Keaslian Penulisan Sistematika Penulisan

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan library research khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara yang membahas tentang “Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan Yang Dijatuhkan Di Luar Pasal Yang Didakwakan Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 KPid.Sus2012 Dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 KPid.Sus2011” ini belum pernah dilakukan dalam judul dan permasalahan yang sama. Dengan demikian penelitian ini asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dan penjabaran penulisan, penelitian ini akan dibagi menjadi 4 bab dengan sistematika sebagai berikut: Bab I merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II merupakan bab yang menguraikan mengenai tinjauan terhadap independensi hakim dalam melakukan penemuan hukum, putusan hakim, mekanisme hakim dalam menjatuhkan putusan menurut hukum acara pidana di Indonesia serta dasar hukum putusan hakim terhadap tindak pidana yang tidak didakwakan Penuntut Umum dalam surat dakwaannya. Bab III merupakan bab yang menguraikan secara mendetail mengenai surat dakwaan sebagai pemeriksaan hakim dalam perkara pidana menurut Universitas Sumatera Utara KUHAP dan analisis perbedaan putusan Mahkamah Agung mengenai putusan yang dijatuhkan di luar pasal yang didakwakan dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 KPid.Sus2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 KPid.Sus2011. Bab IV merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran yang berfungsi memberikan masukan bagi perkembangan hukum pidana di masa yang akan datang. Universitas Sumatera Utara BAB II DASAR HUKUM PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERBUATAN YANG TIDAK DIDAKWAKAN DI DALAM SURAT DAKWAAN A. Independensi Hakim Dalam Melakukan Penemuan Hukum Setiap kebebasan selalu melekat pada individu manusia sebagai salah satu hak dasar yang dimilikinya. Setiap realisasi dari kebebasan akan berimplikasi luas baik kepada diri pengambil kebebasan itu maupun kepada lingkungan sosialnya. Pemilik kebebasan itu senantiasa dituntut untuk mampu mempergunakan kebebasannya dalam batas-batas yang diperkenankan dan tetap dalam bingkai tanggung jawab yang menyertainya.Tindakan dari pemilik kebebasan tersebut juga harus mampu memenuhi kebebasan sosial. Jika kita terjun ke dalam kehidupan sehari-hari, maka kita dapat melihat hal-hal yang membicarakan hukum sebagai institusi sosial. Bekerjanya hukum itu tidak dapat dilepaskan dari pelayanan yang diberikannya kepada masyarakat di sekelilingnya. Hukum bekerja dengan memikirkan dan mempertimbangkan apa yang baik untuk dilakukannya bagi masyarakat. Pertimbangan seperti ini dapat dilihat melalui keputusan yang memberikan efisiensi pada produksi masyarakat. Hukum membutuhkan kekuasaan, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan itu menunggangi hukum. Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas persoalan yang kita hadapi sekarang, yaitu, hubungan antara hukum dan kekuasaan. 37 37 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan keenam, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 146. Universitas Sumatera Utara Seperti yang diketahui, Montesquieu memperkenalkan teori pemisahan kekuasaan Negara trias Politica yang membagi kekuasaan negara ke dalam tiga bagian, yaitu: 1. Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat undang-undang; 2. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang- undang; dan 3. Kekuasaan yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi undang-undang atau kekuasaan untuk mengadili bilamana terjadi pelanggaran terhadap undang-undang. Pelaksanaan masing-masing kekuasaan tersebut, diserahkan kepada badan atau lembaga yang berdiri sendiri. Hal ini berarti masing-masing badan itu, di dalam melaksanakan kekuasaannya tidak dapat saling mempengaruhi, terpisah secara tegas, yaitu: kekuasaan legislatif pelaksanaannya diserahkan kepada badan legislatif yaitu Badan Perwakilan Rakyat. Kekuasaan eksekutif pelaksanaannya diserahkan kepada pemerintah Presiden atau Raja dengan dibantu oleh menteri- menteri atau kabinet.Kekuasaan yudikatif pelaksanaannya diserahkan kepada hakim atau peradilan. 38 Menurut Montesquieu, salah satu kekuasaan negara yang perlu ditekankan adalah kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman. Kebebasan badan 38 H. Pontang Moerad B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, Bandung: Alumni, hal. 47. Universitas Sumatera Utara yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu karena disitulah letak kemerdekaan individu dan hak asasi manusia dijamin dan dipertaruhkan. 39 Di dalam suatu Negara hukum, kekuasaan kehakiman yudikatif merupakan badan yang sangat menentukan terhadap substansi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif termasuk hukum pidana. Karena melalui badan inilah konkritisasi hukum positif dilakukan oleh hakim pada putusan-putusannya di depan pengadilan. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan, bahwa bagaimanapun baiknya hukum pidana yang diciptakan dalam suatu Negara, tidak ada artinya apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh hakim yang mempunyai kewenangan untuk memberi isi dan kekuatan kepada norma- norma hukum pidana tersebut. Independensi kekuasaan kehakiman atau badan-badan kehakimanperadilan merupakan salah satu dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law sebagaimana pemikiran mengenai Negara hukum modern yang pernah dicetuskan dalam konferensi oleh International Commission of Jurists di Bangkok pada tahun 1965. 40 Dalam pertemuan konferensi tersebut ditekankan pemahaman tentang apa yang disebut sebagai “the dynamic aspects of the Rule of Law in the modern age” aspek-aspek dinamika Rule of Law dalam abad modern. Dikatakan bahwa ada 6 39 Ibid., hal 49. 40 Paulus E Lotulung, “Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum”, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003. Universitas Sumatera Utara enam syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law, yaitu: 41 1. Perlindungan Konstitusional 2. Peradilan atau badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak 3. Pemilihan umum yang bebas 4. Kebebasan menyatakan pendapat 5. Kebebasan berserikatberorganisasi dan beroposisi 6. Pendidikan kewarganegaraan Dari syarat-syarat tersebut jelaslah bahwa independensi kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar yang pokok, yang apabila komponen tersebut tidak ada maka tidak bisa dibicarakan lagi tentang Negara hukum. 42 Hakim adalah salah satu elemen dasar dalam sistem peradilan selain jaksa dan penyidik Kejaksaan dan Kepolisian, sebagai subjek yang melakukan tindakan putusan untuk menyelesaikan perkara di dalam pengadilan. Hakim yang merupakan personifikasi atas hukum harus menjamin rasa keadilan bagi setiap orang yang mencari keadilan melalui proses hukum legal. Dalam menjalankan tugasnya, maka seorang hakim memiliki kebebasan dari pengaruh-pengaruh maupun tekanan-tekanan luar dirinya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum.Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting Negara hukum adalah adanya jaminan 41 Ibid. 42 Ibid. Universitas Sumatera Utara penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 43 Kebebasan hakim di Indonesia dijamin dalam Konstitusi Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, sebagaimana telah disempurnakan dengan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Independensi diartikan sebagai bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, dalam arti bahwa bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala kekuasaan Negara lainnya, kecuali dalam hal yang diizinkan oleh undang-undang.Demikian juga meliputi kebebasan dari pengaruh-pengaruh internal yudisial di dalam menjatuhkan putusan. 43 Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Universitas Sumatera Utara Seorang hakim di dalam mengemban tugasnya harus mendapatkan perlindungan sebagai penegak hukum untuk bebas dari pengaruh-pengaruh dan direktiva yang berasal dari: 44 a. Lembaga-lembaga di luar badan-badan peradilan, baik eksekutif maupun legislatif, dan lain-lain; b. Lembaga-lembaga internal di dalam jajaran Kekuasaan Kehakiman sendiri; c. Pengaruh-pengaruh pihak yang beperkara; d. Pengaruh tekanan-tekanan masyarakat, baik nasional maupun internasional; e. Pengaruh-pengaruh yang bersifat “trial by the press 45 .” Profesi hakim menuntut pada pemahaman akan konsep kebebasan yang bertanggung jawab karena kebebasan yang dimilikinya tidak boleh melanggar dan merugikan kebebasan orang lain. 46 Hal yang dimaksudkan dengan kemandirian hakim adalah mandiri, tidak tergantung kepada apa atau siapa pun, dan oleh karena itu bebas dari pengaruh apa atau siapa pun. Hakim atau peradilan yang merupakan tempat orang mencari keadilan, harus mandiri, independen dalam arti tidak tergantung atau terikat pada siapa pun, sehingga tidak harus memihak kepada siapa pun agar putusannya itu 44 H. Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Jakarta: Kencana, 2012, hal. 167. 45 Trial by Press atau peradilan dengan menggunakan media yang bersifat publikasi massa adalah sebuah istilah bentuk peradilan yang dilakukan dengan melalui penulisan atau pembicaraan dari satu sisi pihak secara bias, biasanya dilakukan dengan bantuan publikasi secara luas dan sadar dengan tidak membeberkan keseluruhan fakta yang ada, dengan demikian berakibat menjadikan penulisan atau pembicaraan tersebut adalah bagaikan sebuah putusan pengadilan bagi para pihak yang terkait tanpa adanya hak melakukan pembelaan. 46 Ibid. Universitas Sumatera Utara objektif.Kemandirian itu menuntut pula bahwa hakim dalam memeriksa dan memutus perkara harus bebas.Dengan demikian kemandirian hakim tidak dapat dipisahkan dari kebebasan hakim, tetapi merupakan satu kesatuan.Adapun yang dimaksudkan dengan kebebasan hakim adalah bebas dalam memeriksa dan memutus perkara menurut keyakinannya serta bebas pula dari pengaruh pihak ekstrayudisial.Ia bebas menggunakan alat-alat bukti dan bebas menilainya, ia bebas pula untuk menilai terbukti tidaknya suatu peristiwa konkret berdasarkan alat bukti yang ada. Ia bebas untuk berkeyakinan mengenai jenis hukuman apa yang akan dijatuhkan dan bebas pula dari campur tangan dari pihak ekstrayudisial. 47 Hakekat kebebasan hakim adalah jika seorang hakim dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dalam menggali, mengikuti, dan memahami nilai- nilai hukum yang hidup dalam masyarakat serta bebas dari berbagai pengaruh dan berbagai kepentingan baik dari dalam maupun dari luar, termasuk kepentingan dirinya sendiri demi tegaknya hukum dan keadilan. Misi hukum yang diemban oleh hakim sebagaimana tesis Gustav Radbruch adalah hakim berada dalam ranah ideal das sollen dan ranah empirik das sein.Adapun tugas hakim adalah menarik ranah ideal ke dalam ranah empirik seakan-akan hukum yang ada di dunia kenyataan dihimbau untuk mengikuti hukum yang ada di dunia ide sebagaimana yang dimaksudkan hukum alam. 48 47 Ibid. 48 Suhartono, “Kebebasan Hakim Dalam Memutus Perkara Suatu Kajian Dalam Perspektif Filsafat Hukum”, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, diakses dari http:www.badilag.netdataARTIKELWACANA20HUKUM20ISLAMPerspektif20filsaf at20hukum.pdf, pada tanggal 7 Mei 2014 pukul 16.20 WIB. Universitas Sumatera Utara Kesadaran akan krusialnya keberadaan kekuasaan kehakiman yang mandiri dalam setiap negara hukum yang modern melahirkan beberapa instrumen hukum internasional yang dibuat untuk mendesak terwujudnya independensi kekuasaan kehakiman secara universal. Ada beberapa instrumen hukum internasional yang menyebutkan tentang pentingnya independensi kekuasaan kehakiman. Instrumen-instrumen tersebut antara lain: 49 1. Universal Declaration of Human Right, article 10, yang menyatakan: Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya, serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya. 2. International Covenant on Civil and Political Right ICCPR, article 14, menyatakan: bahwa setiap orang berhak atas pengadilan yang formal yang kompeten, independen, dan tidak memihak. 3. Vienna Declaration and Programme for Action 1993, paragraph 27, menyatkaan bahwa salah satu hal yang penting dalam mewujudkan hak- hak asasi manusia dan sangat diperlukan dalam proses demokratisasi serta pembangunan yang berkelanjutan adalah adanya hakim dan profesi hukum yang independen dan sesuai dengan standar yang ada dalam instrument internasional hak-hak asasi manusia. 4. International Bar Association Code of Minimum Standarts of Judicial Independence, New Delhi, 1982. 49 H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal. 62-63. Universitas Sumatera Utara 5. Universal Declaration of the Independent of Justice, Montreal, 1983. 6. Beijing Statement of Principle of the Independency Yudiciary in the Law Asia Regions, 1995. Secara etimologis, makna bebas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: a. Lepas sama sekali tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa; b. Lepas dari kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dan sebagainya; c. Tidak dikenakan pajak, hukuman, dan sebagainya; d. Tidak terikat atau terbatas oleh aturan dan sebagainya; e. Merdeka tidak dijajah, diperintah, atau dipengaruhi oleh Negara lain atau kekuasaan asing; f. Tidak terdapat didapati lagi. Dalam konteks kebebasan hakim, yang perlu diperhatikan dari makna bebas tersebut yaitu arti pada huruf e yang merupakan arti khusus. Sifat merdeka berarti menunjukkan kemandirian hakim dalam memutuskan perkara yang dihadapkan padanya tanpa campur tangan pihak lain, baik dari pihak eksekutif maupun legislatif atau lainnya. Namun, kemerdekaan hakim tidaklah bersifat mutlak, tetapi dibatasi oleh hukum yang berlaku. Di samping dipengaruhi oleh integritas dirinya dalam menetapkan apa yang adil dan tidak adil, hakim harus memutus suatu perkara sesuai dengan apa yang dipandang adil oleh hukum.Kebebasan seorang hakim Universitas Sumatera Utara dalam menjamin rasa keadilan para pencari keadilan dibatasi oleh rambu-rambu, seperti: akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi, dan pengawasan. Batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri.Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansialmateriil, itu sendiri sudah merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman agar dapat melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah “subordinated 50 ” pada Hukum dan tidak dapat bertindak “contra legem 51 .” 52 Dari hakim diharapkan sikap tidak memihak dalam menentukan siapa yang benar dan siapa yang tidak dalam suatu perkara dan mengakhiri sengeketa atau perkaranya. 53 Bagi hakim, dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya.Peraturan hukumnya hanyalah alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya.Ada kemungkinannya terjadi suatu peristiwa, yang meskipun sudah ada peraturan hukumnya, justru lain penyelesaiannya. 54 50 Subordinated adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan istilah yang menempatkan lebih rendah. Hakim adalah subordinated pada hukum berarti hakim berada di bawah hukum dan sebagai pelaksana hukum sesuai dengan konstitusi. 51 Contra legem atau against the law adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan yang bertentangan dengan hukum yang mengaturnya. Hakim bertingak contra legem berarti tindakan hakim dalam putusannya melanggar larangan yang ditentukan dalam pasal undang-undang tertentu dengan cara menyingkirkan penerapan pasal tersebut. 52 Paulus E Lotulung, op.cit. 53 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op.cit, hal. 32. 54 Ibid. Universitas Sumatera Utara Faktor-faktor politis ada di samping dan di atas hakim.Sedangkan masih ada faktor sosial-ekonomi yang mempengaruhi kebebasan dan kemerdekaan hakim.Faktor sosial misalnya menjamurnya praktek main hakim sendiri di kalangan masyarakat, karena kurang percayanya pada putusan hakim.Munculnya demonstrasi yang mendesak hakim agar memutus sesuai dengan kehendak demonstran atau pihak yang menggerakkannya.Menyangkut faktor ekonomi, gaji hakim sangat menentukan pula atas merdeka tidaknya hakim dalam mengambil keputusan. 55 Dalam praktiknya, banyak pencari keadilan yang dikorbankan oleh penyalahgunaan kebebasan hakim ini, karena hakim keliru memahami makna kebebasan peradilan judicial independency, sehingga peradilan melalui hakim- hakimnya melakukan pelanggaran batas dan penyalahgunaan kewenangannya, yang mengakibatkan hakim identik dengan peradilan dan hukum. 56 Hakim semacam ini tidak kekurangan alasan untuk membenarkan yang salah danatau menyalahkan yang benar. Sikap dan perilaku hakim semacam ini tentu telah menempatkan peradilan dan hakim di atas hukum, dimana penyelesaian dan putusan yang dijatuhkan bukan lagi berdasarkan hukum, akan teteapi menurut selera dan kemauan hakim yang bersangkutan. Dan biasanya dalam konteks ini, hakim bersangkutan dalam memutus suatu perkara berdasarkan “pesan sponsor” yang telah menyuapnya.Sedangkan bagi pihak yang telah 55 A. Hamzah, “Kemandirian Dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman”, Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003. 56 M. Sofyan Lubis, “Kebebasan Hakim VS Pencari Keadilan”, LHS Partners, diakses dari http:www.kantorhukum-lhs.com1?id=Kebebasan-Hakim-VS-Pencari-Keadilan, pada tanggal 7 Mei 2014 pukul 17.00 WIB. Universitas Sumatera Utara dikalahkan, hakim tersebut cukup menggunakan alasan klasik dan mengatakan, “kalau anda tidak puas dengan putusan kami, silahkan anda melakukan upaya hukum” baik banding atau kasasi. 57 Implementasi kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah tercermin dalam kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara. Pembentukan hukum melalui putusan pengadilan, merupakan salah satu dari hasil proses pemeriksaan perkara di muka pengadilan yang berada dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman yang merdeka. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan satu landasan teori untuk dapat menjawab permasalahan yang timbul dari pembentukan hukum melalui putusan pengadilan. 58 Sebagai suatu proses, penegakan hukum tidak pernah selesai karena salah satu yang ditegakkan adalah keadilan yang merupakan nilai yang tidak dapat dimaknai secara subyektif. Oleh karena itu, menurut Soepomo, hakim dalam melaksanakan tugasnya menurut adat terikat dan bebas untuk meninjau secara mendalam apakah putusan-putusan yang diambil pada waktu yang lampau masih dapat dipertahankan berhubung adanya perubahan-perubahan di dalam masyarakat disebabkan adanya pertumbuhan rasa keadilan yang baru dalam masyarakat. 59 Adanya ketentuan bahwa hakim merdeka dan bebas tidak berarti hakim boleh bertindak serampangan, kewajibannya adalah menafsirkan hukum serta prinsip-prinsip fundamental dan asumsi-asumsi yang berhubungan dengan hal itu 57 Ibid. 58 H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal. 46. 59 Suhartono, op.cit. Universitas Sumatera Utara berdasarkan perasaan keadilannya serta hati nuraninya. 60 Apabila kebebasan yang dimiliki hakim kemudian diartikan menjadi kebebasan mutlak, dapat terjadi kekuasaan yang sewenang-wenang, yang pada akhirnya akan kembali kepada suasana yang menyebabkan lahirnya prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman. 61

B. Putusan Hakim Dan Mekanisme Hakim Menjatuhkan Putusan Menurut Hukum Acara Pidana Di Indonesia

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung Dalam Tindak Pidana Pemerkosaan (Putusan Mahkamah Agung Nomor 840 K/Pid.Sus/2009)

0 6 12

Kajian Yuridis Putusan Rehabilitasi terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Putusan Mahkamah Agung No.593/K.Pid. Sus/2011)

0 9 10

Pengujian Peraturan Kebijakan (Beleidsregel) Di Mahkamah Agung (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/Hum/2009)

6 109 108

Kajian Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemalsuan Akta Otentik Oleh Notaris (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1568 K/Pid/2008)

0 22 0

Sewa-Menyewa Dalam KuhPerdata Pasal 1576 dan Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2439/KIPdt/2002)

0 5 0

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

0 0 40

BAB II DASAR HUKUM PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERBUATAN YANG TIDAK DIDAKWAKAN DI DALAM SURAT DAKWAAN A. Independensi Hakim Dalam Melakukan Penemuan Hukum - Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Per

0 0 37

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah

1 1 40