana pengaturan terhadap tindak pidana penodaan agama di Indonesia dan bagaimana kebijakan hukum pidana dalam RKUHP untuk Mencegah dan/atau Menanggulangi Tindak Pidana Penodaan Agama.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normative yang emnitikberatkan pada data sekunder dengan spesifikasi deskriptif analitis, yaitu memaparkan tentang peraturan yang berlaku dan kebijakan hukum pidana yang akan diambil dalam menanggulangi tindak pidana penodaan agama. Analitis data yang digunakan adalah metode analitis kualitatif.

Bahwa undang-undang a quo sudah tidak efektif lagi sehingga perlu dilakukan revisi dan pembatasan-pembatasan yang dapat dilakukan terhadap kebebasan beragama. Ada beberapa frasa penting dalam undang-undang ini yang perlu dijelaskan supaya tidak multitafsir yaitu “pokok-pokok ajaran agama”,

“penafsiran yang menyimpang”, “kegiatan keagamaan yang menyimpang”.

Kebijakan hukum pidana dalam RKUHP mengenai penghinaan agama perlu dikaji kembali terutama mengenai kategori perbuatan yang dapat dipidana dan sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap perbuatan penghinaan agama mengingat tujuan pemidanaan telah dirumuskan secara khusus pada Pasal 54 KJUHP Tahun 2008. Oleh karena itu, kebijakan hukum pidana tersebut perlu ditinjau ulang untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam menanggulangi tindak pidana penghinaan agama.

* Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar di Fakultas Huku m USU *** Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar di Fakultas Huku m USU


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti negara Indonesia adalah negara yang menempatkan agama sebagai sendi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut kemudian dinyatakan secara tegas dalam Konstitusi UUD 1945 khususnya Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi: “Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa” yang kemudian ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.1

Dengan demikian kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi, karena kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan.2

Pemeluk agama memerlukan kebebasan beragama dalam menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Kebebasan beragama Dengan demikian negara harus menjamin kemerdekaan bagi setiap orang untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

1

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terbitan Fokus Media, Bandung.

2


(12)

merupakan salah satu hak asasi manusia (human rights)3 yang bersifat non- derogable rights4 dan dijamin oleh berbagai instrumen hak asasi manusia (HAM)

baik tingkat internasional5 maupun nasional.6 Pembatasan terhadap hak asasi manusia hanya dapat dilakukan dan berdasarkan undang-undang demi menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.7

3

Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pengertian hak asasi manusia adalah “seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

4

Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 j.o Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa : hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang termasuk kategori non-derogable

rights yaitu hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan-keadaan apapun dan oleh siapapun,

termasuk Negara. 5

Beberapa instrumen internasional mengenai kebebasan beragama adalah Pasal 18, Pasal 26, dan Pasal 29 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ; Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik ; Pasal 13 Kovenan Internasional Hak-Hak-Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi Diskrimasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan; Pasal 14, Pasal 29, Pasal 30 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Anak. Instrumen internasional mengenai kebebasan beragama tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.

6

Beberapa instrumen nasional mengenai kebebasan beragama adalah UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnik.

7


(13)

Meskipun pembatasan terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan melalui undang-undang, akan tetapi untuk kategori non-derogable rights tidak dapat dilakukan pembatasan dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.8

Konstitusi Negara Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah salah satu instrumen pemenuhan hak asasi manusia yaitu mengatur mengenai perlindungan terhadap kebebasan beragama di Indonesia yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E, Pasal 28I ayat (1) dan (2), Pasal 29 ayat (2). Disamping setiap orang memiliki hak-hak asasi yang harus dilindungi, maka dia juga mengemban kewajiban-kewajiban asasi yang harus dilaksanakan, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945.9

Kebebasan memeluk agama atau kepercayaan dan menjalankan ibadah menurut agama atau kepercayaannya itu merupakan kaidah pribadi (forum

internum) sedangkan ketertiban dan kedamaian hidup bersama merupakan kaidah

antar pribadi (forum eksternum).10

8

Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa :”Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”. Dalam penjelasan Pasal 73 ini lebih dipertegas bahwa pembatasan yang dimaksud dalam pasal ini tidak berlaku terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights) dengan memperhatikan Penjelasan Pasal 4 dan Pasal 9, dan yang dimaksud dengan “kepentingan bangsa” adalah untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan penguasa.

9

Pasal ini mewajibkan setiap orang (human obligations) untuk menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

10

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Bandung : Penerbit Alumni, 1982, hlm.16.

Dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi


(14)

mengakibatkan terjadinya konflik dalam masyarakat. Oleh karena itulah, dibutuhkan kaidah hukum dalam bentuk peraturan untuk mengatur masyarakat demi terciptanya kesejahteraan dan ketertiban sosial sebab manusia tidak akan dapat hidup hanya dengan kaidah-kaidah pribadi tanpa diatur juga oleh kaidah antar pribadi.

Oleh karena pentingnya hubungan antara kebebasan beragama dengan ketertiban umum itu, maka negara melakukan pembatasan terhadap tindakan-tindakan yang dianggap menodai atau menghina agama lain yang dapat memicu konflik dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama j.o Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1965 Tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang Penodaan Agama, maka diadakanlah kriminalisasi terhadap penyalahgunaan dan/atau penodaan agama di Indonesia, sehingga pelanggaran terhadap kaidan ini dianggap sebagai tindak pidana dan negara dapat menjatuhkan pidana. Dengan demikian, kepentingan agama yang awalnya merupakan kepentingan pribadi atau kaidah pribadi berubah menjadi kepentingan publik atau kaidah antar pribadi dan lebih jauh lagi menjadi kaidah sosial.

Undang-Undang Penodaan Agama ini merupakan instrumen hukum pidana yang berlaku saat ini (ius constitutum) untuk menghukum tindak pidana penodaan agama di Indonesia. Penjelasan umum undang-undang tersebut menjelaskan bahwa undang-undang tersebut dikeluarkan berdasarkan pertimbangan bahwa timbulnya aliran-aliran/organisasi-organisasi kepercayaan


(15)

masyarakat yang bertentangan dengan ajaran agama. Ajaran pada aliran/organisasi kepercayaan tersebut banyak yang menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama. Pada kenyataannya, aliran/organisasi tersebut pada akhirnya bertambah banyak dan berkembang kearah yang membahayakan agama-agama yang ada.

Penerapan Undang-Undang Penodaan Agama ternyata dikritik oleh berbagai pandangan yang menganggap bahwa undang-undang ini sudah tidak efektif lagi diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat sekarang. Undang-Undang Penodaan Agama ini sering mengandung kata-kata yang tidak jelas dan sukar didefinisikan, sehingga cenderung terjadi kesalahan pemahaman dan penerapan yang berlebihan. Pasal 1 Undang-Undang Penodaan Agama dan penjelasannya menyebutkan “Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha

menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah ke-Tuhanan Yang Maha Esa…” yang menunjukkan bahwa Pemerintah telah masuk ke dalam ranah

eksistensi spiritual yang merupakan forum internum.

Sampai saat ini, sudah banyak terpidana karena tindak pidana penodaan agama di Indonesia. Beberapa di antaranya yaitu11

11

Sumber Wahid Institute pada

Arswendo Atmawiloto (5 tahun), H.B. Jassin (1 tahun penjara dengan masa 2 tahun masa percobaan), Mas’ud Simanungkalit (3 tahun), Yusman Roy (2 tahun), Lia Eden (2 tahun), Abdurrahman (3 tahun), Ahmad Musadeq (4 tahun), dan berbagai putusan pengadilan lainnya. Dalam pertimbangan hukum putusan tersebut, tidak ada kesamaan atau kesesuaian mengenai definisi penodaan agama yang layak 13.45 WIB.


(16)

dijadikan acuan untuk memutus kasus-kasus penodaan agama di masa yang akan datang untuk dapat menjamin kepastian hukum.

Kasus-kasus yang berkembang di Indonesia menunjukkan bahwa tujuan pemidanaan yang hendak dicapai melalui undang-undang ini dapat dikatakan belum tercapai. Dengan kata lain, kebijakan hukum pidana yang diterapkan melalui undang-undang ini untuk melindungi kepentingan agama, menanggulangi tindak pidana penodaan agama, dan memenuhi tujuan pemidanaan, sampai saat ini masih menyisakan berbagai persoalan.

Di negara Indonesia, negara tidak memiliki otoritas keagamaan (Theokrasi) dan negara Indonesia juga bukanlah negara sekuler murni. Dalam hal ini, kaitannya dengan Undang-Undang Penodaan Agama akan menimbulkan berbagai pertanyaan. Mengenai penafsiran sesuatu agama, maka tafsiran atas ajaran mana yang akan dipilih? Kegiatan keagamaan yang seperti apa yang sesuai dan yang menyimpang dari ajaran agama?

Tak kalah pentingnya, dari aspek hukum pidana juga muncul pertanyaan. Apakah kebijakan hukum pidana dalam menentukan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama sebagai tindak pidana sudah tepat dikategorikan sebagai kejahatan? Apakah pemidanaan terhadap penodaan agama sudah memenuhi tujuan pemidanaan? Apakah secara substansi Undang-Undang Penodaan Agama masih relevan diterapkan pada masa sekarang ini? Apakah hukum pidana dalam menanggulangi penodaan agama dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2008 sudah tepat?


(17)

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul

“Analisis Kebijakan Hukum Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, penulis memilih beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun permasalahan yang akan dibahas, antara lain:

1. Bagaimana pengaturan terhadap tindak pidana penodaan agama di Indonesia? 2. Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam RKUHP untuk Mencegah dan/atau

Menanggulangi Tindak Pidana Penodaan Agama?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini, antara lain:

1. Untuk mengetahui pengaturan terhadap tindak pidana penodaan agama di Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana dalam RKUHP untuk Mencegah dan/atau Menanggulangi Tindak Pidana Penodaan Agama.


(18)

D. Manfaat Penulisan

1. Secara teoritis, kiranya kehadiran skripsi ini mampu mampu memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum pidana khususnya mengenai kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana penodaan agama. Kiranya skripsi ini juga mampu memenuhi hasrat keingintahuan para pihak yang ingin ataupun sedang mendalami pengetahuan mengenai tindak pidana penodaan agama, baik itu mahasiswa, akademisi, maupun masyarakat luas.

2. Secara praktis, manfaat dari skripsi ini dapat memberikan informasi hukum kepada semua kalangan, terutama penegak hukum tentang kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana terhadap kepentingan agama, serta memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan di bidang penegakan hukum terhadap tindak pidana kepentingan agama, dalam hal pembentukan dan penerapan undang-undang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.

E. Keaslian Penulisan

Untuk mengetahui orisinalitas penulisan, sebelum melakukan penulisan skripsi berjudul “ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM

UNDANG-UNDANG NO 1/PNPS/1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA”, terlebih


(19)

dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 28 Oktober 2011 (terlampir) menyatakan ada satu judul yang memiliki sedikit kesamaan. Adapun judul skripsi tersebut adalah “Analisis Hukum dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama (Islam) di Indonesia” yang ditulis oleh Ismuhadi / 020200092.

Surat dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tersebut kemudian dijadikan dasar bagi Ibu Liza Erwina, S.H, M.Hum. (sekretaris Departemen Hukum Pidana) untuk menerima judul yang diajukan oleh penulis, karena substansi yang terdapat dalam skripsi ini dinilai berbeda dengan judul-judul di atas.

Penulisan skripsi ini juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal itu adalah diluar sepengetahuan dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran Penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori, dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


(20)

F. Tinjauan Kepustakaan

Penulisan skripsi ini berkisar tentang Analisis Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Undang-Undang No 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Adapun Tinjauan Kepustakaan tentang skripsi ini, adalah sebagai berikut :

1. Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan Hukum Pidana biasa disebut dengan Politik Hukum Pidana. Politik Hukum pidana merupakan upaya menentukan ke arah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia di masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. Marc Ancel, pernah menyatakan bahwa

modern criminal science terdiri dari tiga komponen yaitu criminology, criminal law, dan penal policy. Dikemukakannya, penal policy adalah suatu

ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya pembuat undang-undang tetapi kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada pelaksana putusan pengadilan.12

12

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005, hlm 21.

Sudarto menyatakan untuk melaksanakan Politik Hukum Pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dengan kata lain, melaksanakan Politik Hukum Pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang


(21)

sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.13

Politik Hukum Pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan : (a) seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui, (b) apa yang dapat diperbuat untuk mencegah ter jadinya kejahatan, (c) cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan hukum pidana harus dilaksanakan.14

2. Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

Pengertian Politik Hukum Pidana sebagaimana yang dikemukan di atas dapat disimpulkan, bahwa Politik Hukum Pidana adalah upaya menentukan ke arah mana pemberlakuan hukum pidana yang akan datang dengan melihat dan menyesuaikan keadaan penegakan hukum pada saat ini.

Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama merumuskan mengenai tindak pidana terhadap kepentingan agama. Ada dua delik yang diatur dalam undang-undang ini, yaitu delik penyelewengan agama dan delik anti agama. Delik penyelewengan agama adalah perbuatan-perbuatan menafsirkan atau melakukan kegiatan agama yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 merumuskannya sebagai berikut :

13

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008, hlm 18-19.

14


(22)

“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”

Perumusan dalam delik penyelewengan agama, ada dua hal yang perlu dianalis, yaitu pengertian penafsiran dan perbuatan. Persoalan utamanya adalah bahwa “pokok-pokok ajaran” yang menjadi ukuran “penyimpangan” tidak dapat menjadi alasan suatu tindakan hukum tanpa membenahi pemerintah, secara langsung atau tidak langsung, dengan otoritas keagamaan yang terlalu besar.

Delik anti agama terbagi dalam dua hal yaitu delik penodaan agama dan delik menganjurkan agar orang tidak menganut suatu agama. Perbuatan melanggar ketentuan ini diancama dengan pidana maksimal lima tahun penjara.

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 merumuskannya sebagai berikut :

“Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 156a

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan :

a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama

apapun juga, yang bersedikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.” Penggunaan sarana hukum pidana terhadap tindak pidana penyalahgunaan dan/atau penodaan agama tetap diakomodir dalam Rancangan KUHP


(23)

(RKUHP) Tahun 2008, dan bahkan diatur dalam bab tersendiri yaitu Bab VII Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama. Dalam RKUHP 2008, Tindak Pidana terhadap Agama meliputi Penghinaan terhadap Agama (Pasal 341, Pasal 342, Pasal 343, Pasal 344) dan Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama, sedangkan Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah meliputi gangguan terhadap penyelenggaraan ibadah dan keagamaan (Pasal 346, Pasal 347) dan perusakan tempat ibadah (Pasal 348).

3. Pembaharuan Hukum Pidana

Pembaharuan Hukum Pidana (penal reform) termasuk dalam bidang kebijakan hukum pidana (penal policy) yang merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy), kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) dan kebijakan sosial (social policy).

Usaha pembaharuan hukum pidana ini, tidak saja identik dengan pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), melainkan pembaharuan hukum pidana lebih bersifat komprehensif dari pembaharuan dalam bidang struktur, kultur dan materi hukum.15

15

Barda Nawawi Arief menyatakan, bahwa tidak ada artinya hokum pidana (KUHP) diperbaharui apabila tidak dipersiapkan atau tidak disertai dengan perubahan ilmu hukum pidananya. Dengan kata lain, criminal law reform atau legal substance reform harus disertai pula dengan pembaharuan ilmu ilmu pengetahuan tentang hukum pidananya. Bahkan harus disertai pula dengan pembaharuan budaya hukum masyarakat (legal structure reform). Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, halaman 133.

Menurut Sudarto, pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh itu harus meliputi pembaharuan


(24)

hukum pidana material, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana.16

Pembaharuan Hukum Pidana harus dilakukan dengan cara pendekatan kebijakan, sehingga pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.17 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa upaya melakukan pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan yang meliputi : 18

1. Kebijakan untuk memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka mengefektifkan penegakan hukum;

2. Kebijakan untuk memberantas atau menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat;

3. Kebijakan untuk mengatasi masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai dan menunjang tujuan nasional yaitu social

defence dan social welfare;

4. Upaya peninjauan dan penilaian kembali pokok pemikiran, ide-ide dasar, nilai-nilai filosofik, sosio politik dan sosio cultural yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum pidana.

G. Metode Penelitian

Diperlukan metode penelitian sebagai suatu tipe cara secara sistematis yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian skripsi ini, yang pada akhirnya

16

Sudarto, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, BPHN Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bandung : Binacipta, 1986, hlm. 94.

17

Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm 25. 18


(25)

bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini, metode yang dipakai adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal yang dapat diartikan sebagai penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan sekunder.19

Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap norma-norma hukum yaitu yang merupakan patokan-patokan untuk bertingkah laku yang terdapat dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

Metode penelitian hukum normatif pada penulisan skripsi ini menggunakan beberapa penelitian hukum yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum, dan penelitian untuk menemukan hukum in concreto.

20

Penelitian hukum in concreto yang dilakukan adalah untuk menemukan hukum yang sesuai untuk diterapkan in concreto guna menyelesaikan suatu permasalahan

. Asas-asas hukum yang dimaksud dapat dibedakan menjadi asas hukum konstiutif dan asas hukum regulatif dimana kedua asas ini merupakan landasan dasar pembentukan hukum yang mengikat dan berkeadilan.

21

yaitu hukum yang sesuai dalam menanggulangi tindak pidana penodaan agama.

19

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta : Rajawali Press, 2007, hlm. 13-14.

20

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesiam Jakarta, hlm. 15.

21


(26)

2. Jenis dan Sumber Data

Penelitian Yuridis Normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data utama. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian. Peneliti mendapat data yang sudah jadi yang dikumpulkan oleh pihak lain dengan berbagai cara atau metode, baik secara komersial maupun nonkomersial22

1) Bahan-bahan hukum primer

. Data sekunder yang dipakai penulis adalah sebagai berikut :

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, antara lain :

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana);

c) Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama j.o Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden sebagai Undang-Undang;

d) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; e) Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 140/PUU-VII/2009

mengenai Pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

22

Diambil dari http://id.wikipedia.org, diakses pada tanggal 13 November 2011 Pukul 13.00 WIB.


(27)

2) Bahan-bahan hukum sekunder

Berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.

3) Bahan-bahan hukum tersier

Yaitu bahan-bahan penunjang yang memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder. Bahan hukum tersier lebih dikenal dengan bahan acuan di bidang hukum atau bahan rujukan di bidang hukum, misalnya abstrak perundang-undangan, biografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, kamus hukum, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi pustaka (literature research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu internet. Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis memadukan, mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku dan arti-arti yang berhubungan dengan judul skripsi.

4. Analisis Data

Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya23

23

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Depok: Universitas Indonesia Press, 1994, hlm. 69.

. Metode analisis data yang dilakukan penulis adalah analisa kualitatif, yaitu dengan :


(28)

a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan.

d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

H. Sistematika Penulisan

Pembahasan dan Penyajian suatu penelitian harus terdapat keteraturan agar terciptanya karya ilmiah yang baik. Maka dari itu, penulis membagi skripsi ini dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu sama lain, karena isi dari skripsi ini bersifat berkesinambungan antara bab yang satu dengan bab yang lainnya.

Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I: PENDAHULUAN

Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan. BAB II: PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENODAAN


(29)

Pada bagian pertama akan mengemukakan pengaturan tindak pidana penodaan agama dalam Hukum Indonesia.

Pada bagian kedua akan menyajikan kelemahan rumusan tindak pidana penodaan agama dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965.

BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA

Pada bagian pertama akan mengemukakan tentang Kebijakan Hukum Pidana.

Pada bagian kedua akan mengemukakan Perumusan Tindak Pidana Penodaan Agama dalam RKUHP Tahun 2008 serta Tujuan Pemidanaan pada RKUHP Tahun 2008.

BAB V PENUTUP

Pada bab terakhir ini, akan dikemukakan kesimpulan dari bagian awal hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari substansi penulisan skripsi ini, dan saran-saran yang penulis ciptakan dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.


(30)

BAB II

PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA

A. Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Hukum Indonesia

Kata “penodaan/penghinaan” terhadap agama memiliki padanan istilah dalam bahasa aing yaitu Godslastering (Belanda) dan Blasphemy (Inggris). Kata

Blasphemy berasal dari bahasa Inggris zaman pertengahan yaitu blasfemen, yang

pada gilirannya berhubungan dengan bahasa Yunani yaitu blasphemein, berasal dari kata blaptein artinya untuk melukai dan pheme artinya reputasi.24

Menurut Black’s Law Dictionary, blasphemy adalah irreverence toward

God, religion, a religious icon, or something else considered sacred25 yang

artinya ketidakhormatan kepada Allah, agama, suatu simbol agama, atau sesuatu yang lain dianggap suci. Menurut Rollin M. Perkins & Ronald N. Boyce,

blasphemy is the malicious, revilement of God and Religion26 yang artinya dengan

niat jahat menghina Tuhan dan Agama. Menurut Kamus Online Merriam-Webster27

24

, blasphemy adalah 1) a: the act of insulting or showing contempt or

lack of reverence of God; b: the act of claiming the attributes of deity, 2) irreverence toward something considered sacred or inviolable yang artinya 1) a:

tindakan menghina atau menunjukkan penghinaan atau kurangnya penghormatan kepada Tuhan; b: tindakan mengklaim atribut ketuhanan, 2) ketidakhormatan

Januari 2012 Pukul 13.25 WIB.

25

Bryan A. Gamer (Edition in Chief), Black’s Law Dictionary 9th Edition, West Thomson

Reuters, St. Paul, 2009, hlm. 193. 26

Ibid. 27

Januari 2012 Pukul 13.25 WIB.


(31)

terhadap sesuatu yang dipandang suci atau sesuatu hal tidak dapat diganggu-gugat.

Di Indonesia Pancasila merupakan ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia dan merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara Indonesia.28

Indonesia adalah Negara hukum yang tidak menganut pemisahan yang tajam antara Negara dan agama (sekuler) seperti dianut oleh Negara-negara barat dan Negara-negara sosialis

Sila Pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, merupakan pengakuan bahwa Negara Indonesia memandang agama adalah salah satu tiang pokok dari kehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah sebagai sendi perikehidupan Negara dan unsur mutlak dalam usaha nation building. Meskipun demikian, dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Isi pasal tersebut mempertegas bahwa Indonesia bukan Negara agama, sehingga dapat dikatakan bahwa di Indonesia tidak ada perlakuan khusus terhadap suatu agama apapun.

29

sehingga pengaturan mengenai delik-delik agama dalam peraturan perundang-undangan pidana dipandang sebagai suatu pembatasan yang konstitusional terhadap kebebasan beragama dan kepercayaan.30

Istilah delik agama dapat mengandung beberapa pengertian, yaitu delik

menurut agama, delik terhadap agama, delik yang berhubungan dengan agama.31

28

Pasal Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

29

Oemar Seno Adji, op.cit. 30

Ibid, hlm. 49. Lihat juga Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan landasan hukum bagi pembatasan terhadap kebebasan (hak asasi manusia) di Indonesia.

31

Barda Nawawi Arief, op.cit, hlm. 302.


(32)

pencurian, penipuan, penghinaan, fitnah, dan delik-delik kesusilaan (zinah dan pemerkosaan). Delik terhadap agama terlihat terutama dalam Pasal 156a KUHP (penodaan terhadap agama dan melakukan perbuatan agar orang tidak menganut agama), termasuk juga Pasal 156 KUHP dan Pasal 157 KUHP (penghinaan terhadap golongan/penganut agama; dikenal dengan istilah group libel). Delik

yang berhubungan dengan agama dalam KUHP tersebar antara lain dalam Pasal

175 s.d 181 KUHP dan Pasal 503 ke-2 yang meliputi perbuatan-perbuatan :

1) Merintangi pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (Pasal 175);

2) Mengganggu pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (Pasal 176);

3) Menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diizinkan (Pasal 177 huruf (a));

4) Menghina benda-benda untuk keperluan ibadah (Pasal 177 huruf (b)); 5) Merintangi pengangkutan mayat ke kuburan (Pasal 178);

6) Menodai/merusak kuburan (Pasal 179);

7) Menggali, mengambil, memindahkan jenazah (Pasal 180);

8) Menyembunyikan, menghilangkan jenazah untuk menyembunyikan kematian/kelahiran (Pasal 181);

9) Membuat gaduh dekat bangunan untuk ibadah atau pada waktu ibadah dilakukan (Pasal 503 ayat 2).


(33)

Tindak pidana penodaan agama dalam Pasal 156a KUHP tidak berasal dari

Wetboek van Strafrechts (WvS) Belanda, melainkan dari Undang-Undang No.

1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama . Adapun maksud dari undang-undang itu dibentuk adalah32 pertama, untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran-ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan (Pasal 1-3); dan kedua, untuk melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa (Pasal 4). Akan tetapi, bila dilihat dari sejarah dibentuknya undang-undang tersebut adalah dalam rangka pengamanan Negara dan ketertiban masyarakat untuk mendukung cita-cita revolusi nasional dan pembangunan nasional semesta menuju masyarakat adil dan makmur dan untuk mencegah penyalahgunaan atau penodaan agama.33

32

TIM ADVOKASI KEBEBASAN BERAGAMA, 2009, Permohonan Pengujian

Materiil Undang Undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama Terhadap Undang-undang Dasar 1945, Jakarta.

33

Siti Aminah dan Uli Parulian Sihombing, Buku Saku untuk Kebebasan

Beragama MEMAHAMI PENDAPAT BERBEDA (Dissenting Opinion) PUTUSAN UJI MATERIIL UU PENODAAN AGAMA, Jakarta : The Indonesian Legal Resource Center (ILRC),

2011, hlm. 2.

Undang-undang ini terdiri dari empat pasal yang lengkapnya sebagai berikut :

Pasal 1

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dari kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.


(34)

Penjabaran delik pada Pasal 1 diatas ke dalam unsur-unsurnya dapat diuraikan sebagai berikut :

Unsur Objektif, terdiri dari : - Unsur “menceritakan”

- Unsur “menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum”

- Unsur “untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dari kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”

- Unsur “di muka umum”

Unsur Subjektif, terdiri dari unsur “dengan sengaja” Pasal 2

(1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

(2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 3

Apabila setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam Pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus malanggar ketentuan dalam Pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.


(35)

Pasal 4

“Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 156a

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan :

a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersedikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam rumusan Pasal 156a diatas, terdapat 2 (dua) bentuk kejahatan yaitu:34

1) Kejahatan yang pertama, unsur-unsurnya sebagai berikut : Unsur Objektif, terdiri dari :

- Unsur “mengeluarkan perasaan”

- Unsur “melakukan perbuatan” yang bersifat permusuhan; penyalahgunaan; penodaan

- Unsur “suatu agama yang dianut di Indonesia” - Unsur “di muka umum”

Unsur Subjektif, terdiri dari unsur “dengan sengaja” 2) Kejahatan yang kedua, unsur-unsurnya sebagai berikut :

Unsur Objektif, terdiri dari :

- Unsur “mengeluarkan perasaan” - Unsur “melakukan perbuatan” - Unsur “di muka umum”

34

Pendapat Adami Chazawi, Dosen FH Universitas Brawijaya, di Hari Kamis 15 Maret 2012 pukul 16.45 WIB.


(36)

Unsur Subjektif, terdiri dari unsur “dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersedikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.

Pasal 156a yang mengatur mengenai penodaan agama merupakan bagian dari Pasal 156 yang ditempatkan pada Bab V “Kejahatan terhadap Ketentuan Umum” KUHP yang mengatur perbuatan menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap orang atau golongan lain di depan umum, juga terhadap orang yang berlainan suku, agama, keturunan dan sebagainya. Pasal-pasal tersebut tampaknya merupakan penjabaran dari prinsip anti-diskriminasi dan untuk melindungi minoritas golongan dan termasuk golongan aliran kepercayaan dari kesewenang-wenangan kelompok mayoritas.

Alasan aturan penodaan agama perlu dimasukkan dalam KUHP, dengan memperhatikan konsideran dalam Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tersebut, menyebutkan beberapa hal yaitu :35

1) Undang-undang ini dibuat untuk mengamankan Negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional dimana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi.

2) Timbulnya berbagai aliran kepercayaan atau organisasi kebathinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan undang-undang ini.

35

Kardoman Tumangger, Penanggulangan Tindak Pidana Penodaan Agama, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, dikutip dari IGM Nurdjana, Hukum dan Aliran Kepercayaan

Menyimpang di Indonesia, Peran Polisi, Bakorpakem & Pola Penanggulangan, Yogyakarta :


(37)

3) Aturan ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan; dan aturan ini melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

4) Seraya menyebut enam agama yang diakui pemerintah (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu (Confusius)), undang-undang ini berupaya sedemikian rupa agar aliran-aliran keagamaan di luar enam agama tersebut dibatasi kehadirannya.

Dasar yang digunakan untuk memasukkan delik agama dalam KUHP adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai “causa prima” Negara Indonesia, UUN NRI Tahun 1945 Pasal 29 juga menyebutkan bahwa Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, kalau ada orang yang mengejek dan penodaan Tuhan yang disembah tidak dapat dibiarkan tanpa pemidanaan. Atas dasar itu, dengan melihat Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai titik sentral dari kehidupan kenegaraan, maka delik Goslastering sebagai blasphemy menjadi prioritas dalam delik agama.36

36


(38)

B. Kelemahan Rumusan Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965

1. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tidak Memenuhi Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik

Suatu ketentuan pidana yang dirumuskan dalam sebuah undang-undang harus memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan undang- perundang-undangan yang baik, diantaranya asas kejelasan rumusan (lex certa) dan asas dapat dilaksanakan (enforceable). Asas kejelasan rumusan dan asas dapat dilaksanakan merupakan dua asas perundang-undangan yang paling relevan dibicarakan dalam penegakan hukum pidana. Asas legalitas sebagai tiang pokok asas-asas hukum pidana, dimana salah satu gagasan utamanya bahwa tindak pidana harus diatur melalui perundang-undangan yang spesifik dan sejelas mungkin (lex certa)dan tertentu (lex scripta). Jadi suatu aturan pidana harus dirumuskan dengan sejelas mungkin sehingga tidak menimbulkan multitafsir atau bahkan kesimpangsiuran penafsiran dalam penerapan dan penegakannya.

Tidak terpenuhinya asas-asas tersebut dapat dilihat pada hampir setiap pasal dalam undang-undang a quo, yaitu :

a. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Pasal 1 UU Penodaan Agama menyatakan,

“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dari kegiatan-kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”


(39)

Dalam Penjelasan undang-undang a quo :

a. Yang dimaksud dengan “kegiatan keagamaan adalah segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai agama, mempergunakan istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran keyakinannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya.

b. Yang dimaksud dengan “pokok-pokok ajaran agama” adalah ajaran agama dimana dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alat-alat atau cara-cara untuk menyelidikinya.

Rumusan Pasal 1 UU ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena sejumlah frasa seperti “penafsiran yang menyimpang” maupaun

“pokok-pokok ajaran agama” merupakan klausul yang multitafsir yang

dapat digunakan untuk membatasi kebebasan beragama orang lain, frasa seperti “penafsiran yang menyimpang” maupun “pokok-pokok ajaran

agama” tidak dijelaskan secara rinci dan lengkap dalam penjelasan

Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965.

Dalam undang-undang a quo, yang dimaksud dengan “pokok-pokok ajaran agama” adalah ajaran agama (dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan) dimana dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alat-alat atau cara-cara untuk menyelidikinya. Dengan kata lain, Negara melalui Departemen Agama dan pendapat para ulama/tokoh agama yang bersangkutan dengan alat-alat atau cara-cara tersendiri untuk menyelidiki


(40)

“pokok-pokok ajaran agama”, berwenang menetapkan pokok-pokok ajaran agama yang benar dan yang menyimpang. Penetapan pokok-pokok ajaran agama ini oleh Negara seharusnya tidak dapat dibenarkan karena Negara Indonesia (Pemerintah melalui Departemen Agama) tidak memiliki otoritas keagamaan, demikian juga tokoh-tokoh agama juga tidak dapat, karena tidak ada otoritas tunggal dalam sebuah agama yang dapat menentukan suatu aliran/kepercayaan sesat atau menyimpang dari

“pokok-pokok ajaran agama” yang benar.37

Tentang melakukan “penafsiran yang menyimpang”, sesungguhnya semua penafsiran adalah terkait dengan naluri manusia untuk senantiasa mencari kebenaran sebagai mahluk yang dikaruniai akal.

Oleh karena itu, bagian dari agama yang hendak dilindungi yaitu “pokok-pokok ajaran agama” sebenarnya sangat sulit untuk ditentukan dan bersifat multitafsir, karena adanya perbedaan pendapat antara kelompok agama yang satu dengan yang lainnya mengenai “pokok-pokok ajaran agama” tersebut.

38

37

Frans H. Winarta, “Agama tidak Mememerlukan Pengakuan Negara secara Resmi dan Diatur Hukum” , http ://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/81088494.pdf, diunduh pada Jumat 17 Februari 2012 pukul 15.00 WIB. Pendapat serupa juga disampaikan oleh para ahli dalam sidang Uji Mareil UU Penodaan Agama yaitu antara lain, pendapat dari Pdt, Sae Nababan, Frans Magnis Suseno, Ulil Abshar Abdalla, Jalalluddin Rakhmat, serta Rumadi (Dosen IUN Syarif Hidayatullah).

38

Oleh karena itu, masing-masing penafsiran memiliki potensi kebenaran, tetapi juga potensi kesalahan. Membatasi kemungkinan sekelompok orang untuk melakukan penafsiran, berarti menutup kemungkinan bagi munculnya bentuk penafsiran yang mungkin lebih baik. Suatu penafsiran yang menyimpang pada suatu waktu tertentu akan dianggap sesat, akan tetapi mungkin pada masa yang akan datang tidak akan dianggap sebagai penafsiran yang menyimpang lagi sesuai dengan fakta historis. Sehingga dalam hal ini, ada relativitas mengenai definisi penafsiran yang menyimpang.

Oleh karena itu, frasa “penafsiran yang menyimpang” bersifat tidak tetap dan bertentangan dengan aspek historis agama itu sendiri, frasa


(41)

ini juga multitafsir, dan tidak memenuhi asas lex certa sebagaimana diharuskan dalam hukum pidana.

Sebagaimana, frasa “penafsiran yang menyimpang” tidak diberi penjelasan, demikian juga frasa “kegiatan keagamaan yang menyimpang” tidak diberi penjelasan. Oleh karena itu, frasa ini juga bersifat multitafsir sebagaimana frasa “pokok-pokok ajaran agama” dan frasa “penafsiran

yang menyimpang”.39

b. Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Pasal 1 UU Penodaan Agama menyatakan,

(1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

(2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Mneteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

Sebagaimana telah diuraikan diatas, rumusan, kaidah, maupun norma dalam Pasal 1 tidak memenuhi asas lex certa yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa suatu rumusan ketentuan pidana harus jelas untuk menjamin kepastian hukum. Rumusan yang tidak jelas dan dapat menimbulkan multitafsir dalam Pasal 1 akan menegakibatkan efektivitas penegakan hukum terhadap Pasal 2 juga akan mengalami gangguan,

39

Tidak adanya penjelasan frasa “kegiatan keagamaan yang menyimpang” merupakan konsekuensi hukum dari rumusan sebelumnya tentang “penafsiran yang menyimpang” yang juga tidak diberikan penjelasan oleh undang-undang a quo.


(42)

karena apa yang diatur dalam Pasal 2 adalah ketentuan lebih lanjut dari apa yang diatur dalam Pasal 1.

Ketentuan Pasal 2 ayat (2) maupun dalam Penjelasan Umum ada frasa yang menimbulkan multitafsir dan diperlukan penjelasan lebih lanjut yakni frasa “organisasi kebathinanatau sesuatu aliran kepercayaan” yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama. Kewenangan memberikan “perintah dan peringatan keras” adalah bentuk dari pemaksaan (coercion) atas kebebasan beragama yang sejatinya merupakan hak yang melekat dalam diri setiap manusia. Pemaksaan berupa “perintah dan peringatan keras” menyebabkan Negara terjebak dalam intervensi atas kebebasan beragama yang merupakan hak asasi yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, pelarangan yang ditujukan untuk membubarkan sebuah organisasi/aliran terlarang bersifat sanksi administrative sehingga tidak dapat dijadikan tolak ukur/jaminan seseorang meninggalkan ajarannya karena yang mau diluruskan adalah keyakinannya yang menyimpang bukan organisasi/alirannya.40

c. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Pasal 1 UU Penodaan Agama menyatakan,

“Apabila setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam Pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus malanggar ketentuan dalam Pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun”

40

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 2 ayat (2) yang merupakan sanksi administrasi bagi organisasi kebathinan/aliran kepercayaan yang melanggar Pasal 1 undang-undang a quo.


(43)

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 merupakan ketentuan pidana sebagai tindakan lanjutan terhadap anasir-anasir yang tetap mengabaikan peringatan tersebut di Pasal 2. Dalam praktik penegakan hukum, misalnya dalam kasus Mas’ud Simanungkalit, Yusman Roy, dan Lia Eden, pasal a

quo selalu digunakan untuk mengadili pemikiran dan keyakinan

seseorang. Menghukum keyakinan seseorang tidak akan mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri. Oleh karena itu, dalam beberapa kasus ajaran sesat yang dianggap “menodai” agama di Indonesia, setelah pelaku keluar dari penjara, mereka tetap meyakini apa yang ada dalam pikiran mereka, sehingga dapat dikatakan bahwa pemidanaan melalui pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan tidak mencapai tujuannya.41

d. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965

Pasal 4 UU Penodaan Agama menyatakan,

“Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 156a

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan :

c. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

d. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.

Ketentuan dalam Pasal 4 undang-undang a quo sudah tidak ada masalah. Pasal 4 yang menyisipkan pasal baru dalam KUHP yaitu Pasal

41

Rumusan pada pasal 3 undang-undang a quo dapat dikatakan bertentangan dengan syarat kriminalisasi karena tidak dapat berjalan efektif (unforceable) karena tidak dapat menggambarkan perbuatan yang dilarang dengan teliti (precision principle) sehingga bertentangan dengan prinsip kepastian hukum.


(44)

156a, harus dipahami sebagai pasal yang mengatur penghinaan agama

(blasphemy), sehingga tidak ada keterkaitan antara Pasal 1, 2, 3 dan pasal

4. Harus dipahami bahwa frasa “penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama” yang diatur dalam Pasal 156a bagian (a) bukanlah “penafsiran dan kegiatan keagamaan yang menyimpang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, melainkan penghinaan atau penyebaran kebencian yang didasarkan atas agama atau ajaran agama tertentu. Oleh karena itu, frasa “penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama di Indonesia” perlu diganti dengan kata “penghinaan terhadap suatu agama di Indonesia”. Delik “penghinaan” merupakan delik materil yang perumusan dalam KUHP tidak menemui masalah.

Pada intinya, Pasal 1, 2, dan 3 undang-undang a quo harus dilakukan pemikiran kembali agar sesuai dengan asas-asas hukum pidana. Apabila rumusan tersebut tidak segera direvisi, maka akan sulit ditegakkan atau dapat ditegakkan akan tetapi tidak dapat menjamin kepastian hukum atau bahkan mencederai rasa keadilan dalam proses penegakannya.

2. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 sudah Tidak Sesuai/Tidak Mengikuti Perkembangan Masyarakat

Penpres ini lahir dari situasi saat dinamika sosial politik Indonesia diwarnai persaingan antar ideologi-idologi besar seperti nasionalisme, agama, dan komunisme. Saat itu timbul aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama. Situasi ini dinilai menimbulkan pelanggaran hukum, memecah persatuan nasional, menyalahgunakan dan/atau mempergunakan agama, dan menodai agama. Perkembangan aliran dan


(45)

organisasi kebatinan dianggap telah berkembang ke arah membahayakan agama-agama yang ada dan mengancam persatuan nasional.42

Sejak era reformasi, pemerintah dan masyarakat Indonesia memberikan perhatian besar terhadap hak asasi manusia dan demokrasi.

Lahirnya undang-undang ini juga dilatarbelakangi situasi politik Indonesia pada saat itu, dimana Indonesia pada saat itu menganut Sistem Pemerintahan Demokrasi Terpimpin dan dijiwai cita-cita Revolusi Nasional.

Pemikiran untuk membentuk Penpres ini sangatlah beralasan karena pada waktu itu terdapat peristiwa yang mengancam persatuan dan kesatuan nasional yang berlatarbelakang agama dimana pada saat itu Negara masih lemah. Pemberontakan DI/TII untuk mendirikan Negara Islam Indonesia yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwirjo di Jawa Barat, Daud Beureuh di Aceh, Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan, Amir Fatah di Jawa Tengah, dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.

Alasan-alasan tersebut diatas pada akhirnya memicu Presiden Soekarno menerbitkan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Penpres No. 1/1965) pada tanggal 26 Januari 1965 dengan ketentuan bahwa materi penpres tersebut harus ditampung dan dijadikan bahan bagi penyusunan undang-undang yang baru.

43

42

Siti Aminah dan Uli Parulian Sihombing, Op.Cit, hlm. 1-2. 43

Hal ini ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Amandemen II UUD 1945 dalam Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia dan terbentuknya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bertujuan mengadvokasi HAM.


(46)

Pencabutan Undang-Undang Nomor 10/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-V/2007 yang mencabut Pasal 154-155 KUHP mengenai pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah, dan meratifikasi berbagai berbagai Konvensi Internasional yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia.

Jadi, latar belakang dan sejarah lahirnya penpres tersebut dengan kondisi saat ini sudah sangat berbeda sehingga sudah selayaknya peraturan ini disesuaikan dengan perkembangan zaman mengingat hukum merupakan suatu instrument yang harus mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat.44

Hukum yang baik adalah hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu.45

44

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Ahmad Fedyani Saifuddin (antropolog Universitas Indonesia) menyatakan perlu pembahasan ulang UU Penodaan Agama. Pemerintah perlu memperhitungkan relativisme kebudayaan dalam menerapkan hukum. Ia menyatakan secara antropologi, masyarakat mengalami perkembangan pesat, sehingga undang-undang harus bisa mengikuti perkembangan zaman. Taufik Ismail (budayawan) juga mengatakan bahwa UU tersebut ibarat sebagai pagar kayu di tebing yang tinggi, sehingga berbahaya kalau dicabaut. Meskipun begitu karena pagar-pagar tersebut sudah lama dan lapuk dan berumur beberapa dasawarsa, perlu diperbaiki. Pendapat ahli lainnya yang serupa adalah pendapat Andi Hamzah (pakar hukum pidana), Eddy OS. Hiariej (pakar hukum pidana), Azyumardi Azra, Thamrin A. Tamagola, Romo F.X. Mudji Sutrisno (rohaniawan Katholik), Emha Ainun Nadjib, Siti Zuhro, Moeslim Abdulrahman, Garin Nugroho (budayawan), Yusril Ihza Mahendra, W. Cole Durham, Jr. demikian juga pendapat dari Hakim Kontirusi Harjono yang berbeda pendapat (concurring

opinion) terhadap putusan. Lihat dalam Putusan, hlm. 162, 179, 183, 211-223, 239.

45

Mochtar Kusumaadmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan

Nasional, dalam Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung : PT Alumni, 2006,

hlm.10.

Bukan manusia yang mengikuti hukum tapi hukumlah yang harus menyesuaikan diri dengan perkembangan dan dinamika manusia. Oleh karena itu, produk hukum yang sudah ketinggalan zaman, diskriminatif, tidak mencerminkan keadilan dan kepastian


(47)

hukum dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, serta sering dijadikan dasar untuk melakukan kekerasan oleh kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya sudah sebaiknya diperbaiki agar tidak menjadi sekumpulan undang-undang yang tidak ditegakkan lagi (dead letter)dan tidak mendatangkan kesejahteraan dan kemanfaatan (utility) bagi mayarakat.

Perkembangan tindak pidana melalui media virtual juga tidak dapat diakomodir undang-undang a quo mengingat media virtual sewaktu undnag-undang a quo dikeluarkan belum berkembang pesat. Oleh karena itu, undnag- undang-undang a quo tidak akan efektif mencegah dan menanggulangi tindak pidana tindak pidana penodaan agama melalui media virtual. Hal ini dapt dilihat dari semakin banyaknya penodaan terhadap agama yang dilakukan melalui media virtual (internet) yang belum pernah ada diproses secara hukum melalui undang-undang a quo, karena tindak pidana penodaan agama merupakan delik biasa bukan delik aduan (klacht delict)46, maka sudah seharusnya penegak

hukum dapat menerapkan ketentuan pidana dalam undang-undang a quo terhadap tindak pidana penodaan agama yang banyak dilakukan melalui media virtual.47

46

Delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut, jika diadukan oleh orang yang merasa dirugikan. Delik aduan sifatnya pribadi/privat, yang memiliki syarat yaitu harus ada aduan dari pihak yang dirugikan. Selain itu, yang dimaksid dengan delik aduan/klach delict merupakan pembatasan inisiatif jaksa untuk melakukan penuntutan. Ada atau tidaknya tuntutan terhadap delik ini tergantung persetujuan dari yang dirugikan/korban/orang yang ditentukan oleh undang-undang. Delik ini membicarakan mengenai kepentingan korban.

47

Kebebasan untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945 sering disalahgunakan oleh sekelompok orang untuk menghina agama lain. Penghinaan terhadap agama lain ini bahkan secara terbuka dilakukan melalui website, blog, group, dan bahkan jejaring sosial.


(48)

3. Tujuan Pemidanaan pada KUHP dan UU No 1/PNPS/1965 Tidak Tercapai Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang merupakan penjabaran dari asas legalitas, disebutkan bahwa “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Ada 3 (tiga) makna yang terkandung dalam asas legalitas tersebut, yaitu :48 1. tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, apabila hal

itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu undang-undang;

2. untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh menggunakan analogi;

3. aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Dirumuskannya delik-delik agama dalam KUHP, sesuai dengan tujuan asas legalitas, dimaksudkan sebagai upaya pencegahan (prevensi) ataupun peringatan bagi masyarakat bahwa perbuatan penghinaan terhadap agama dan kehidupan beragama di Indonesia dilarang karena merupakan tindak pidana

(criminal act).

Tujuan pemidanaan yang dimaksud dalam KUHP tersebut adalah tujuan pemidanaan menurut teori deterrence, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan.49

Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah

48

Sarwini, Catatan Seminar Tinjauan Yuridis-Kriminologis Terhadap RUU-KUHP :

“Kriminalisasi” atas Penghinaan Agama dan Kehidupan Beragama, Surabaya, 13 Desember

2005, hlm. 3. 49

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy : Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal

Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2008, hlm.


(49)

untuk mengurangi frekuensi kejahatan (the justification for penalizing offences is

that this reduces their frequency). Penganut paham reductivism meyakini bahwa

pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini :50

1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan;

2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential imitators), dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya;

3. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dan ancaman pidana;

4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan;

5. Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara yang cukup lama.

50

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy : Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal

Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hlm.

72, dikutip dari Negel Walker (1995), Reductivism and deterrence, dalam A Reader on


(50)

Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect ini, dapat dibagi menjadi pencegahan umum (general deterrence) dan pencegahan khusus (individual or

special deterrence ).51 Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini Van Veen mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma, dan membentuk norma.52 Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence

effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali.

Sedangkan fungsi perlindungan kepada masyarakat memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku.53

Tujuan pemidanaan sebagai upaya pencegahan (deterrence) sebagaimana dijelaskan diatas, jika dianalisis terhadap beberapa kasus yang terjadi di Indonesia maka tujuan yang diharapkan tersebut tidak tercapai. Salah satunya adalah kasus Lia Eden yang sudah dua kali keluar dan masuk penjara dengan kasus tindak pidana penodaan agama.54 Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pemidanaan yang dimaksud tidak tercapai.

51

Mahmud Mulyadi, Op.Cit, hlm. 73. 52

Ibid, hlm. 74. 53

Madmud Mulyadi, Loc.Cit 54

WIB.


(51)

BAB III

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana

1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

Kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari politik hukum pidana. Mengkaji politik hukum pidana akan terkait dengan politik hukum.55 Ditinjau dari akar katanya, Politik Hukum adalah gabungan dari dua kata, yaitu politik dan hukum. Pengertian politik memiliki dua pengertian, yaitu politics: yakni politik sebagai ilmu (science) adalah suatu rangkaian asas, prinsip, cara/alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu; dan policy: politik sebagai seni (arts) adalah penggunaan pertimbangan tertentu yang dianggap lebih menjamin terlaksananya kegiatan usaha, cita-cita atau keinginan/keadaan yang dikehendaki.56 Menurut Soedarto57

1. Perkataan politiek dalam bahasa Belanda berarti sesuatu yang berhubungan dengan Negara;

istilah politik dipakai dalam berbagai arti, yaitu:

55

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan

Kriminalisasi dan Diskriminalisasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hlm.11.

56

HM. Wahyudin Husein dan H. Hufron, Hukum Politik & Kepentingan, Yogyakarta : LaksBang PRESSindo, 2008, hlm. 12.

57

Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat : Kajian terhadap

Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung : Penerbit Sinar Baru, 1983, hlm. 16. Lihat juga M. Arief

Amrullah, Politik Hukum Pidana : dalam Rangka Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di


(52)

2. Berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan Negara.

Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah "kebijakan hukum pidana" dapat pula disebut dengan istilah "politik hukum pidana". Dalam kepustakaan asing istilah "politik hukum pidana" ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain "penal policy", "criminal law policy" atau "strafrechtspolitiek".58 Berkaitan dengan itu dalam kamus besar Bahasa Indonesia memberikan arti terhadap istilah "politik" dalam 3 (tiga) batasan pengertian yaitu : 1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan (seperti sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan), 2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya), 3) cara bertidak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah) kebijakan.59

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, politik hukum60

58

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cet III, Bandung: PT. Citra Bakti, 2005, hlm. 24.

59

Barda Nawawi Arief, Op.cit., hlm. 27.

60

Ibid , hlm. 24-25.

adalah: 1. Usaha untuk mewujudkan peraturan – peraturan yang baik sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu saat.

2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.


(53)

Bertolak dari pengertian demikian, Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan "politik hukum pidana" berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang–undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan "politik hukum pidana" berarti, "usaha mewujudkan peraturan perundang– undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.

Hubungan antara politik dan hukum, Mahfud61

Menurut Solly Lubis

menjelaskan bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable (variable terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variable berpengaruh).

62

Kebijakan hukum pidana berarti usaha atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.

politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

63

Menurut A. Mulder, salah satu garis kebijakan yang harus ditentukan dalam kebijakan hukum pidana adalah seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang perlu diubah atau diperbaharui.64

61

Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : LP3ES, 1998, hlm. 1-2, dkutipl dari buku Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Diskriminalisasi.

62

Solly Lubis, Serba-Serbi Politik dan Hukum, Bandung : Mandar Maju, 1989, hlm. 49. 63

Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1981, hlm. 161. 64

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : PT Citra Aditya, Bakti, 2002, hlm. 25-26.

Pembaharuan hukum pidana pada negara-negara berkembang khususnya Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai-nilai yang dianut oleh


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1992.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : PT Citra Aditya, Bakti, 2002.

---, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005

Bryan A. Gamer (Edition in Chief), Black’s Law Dictionary 9th

HM. Wahyudin Husein dan H. Hufron, Hukum Politik & Kepentingan, Yogyakarta : LaksBang PRESSindo, 2008.

Edition, West Thomson Reuters, St. Paul, 2009.

Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : LP3ES, 1998.

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy : Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2008.

Mahmud Mulyadi & Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, Jakarta : PT Sofmedia, 2010.

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Bandung : PT.Refika Aditama, 2009


(2)

---, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, Medan: USU Press, 2010.

Mochtar Kusumaadmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, dalam Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung : PT Alumni, 2006.

Muladi & Barda Nawawi A, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana., Bandung : PT Alumni, 1998.

M.Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System & Implementasinya), Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003.

Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan. Jakarta : Sinar Grafika, 1993.

Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, Jakarta: Erlangga, 1985. PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : PT. Citra

Aditya Bakti, 1997.

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Bandung : Penerbit Alumni, 1982.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesiam Jakarta.

Siti Aminah dan Uli Parulian Sihombing, Buku Saku untuk Kebebasan Beragama MEMAHAMI PENDAPAT BERBEDA (Dissenting Opinion) PUTUSAN UJI MATERIIL UU PENODAAN AGAMA, Jakarta : The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), 2011.


(3)

Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1981.

---, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat : Kajian terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung : Penerbit Sinar Baru, 1983.

---, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, BPHN Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bandung : Binacipta, 1986. ---, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Jakarta :

Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Depok: Universitas Indonesia Press, 1994.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Press, 2007.

Solly Lubis, Serba-Serbi Politik dan Hukum, Bandung : Mandar Maju, 1989. Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian

Kebijakan Kriminalisasi dan Diskriminalisasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005.

B. SKRIPSI/TESIS/MAKALAH/JURNAL

Sarwini, Catatan Seminar Tinjauan Yuridis-Kriminologis Terhadap RUU-KUHP : “Kriminalisasi” atas Penghinaan Agama dan Kehidupan Beragama, Surabaya, 13 Desember 2005.

TIM ADVOKASI KEBEBASAN BERAGAMA, 2009, Permohonan Pengujian Materiil Undang Undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang


(4)

Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama Terhadap Undang-undang Dasar 1945, Jakarta.

Zainal Abidin Bagir, Suhadi Cholil, dkk, Makalah Posisi mengenai UU No.1/PNPS/1965 : ANTARA “PENODAAN” DAN “KERUKUNAN”, Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Maret 2010. Dr. Mudzakkir, S.H., M.H (Dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta),

UNDANG-UNDANG NO. 1/PNPS/1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA : Tinjauan dari Aspek Hukum Pidana, Makalah disampaikan pada Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 dengan tema “Undang-undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Menjaga Stabilitas Kerukunan Antar Umat Beragama” yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI di Hotel Inna Muara di Padang, 28 Juni 2010. Rumadi (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta), Makalah : DELIK PENODAAN AGAMA DAN KEHIDUPAN BERAGAMA DALAM RUU KUHP.

Kardoman Tuumangger, Skripsi : Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Penodaan Agama Dalam Rangka


(5)

Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010.

Idi Amin, Tesis : Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Delik Agama Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2007.

C. PERUNDANG-UNDANGAN DAN PUTUSAN PENGADILAN

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang-Undangan

D. WEBSITE

http://id.wikipedia.org,


(6)