Masyarakat Etnis Jawa Jawa Tengah

12 manusia, yaitu untuk menjaga kehidupan agar tetap aktif dan berpikir kreatif agar dapat melangkah maju menuju ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Hanya tergantung bagaimana manusia tersebut menyikapi setiap masalah yang datang. Setiap kejadian ataupun peristiwa jika disikapi dengan cara yang berbeda maka akan meng hasil kan respon atau tindakan yang berbeda dan dengan adanya respon atau tindakan yang berbeda maka akan menghasilkan hasil yang berbeda pula Hadi, 2006.

2.3 Masyarakat Etnis Jawa Jawa Tengah

2.3.1 Asal-usul Suku Jawa terkenal sebagai suku yang paling banyak jumlahnya, penduduk pulau Jawa cukup padat, sebagian besar tinggal didaerah pegunungan dan desa-desa, terbukti dari data sensus penduduk tahun 2010 Jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah adalah 32,382,657 jiwa terdiri atas 16,091,112 laki-laki dan 16,291,545 perempuan. Dari jumlah penduduk ini, 47 di antaranya merupakan angkatan kerja. Mata pencaharian paling banyak adalah disektor pertanian 42,34, diikuti dengan perdagangan 20,91, industri 15,71, dan jasa 10,98. Dari hasil sensus menujukan bahwa masyarakat Jawa merupakan kelompok mayoritas di Indonesia BPS, 2010. Orang Jawa memiliki stereotipe sebagai suku bangsa yang sopan dan halus. Tetapi orang Jawa juga terkenal sebagai suku bangsa yang 13 tertutup dan tidak mau terus terang. Sifat ini konon berdasarkan watak orang Jawa yang ingin menjaga harmonisasi atau keserasian dan menghindari konflik, karena itulah orang Jawa cenderung untuk diam dan tidak membantah apabila terjadi perbedaan pendapat. Namun, tidak semua orang Jawa memiliki sikap tertutup dan tidak mau berterus terang, ada juga orang Jawa yang memiliki watak lugas, terbuka, terus terang, apa adanya, dan tidak suka basa-basi. Orang Jawa Tengah sering dilihat sebagai orang yang halus perasaannya, sopan santun dan lemah lembut dibandingkan dengan penduduk Jawa Timur. Kelemah-lembutan dan kehalusan itu juga tercermin dalam kesenian seperti seni karawitan, tutur kata dan bahasa, serta peri laku. Oleh karena itu, peri laku yang lemah lembut sering kali bahkan lebih dipentingkan dari ungkapan dalam bahasanya. Mungkin hal ini pula yang menyebabkan orang Jawa menjadi lebih pendiam, tetapi ramah, dan penuh senyum dalam Loekmono, 1982. Budaya atau kebudayaan itu sendiri berasal dari bahasa sansekerta yaitu “huddhayah” yang merupakan bentuk dari “buddhi” budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal. Kebudayaan itu tidak terbatas pada budaya “tinggi” seperti kesenian atau kehidupan dikeraton, tetapi meliputi adat istiadat dan kebiasaan yang hidup dimasyarakat, dan tidak hanya yang hidup semata, tetapi peninggalan-peninggalan sejarah dan kebudayaan masa lalu seperti candi, bangunan kuno, gua dan artefak lainya. Masyarakat Jawa juga terkenal akan pembagian golongan-golongan sosialnya. Masyarakat Jawa Tengah 14 sendiri terbagi menjadi tiga kelompok yaitu kaum santri, abangan dan priyayi. Menurutnya kaum santri adalah penganut agama Islam yang taat. Kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau penganut Kejawen, bahwa dunia sebagai penuh dengan roh-roh atau bangsa halus, tradisi abangan yang pada pokoknya terdiri dari pesta ritual tentang roh dan seperangkat praktek penyembuhan ilmu tenung dan ilmu gaib, diasosiasikan dengan cara yang luas dan umum dengan Jawa. Sedangkan kaum Priyayi adalah kaum bangsawan turun temurun Suseno, 1983. Kebudayaan Jawa dan pengaruh islam lebih kuat menghasilkan bentuk kebudayaan Jawa yang khas, yaitu kebudayaan pesisir, dan daerah- daerah Jawa pedalaman sering juga disebut “Kejawen”. Mungkin agama Jawa sebagai satu sistem agama tersendiri. Orang Jawa kadang-kadang dikatakan memuja nenek moyang mereka, akan tetapi selain kata-kata samar yang ditujukan kepada “nenek moyang” pada umumnya, atau kepada leluhurnya seperti “kakek dan nenek” dalam jampi-jampian dan slametan, pembakaran kemenyan untuk memuja nenek moyang pada malam jumat oleh beberapa orang, dan sesekali orang menghias kuburan anggota-anggota keluarga, tidak ada bukti tentang adanya kultus nenek moyang dari macam apapun. Pemujaan nenek moyang ‘Jawa’, setidak- tidaknya dizaman sekarang, pada pokoknya hanya berupa ungkapan salah dari rasa hormat kepada yang sudah meninggal dunia ditambah dengan kesadaran yang kuat tentang perlunya memelihara hubungan baik dengan keluarga yang sudah tiada, dan tidak lupa untuk segera memberikan nasi 15 atau bunga kepada mereka apabila mereka muncul dalam mimpi Geertz, 1960. 2.3.2 Mata Pencarian Hidup Di Indonesia, orang Jawa dahulu memiliki asumsi bahwa banyak anak banyak pula rizki, karena nantinya anak-anak mereka akan banyak membantu bekerja, dan anak adalah jaminan hidup bagi orang tua di Jawa. Orang Jawa biasa ditemukan dalam semua bidang, khususnya dalam pelayanan umum dan tentara. Secara tradisi, kebanyakan orang Jawa adalah petani. Ini adalah di sebabkan oleh tanah gunung berapi yang subur di Jawa walaupun terdapat juga banyak usahawan Indonesia yang berjaya yang berasal daripada suku Jawa, orang Jawa tidak begitu menonjol dalam bidang perniagaan dan perindustrian. Sebagian penduduk mempunyai mata pencaharian bertani, berladang dan berkebun. Didaerah pertanian: sawah ladang merupakan mata pencaharian pokok, didaerah pegunungan: perkebunan dan perladangan, didaerah landai: perkarangan, persawahan, didaerah pusat perkotaan: perdagangan, kerajinan tangan, pegawai dan buruh, sedangkan didaerah pantai: perniagaan, perdagangan, nelayan dan perikanan dalam Loekmono, 1982. 2.3.3 Sistem Kepercayaan dan Religi 16 Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam , tetapi ada juga yang menganut agama Protestan dan Katolik , mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen seperti yang telah diungkapkan oleh Geertz 1960, kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur, Persamaan dengan pandangan tersebut, orang Jawa percaya kepada suatu kekuatan yang melebihi dari segala kekuatan dimana saja yang pernah dikenal, yaitu kesaktian atau kasakten yang terdapat pada benda-benda pusaka, seperti : keris, gamelan, dan lain-lain. Orang Jawa juga mempercayai keberadaan arwah atau roh leluhur, dan makhluk-makhluk halus, seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, serta jin yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka. Menurut kepercayaan makhluk halus tersebut dapat mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan ketentraman, atau keselamatan. Tetapi sebaliknya ada juga makhluk halus yang dapat menimbulkan ketakutan atau kematian Geertz, 1960. 2.3.4 Bahasa 17 Pada umumnya masyarakat suku jawa lebih banyak memakai bahasa khasnya sendiri untuk berbicara, namun tidak sedikit pula yang memakai bahasa Nasional sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa jawa dibagi menjadi beberapa tingkatan pemakaian atara lain: a. Bahasa ngoko yaitu bahasa yang dipakai untuk berbicara dengan orang yang sudah akrab atau lebih muda. b. Bahasa kromo yaitu bahasa yang keseharianya dipakai untuk berbicara dengan orang yang lebih tua atau tingkat sosialnya lebih tinggi. c. Bahasa madya yaitu bahasa yang memakai variasi antara ngoko dan kromo. Bahasa pergaulan dalam bahasa Jawa bermacam-macam tingkatanya, ngoko pada pokoknya merupakan bahasa yang biasa, agak kasar, sedangkan kromo lebih halus dan biasanya untuk menghargai atau menghormati. Bahasa yang dipakai oleh seseorang menuntut sikap dan perilaku tersendiri bagi pemakai bahasa itu dan orang yang diajak berbicara. Di bidang pergaulan diantara warga masyarakat, dikenal pula suatu pergaulan yang sifatnya semacam kritik sosial yakni dalam bentuk rasanan atau ngrasani membicarakan orang lain saat orang yang dibicarakan tidak berada disitu. Rasanan ini dilakukan disemua tingkat usia, sering kali hal ini menjadi semacam kontrol sosial dan kritik sosial. 2.3.5 Kehidupan dalam Keluarga Jawa 18 Kehidupan suami-istri dijawa menganut sistim bilateral alur keturunan diambil dari kedua belah pihak, meskipun demikian dalam prakteknya kehidupan suami-istri diJawa lebih condong kearah patrilinear alur laki- laki, hal itu nampak dalam sistem pembagian warisan ”sepikul segendong” dalam pewarisan biasanya anak laki-laki mendapat 23 sedangkan anak perempuan mendapat 13 bagian. Oleh karena itu tanggung jawab keluarga ada ditangan laki-laki, maka tanggung jawab pekerjaan pun biasanya pada kaum laki-laki hal itu dikemukakan dalam pepatah ”swargo nunut, neroko katut” istri itu hanya ikut yang menentukan adalah suami dalm Loekmono, 1982.

2.4 Sikap Orang Jawa Terhadap Masalah