1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kota Gunungsitoli adalah salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Secara administratif pemerintahan, kota ini masih terbilang sangat muda
karena baru diresmikan pada tahun 2008 yang lalu sebagai hasil dari pemekaran Kabupaten Nias.
Salah satu kenyataan objektif yang terlihat jelas dalam masyarakat Gunungsitoli adalah bahwa ia merupakan salah satu masyarakat plural yang ada di
Provinsi Sumatera Utara, tidak hanya plural dalam hal agama, tetapi juga plural dalam hal etnis. Masyarakat yang plural dalam hal etnis ini terdiri dari beberapa
etnis atau suku yaitu suku Nias, Tionghoa Cina, Padang, Aceh, Batak dan Jawa. Untuk konteks masyarakat Nias secara umum, Pastor Johannes Maria Hammerle
dalam salah satu bukunya tentang asal usul masyarakat Nias, mengungkapkan keyakinan sekaligus pendapatnya tentang pluralitas etnis dalam kata-kata sebagai
berikut: Sebenarnya kurang tepat kalau kita mengatakan asal usul suku Nias, seolah-
olah kita ‘a priori’ sudah memastikan, bahwa di Pulau Nias ini hanya terdapat satu suku saja. Siapa tahu, masyarakat Nias terdiri dari beberapa
suku yang berbeda-beda? Istilah ‘masyarakat’ lebih luas dan terbuka kemungkinan bahwa penduduk Nias berasal dari suku-suku yang heterogen.
Boleh jadi, bahwa masyarakat Nias yang sekarang ini melalui sekian abad sudah mengalami suatu proses asimilasi dari masyarakat heterogen semula
sehingga akhirnya dari pelbagai puak yang berbeda menjadi satu masyarakat yang hampir homogen.
1
1
Johannes Maria Hammerle, Asal-Usul Masyarakat Nias Suatu Interpretasi Gunungsitoli: Penerbit Yayasan Pusaka Nias, 2001 , 3.
2
Secara umum, dalam pemahaman masyarakat Nias telah diterima bahwa etnis Nias adalah penduduk asli, sekaligus sebagai suku mayoritas yang ada di
seluruh wilayah di Pulau Nias, termasuk secara khusus di dalam masyarakat Gunungsitoli. Hal ini juga semakin didukung dan dikuatkan oleh fakta bahwa
mayoritas penduduk di Nias menggunakan bahasa Nias sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, selain bahasa dari etnis-etnis lainnya dan bahasa Indonesia. Bahasa
Nias atau Li Niha merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis darimana asalnya. Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa di
dunia yang masih bertahan hingga sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar satu juta orang. Bahasa ini dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena
merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal. Di dalam bahasa Nias, dikenal atau terdapat enam huruf vokal, bukan
lima seperti yang dikenal di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Suku Nias mengenal huruf vokal a, e, i ,u, o dan ditambah dengan huruf vokal “ö” dibaca
dengan “e” seperti dalam penyebutan “enam” .
2
Secara umum dalam sejarah masyarakat Nias, pluralitas etnis ini terjadi karena datangnya orang-orang dari luar Pulau Nias yang memiliki berbagai
kepentingan seperti berdagang perniagaan. Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, telah ada hubungan dagang
antara Nias dengan orang-orang Aceh, Melayu, Minang, orang-orang Barus dan Cina. Mereka telah datang berdagang ke Nias mulai sekitar abad
keempat, dan terutama sejak abad ke-11 F. Zebua,1996:10-11. Mereka mengambil hasil bumi dan hutan, seperti beras, kelapa, ternak unggas, getah
perca, dsb. menukarkannya barter dengan barang-barang: emas, loyang,
2
http:ruangidegarran.wordpress.com20110217suku-nias-pulau-nias-provinsi-sumatera- utaraSeptember 2012.
3
timah hitam, timah putih, besi, barang pakai dan tembaga serta berjenis-jenis kain, seperti sutera, rambuti lakan, wol.
3
Jejak mereka dapat dilacak dari pemukiman mereka yang sekarang di Idano Gawo, Sirombu, Gunungsitoli terbesar, Lahewa, dan Tuhemberua - semua
terletak di daerah pesisir pantai Pulau Nias, terbesar bagian Utara.
4
Kemudian dalam perjalanan waktu para pendatang ini semakin lama semakin banyak, merasa
betah untuk tinggal di Pulau Nias, dan akhirnya memutuskan untuk tinggal tetap mendiami Pulau ini. Menurut Elio Modigliani, yang dikutip oleh Johannes Maria
Harmmerle, hal ini juga kemungkinan disebabkan oleh terjadinya suatu proses asimilasi dalam suatu proses yang panjang melalui migrasi para penduduk dan
melalui perkawinan campur.
5
Lebih dari itu, kelompok-kelompok yang datang dari luar tersebut telah memiliki kebudayaan sendiri dari daerah asalnya. Bagi kelompok
pertama yang datang, tradisi dari daerah asal tersebut diteruskan dan disesuaikan dengan konteks keberadaan mereka di kepulauan Nias. Ketika kelompok etnis lain
datang dan bertemu dengan kelompok sebelumnya, maka di sini terjadi interaksi dan akulturasi antar etnikkebudayaan.
6
Dalam proses sejarah selama ribuan tahun selalu muncul pendatang yang baru, yang memasuki pulau Nias dan juga selalu
3
Telaumbanua, Tuhony, “AKU ADALAH ONO NIHA Studi tentang ‘kebudayaan Nias’ dalam
perjumpaan dengan modernisasi dan globalisasi
” , m
akalah ini merupakan revisi dari tulisan yang pernah dipresentasikan tanggal 4 November 2009, dalam rangka perayaan Hari Sumpah Pemuda oleh Program Studi
Sastra dan Bahasa IKIP Gunungsitoli, hlm. 9. Bnd. F. Zebua, Kota Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya Gunungsitoli Pulau Nias, 1996, 11-14, 75-84.
4
Phil J. Garang, Nias Membangun Harapan Menapak Masa Depan: Studi Tentang Perubahan Sosial dan Kultural Jakarta: YTB, 2007, 47.
5
Johannes Maria Hammerle, Asal-Usul Masyarakat.. , 42, mengutip Elio Modigliani dalam Un Viaggio a Nias. Illustrato da 195 incisioni, 26 tavole tirate a parte, e 4 carte geografiche: Capitolo XXIII.
Ricerche sull’origine dei Nias Milano, 1890.
6
Telaumbanua, Tuhony, “AKU ADALAH ONO NIHA”.., 5.
4
terjadi pembauran, sehingga lambat laun terjadi satu masyarakat Nias yang sulit dibedakan lagi asal-usul mereka.
7
Secara sosiologis, asimilasi dalam bentuk perkawinan campuran ini semakin memperkuat keberadaan atau status sosial mereka dalam komunitas masyarakat
Nias. Sebagai konsekuensi real sosiologisnya ialah bahwa akhirnya mereka diterima sebagai bagian yang sah secara adat dan agama di dalam masyarakat Nias.
Asimilasi ini menjadi ikatan sosial yang sangat kuat, tidak hanya secara sosiologis tetapi juga secara emosional, hal ini disebabkan oleh sistem kemasyarakatan dalam
masyarakat Nias yang sangat dilandaskan atas hubungan kekeluargaan dan kekerabatan.
Pluralitas ini sepatutnya disyukuri karena ini adalah kekayaan bangsa yang sangat unik, khas, dan tinggi nilainya. Tentu saja hal yang tidak dapat disangkal di
balik fakta pluralitas ini adalah adanya potensi disintegrasi masyarakat atau disharmoni sosial yang senantiasa mengancam kedamaian dan harmoni sosial
seperti yang dicita-citakan bersama. Oleh karena itu sangat dibutuhkan kearifan lokal sebagai salah satu faktor pemersatu untuk mengelola pluralitas ini, sehingga
tidak menjadi sumber bencana atau malapetaka sosial di tengah-tengah kehidupan
bersama di dalam masyarakat Gunungsitoli yang bernuansa pluralitas etnis.
Secara umum, hubungan sosial atau pergaulan antar etnis di Kota Gunungsitoli sangat harmonis. Memang dalam sejarah pernah terjadi pertikaian
yang berujung kepada perang antara etnis Nias dengan para pedagang Aceh Dawa Ase kira-kira pertengahan abad XV, yang disebabkan oleh permintaan bea
7
http:ruangidegarran.wordpress.com20110217suku-nias-pulau-nias-provinsi-sumatera- utaraSeptember 2012.
5
pelabuhan kepada para pedagang dari luar yang masuk ke pelabuhan Luaha Idanoi di Nias pada masa itu. Peperangan antara etnis Nias dengan etnis Aceh kembali
terjadi pada abad XVIII tahun 1825 yang disebabkan oleh insiden penculikan penduduk yang sering dilakukan oleh etnis Aceh. Hal ini menyebabkan terjadinya
perang antara etnis Nias dengan etnis Aceh di beberapa tempat di Nias pada masa itu.
8
Namun setelah peristiwa itu, dalam kenyataan objektif kehidupan sosial antar etnis dalam masyarakat Nias umumnya, dan masyarakat Gunungsitoli khususnya
hampir tidak pernah terjadi lagi pertikaian atau peperangan antar etnis yang mengakibatkan kekacauan atau disharmoni sosial.
Harmoni sosial antar etnis yang telah tercipta dalam masyarakat Gunungsitoli ini telah lama terjalin begitu rupa, sehingga menjadikannya cukup
berbeda dengan beberapa masyarakat di daerah-daerah lain di Indonesia yang juga plural dalam hal etnis. Namun pada kenyataannya daerah-daerah tersebut seringkali
menjadi medan kekerasan dan ajang konflik sosial. Secara historis, hampir tidak ada konflik horizontal antar etnis yang bersifat destruktif yang pernah terjadi di
dalam masyarakat Gunungsitoli. Tidak ada aksi teror atau kekerasan atas nama etnis seperti yang sering terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia. Secara kasat
mata di dalam kehidupan nyata sehari-hari, prasangka-prasangka etnik, kebencian, dan fanatisme yang picik bernuansa etnik hampir tidak pernah mewarnai
kehidupan sosial masyarakat Gunungsitoli yang plural tersebut. Harmoni sosial ini tetap terpelihara dengan indah, baik dalam peristiwa-peristiwa suka maupun duka,
8
Marinus Telaumbanua penyunting, Kota Gunungsitoli: Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya Gunungsitoli Pulau Nias, 1996, 21 92-94.
6
misalnya dalam upacara-upacara adat seperti pesta perkawinan dan upacara penguburan orang mati, dan dalam kegiatan-kegiatan sosial lainnya.
Sikap persahabatan dan penerimaan yang telah ditunjukkan oleh kelompok etnis Nias terhadap para pendatang atau kelompok-kelompok etnis lainnya yang
datang ke Nias, khususnya di Kota Gunungsitoli, dapat diduga dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat Nias yang sangat menjunjung tinggi rasa persaudaraan,
kebersamaan, dan rasa hormat kepada para orang asing atau pendatang. Kebudayaan itu secara khusus nampak dalam beberapa kearifan lokal yang
memiliki makna persaudaraan dan kebersamaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Pengaruh kearifan-kearifan lokal tersebut terhadap sikap etnis Nias dalam menghadapi orang-orang asing atau pendatang telah menjadi sebuah fakta sosial
yang layak untuk dianalisis dan diteliti. Pengaruh kearifan-kearifan lokal tersebut telah menciptakan harmoni sosial antar etnis di Kota Gunungsitoli khususnya. Hal
ini menjadi sesuatu yang unik oleh karena biasanya pada masyarakat multi etnis di beberapa daerah lain di Indonesia sering diwarnai oleh disharmoni sosial atau
keretakan-keretakan dalam hubungan sosial antar individu-individu atau kelompok- kelompok etnis yang ada di dalamnya. Hal tersebutlah yang menjadi alasan penulis
melakukan penelitian ini. Berdasarkan hal-hal sebagaimana disebutkan di atas,
maka penulis memilih judul: “Pengaruh Kearifan Lokal Terhadap Sikap Etnis Nias Dalam Menghadapi Para Pendatang di Kota Gunungsitoli.”
7
B. Identifikasi Masalah