Latar Belakang Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rekontruksi Identitas Perempuan dalam 1 Korintus 14 : 34 – 40 dari Perspektif Poskolonial Perempuan Kristen Jawa T2 752012003 BAB I

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut keyakinan agama Kristen, Allah pada mulanya menciptakan alam semesta dan manusia dalam waktu enam hari. Manusia diciptakan segambar dengan Allah, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia, laki-laki dan perempuan. Allah melihat untuk segala sesuatu yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam. Tuhan Allah memisahkan terang itu dari gelap, dan Ia menyebutkan terang itu hari dan gelap itu malam. Tuhan Alla h berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadang dengan dia.” 1 Melalui perkataan Tuhan Allah yang seperti itu maka bisa dipahami bahwa antara laki-laki dan perempuan sebenarnya sederajat. Perempuan dibuat dari tulang rusuk laki-laki dan bukan dari tanah seperti halnya hewan Kejadian 2:19-20. Dunia menganggap bahwa manusia itu terdiri dari laki-laki dan perempuan, berasal dari daging yang sama yaitu Adam dan Hawa Kejadian 2:23 dan keduanya bersama-sama mewakili umat manusia. 2 Alkitab sebagai kitab suci Agama Kristen memuat tentang keberadaan perempuan dan laki-laki. Misalnya dalam Jemaat di Korintus terdapat perempuan-perempuan yang bernubuat dan berdoa. Ada beberapa perempuan yang memiliki kemampuan di Filipi, seperti Lidia lihat Kisah para rasul 16 dan Euodia dan Sintikhe Filipi 4:2. Ada perempuan-perempuan lain yang disebut dalam Roma 16. Dalam ayat 7 Yunias disebut ”diantara para rasul,” ada kemungkinan bahwa nama ini adalah nama seorang perempuan. Maria, Trifena dan Trifosa yang terkenal karena pekerjaannya dan Yulia juga disebut. Disamping itu, janda-janda yang lebih tua di Efesus didaftarkan bukan hanya untuk menerima bantuan keuangan tetapi juga 1 Alkitab Edisi Studi, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2011, 36-37. 2 F.L. Bakker. Sejarah Kerajaan Allah 1, Jakarta : BPK Gunung Mulia, Cet.11.1996 , 16-22. 2 untuk mengambil bagian dalam pelayanan 1 Timotius 5:9-10. Semua bukti ini memberikan kesan bahwa Paulus melihat pekerjaan dari perempuan-perempuan Kristen sangat diperlukan dalam Jemaat Kristen. Meskipun demikian tidak ada kesan bahwa ia mengakui bahwa seseorang perempuan memegang suatu posisi kewenangan tertentu. 3 Rasul Paulus memberi kesan adanya konsep pemahaman yang melarang perempuan untuk terlibat aktif dalam pelayanan dan ibadah jemaat. Berdasarkan 1 Korintus 14:34-40, tindakan membatasi kesempatan kepada perempuan untuk terlibat secara aktif dalam kepemimpinan gereja. Paulus menganjurkan kepada jemaat di Korintus agar kaum perempuan tidak berbicara dan tidak terlibat pada ibadah jemaat. Ada alasan bahwa kaum Perempuan tidak diizinkan berbicara ialah karena mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh Hukum Taurat. Dalam ayat 21, Rasul Paulus telah mengacu pada hukum Taurat sebagai keseluruhan Perjanjian lama, dengan menggunakan cara para rabi dalam mengacu pada Kitab Suci. 4 Ternyata anjuran ini sering dijadikan dasar bagi gereja- gereja untuk membatasi peran dan keterlibatan perempuan hanya dalam bidang pelayanan tertentu. 5 Pemahaman teks yang tidak tepat ternyata sangat menghambat partisipasi secara total perempuan dalam kehidupan gereja, bahkan merupakan penolakan terhadap diterimanya perempuan dalam tingkat pengambilan keputusan digereja. Akibatnya, kepemimpinan gereja lebih banyak dominasi oleh kaum laki-laki sehingga dalam pengambilan keputusan gerejapun lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki. Sementara perempuan hanya berperan sebagai pelaksana-pelaksana keputusan yang dibuat oleh kaum laki-laki. 6 3 Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996, cetakan 4, 109-110. 4 V.C. Pfitzner,D.Theol, Kesatuan dalam Kepelbagaian tafsiran atas Surat 1 Korintus, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004, cet 4, 283. 5 Retnowati, Perempuan-perempuan dalam Alkitab, Peran, Partisipasi dan Perjuangan Jakarta : BPK Gunung Mulia,cet 1,2002, 80. 6 Retnowati, Perempuan, 80. 3 Pandangan Paulus terhadap perempuan banyak dipengaruhi oleh tradisi Yahudi dengan sistem patriarkalnya yang kuat. Sehingga dalam kehidupan Paulus hampir tidak ada kemungkinan menerapkan pemikiran Yesus seperti dalam Galatia 3:26-28 tentang kesamaan derajat antara laki-laki dengan perempuan. Sistem patriarkal mempunyai kesan adanya diskriminasi terhadap perempuan. 7 Alkitab dan tradisi gereja sering dijadikan dasar atau alasan penyebab terjadinya permasalahan ketidakseimbangan peran serta tempat antara laki-laki dan perempuan. Tradisi gereja selama berabad-abad telah menggunakan konsep-konsep Teolog-teolog Barat dan Timur. Para Teolog Barat dan Timur yang menganut sistem patriarkal membawa pengaruh yang besar sehingga peran perempuan sangat berbeda dengan laki-laki. Demikian pula dalam kehidupan masyarakat di pulau Jawa yang menganut sistem patriarkal, Perempuan Jawa selalu dianggap lebih rendah, lemah dan kurang mampu sehingga gampang dikuasai. Sedangkan laki-laki mempunyai kedudukan lebih tinggi, sebagai pihak yang menguasai, karenanya laki-laki lebih banyak mempunyai kesempatan untuk memegang kekuasaan dan kepemimpinan. Konsep inilah yang sering dan masih mempengaruhi cara dan pola berpikir Gereja Kristen Jawa di jaman ini. 8 Penulis yang lahir, hidup, hadir dan melayani di Gereja Kristen Jawa, merasakan begitu besar dampak dari sistem patriarkal ini. Kehidupan warga Gereja Kristen Jawa yang tidak bisa di lepaskan dari pengaruh budaya Jawa dengan Patriarkalnya. 9 Dalam budaya Patriarkal, laki-lakilah yang selalu mendominasi dan memegang kendali kehidupan. Budaya patriarkal akan terasa pengaruhnya apabila semakin mengenal dalam kehidupan masyarakat yang budaya Jawa. Kebudayaan Jawa telah tua umurnya, sepanjang orang Jawa ada di Pulau Jawa 7 Retnowati, “Perempuan,” 82. 8 Retnowati, Perempuan,” 79. 9 Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Ketiga, 2005, 837. pat.ri.ar.kat [n] sistem pengelompokan sosial yg sangat mementingkan garis turunan bapak 4 yaitu mulai pertengahan abad 3 ZB. Orang Jawa Pithecanthropus erectus yang sudah ratusan ribu tahun telah menempati dibumi Sangiran sekarang masuk wilayah Sragen, oleh para sarjana dunia disebut sebagai manusia yang tertua didunia. Menurut para ahli arkeologi, orang Jawa sudah mengerti tentang tata cara beribadah menurut keadaan dan situasi pada waktu itu. 10 Sedangkan yang dimaksud dengan Budaya Jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin. 11 Adapun ciri-ciri utama budaya Jawa selalu bersifat religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Religius artinya orang Jawa percaya kepada Tuhan sebagai sangkan paraning dumadi dengan segala sifat dan kebesarannya. Non doktriner berarti sebagai sifat yang lebih menghargai kebebasan atau bisa juga diartikan sebagai sifat yang demokratis. Sifat toleran budaya Jawa dalam hal ini bisa kita kaitkan dengan sifat budaya Jawa yang lain yaitu akomodatif, karena bisa dikatakan sikap akomodatif merupakan sikap lanjutan dari sebuah toleransi. Optimistik berarti sebagai sikap yang dilandasi pandangan positif dalam menghadapi segala hal. Kesemuanya itu melahirkan corak, sifat dan kecenderungan yang khas bagi orang Jawa. 12 Pengaruh budaya patriarkal dalam kehidupan orang Jawa sungguh sangat mendalam dan berakar. Orang Jawa sudah ditakdirkan untuk bertemu dengan bangsa lain. Seperti Bangsa India yang datang ke Jawa dengan membawa agama Hindu dan Budha, bangsa Cina yang mengungsi ke pulau Jawa dengan membawa agama Khong Hu Cu. Orang Arab dan sebagian orang Timur Tengah datang membawa agama Islam. Demikian pula dengan bangsa 10 Soetomo Siswokartono, WE, Filsafat Jawa Semarang: Yayasan Studi Basa Jawa “Kanthil”, 2010, 9. 11 Suwardi Endraswara, Buku Pinter Budaya Jawa Mutiara Adiluhung Orang Jawa Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2005, 1. 12 Sujamto, Refleksi Budaya Jawa,dalam Pemerintahan dan Pembangunan Semarang: Dahara Prize,1997,143- 144. 5 Barat yang semula datang hanya untuk berdagang, lalu karena mempunyai sifat yang serakah maka selanjutnya menjadi penjajah. Bangsa Barat kecuali membawa kebudayaan, juga membawa agama Nasrani Protestan. Pertemuan dari berbagai bangsa dan budaya inilah yang mempengaruhi adanya kontak budaya. 13 Misalnya secara konsep menganggap bahwa laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki adalah penulis sejarah kebudayaan Jawa yang tentu akan terus mempertahankan nilai kelaki-lakiannya. Kebudayaan Jawa menempatkan perempuan sebagai the second sex yang bahkan tercermin dalam ungkapan- ungkapan proverbial yang sangat mengunggulkan laki-laki. Hal ini didukung dengan ungkapan swargo nunut, neraka katut , yang berarti kebahagiaan atau penderitaan istri hanya tergantung kepada laki-laki, adalah contoh perempuan tidak berperanan dalam kehidupan. 14 Dalam paham “patriarki” yang terdapat didalam masyarakat yang berpola tradisional dijumpai suatu keadaaan tentang adanya” ketidaksetaraan gender” antara laki-laki dan perempuan. 15 Dalam kebudayaan Jawa, selama ini dikenal ada mitos peran bagi kaum perempuan yaitu ma-telu : masak memasak, macak berhias, dan manak melahirkan. 16 Berdasarkan budaya patriarkal yang sudah mendarah daging dalam hidup orang Jawa, peranan perempuan menjadi sangat kecil. Misalnya, dalam kehidupan bergereja, sejak berdirinya Gereja Kristen Jawa GKJ pada tahun 1931-1964, perempuan belum ada yang berperan menjadi Penatua, Diaken atau bahkan Pendeta. Hal ini disebabkan karena adanya peraturan yang diputuskan dalam aras Sinodal dan dijadikan pedoman hidup bergereja, misalnya : 17 Pitakenan Akta I 1949. Art. 31: Punapa tiyang estri kenging kacalonaken dados warga pradata? Wangsulanipun : 13 Siswokartono,WE, Filsafat, 6-7. 14 Ridjal,Fauzie, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia Yogyakarta : Tiara Wacana, 1993, 50. 15 Pusat Studi Budaya Jawa Progdi Pendidikan Sejarah FKIP UKSW, Pernik-Pernik Budaya Jawa2006, 4. 16 Monografi Lembaga Studi Realino-9,Perempuan dan Politik tubuh Fantasis Yogyakarta: Kanisius,1998, 24. 17 Himpunan Pokok-pokok Akta Sinode GKJ, No 2, dihimpun oleh Siwandargo Salatiga: Kantor Sinode Gereja- gereja Kristen Jawa 1976, 205-206. 6 Mboten. Pitakenan Akta V1956. Art. 75. Tiyang estri nglenggahi kalenggahan Tiyang estri ingkang karana kawontenan nglenggahi kalenggahan ing pasamuan punapa kenging? Wangsulanipun : boten kenging. Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia Pertanyaan Akta I1949. Art.31: Apakah perempuan boleh dicalonkan menjadi anggota Majelis? Jawanannya: tidak boleh. Pertanyaan Akta V1956. Art.75 tentang perempuan yang menjadi Majelis. Seorang perempuan yang karena keadaan tertentu, apakah boleh menduduki jabatan sebagai Majelis? Jawabannya: tidak boleh . Dalam perjalanan waktu, tepatnya delapan tahun kemudian terhitung sejak 1964 dalam Sidang Sinode GKJ, dimunculkan lagi usulan yang berkenaan dengan peran perempuan dalam jabatan gerejawi. Selanjutnya Sidang menyetujui bahwa perempuan diperbolehkan memegang jabatan gerejawi, baik sebagai pendeta, penatua maupun sebagai diaken. Adapun pelaksanaanya diserahkan kepada Majelis Jemaat setempat supaya mempertimbangkan dengan penuh kebijaksanaan, apakah hal itu bermanfaat bagi Jemaat yang bersangkutan atau tidak. 18 Berdasarkan keputusan Sidang Sinode GKJ yang disebutkan diatas maka secara resmi GKJ telah membuka kesempatan bagi para perempuan untuk mengambil bagian di bidang pemerintahan gereja, tetapi didalam praktek rupanya masih dijumpai banyak kendala dan kesulitan. Perbedaan partisipasi laki-laki dan perempuan tersebut cukup banyak dan kompleks, namun disini akan dicatat dua penyebab utama yang menonjol. Pertama, Gereja Kristen Jawa adalah gereja suku, jelas sedikit banyak ada nilai-nilai tertentu didalam kebudayaan dan tradisi Jawa mengenai citra perempuan dan kaitannya dengan kedudukan, peranannya merembet dan mempengaruhi sikap serta perlakuan gereja terhadap perempuan. Kedua, Pengaruh pemahaman Alkitab, khususnya pemahaman yang kurang menguntungkan 18 Himpunan Pokok-pokok Akta Sinode GKJ , 205-206. 7 bagi perempuan, yang pada dasarnya berakar kepada cara berpikir, sistim kemasyarakatan dan cara berteologi yang bercorak patriarkal. 19 Sejak ada Keputusan tidak ada larangan perempuan untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan gereja, termuat dalam Akta IX Sidang Sinode GKJ 1964 artikel 50 tentang Perempuan dalam jabatan. Dalam keputusan Nomor 2. Ada pendapat yang muncul dalam sidang seksi mengatakan bahwa tidak ada larangan ataupun keharusan tentang perempuan yang menjabat jabatan di dalam Gereja Kristen Jawa sebagai Pendeta, Penatua, Diaken. 20 Berpijak kepada keputusan Sidang Sinode tersebut, seharusnya Gereja Kristen Jawa terus mengalami pencerahan dalam tugas pelayanan yang dilakukan oleh kaum perempuan. Misalnya, tidak harus berkiblat kepada teolog-teolog Barat dalam menafsirkan ayat-ayat yang ada dalam 1 Korintus 14:34-40. 21 Keputusan sidang Sinode tersebut, ternyata belum bisa dirasakan oleh kaum perempuan karena masih adanya pengaruh budaya Jawa yang sangat kuat. Kemungkinan dengan adanya pemahaman yang baru tentang hal tersebu, diharapkan Pejabat Gereja akan bisa mengambil sikap dengan tepat. Semuanya tentu sangat berkaitan erat dengan budaya patriarkal, di mana hanya laki-lakilah yang boleh mengambil keputusan dan mempunyai jabatan dalam kehidupan bergereja. Sepanjang perjalanan perkembangan GKJ yaitu sejak 1931, Sinode GKJ baru mempunyai Pendeta perempuan pada tahun 90-an yaitu dalam diri Pdt. Widdwissoeli, S.Th di tahbiskan sebagai pendeta di GKJ Samirono Baru Yogyakarta, 5 Februari 1991. 22 Sampai tahun 2012, jumlah Pendeta se-Sinode GKJ: 316 orang, yang terdiri dari Pendeta Laki-laki: 19 Dien Sumiyatiningsih,Kedudukan dan peranan wanita dalam pemerintahan gerejawi dilingkungan gereja Kristen Jawa Salatiga: Skripsi S1 UKSW,1979, 4-5 20 Himpunan Pokok2 Akta Sinode GKJ , 205-206 21 V.C. Pfitzner,D.Theol, Kesatuan dalam Kepelbagaian tafsiran atas Surat 1 Korintus Jakarta: Gunung Mulia, cet 4, 2004, 282. 22 Widdwissoeli M.Soleh, Hari Raya Simbol Gerejawi Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen,2008,143-144. 8 287 dan Pendeta Perempuan: 29. 23 Berdasarkan data tersebut, Pendeta perempuan yang terpanggil berperan dalam pelayanan di GKJ masih sangat kecil yaitu hanya sekitar 10,5 . Prosentasi 10,5 ini didapat dari 29287 X100. Padahal jumlah jemaat GKJ baca warga gereja ada 218.822 orang dengan 321 gereja dewasa. Maka berdasarkan data tersebut, jelas keberadaan Pendeta perempuan di GKJ sangat tidak terwakili. Ini membuktikan bahwa budaya patriarkal tetap dan masih mencengkeram warga perempuan Gereja Kristen Jawa untuk menduduki posisi sebagai pejabat penting gerejawi. Kita tidak bisa menutup mata akan pengaruh yang begitu kuat dari tradisi budaya Jawa dan budaya patriarkal dalam Alkitab. Tradisi Alkitab yang patriarkal hampir sama dengan budaya Jawa dalam kehidupan Gereja Kristen Jawa. Ini bisa dipahami, ketika warga Gereja Kristen Jawa menerapkan ayat-ayat Alkitab secara teks apa adanya. Sehingga peran warga perempuan Gereja Kristen Jawa belum maksimal dengan alasan budaya patriarkal. Masyarakat Jawa umumnya berhasil menempatkan patriarkal, dengan menonjolkan peranan dominan umum laki-laki. Sedangkan perempuan ditempatkan pada peran yang kurang penting. 24 Menurut pandangan Rosaldo Zimbalist yang menyimpulkan pengamatan dari berbagai kebudayaaan manusia, memang hampir merupakan gejala umum bahwa citra perempuan selalu diketengahkan berfungsi sebagai ibu, menjadi fungsi mata rantai reproduksi. Berkaitan dengan citra tersebut peranan perempuan dibatasi, terutama dalam urusan-urusan domestik, yaitu urusan yang berkaitan dengan kehidupannya didalam rumah tangga, yang berkaitan ikatan ibu dengan anak-anaknya serta peranannya sebagai isteri; hampir tidak ada atau sedikit sekali memberikan alokasi peran dalam urusan publik. Itulah gagasan-gagasan utama 23 Webside Sinode Gereja Kristen Jawa 2015 24 Pusat Studi Budaya Jawa, Pernik-Pernik Budaya Jawa, Salatiga: UKSW, 2006, 5. 9 mengenai citra perempuan, sehubungan dengan citra demikian berkembanglah aturan-aturan adat-istiadat yang mendukung citra tersebut. 25 Menurut, Arief Budiman dalam pembahasannya mengenai pembagian kerja secara seksual mengetengahkan bahwa fenomena yang ada adalah terbentuk oleh lingkungan “ nurture “ dan bukan karena kodrat manusia ” nature “. 26 Munculnya teori ini membuktikan bahwa memang ada perbedaan pandangan mengenai kehidupan dan keberadaan perempuan dalam masyarakat. Pengertian tentang kodrat perempuan masih berbeda, baik kalangan laki- laki maupun kalangan perempuan sendiri. Pengertian tentang kodrat ini perlu mendapat perhatian khusus mengingat kodrat mengandung pengertian yang tidak dapat diubah. 27 Teori nature adalah teori yang mengandaikan bahwa peran laki-laki dan perempuan, merupakan peran yang telah digariskan oleh alam. Munculnya teori ini, bisa dikatakan diilhami oleh sejumlah teori filsafat sejak era kuno. Dalam konteks filsafat Yunani Kuno misalnya, dinyatakan bahwa alam dikonseptualisasikan dalam pertentangan kosmik yang kembar, misalnya: siang malam, baik buruk, kesinambungan-perubahan, terbatas-tanpa batas, basah-kering, tunggal-ganda, terang-gelap, akal-perasaan, jiwa-raga, laki-perempuan, dan seterusnya. Dengan demikian, ada dua entitas yang selalu berlawanan, yang berada pada titik eksistensial yang asimetris dan tidak berimbang. Dalam hal ini, kelompok pertama selalu dikonotasikan secara positif dan dikaitkan dengan laki-laki, sementara kelompok kedua berkonotasi negatif yang selalu dikaitkan dengan perempuan. 28 Pada umumnya tugas perempuan adalah untuk mengurus urusan domestik, sifat keibuan dinilai yang sangat tinggi, 25 Michelle Zimbalist Rosaldo, Women, Culture and Society California : Stanford University Press,1974,17-41 26 Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual Jakarta: Gramedia, 1982, 2-5. 27 Lembaga Studi Realino, Citra Wanita dan Kekuasaan Jawa Yogyakarta: Kanisius, Cetakan Pertama,1992, 21. 28 Hidle Hein, “Liberating Philisophy: An End to the Dichotomy of Spirit and Matter,” eds. dalam Ann Gary dan Marlyn Persall, Women, Knowledge and Reality London: Unwin Hyman, 1989, 294. 10 sehingga nasib perempuan berada dalam perlindungan laki-laki dan janda adalah buruk sekali. 29 Berdasarkan pemahaman yang seperti itu, maka perlu merekontruksi pemahaman ayat Alkitab yang ada pada 1 Korintus 14:34-40. Menurut Sugirtharajah, Studi Poskolonial adalah strategi pembacaan teks dari perspektif orang yang mengalami penjajahan dan dampak dari penjajahan yang sampai sekarang masih tetap berlangsung dan sangat peduli dengan identitas diri agar dapat memberikan alternative pemahaman yang barangkali merupakan perlawanan dari pemahaman-pemahaman yang didiktekan dari konteks yang berbeda. Studi poskolonial diharapkan mampu untuk membantu mengadakan perubahan itu. Studi Poskolonial mendapat perhatian dengan cepat sebagai bagian dari kategori studi kritis yang menyangkut suara dari orang-orang minoritas dan tenggelam, diabaikan dan ditekan dalam sejarah dan narasi-narasi. Untuk mengangkat dan menghadirkan suara-suara kaum minoritas dan terabaikan yang telah hilang dalam sejarah. Poskolonial adalah teori yang memberikan kebebasan penafsir untuk mendekati teks-teks dari perspektif penafsir dalam konteks pengalaman sebagai orang yang mengalami kolonisasi bangsa-bangsa barat dan dampak yang masih dirasakan sampai saat ini. 30 Keterlibatan konteks melibatkan pengalaman pribadi, sosial, budaya dan politik. Dengan demikian diharapkan akan muncul asumsi- asumsi yang mendobrak “penjajahan” dan menata hidup dalam kemerdekaan yang sesungguhnya. 31 29 Tugas wanita untuk mengurusi domestic : Kej 18:16, Kel 2 : 16f, 1 Sam 8: 13, 6: 1, Rut 2:2jf, Kid Ag 1 :8 Sifat2 keibuan: kej 12: 16, II Sam 21:10, I Raja-raja 3 : 26, Keadan para janda yang tanpa perlindungan laki- laki, Bil 27, Ul 24:17,27:19, Yer 22:3 band Kel 22 :21. 30 Yusak B Setyawan, “Tuhan Yesus Kristus” sebagai Diskursus Politik : suatu Perspektif poskolonial terhadap Pernyataan Yesus Kritus dalam Kitab Efesus, Waskita Jurnal Studi Agama dan Masyarakat Salatiga: Fakultas Teologi UKSW,2012, 3. 31 Yusak B Setyawan, “Poskolonial Hermeneutic” Buku Ajar Salatiga: Fakultas Teologi UKSW,2014, 7. 11

1.2. Batasan Masalah