Analisis Tingkat Kebisingan Pesawat Terbang Di Pasar 6 Dan Simpang Pos Padang Bulan Medan

(1)

ANALISIS TINGKAT KEBISINGAN PESAWAT TERBANG di PASAR 6 DAN SIMPANG POS PADANG BULAN MEDAN

Skripsi

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

WIDYA HASTUTI

050801023

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

PERSETUJUAN

Judul

: ANALISIS TINGKAT KEBISINGAN PESAWAT TERBANG DI PASAR 6 DAN SIMPANG POS PADANG BULAN MEDAN

Kategori : SKRIPSI

Nama : WIDYA HASTUTI Nomor Induk Mahasiswa : 050801023

Program Studi : SARJANA (S1) FISIKA Departemen : FISIKA

Fakultas : FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

Diluluskan di Medan, Juli 2010

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Fisika FMIPA USU

Ketua, Pembimbing :

Dr. Marhaposan Situmorang Drs. Aditia Warman,M.Si NIP 195510301980031003 NIP : 195705031983031003


(3)

PERNYATAAN

Analisis Tingkat Kebisingan Pesawat Terbang di Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri,kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2010

WIDYA HASTUTI 050801023


(4)

PENGHARGAAN

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan.

Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Drs.Aditia Warman,M.Si selaku pembimbing akademik yang telah memberikan banyak waktu, kritik dan sarannya dalam penyusunan tugak akhir ini. Kepada Bapak Paisal selaku pembimbing dan staf di Balai Teknis Kesehatan Lingkungan – Pemberantasan Penyakit Menular (BTKL – PPM) Medan Departemen Kesehatan RI, untuk penyelesaian skripsi ini yang telah memberikan panduan kepada saya untuk menyempurnakan kajian ini. Ketua dan Sekretaris Departemen Fisika, Dr. Marhaposan Situmorang dan Dra. Justinon MSi. Dekan dan pembantu dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU. Bapak kepala BTKL-PPM Sumatera Utara dan staf pegawainya, yang telah memberikan fasilitas untuk melaksanakan penelitian.

Tidak terupa ucapan terima kasih saya penuh cinta kepada ayahanda Marianto dan ibunda Nurhamiza Purba, adinda Reza (zare) yang kusayangi dan bang ryo. Serta sahabatku Fenny (pedonk), Mawadha (wamadhi), Meta (memet), Nella (conello), Hendrik (driks), Surya dan keluarga besarku yang selalu memberi dorongan dan motivasi juga bantuan baik material maupun doanya.


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Daftar Isi iv

Abstrak vi

Abstract vii

Daftar Tabel viii

Daftar Gambar xi

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Batasan Masalah 2

1.4 Tujuan Penelitian 2

1.5 Manfaat Penelitian 3

1.6 Lokasi Penelitian 3

1.7 Metode Penelitian 3

1.8 Sistematika Penelitian 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Kebisingan 5

2.1.1 Pengertian Gelombang 5

2.1.2 Gelombang Bunyi 6

1. Terjadinya Bunyi 7

2. Keras Bunyi 8

2.1.3 Tingkat Bunyi 8

2.1.4 Decibel 9

2.1.5 Sound Level Meter (SLM) 10

2.2 Polusi Suara atau Kebisingan 12

2.2.1 Efek Kebisingan Terhadap Manusia 13

2.2.2 Telinga Manusia 16

2.2.3 Pengaruh Kebisingan pada Pendengaran Manusia 17

2.3 Pesawat Terbang 20

2.3.1 Bising Pesawat Terbang 20


(6)

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian 23

3.1.1 Survei Awal 24

3.1.2 Pengumpulan Data di Lapangan 24

3.2 Peralatan yang Digunakan 25

3.3 Tahapan Pengambilan Data 25

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengolahan Data 28

4.2 Analisis Pengukuran Take Off dan Landing 31

4.21. Take Off 1 32

4.22. Take Off 2 36

4.23. Take Off 3 38

4.24. Landing 2 39

4.25. Landing 3 41

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 42

5.2 Saran 43

DAFTAR PUSTAKA Lampiran A

Lampiran B Lampiran C Lampiran D


(7)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang Tingkat Kebisingan Pesawat Terbang di Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan pada saat take off maupun landing dengan berbagai tipe atau jenis pesawat terbang. Di dapat tingkat kebisingan pesawat terbang di daerah Pasar 6 Padang Bulan adalah 88,48 dB dan di Simpang Pos Padang Bulan adalah 85,02 dB. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 48/MENLH/PER/XI/1996 tingkat kebisingan bandar udara adalah 70 dB. Maka, Tingkat Kebisingan Pesawat Terbang di Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan adalah diatas tingkat kebisingan bandar udara.


(8)

ANALYSIS OF AIRCRAFT NOISE LEVEL IN PASAR 6 AND

SIMPANG POS PADANG BULAN MEDAN

ABSTRACT

Has done research on Aircraft Noise Level in Pasar 6 and Simpang Pos Padang Bulan Medan at the time of take off and landing with various types or kinds of aircraft. At the level of aircraft noise can in Pasar 6 Padang Bulan area is 88.48 dB and at the Simpang Pos Padang Bulan is 85.02 dB. Based on the Decree of the Minister of Environment Republic of 48/MENLH/PER/XI/1996 airport noise level is 70 dB. Thus, the Aircraft Noise Level in Pasar 6 and Simpang Pos Padang Bulan Medan is above the level of airport noise.


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Ambang batas pendengaran manusia (dalam dB) 10 Tabel 2.2. Jenis-jenis dari akibat-akibat kebisingan 13 Tabel 2.3. Tingkat Bising Rata-Rata yang Biasa (Typical) 14

Tabel 2.4. Baku Mutu Kebisingan Peruntukan 15

Tabel 4.1. Penafsiran Koefisien Korelasi 30

Tabel 4.2.1. Take Off 1 untuk Jenis Pesawat, Lrata-rata dan LAeq 33 Tabel 4.2.2. Take Off 2 untuk Jenis Pesawat, LAeq dan Lrata-rata 36 Tabel 4.2.3. Take Off 3 untuk Jenis Pesawat, LAeq dan Lrata-rata 38 Tabel 4.2.4. Landing 1 untuk Jenis Pesawat, LAeq dan Lrata-ata 38 Tabel 4.2.5. Landing 2 untuk Jenis Pesawat, LAeq dan Lrata-ata 39 Tabel 4.2.6. Landing 3 untuk Jenis Pesawat, LAeq dan Lrata-rata 41 Tabel 4.2 Perhitungan dengan menggunakan rumus Korelasi Product


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Sistem kerja SLM 10

Gambar 2.2. Diagram telinga manusia 16

Gambar 2.3. Masalah kebisingan Pesawat Terbang 21

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian 23

Gambar 3.2. Sketsa Lokasi Pengukuran Kebisingan 26 Gambar 4.2.1.1 Take Off 1 untuk grafik Jenis Pesawat vs LAeq 34 Gambar 4.2.1.2 Take Off 1 untuk grafik Lrata-rata vs LAeq 34 Gambar 4.2.2.2 Take Off 2 untuk grafik Lrata-rata vs LAeq 37 Gambar 4.2.5.2 Landing 2 untuk grafik Lrata-rata vs LAeq 40


(11)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang Tingkat Kebisingan Pesawat Terbang di Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan pada saat take off maupun landing dengan berbagai tipe atau jenis pesawat terbang. Di dapat tingkat kebisingan pesawat terbang di daerah Pasar 6 Padang Bulan adalah 88,48 dB dan di Simpang Pos Padang Bulan adalah 85,02 dB. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 48/MENLH/PER/XI/1996 tingkat kebisingan bandar udara adalah 70 dB. Maka, Tingkat Kebisingan Pesawat Terbang di Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan adalah diatas tingkat kebisingan bandar udara.


(12)

ANALYSIS OF AIRCRAFT NOISE LEVEL IN PASAR 6 AND

SIMPANG POS PADANG BULAN MEDAN

ABSTRACT

Has done research on Aircraft Noise Level in Pasar 6 and Simpang Pos Padang Bulan Medan at the time of take off and landing with various types or kinds of aircraft. At the level of aircraft noise can in Pasar 6 Padang Bulan area is 88.48 dB and at the Simpang Pos Padang Bulan is 85.02 dB. Based on the Decree of the Minister of Environment Republic of 48/MENLH/PER/XI/1996 airport noise level is 70 dB. Thus, the Aircraft Noise Level in Pasar 6 and Simpang Pos Padang Bulan Medan is above the level of airport noise.


(13)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang Tingkat Kebisingan Pesawat Terbang di Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan pada saat take off maupun landing dengan berbagai tipe atau jenis pesawat terbang. Di dapat tingkat kebisingan pesawat terbang di daerah Pasar 6 Padang Bulan adalah 88,48 dB dan di Simpang Pos Padang Bulan adalah 85,02 dB. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 48/MENLH/PER/XI/1996 tingkat kebisingan bandar udara adalah 70 dB. Maka, Tingkat Kebisingan Pesawat Terbang di Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan adalah diatas tingkat kebisingan bandar udara.


(14)

ANALYSIS OF AIRCRAFT NOISE LEVEL IN PASAR 6 AND

SIMPANG POS PADANG BULAN MEDAN

ABSTRACT

Has done research on Aircraft Noise Level in Pasar 6 and Simpang Pos Padang Bulan Medan at the time of take off and landing with various types or kinds of aircraft. At the level of aircraft noise can in Pasar 6 Padang Bulan area is 88.48 dB and at the Simpang Pos Padang Bulan is 85.02 dB. Based on the Decree of the Minister of Environment Republic of 48/MENLH/PER/XI/1996 airport noise level is 70 dB. Thus, the Aircraft Noise Level in Pasar 6 and Simpang Pos Padang Bulan Medan is above the level of airport noise.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Fungsi utama dari Bandar udara kota besar adalah menyediakan fasilitas yang cukup untuk transportasi orang dan muatan. Sehingga banyak pesawat terbang yang diproduksi dan lalu lalang berterbangan dari Bandar Udara setiap harinya dan menimbulkan masalah kebisingan yang sangat serius pada masyarakat disekitarnya. Kebisingan ini dapat meningkatkan stress, tidur tidak nyenyak, peningkatan tekanan darah serta dapat membuat ketulian.

Kebisingan itu sendiri adalah bunyi atau suara yang tidak dikehendaki dan dapat menggangu kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Atau dapat juga didefinisikan sebagai bunyi yang tidak disukai, suara yang menggangu atau bunyi yang menjengkelkan.

Terlalu banyaknya rumah-rumah atau bangunan-bangunan yang dibangun masyarakat disekitar lalu lalang pesawat terbang sehingga masyarakat menerima gangguan dari kebisingan akibat suara pesawat terbang tersebut. Hal ini karena terlalu dekatnya pemukiman dengan pesawat terbang yang akan landing atau pun take off. Dimana pada saat landing ataupun take off suara yang dikeluarkan sangat bising.

Kondisi ini sering kali tidak diperhatikan oleh masyarakat sekitar. Sehingga mereka terus menerus membangun perumahan yang semakin dekat dengan lalu lalang pesawat terbang. Hal ini mendorong dilakukannya penelitian untuk mengetahui tingkat kebisingan


(16)

yang diakibatkan oleh pesawat terbang. Pada penelitian ini akan diselidiki tingkat kebisingan di Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan. Karena daerah ini adalah tempat pesawat terbang sering lalu lalang.

1.2. Permasalahan

”Berapa besar tingkat kebisingan akibat lalu lalang pesawat terbang pada di Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan dan apakah layak dibangun perumahan di Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan?”

1.3. Batasan Masalah

1 Dilakukan penelitian pada pesawat terbang berbagai jenis atau tipe pesawat terbang. 2 Menggunakan alat pengukuran tingkat kebisingan yaitu Sound Level Meter (SLM). 3 Menentukan tingkat kebisingan berdasarkan kekuatan intensitas suara pesawat terbang

pada saat landing maupun take off di Pasar 6 Padang Bulan dengan jarak 475,11 meter dan di Simpang Pos Padang Bulan Medan dengan jarak 1226,70 meter dari ujung landasan (runway).

4 Membandingkan tingkat kebisingan dengan standar kesehatan sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP-48/MENLH/11/1996.

1.4. Tujuan Penelitian

1 Menentukan tingkat kebisingan pesawat terbang di Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan.

2 Mengamati pengaruh jenis pesawat terbang, jarak terhadap tingkat kebisingan.

3 Menentukan kondisi jarak yang layak di huni di Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan.


(17)

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi berbagai pihak yang terkait dan masyarakat sekitar terhadap rumah-rumah atau bangunan-bangunan disekitar Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan ditinjau dari faktor kebisingannya sehingga polusi suara dapat diantisipasi sejak awal perencanaan pembangunan perumahan atau pun bangunan-bangunan.

1.6. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan didaerah sekitar Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan dan bekerja sama dengan Balai Teknis Kesehatan Lingkungan – Pemberantasan Penyakit Menular (BTKL – PPM) Medan Departemen Kesehatan RI.

1.7. Metode penelitian

Metode penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengukuran besar tingkat kebisingan pesawat terbang di Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan.

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat pengukuran tingkat kebisingan Sound Level Meter (SLM). Pengukuran akan dilakukan selama 2 hari. Hari pertama di Pasar 6 Padang Bulan dengan jarak 475,11 meter dari ujung landasan (runway). Hari ke 2 dilakuakan 2 kali pengukuran data, yaitu pengukuran pertama di Simpang Pos Padang Bulan Medan dari jam 07.30 – 10.30 dengan jarak 1226,70 meter dari ujung landasan (runway) dan pengukuran ke 2 dilakukan di Pasar 6 Padang Bulan Medan pada jam 10.55 – 17.00 dengan jarak 475,11 meter. Pada pengumpulan data dilapangan, ada 3 pengukuran yang dilakukan, yaitu jarak, ketinggian pesawat terbang dan kebisingan.


(18)

1.8. Sistematika Penelitian

Sistematika penelitian masing-masing bab adalah sebagai berikut :

Bab 1 Pendahuluan

Bab ini mencakup latar belakang penelitian, tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat penelitian, waktu dan lokasi penelitian, metode penelitian dan sistematika penelitian.

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Bab ini mambahas tentang teori bunyi dan kebisingan, polusi suara dan pengaruhnya terhadap manusia, bising peawat, jenis-jenis pesawat dan mesinnya, dan penjelasan mengenai pesawat terbang.

Bab 3 Metodologi Penelitian

Bab ini membahas pelaksanaan penelitian yang dilakukan mulai dari survei awal, penelitian lapangan dengan mengukur jarak dan kebisingan dilakukan selama 2 hari pada jam 07.30 – 17.00 WIB

Bab 4 Analisa Data

Bab ini membahas tentang penelitian serta analisis data yang mencakup pengaruh jarak pengukuran terhadap kebisingan dan besarnya kebisingan ekivalen.

Bab 5 Kesimpulan dan Saran

Bab ini menyimpulkan hasil-hasil yang didapatkan dari penelitian dan memberikan saran untuk penelitian yang lebih lanjut.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Kebisingan

2.1.1. Pengertian Gelombang

Gelombang adalah bentuk dari getaran yang merambat pada suatu medium. Pada gelombang yang merambat adalah gelombangnya, bukan medium perantaranya.

Gelombang dapat dibagi menjadi 2 macam gelombang yaitu : - Gelombang transversal

adalah gelombang yang arah rambatannya tegak lurus dengan arah rambatannya. Gelombang transversal ini terdiri atas satu lembah dan satu bukit. Contoh : Gelombang tali.

- Gelombang longitudinal

adalah gelombang yang merambat dalam arah yang berimpitan dengan arah getaran pada tiap bagian yang ada. Gelombang yang terjadi berupa rapatan dan renggangan. Contoh : pegas. (Giancoli, Douglas D., 2001)

Gelombang longitudinal merupakan gelombang yang terdengar sebagai bunyi bila masuk ke telinga. Gelombang longitudinal yang masuk dan terdengar sebagai bunyi pada telinga manusia pada frekuensi 20 – 20.000 Hz atau disebut jangkauan suara yang dapat didengar (addible sound). Bunyi-bunyi yang muncul pada frekuensi di bawah 20 Hz disebut infrasonik, sedangkan yang muncul di atas 20.000 Hz disebut bunyi ultrasonik. Dalam


(20)

rentang 20 Hz sampai dengan 20.000 Hz tersebut, bunyi masih dibedakan menjadi bunyi-bunyi dengan frekuensi rendah (dibawah 1000 Hz), frekuensi sedang (1000 Hz sampai 4000 Hz) dan frekuensi tinggi (di atas 4000 Hz). (Mediastika, Christina, 2005).

2.1.2. Gelombang Bunyi

Gelombang bunyi dapat diukur dalam satuan panjang gelombang, frekuensi dan kecepatan rambat. Panjang gelombang (λ) adalah jarak antara dua titik pada posisi yang sama yang saling berurutan. Misalnya jarak antara dua puncak gunung atau jarak antara dua lembah. Panjang gelombang diukur dalam satuan meter (m) dan merupakan elemen yang menunjukkan kekuatan bunyi. Semakin panjang gelombangnya, semakin kuat pula bunyi tersebut.

Selain panjang gelombang, elemen bunyi yang lain adalah frekuensi. Frekuensi (ƒ) adalah jumlah atau banyaknya getaran yang terjadi dalam setiap detik. Frekuensi dihitung dalam satuan Hertz (Hz). Jumlah getaran yang terjadi setiap detik tersebut sangat tergantung pada jenis objek yang bergetar. Oleh karena itu, setiap benda akan memiliki frekuensi tersendiri yang berbeda dari benda lainnya. Tanpa melihat, hanya dengan mendengar saja, kita dapat membedakan apakah suatu benda yang jatuh terbuat dari logam, kaca atau kayu.

Elemen lain dari bunyi adalah kecepatan rambat bunyi dalam medium tertentu. Kecepatan rambat yang dilambangkan dengan notasi (ν) adalah jarak yang mampu ditempuh oleh gelombang bunyi pada arah tertentu dalam waktu satu setik. Dan satuannya adalah meter-per-detik (m/det). Setiap kali gelombang bergetar, gelombangnya bergerak menjauh sejarak satu gelombang sinus. Oleh karena itu, banyaknyagetaran tiap detik


(21)

menunjukkan total panjang yang berpindah dalam satu detik. Kejadian perpindahan atau perambatan gelombang dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut :

ν = ƒλ ... (2.1) dengan :

ν = Kecepatan rambat (m/det)

λ = Panjang gelombang (m) ƒ = Frekuensi (Hz)

(Mediastika, Christina, 2005).

1. Terjadinya Bunyi

Bunyi terjadi karena adanya benda yang bergetar yang menimbulkan gesekan dengan zat disekitarnya. Sumber getaran dapat berupa objek yang bergerak dan dapat juga berupa udara yang bergerak. Untuk objek udara yang bergerak terjadi pada terompet yang di tiup. Getaran tersebut kemudian menyentuh partikel zat yang ada di dekatnya. Zat ini dapat berupa gas, cairan atau padatan. Partikel zat yang pertama kali tersentuh (yang paling dekat dengan objek) akan meneruskan energi yang diterimanya ke partikel disebelahnya. Demikian seterusnya partikel-partikel zat akan saling bersentuhan sehingga membentuk rapatan dan renggangan yang dapat digambarkan sebagai gelombang yang merambat.

Oleh karena itu, keberadaan zat disekitar objek yang bergetar sering kali disebut juga medium perambat gelombang bunyi. Meski objek yang bergetar, yang disebut sebagai sumber bunyi, telah berhenti bergetar, pada keadaan tertentu perambatan gelombangnya masih terus berjalan sampai pada jarak tertentu dari objek tersebut. Rambatan gelombang tersebut ditangkap oleh daun telinga. (Mediastika, Christina, 2005).


(22)

2. Keras Bunyi

Keras bunyi (loudness) adalah kekuatan bunyi yang dirasakan oleh telinga manusia, diukur dengan phon atau dBA (weighted deciBel). (Satwiko, Prasasto, 2009)

Keras Bunyi (loudness) sangat dipengaruhi oleh sensasi yang ditimbulkan pada pendengaran seseorang. Jadi, bersifat subjektif, berbeda pada tiap-tiap orang dan tidak dapat diukur secara langsung dengan suatu alat, berbeda dengan intensitas bunyi yang yang objektif, dapat langsung diukur dengan suatu alat. Keras bunyi bertambah, jika intensitas bertambah, akan tetapi pertambahan ini tidak terjadi secara linier. Nada bunyi yang intensitasnya sama, tetapi berbeda frekuensinya belum tentu menimbulkan sensasi keras bunyi yang sama pada tiap-tiap orang. (Sears & Zemansky, 1962)

2.1.3. Tingkat Bunyi

Tingkat Bunyi (sound level) adalah perbandingan logaritmis antara satu sumber bunyi dengan sumber bunyi acuan, diukur dalam dB. Sedangkan intensitas bunyi (sound intensity) adalah banyaknya energi bunyi per unit luasan, diukur dengan ( 2

m watt ).

Tingkat intensitas suara (L) dinyatakan dalam satuan bel atau decibel (dB). Hubungan intensitas (I) dengan tingkat intensitas suara (L), dinyatakan dengan :

L = 10 Log10

o

I I

... (2.2) dengan :

L = Tingkat Intensitas Bunyi (sound pressure level) (dB) I = Intensitas bunyi (W/m2)


(23)

2.1.4. Decibell (dB)

Beberapa model pengukuran tingkat kekuatan bunyi yang telah dibahas pada bagian sebelum menunjukkan bahwa pada beberapa hal, pengukuran menjadi tidak nyaman dan sulit dilakukan karena menggunakan angka-angka yang terlalu kecil, demikian pula pengukuran tingkat kekuatan bunyi dengan bantuan ambang bawah dan ambang atas telinga tidak selalu mudah dilakukan karena terlalu jauh selisihnya, yaitu dari 2 x 10-5 Pa sampai 200 Pa.

Oleh karen itu, digunakan model pengukuran sistem rasio atau perbandingan di antara dua nilai, dapat berupa antara dua nilai intensitas maupun antara dua nilai tekanan. Perbandingan ini dilakukan dengan sistem logaritmik dan selanjutnya dihitung dalam satuan decibell (dB). Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

IL = 10 log10

1 2

I I

= 10 log10

2

1 2

   

p p

... (2.4) dengan :

IL = Intensitas bunyi (dB) 2

I dan I = Intensitas akhir dan awal bunyi yang diperbandingkan 1

2

p dan p = Tekanan akhir dan awal yang diperbandingkan 1

Terlepas dari adanya faktor yang menurunkan tingkat kebenaran pengukuran bunyi dalam dB, pengukuran kekuatan bunyi dengan satuan dB memudahkan manusia untuk mengetahui ambang batas bawah dan atas dari kekuatan bunyi yang mampu didengar, sebagaimana digambarkan pada tabel 2.1.


(24)

Tabel 2.1. Ambang batas pendengaran manusia (dalam dB) Sound Pressure (Pa) Sound Level (dB) Contoh Keadaan

200 140 Ambang batas atas pendengaran

130 Pesawat terbang tinggal landas

20 120 Diskotik yang amat gaduh

110 Diskotik yang gaduh

2 100 Pabrik yang gaduh

90 Kereta api berjalan

0,2 80 Pojok perempatan jalan

70 Mesin penyedot debu umumnya

0,02 60 Percakapan dengan berteriak

0,002 30 s.d. 50 Percakapan normal

0,0002 20 Desa yang tenang, angin berdesir 0,00002 0 s.d. 10 Ambang batas bawah pendengaran

2.1.5. Sound Level Meter

Tingkat kekuatan atau kekerasan bunyi diukur dengan alat yang disebut Sound Level Meter (SLM). Alat ini terdiri dari mikrofon, amplifier, weighting networt dan layar display dalam satuan dB. SLM sederhana hanya dapat mengukur tingkat kekerasan bunyi dalam satuan dB, sedangkan SLM yang canggih sekaligus mampu menunjukkan frekuensi bunyi yang diukur. Proses kerja SLM sederhana diilustrasikan dalam Gambar 2.2.

Skala dB

atau

Monitor hasil Filter oktaf-band

mikrofon

Amplifier


(25)

SLM yang amat sederhana biasanya hanya dilengkapi dengan bobot pengukuran A (dBA) dengan sistem pengukuran seketika (tidak dapat menyimpan data dan mengelolah data), sedangkan yang sedikit lebih baik, dilengkapi dengan skala pengukuran B dan C. Beberapa SLM yang lebih canggih dapat sekaligus dipakai untuk menganalisis tingkat kekerasan dan frekuensi bunyi yang muncul selama rentang waktu tertentu dan mampu menggambarkan gelombang yang terjadi. Beberapa produsen menamakannya Hand Held

Analyser (HHA), ada pula dalam model Desk Analyser (DA).

Meski nampak canggih dan rumit, sesungguhnya menggunakan SLM untuk mengukur tingkat kekerasan bunyi tidaklah sulit. Yang penting adalah menaatin pedoman atau standar yang telah ditetapkan agar hasil pengukurannya menjadi benar. Adapun persyaratan tersebut adalah :

1. Agar posisi pengukuran stabil, SLM sebaiknya dipasang pada tripot. Setiap SLM, bahkan yang paling sederhana, idealnya dilengkapi dengan lubang untuk mendudukkannya pada tripot. SLM yang diletakkan pada tripot lebih stabil posisinya dibandingkan yang dipegang oleh tangan operator (manusia yang mengoperasikannya). Posisi operator yang terlalu dekat dengan SLM juga dapat mengganggu penerimaan bunyi oleh SLM karena tubuh manusia mampu memantulkan bunyi. Peletakan SLM pada papan, seperti meja atau kursi, juga dapat mengurangi kebenaran hasil pengukuran karena sarana tersebut akan memantukan bunyi yang diterima.

2. Operator SLM setidaknya berdiri pada jarak 0,5 m dari SLM agar tidak terjadi efek pemantulan.

3. Untuk menghindari terjadinya pantulan dari elemen-elemen permukaan disekitarnya, SLM sebaiknya ditempatkan pada posisi 1,2 m dari atas permukaan lantai; 3,5 m dari permukaan dinding atau objek lain yang memantulkan bunyi.


(26)

4. Untuk pengukuran didalam ruangan atau bangunan, SLM berada pada posisi 1 m dari dinding-dinding pembentuk ruangan. Bila diletakkan dihadapan jendela maka jaraknya 1,5 m dari jendela tersebut. Agar hasil lebih benar, karena adanya kemungkinan pemantulan oleh elemen pembentuk ruang, pengukuran SLM dalam ruang sebaiknya dilakukan pada tiga titik berbeda dengan jarak antar titik lebih kurang 0,5 m.

5. Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang benar dan mampu mencatat semua fluktuasi bunyi yang terjadi, SLM dipasang pada posisi slow responsse. (Mediastika, Christina, 2005)

2.2. Polusi Suara atau Kebisingan

Polusi suara atau Kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak dikehendaki atau menggangu. Gangguan bunyi hingga tingkat tertentu dapat diadaptasi oleh fisik, namun saraf dapat terganggu. Ambang bunyi (threshold of audibility) adalah intensitas bunyi yang sangat lemah yang masih dapat didengar telinga manusia, berenergi 10−12 weiber/m2. Ambang bunyi ini disepakati mempunyai tingkat bunyi 0 dB. Ambang sakit (thereshold of

pain) adalah kekuatan bunyi yang menyebabkan sakit pada telinga manusia, berenergi 1

W/m2. (Satwiko, Prasasto, 2009)

Noise latar belakang adalah bunyi disekitar kita yang muncul secara tetap dan stabil pada tingkat tertentu. Noise latar belakang yang nyaman berada pada tingkat kekerasan tidak melebihi 40 dB. Jenis-jenis noise latar belakang, yaitu :

1. Kebisingan akibat jalan raya

Kebisingan jalan raya disebabkan oleh pemakaian kendaraa bermotor, baik yang beroda empat, maupun yang beroda lebih dari empat. Dengan begitu banyaknya sumber kebisingan di atas permukaan jalan, maka jalan raya pun ditetapkan sebagai sumber kebisingan utama. (Mediastika, Christina, 2005)


(27)

2. Kebisingan akibat industri

Sumber kebisingan di lingkungan industri, yaitu : Peralatan pemakai energi pada industri (furnace dan heater), Sistem kontrol benda cair (pompa air dan generator), Proses industri (mesin dan segala sistemnya), Menara pendingin (cooling tower), Cerobong pembakaran (flare stack), Alat/mesin bertekanan tinggi, Kendaraan bermotor (Mukono, H.J., 2006)

2.2.1. Efek Kebisingan Terhadap Manusia

Pengaruh utama dari kebisingan adalah kerusakan pada indera pendengaran dan akibat ini telah diketahui dan diterima umum. (Gabriel,dr J.F. 1988)

Tabel 2.2 Jenis-jenis dari akibat-akibat kebisingan

Tipe Uraian

Kehilangan Pendengaran

Perubahan ambang batas sementara akibat kebisingan,

Perubahan ambang batas permanent akibat kebisingan

Akibat – akibat badaniah

Akibat – akibat fisiologis

Rasa tidak nyaman atau stress

meningkat, tekanan darah meningkat, sakit kepala, bunyi dering.

Gangguan emosional

Kejengkelan, kebingungan

Akibat – akibat Psikologis

Gangguan gaya hidup

Gangguan tidur atau istirahat, hilang konsentrasi waktu bekerja,

memmbaca, dsb

Gangguan pendengaran

Merintangi kemampuan

mendengarkan TV, radio, percakapan, telepon, dsb


(28)

Berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia, bising dapat dibagi atas : 1. Bising yang menggangu (Irritating noise).

Intenstas tidak terlalu keras. Misalnya : mendengkur 2. Bising yang menutupi (Masking noise).

Merupakan bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas. Secara tidak langsung biunyi ini akan membahayakan kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, karena teriakan atau isyarat tanda bahaya tenggelam dalam bising dari sumber lain.

3. Bising yang merusak (daming/injurious noise).

Adalah bunyi yang intensitasnya melampaui NAB. Bunyi jenis ini akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran.

Tabel 2.3 Tingkat Bising Rata-Rata yang Biasa (Typical) (Beberapa Diukur pada Jarak Tertentu dari Sumber)

Sumber bising Tingkat bising (dB)

Detik arloji 20

Halaman tenang 30

Rumah tenang pada umumnya 42

Jalan pemukiman yang tenang 48

Kantor bisnis pribadi 50

Kantor lansekap 53

Kantor besar yang konvensional 60

Pembicaraan normal, 3 ft (90 cm) 62

Mobil penumpang di lalu-lintas kota, 20 ft (6 m) 70

Pabrik tenang 70

Mobil penumpang di jalan raya, 20 ft (6 m) 76

Pembicaraan keras, 3 ft (90 cm) 78

Pabrik yang bising 80

Mesin kantor, 3 ft (90 cm) 80

Ruang teletype surat kabar 80

Motor tempel 10-hp, 50 ft (15 m) 88

Lalu-lintas kota pada jam sibuk, 10 ft (3 m) 90 Jet besar lepas landas, 3.300 ft (1.000 m) 90

Motor sport atau truk, 30 ft (90 m) 94


(29)

Mesin potong rumput berdaya, 10 ft (3 m) 105

Band music rock 113

Jet besar lepas landas, 500 ft (150 m) 115

Sirene 50-hp, 100 ft (30 m) 138

Roket ruang angkasa 175

(Sumber : Dolle, Leslie, 1993)

Tabel 2.4. Baku Mutu Kebisingan Peruntukan

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP-48/MENLH/11/1996 Peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan Tingkat Kebisingan dB a. Peruntukkan kawasan

1. Perumahan dan pemukiman 55

2. Perdagangan dan jasa 70

3. Perkantoran dan perdagangan 65

4. Ruang hijau terbuka 50

5. Industri 70

6. Pemerintahan dan fasilitas umum 60

7. Rekreasi 70

8. Khusus : - Bandar Udara*

- Stasiun kereta api*

- Pelabuhan laut 70

- Cagar budaya 60

b. Lingkungan kegiatan

1. Rumah sakit atau sejenisnya 55

2. Sekolah atau sejenisnya 55

3. Tempat ibadah atau sejenisnya 55

Sumber : MenLH (2004) Keterangan :


(30)

2.2.2. Telinga Manusia

Fungsi telinga adalah untuk secara efisien merubah energi getaran dari gelombang menjadi sinyal listrik yang dibawa ke otak melalui saraf. Gambar 2.2 adalah diagram telinga manusia. Telinga dibagi menjadi 3 bagian utama, yaitu : telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Di telinga luar, gelombang bunyi dari luar melambat sepanjang saluran telinga ke gendang telinga (timpani), yang bergetar sebagai tanggapan terhadap gelombang menimpanya. Telinga tengah terdiri dari tiga tulang kecil yang dikenal dengan nama martil, landasan (incus), dan sanggurdi (stapes), yang memindahkan getaran gendang telinga ketelinga dalam jendela oval. Telinga dalam terdiri dari saluran-saluran setengah lingkaran, yang penting untuk mengendalikan keseimbangan, rumah siput yang berisi cairan, dimana energi getaran dari gelombang bunyi diubah menjadi energi listrik dan dikirim ke otak. (Giancoli, Douglas C., 2001)


(31)

Pada manusia dewasa, rata-rata bervolume 1,04 ml dan panjangnya sekitar 2,7 cm. Selaput timpani manusia berbentuk lonjong, dengan luas sekitar 66 mm2, dan tebalnya 0,1 mm. Selaput ini meneruskan getaran molekul udara yang terdapat di dalam telinga luar ke tulang-tulang kecil yang terdapat ditelinga tengah. Selaput timpani merupakan batas luar telinga tengah. Telinga tengah terdiri dari ruangan yang disebut rongga timpani. Rongga ini bervolume 1 ml dan bentuknya tidak teratur. Tulang-tulang kecil ditelinga tengah ini memiliki fungsi yaitu untuk mengurangi jumlah energi yang diberikan ke dalam telinga dalam pada tingkat bunyi tinggi. (Ackerman, Eugene, 1988)

2.2.3. Pengaruh Kebisingan pada Pendengaran Manusia

Perubahan ambang dengar akibat paparan bising tergantung pada frekwensi bunyi, intensitas dan lama waktu paparan, dapat berupa :

1. Adaptasi

Bila telinga terpapar oleh kebisingan mula-mula telinga akan merasa terganggu oleh kebisingan tersebut, tetapi lama-kelamaan telinga tidak merasa terganggu lagi karena suara terasa tidak begitu keras seperti pada awal pemaparan.

2. Peningkatan ambang dengar sementara

Terjadi kenaikan ambang pendengaran sementara yang secara perlahanlahan akan kembali seperti semula. Keadaan ini berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam bahkan sampai beberapa minggu setelah pemaparan. Kenaikan ambang pendengaran sementara ini mula-mula terjadi pada frekwensi 4000 Hz, tetapi bila pemeparan berlangsung lama maka kenaikan nilai ambang pendengaran sementara akan menyebar pada frekwensi sekitarnya. Makin tinggi intensitas dan lama waktu pemaparan makin besar perubahan nilai ambang pendengarannya. Respon tiap individu terhadap kebisingan tidak sama tergantung dari sensitivitas masing-masing individu.


(32)

3. Peningkatan ambang dengar menetap

Kenaikan terjadi setelah seseorang cukup lama terpapar kebisingan, terutama terjadi pada frekwensi 4000 Hz. Gangguan ini paling banyak ditemukan dan bersifat permanen, tidak dapat disembuhkan . Kenaikan ambang pendengaran yang menetap dapat terjadi setelah 3,5 sampai 20 tahun terjadi pemaparan, ada yang mengatakan baru setelah 10-15 tahun setelah terjadi pemaparan. Penderita mungkin tidak menyadari bahwa pendengarannya telah berkurang dan baru diketahui setelah dilakukan pemeriksaan audiogram.

Hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan bising biasanya sembuh setelah istirahat beberapa jam ( 1 – 2 jam ). Bising dengan intensitas tinggi dalam waktu yang cukup lama ( 10 – 15 tahun ) akan menyebabkan robeknya sel-sel rambut organ Corti sampai terjadi destruksi total organ Corti. Proses ini belum jelas terjadinya, tetapi mungkin karena rangsangan bunyi yang berlebihan dalam waktu lama dapat mengakibatkan perubahan metabolisme dan vaskuler sehingga terjadi kerusakan degeneratif pada struktur sel-sel rambut organ Corti. Akibatnya terjadi kehilangan pendengaran yang permanen. Umumnya frekwensi pendengaran yang mengalami penurunan intensitas adalah antara 3000 – 6000 Hz dan kerusakan alat Corti untuk reseptor bunyi yang terberat terjadi pada frekwensi 4000 Hz. Ini merupakan proses yang lambat dan tersembunyi, sehingga pada tahap awal tidak disadari oleh para pekerja. Hal ini hanya dapat dibuktikan dengan pemeriksaan audiometri. Apabila bising dengan intensitas tinggi tersebut terus berlangsung dalam waktu yang cukup lama, akhirnya pengaruh penurunan pendengaran akan menyebar ke frekuensi percakapan ( 500 – 2000 Hz ). Pada saat itu pekerja mulai merasakan ketulian karena tidak dapat mendengar pembicaraan sekitarnya.


(33)

Secara umum efek kebisingan terhadap pendengaran manusia dapat dibagi atas 2 kategori yaitu :

1. NOISE INDUCED TEMPORARY THRESHOLD SHIFT ( NITTS )

NITTS terjadi pada pertama kali terpapar suara bising, yang akan mengalami berbagai perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran bertambah tinggi pada frekwensi tinggi (frekwensi 4000 Hz).

2. NOISE INDUCED PERMANENT THRESHOLD SHIFT ( NIPTS )

Sekarang ini, sering ditemukan kasus kehilangan pendengaran akibat suara bising, dan hal ini disebut dengan “ occupational hearing loss “ atau kehilangan pendengaran karena pekerjaan atau nama lainnya ketulian akibat bising industri. Dikatakan bahwa untuk merubah NITTS menjadi NIPTS diperlukan waktu bekerja dilingkungan bising selama 10 – 15 tahun, tetapi hal ini bergantung juga kepada :

1. tingkat suara bising

2. kepekaan seseorang terhadap suara bising

NIPTS biasanya terjadi disekitar frekwensi 4000 Hz dan perlahan-lahan meningkat dan menyebar ke frekwensi sekitarnya. NIPTS mula-mula tanpa keluhan, tetapi apabila sudah menyebar sampai ke frekwensi yang lebih rendah ( 2000 dan 3000 Hz ) keluhan akan timbul. Pada mulanya seseorang akan mengalami kesulitan untuk mengadakan pembicaraan di tempat yang ramai, tetapi bila sudah menyebar ke frekuensi yang lebih rendah maka akan timbul kesulitan untuk mendengar suara yang sangat lemah. Notch bermula pada frekwensi 3000 – 6000 Hz, dan setelah beberapa waktu gambaran audiogram menjadi datar pada frekwensi yang lebih tinggi. Kehilangan pendengaran pada frekwensi 4000 Hz akan terus bertambah dan menetap setelah 10 tahun dan kemudian perkembangannya menjadi lebih lambat.


(34)

2.3. Pesawat Terbang

Pesawat terbang atau pesawat udara adalah atau udara.

2.3.1. Bising Pesawat Terbang

Kebisingan atau suara-suara yang tidak diinginkan, dihasilkan dari lintasan pesawat terbang yang melintasi udara diatas yang akan mengakibatkan gangguan perubahan tekanan pada seorang pengamat yang ada di dalam pesawat atau pengamat yang ada dibawah. Sehingga kondisi penerbangan tidak dapat dijaga kecuali jika udara dan aliran gas dapat dikendalikan secara efisien. Ada banyak cara untuk menghasilkan kebisingan. Gangguan perubahan tekanan yang merupakan hasil dari ketidakefisienan dalam keseluruhan sistem dan terjadi sewaktu-waktu karena ada ketidaksinambungan dalam proses penanganan airflow, terutama pada mesin, dimana sumber kekuatan meliputi perubahan yang besar terhadap tekanan dan tempetatur. Hal ini tidak dapat dikatakan bahwa airframe itu sendiri dapat juga menjadi penghasil kebisingan, dimana susunannya akan digunakan pada saat akan terbang dan mendarat, seperti pengereman saat mendarat dan perlengkapan untuk mengangkat pesawat saat akan lepas landas (seperti pergerakan membentangkan dan mengatupkan sayap pesawat) dimana keduanya akan menghasikan kekacauan yang besar.

Bagi komunitas yang ada dibawah landasan pesawat terbang, sumber kebisingan dari airframe cukup normal pada fase mendarat, dimana sumber-sumbernya dapat dilihat pada gambar 2.3. Untuk alasan ini, kebisingan airframe dianggap sebagai gangguan utama pada kebisingan yang terjadi di pesawat terbang.


(35)

Gambar 2.3. Masalah kebisingan Pesawat Terbang

Penyebaran kebisingan dari masing-masing bagian pesawat seperti mengembang, mengatupnya sayap pesawat serta pengereman saat mendarat juga dirasakan dari dalam pesawat. Peningkatan yang besar pada kebisingan dalam kabin akan dialami pada saat pesawat akan melakukan pendaratan akhir. Hasil ini secara langsung berasal dari reaksi

airframe sehingga terjadi kekacauan yang dilakukan pada pengereman saat pendaratan dan

pengatupan sayap. Pada saat penerbangan dalam kondisi normal, dengan bagian bawah, tidak melebarkan atau mengatupkan sayap pesawat, kebisingan dari airframe yang ‘bersih’ dipercayai akan didominasi oleh bagian sayap pesawat. Walaupun badan pesawat pada saat melakukan daya angkat pada badan, hampir semua daya angkat (dan tarikan) akan menyebakan kekacauan dan kebisingan) merupakan hasil dari struktur sayap dan ekor pesawat.


(36)

Sebaliknya, saat pesawat menanjak keatas, kebisingan yang dihasilkan pada batasan lapisan badan pesawat menjadi semakin meningkat tajam pada bagian kabin penumpang. Pada pesawat yang menggunakan kekuatan baling-baling turbo, biasanya sumber utama dari kebisingan berasal dari bagian kabin, walaupun desain kabin yang kurang manguntungkan dengan tekanan udara (pressurization/sistem pendingin udara) bisa menjadi hal yang penting, sebagaimana kebisingan pada mesin yang juga terkena radiasi melalui udara ke dinding kabin atau pengiriman getaran yang berasal dari struktur pesawat. Bagi pengamat yang ada dibawah (daratan), kebisingan airframe mencapai tingkat tertinggi selama proses pendaratan, dimana bagian yang terpenting adalah pada saat menambah daya angkat dan menyebarkan proses pengereman pada kecepatan rendah saat melakukan pendaratan dan pada saat menyentuh daratan akan meningkatkan kebisingan yang utama.

2.3.2. Sumber Bising Pesawat Terbang

Sumber bising utama pada pesawat terbang adalah:

a. Turbojet Engine Noise, yaitu kebisingan yang dikeluarkan dari pergerakan mesin

dan berakselerasi dengan udara luar melalui nozel.

b. Turbofan Engine Noise, yaitu kebisingan yang dihasilkan oleh kompresor dan

turbin,

c. Aerodynamic Noise, yaitu kebisingan yang dihasilkan oleh aliran udara di bawah

badan pesawat terbang, rongga-rongga pesawat, roda gigi pendaratan dan bagian permukaan pesawat.

d. Propeller Aircraft Noise, yaitu kebisingan yang berasal dari kekuatan gas di turbin


(37)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan dua tahap, yaitu pertama pengambilan data lapangan di Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan, kedua dilakukan pengolahan data untuk memperoleh besar kebisingan ekivalen.

Prosedur awal sampai pengolahan terlihat pada diagram 3.1 :

METODE PENELITIAN STUDI LITERATUR

SURVEI AWAL SURVEI AWAL PEMILIHAN ALAT

PEMILIHAN ALAT

PEMILIHAN LOKASI PEMILIHAN LOKASI

PENENTUAN WAKTU PELAKSANAAN PENENTUAN WAKTU

PELAKSANAAN

JENIS PESAWAT JENIS PESAWAT

KETINGGIAN PESAWAT KETINGGIAN PESAWAT

JADWAL PENERBANGAN JADWAL PENERBANGAN

PENGUKURAN KEBISINGAN PENGUKURAN KEBISINGAN PENELITIAN

PENGUKURAN I PENGUKURAN I

TINGKAT KEBISINGAN TINGKAT KEBISINGAN

PENGUKURAN II PENGUKURAN II

HUBUNGAN ANTARA BISING DENGAN JENIS PESAWAT, dan JARAK IDEAL HUNI HUBUNGAN ANTARA BISING DENGAN JENIS PESAWAT, dan JARAK IDEAL HUNI

JARAK PENGUKURAN JARAK PENGUKURAN PENELITIAN LAPANGAN PENELITIAN LAPANGAN

Gbr. 3.1 Diagram Alir Penelitian


(38)

Kegiatan pengambilan data dilapangan meliputi : 3.1.1. Survei Awal

Terdiri dari : a. Pemilihan alat

Bertujuan untuk menentukan alat-alat apa saja yang akan digunakan pada saat pengambilan data di lapangan. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Sound Level Meter (SLM), stopwatch, kamera dan GPS.

b. Pemilihan lokasi

Pemilihan lokasi untuk menentukan tempat pengambilan data. Lokasi yang dipilih adalah di Pasar 6 Padang Bulan – Simpang Pos Padang Bulan Medan.

c. Penentuan waktu pelaksanaan

Bertujuan untuk memilih hari dan waktu pelaksanaan dilapangan. Hari yang dipilih untuk pengambilan data adalah hari-hari yang sibuk. Di saat pesawat banyak lalu lalang.

d. Penentuan interval

Gunanya untuk mendapatkan jumlah sampel yang cukup untuk diolah dan memperoleh kebisingan ekivalen.

3.1.2. Pengumpulan Data di Lapangan Terdiri dari :

a. Jarak Pengukuran

Bertujuan untuk melihat seberapa besar pengaruh jarak terhadap besar kebisingan yang diterima oleh pendengar. Sesuai dengan jarak pengukuran yang ditentukan.

b. Pengukuran Kebisingan

Bertujuan untuk mengukur tingkat bising latar belakang. Skala kebisingan yang digunakan adalah dalam satuan dB (A).

c. Jenis Pesawat


(39)

3.2. Peralatan Yang Digunakan

Dalam penelitian ini digunakan peralatan sebagai berikut :

1. Sound Level Meter (SLM), merek LT Lutron sebanyak 1 buah (Lampiran C). 2. Stopwatch, sebanyak 1 buah.

3. Kamera digital, sebanyak 1 buah.

4. GPS, merek garmin GPS map 60 CSx sebanyak 1 buah (Lampiran D)

3.3. Tahap Pengambilan Data

Pengambilan data untuk mengetahui tingkat kebisingan di Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan dilakukan berdasarkan pengukuran langsung dan melalui beberapa proses pengambilan sampel suara dan metode pengukuran untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan dalam melengkapi analisis tingkat kebisingan pesawat terbang di Pasar Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan.

Beberapa tahapan penelitian antara lain: 1. Jarak pengukuran

Jarak pengukuran diambil yaitu dari Pasar 6 Padang Bulan dengan jarak 475,11 meter dari ujung landasan dan Simpang Pos Padang Bulan dengan jarak 1226,70 meter dari ujung landasan.

Landing

Runway Bandara Polonia Medan

Simpang Pos 1226,7 meter Pasar 6 P. Bulan

475,11 meter

95,34 ft 244,86 ft


(40)

Take Off

Runway Bandara Polonia Medan

Simpang Pos 1226, 7 meter Pasar 6 P . Bulan

475, 11 meter

417,77 ft 1078,66 ft

15°

Gbr. 3.2 Sketsa Lokasi Pengukuran Kebisingan

2. Pengambilan jenis pesawat

Dilakukan dengan mengambil gambar (foto) pada saat pesawat setelah landing atau sebelum take off. Pengambilan gambar berlokasi di bandara polonia (ajungan pengantar). 3. Pengukuran kebisingan

Pengukuran kebisingan dilakukan menggunakan alat Sound Level Meter merek LT Lutron. Pengukuran kebisingan dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :

a. Fase sebelum pengambilan data

1. Menentukan interval pengambilan sampel yaitu 3 detik.

2. ”Fast” response pada alat SLM digunakan jika data puncak kebisingan akan diambil, jika tidak digunakan ”Slow” response.


(41)

b. Fase penelitian lapangan

1. Titik-titik tempat pengambilan data dilapangan ditandai. Jarak dari titik pertama ke titik ke 3 yaitu Pasar 6 Padang Bulan – Simpang Pos Padang Bulan – Pasar 6 Padang Bulan, yaitu 475,11 meter – 1226,70 meter – 475, 11 meter dari ujung landasan (runway).

2. Alat dipasang pada satuan dB(A).

3. Data dan informasi tentang lokasi penelitian dicatat.

4. Nilai dasar (base level) dipilih dan dicatat. Pada alat pengukur kebisingan tipe LT Lutron base levelnya adalah 20-80, 40-100, 60-120 dB (A). Untuk penelitian ini base level yang dipilih adalah 60-120 dB (A) karena tingkat kebisingan pesawat terbang mencapai 106 dB (A).

5. Alat diatur pada “Fast” response atau “Slow” respons sesuai kebutuhan. 6. Waktu saat penelitian dicatat

7. Penelitian dilakukan dengan SLM menggunakan skala dB (A) dengan interval yang telah ditentukan.

8. Waktu akhir pengambilan data dicatat, kondisi alat dicek kembali dan semua informasi yang telah diambil dicatat.

c. Fase setelah penelitian lapangan

1. Data yang telah diperoleh dicek kembali

2. Jumlah data yang diperoleh dihitung dan ditabulasikan.

3. Tingkat kebisingan ekivalen, tinggi pesawat dan jarak ideal huni pemukiman pada lokasi tersebut dicari.


(42)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan bantuan program Microsoft Excel dimana sample-sample data untuk masing-masing table diketikkan ke dalam kolom di lembara Microsoft

Excel.

Untuk pengolahan data dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu :

1. Data-data sample disusun dalam sebuah table menurut jarak pengukuran dan waktu. (Lampiran B).

2. Sample dikelompokkan sesuai Lampiran B berdasarkan range atau interval sebagai berikut :

• 35 – 39,9 dB (A)

• 40 – 44,9 dB (A)

• 45 – 49,9 dB (A)

• 50 – 54,9 dB (A)

• 55 – 59,9 dB (A)

• 60 – 64,9 dB (A)

• 65 – 69,9 dB (A)

• 70 – 74,9 dB (A)

• 75 – 79,9 dB (A)

• 80 – 89,9 dB (A)

• dst sampai range 115 – 119,9 dB (A)

3. Nilai tengah (NT) dicari dari masing-masing range (kolom 1)


(43)

5. Diperoleh frekuensi tabulasi atau banyak sample data berdasarkan range (kolom 3). 6. Hasil kali dari kolom 2 dipangkatkan dengan bilangan 10 (kolom 4).

7. Data dari kolom 3 dikalikan dengan kolom 5 dan didapatkan jumlah data (kolom 6). 8. Jumlah pada kolom 6 dibagi dengan jumlah kolom 3 (data 7).

9. Dicari besar nilai logaritma dari data tersebut (data 8).

10.Hasil dari logaritma data tersebut dikalikan dengan 10 dan diperoleh besar kebisingan ekivalen.

11.Kemudian dicari besar data minimum (Lmin), kebisingan rata-rata (Lrata-rata), dan data maksimum (Lmax).

Tahap diatas dilaksanakan untuk setiap table data sehingga diperoleh untuk masing-masing data adalah sebagai berikut :

1. LAeq (Kebisingan ekivalen) 2. Lmin (nilai terendah sample) 3. Lrata-rata (kebisingan rata-rata) 4. Lmax (nilai tertinggi sample)

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Exel dan Korelasi Product

Moment (rumus korelasi sederhana/Bivariate Correlation). Uji koefisien korelasi

digunakan untuk menguji arah hubungan variabel bebas dengan variabel terikat. Besar koefisien korelasi antara 0 sampai ± 1. Artinya besarnya bisa antara 0 sampai +1 atau 0 sampai -1, dimana tanda ± disini adalah menunjukkan arah. Tanda negatif (-) menunjukkan bahwa hubungannya / korelasi tersebut negative / berlawanan arah, dan jika tandanya positif (+) maka korelasi tersebut positif atau searah.


(44)

Tabel 4.1 Penafsiran Koefisien Korelasi

No Interval Koefisien Tingkat hubungan 1 0,00 – 0,199 Sangat rendah 2 0,20 – 0,399 Rendah 3 0,40 – 0,599 Sedang 4 0,60 – 0,799 Kuat

5 0,80 – 1,00 Sangat Kuat Rumus umumnya adalah sebagai berikut:

( )

[

2

]

[

( )

2

]

y y x

x

y x xy xy

n n

n r

∑ − ∑ ∑

− ∑

∑ ∑ − ∑ =

Dengan :

r = Koefisien korelasi product momen pearson x = Jumlah pengamatan variabel x

y = Jumlah pengamatan variabel y n = Banyaknya pasangan pengamatan


(45)

4.2. Analisis Pengukuran Take Off dan Landing

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada pengukuran tingkat kebisingan pesawat terbang dapat dibagi menjadi 3 titik, yaitu :

• Pada titik 1 untuk Take Off maupun Landing

Tanggal : 3 April 2010 » Take Off 1

Lokasi : Pasar 6 Padang Bulan Ketinggian : 417,77 ft Jarak : 475,11 meter » Landing 1

Ketinggian : 95,34 ft

• Pada titik 2 untuk Take Off maupun Landing

Tanggal : 4 April 2010 » Take Off 2

Lokasi : Simpang Pos Padang Bulan Ketinggian : 1078,66 ft Jarak : 1226,70 meter » Landing 2

Ketinggian : 244,86 ft

• Pada titik 3 untuk Take Off maupun Landing

Tanggal : 4 April 2010 » Take Off 3

Lokasi : Pasar 6 Padang Bulan Ketinggian : 417,77 ft Jarak : 475,11 meter » Landing 3

Ketinggian : 95,34 ft

Menentukan ketinggian pesawat dari rumus :

15°

x

y

3,5°

x


(46)

tan

y x

=

θ → tan 15° =

11 , 475

x

tan 3,5° =

11 , 475

x

x = 0,268 x 475,11 x = 0,061 x 475,11 = 127,33 m = 417,77 ft = 29,06 m = 95,34 ft

tan 15° =

7 , 1226

x

tan 3,5° =

7 , 1226

x

x = 0,268 x 126,7 x = 0,061 x 1226,7 = 328,76 m = 1078,66 ft = 74,63 m = 244,86 ft

4.2.1 Take Off 1

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan rumus Korelasi Product Moment. Untuk mengetahui hubungan korelasi pada Take Off 1 dilakukan dengan 2 hubungan, yaitu Jenis Pesawat vs LAeq atau Lrata-rata vs LAeq.

1. Pengukuran Take Off 1 untuk Jenis Pesawat vs LAeq

Pada Jenis Pesawat vs LAeq data yang digunakan adalah Jenis Pesawat, x1 dan LAeqdan Σxy 1.

Maka didapat :

n = 14

( )

x 2 = (44)2 = 1936

x = 44

( )

y 2 = (1201,98)2 =1444755,92 ∑y = 1201,98 ∑x2 = 208

xy = 3823,22 ∑y2 = 103280,95

( )

[

2

]

[

( )

2

]

y y x x y x xy xy n n n r ∑ − ∑ ∑ − ∑ ∑ ∑ − ∑ = =

(

)

(

)

( )

[

14152 1600

] (

[

14100527,02

)

1405268

]

1185,44 40 3419,52 14 − − −


(47)

( )(

)

431 , 0 57 , 1055 68 , 455 84 , 1114227 68 , 455 28 , 2110 528 6 , 47417 28 , 47873 = = = − =

Untuk Take Off (titik 2 dan 3) atau Landing (titik 1, 2 dan 3) dapat digunakan dengan cara yang sama seperti diatas (untuk Jenis Pesawat vs LAeq).

Tabel 4.2.1. Take Off 1 untuk Jenis Pesawat, Lrata-rata dan LAeq Jenis Pesawat

x1 (N)

x2 (Lrata-rata)

y

(LAeq)

xy 1

xy 2

A330-300 2 81,94 86,58 173,16 7094,36

A330-200 1 80,98 87,40 87,40 7077,65

A320-200 1 78,69 81,31 81,31 6398,28

B737-900ER 7 82,08 88,48 619,36 7262,43 B737-800NG 4 79,72 83,51 334,04 6657,41

B737-400 2 80,54 84,97 169,94 6843,48

B737-300 4 81,72 85,96 343,84 7024,65

B737-200 5 84,11 92,43 462,15 7774,28

B777-200ER 2 80,33 83,18 166,36 6681,84

ATR 500 2 80,13 82,61 165,22 6619,53

FOKER 50 4 77,34 79,36 317,44 6137,70

CASA 212-400 2 79,40 83,2 166,4 6606,08 CASA 212-200 2 79,54 85,41 170,82 6793,51


(48)

Grafik Jenis Pesawat vs LAeq 0 1 2 3 4 5 6 7 8 A 330-300 A 330-200 A 320-200 B 737-900 ER B 737-800 NG B 737-400 B 737-300 B 737-200 B 777-200 ER ATR 500 FOK ER 50

CAS A 21

2-40 0

CAS A 21 2-20 0 C208B Jenis Pesawat N ( ju m la h ) 70 75 80 85 90 95 L A e q ( d B ) N LAeq

Gambar 4.2.1.1. Take Off 1 untuk grafik Jenis Pesawat vs LAeq 2. Pengukuran Take Off 1 untuk Lrata-rata vs LAeq

Pada Pengukuran Take Off 1 untuk Lrata-rata vs LAeq data yang digunakan adalah Jenis Pesawat, x2 dan Lrata-atadan Σxy 2.

Maka didapat :

n = 14

( )

x 2 = (1124,33)2 = 1264117,95 ∑x = Lrata-rata = 1124,33

( )

2

y

∑ = (1185,44)2 = 1405268 ∑y = LAeq = 1185,44 ∑x2 = 90336,3

xy = 95276,93 ∑y2 = 100527,02

( )

[

2

]

[

( )

2

]

y y x x y x xy xy n n n r ∑ − ∑ ∑ − ∑ ∑ ∑ − ∑ = =

(

)

(

)

(

)

[

1490336,3 1264117,95

]

[

14

(

100527,02

)

1405268

]

1185,44 1124,33 95276,93 14 − − −


(49)

(

)(

)

941 , 0 06 , 1116 13 , 1051 77 , 1245592 13 , 1051 28 , 2110 25 , 590 75 , 1332825 88 , 1333876 = = = − =

Untuk Take Off (titik 3) atau Landing (titik 1, 2 dan 3) dapat digunakan dengan cara yang sama seperti diatas (untuk Lrata-rata vs LAeq).

Grafik Lrata-rata vs LAeq

72 74 76 78 80 82 84 86 A 330-300 A 330-200 A 320-200 B 737-900 ER B 737-800 NG B 737-400 B 737-300 B 737-200 B 777-200 ER ATR 500 FOK ER 50

CAS A 21

2-40 0

CAS A 21 2-20 0 C208B Jenis Pesawat L ra ta -r a ta (d B ) 70 75 80 85 90 95 L A e q ( d B ) Lrata-rata LAeq


(50)

4.2.2 Take Off 2

Tabel 4.2.2 Take Off 2 untuk Jenis Pesawat, LAeq dan Lrata-rata

Jenis Pesawat x1 (N) x2 (Lrata-rrata) y

(LAeq)

xy1

xy2

A330-300 1 80,87 82,24 82,24 6650,74

A330-200 1 82,26 84,20 84,20 6926,29

A320-200 2 79,38 81,03 162,06 6432,16

A320 2 77,96 78,38 156,76 6110,50

B737-900ER 3 82,8 85,93 257,8 7115

B737-300 2 80,11 83,92 167,84 6722

B777-200ER 1 80,44 82,88 82,88 6666,86

FOKER 50 1 77,51 79,09 79,09 6130,26

C208B 1 77,35 79,24 79,24 6160,91

2. Pengukuran Take Off 2 untuk Lrata-rata vs LAeq

Pada Pengukuran Take Off 2 untuk Lrata-rata vs LAeq data yang digunakan adalah Jenis Pesawat, x2 dan Lrata-atadan Σxy 2.

Maka didapat :

n = 9

( )

x 2 = (719,08)2 = 517076,04 ∑x = Lrata-rata = 719,08

( )

2

y

∑ = (736,91)2 = 543036,34 ∑y = LAeq = 736,91 ∑x2 = 57482,5

xy = 58914,72 ∑y2 = 60392,13

( )

[

2

]

[

( )

2

]

y y x x y x xy xy n n n r ∑ − ∑ ∑ − ∑ ∑ ∑ − ∑ = =

(

)

(

)

(

)

[

957482,5 517076,04

]

[

9

(

60392,13

)

543036,34

]

736,91 719,08 58914,72 9 − − −


(51)

( )(

)

925 , 0 38 , 362 24 , 335 48 , 131319 24 , 335 83 , 492 266 24 , 529897 48 , 530232 = = = − =

Grafik Lrata-rata vs LAeq

74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 A 330-300 A 330-200 A 320-200 A320 B 737-900 ER B 737-300 B 777-200 ER FOK ER 50 C208B Jenis Pesawat L ra ta -r a ta (d B ) 74 76 78 80 82 84 86 88 L A e q ( d B ) Lrata-rata LAeq


(52)

4.2.3 Take Off 3

Tabel 4.2.3. Take Off 3 untuk Jenis Pesawat, LAeq dan Lrata-rata

4.2.4 Landing 1

Tabel 4.2.4. Landing 1 untuk Jenis Pesawat, LAeq dan Lrata-ata Jenis Pesawat x1 (N) x2 (Lrata-rata)

y

(LAeq)

xy 1

xy 2

A330-300 2 80,45 85,63 171,26 6888,93

A330-200 1 79,91 85,13 85,13 6802,73

A320-200 2 78,55 82,57 165,14 6485,87

A320-231 1 78,49 83,48 83,48 6552,34

B737-900ER 6 80,58 88,40 530,4 7123,27

B737-800NG 2 80,17 87,12 174,24 6984,41

B737-400 1 79,84 83,81 83,81 6691,39

B737-300 2 80,19 85 170 6816,15

B737-200 3 82,08 92,18 276,54 7566,13

B777-200ER 1 79,35 84,22 84,22 6682,85

ATR 500 1 76,68 77,74 77,74 5961,10

FOKER 50 2 77,9 80,15 160,3 6243,68 CASA 212-400 1 79,43 83,76 83,76 6653,05

C208B 1 76,15 77,59 77,59 5908,47

Jenis Pesawat

x1 (N)

x2 (Lrata-rata)

y

(LAeq)

xy 1

xy 2

A330-300 1 80,25 83,82 83,82 6726,55

A330-200 2 79,37 84,97 169,94 6744,07

A320-200 3 80,87 87,65 262,95 7088,25

A320-231 1 78,93 83,62 83,62 6600,12

B737-900ER 8 81,80 89,13 713,04 7290,83 B737-800NG 6 79,44 86,42 518,52 6865,20

B737-400 3 80,03 89,05 267,15 7126,67

B737-300 4 81,63 87,38 349,52 7132,83

B737-200 7 80,51 88,82 621,74 7150,9

B777-200ER 2 81,99 86,90 173,8 7124,93

ATR 500 1 84,73 86,43 86,43 7323,21

FOKER 50 1 78,20 83,60 83,60 6537,52


(53)

4.2.5 Landing 2

Tabel 4.2.5 Landing 2 untuk Jenis Pesawat, LAeq dan Lrata-ata

2

. Pengukuran Landing 2 untuk Lrata-rata vs LAeq

Pada Pengukuran Landing 2 untuk Lrata-rata vs LAeq data yang digunakan adalah Jenis Pesawat, x2 dan Lrata-ata dan Σxy 2.

Maka didapat :

n = 14

( )

x 2 = (1135,48)2 = 1289314,83 ∑x = Lrata-rata = 1135,48

( )

2

y

∑ = (1194,12)2 = 1425922,57 ∑y = LAeq = 1194,12 ∑x2 = 92209,44

xy = 96951,67 ∑y2 = 101967,14

( )

[

2

]

[

( )

2

]

y y x x y x xy xy n n n r ∑ − ∑ ∑ − ∑ ∑ ∑ − ∑ = =

(

)

(

)

(

)

[

1492209,44 1289314,83

]

[

14

(

101967,14

)

1425922,57

]

12 , 1194 48 , 1135 96951,67 14 − − − Jenis Pesawat x1 (N) x2 (Lrata-rata)

y

(LAeq)

xy 1

xy 2

A330-300 1 79,40 83,66 83,66 6642,60

A330-200 1 80,22 85,41 85,41 6851,59

A320-200 1 82,29 86,62 86,62 7127,96

A320 1 78,81 83,74 83,74 6599,54

B737-900ER 3 82,67 86,42 259,26 7144,34

B737-800NG 1 84,09 87,30 87,30 7341,05

B737-400 1 82,84 87,49 87,49 7247,67

B737-300 2 82,54 87,11 174,22 7190,06

B737-200 1 84,55 89,15 89,15 7537,63

B777-200ER 1 77,48 85,13 85,13 6595,87

ATR 500 1 81,16 82,57 82,57 6701,38

FOKER 50 1 84,30 88,51 88,51 7461,39

CASA 212-400 1 81,34 83,40 83,40 6783,75


(54)

(

)(

)

880 , 0 36 , 1617 01 , 1424 37 , 2615853 01 , 1424 39 , 1617 33 , 1617 37 , 1355899 38 , 1357323 = = = − =

Grafik Lrata-rata vs LAeq

68 70 72 74 76 78 80 82 84 86 A 330-300 A 330-200 A 320-200 A320

B 737-900 ER B 737-800 NG B 737-400 B 737-300 B 737-200 B 777-200 ER ATR 500 FOK ER 50

CAS A 21 2-40 0 C208B Jenis Pesawat L ra ta -r a ta (d B ) 70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 L A e q ( d B ) Lrata-rata LAeq


(55)

4.2.6 Landing 3

Tabel 4.2.6 Landing 3 untuk Jenis Pesawat, LAeq dan Lrata-rata

Tabel 4.2 Perhitungan dengan menggunakan rumus Korelasi Product Moment Pada Take Off dan Landing

Maka, dari tabel diatas dapat dilihat bahwa hubungan korelasi yang kuat (saling berhubungan) dari data yang ada adalah hubungan antara Lrata-rata vs LAeq yang menunjukkan korelasi yang kuat.

Jenis Pesawat

x1 (N)

x2 (Lrata-rata)

y

(LAeq)

xy 1

xy 2

A330-300 2 78,96 84,5 169 6672,12

A330-200 2 79,48 87,26 174,52 6935,42

A320-200 3 79,52 85,33 255,99 6785,44

B737-900ER 6 79,35 87,08 522,49 6909,8 B737-800NG 3 78,06 83,66 250,99 6530,5

B737-400 2 83,03 92,09 184,18 7646,23

B737-300 2 79,79 87,59 175,19 6988,80

B737-200 4 81,92 91,28 365,14 7477,65

B777-200ER 1 80,90 89,84 89,84 7268,05

ATR 500 1 78,60 84,09 84,09 6609,47

FOKER 50 2 80,18 86,19 172,39 6910,71

CASA 212-400 2 79,07 81,35 162,7 6423,34

CASA 212-200 1 78,04 81,39 81,39 6351,67

C208B 3 76,95 81,80 245,42 6294,51

Jenis Pesawat vs LAeq Lrata-rata vs LAeq

Take Off 1 0,431 0,941

Take Off 2 0,382 0,925

Take Off 3 0,556 0,247

Landing 1 0,595 0,612

Landing 2 0,181 0,880


(56)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Dari data yang diperoleh diketahui bahwa tingkat kebisingan yang berpengaruh pada penduduk disekitar Bandara adalah pada saat take off (di Pasar 6 P. Bulan/475,11 m) yaitu 106,2 dB pada jenis pesawat B737-200 yang dapat menimbulkan ketulian jika didengar terus menerus karena mendekati ambang batas atas pendengaran manusia yaitu 140 dB.

2. Dari data kita ketahui bahwa hubungan korelasi yang sangat kuat adalah pada saat take off titik 1 (Pasar 6 P. Bulan) Lrata-rata vs LAeq yaitu 0,941.

3. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 48/MENLH/PER/XI/1996 bahwa didaerah sekitar Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan tidak layak didirikan bangunan umum dan permukiman karena prediksi tingkat kebisingan bandar udara diatas 70 dB(A), yaitu pada di Pasar 6 Padang Bulan 88,48 dB(A), sedangkan Simpang Pos Padang Bulan Medan 85,02 dB(A). Dimana berdasarkan Kep.Men tersebut batas tingkat kebisingan yang dapat ditoleransi untuk daerah pemukiman adalah 55 dB(A) sedangkan untuk bangunan umum lainnya berkisar antara 55 – 70 dB(A).


(57)

5.2. Saran

1. Penelitian ini hanya memprediksi kebisingan di Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan akibat aktivitas pesawat terbang berdasarkan spesifikasi jenis pesawat yang beroperasi di bandar udara saat take off dan landing. Oleh karena itu diharapkan penelitian lebih lanjut tidak hanya sampai di Simpang Pos Padang Bulan Medan.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Ackerman, Eugene. 1988. “Ilmu Biofisika”. Airlangga University Press. Surabaya.

Basuki, Heru IR. 2008. “Merancang dan Merencanakan Lapangan Terbang”. Edisi Pertama. P.T. Alumni. Bandung.

Dolle, Lesie. 1993. “Akustika Lingkungan”. Erlangga, Jakarta.

Gabriel,dr. J.F. 1988. “Fisika Kedokteran”. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Giancoli, Douglas D. 2001. “Fisika”. Edisi 5. Jilid 1. Erlangga. Jakarta. Halliday, and Resnick. 1984. “Fisika”. Edisi ke 3. Jilid 1. Erlangga. Jakarta.

Mediastika, Christina. 2005. “Akustika Bangunan : Prinsip-Pribsip dan Penerapannya di Indonesia”. Elangga. Bandung.

Mukono, H.J. 2005. “Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan”. Edisi 2. Airlangga University Press. Surabaya

Satwiko, Prasasto. 2009. “Fisika Bangunan”. Edisi Pertama. Andi. Yogyakarta.

Sears, and Zemansky. 1962. “Fisika Untuk Universitas 1 : Mekanika, Panas dan Bunyi”. Binacipta. Bandung.

Smith, Michael J. T. 2004. “Aircraft Noise”.Text Book Cambridge University Press:Inggris.


(1)

4.2.5 Landing 2

Tabel 4.2.5 Landing 2 untuk Jenis Pesawat, LAeq dan Lrata-ata

2

. Pengukuran Landing 2 untuk Lrata-rata vs LAeq

Pada Pengukuran Landing 2 untuk Lrata-rata vs LAeq data yang digunakan

adalah Jenis Pesawat, x2 dan Lrata-ata dan Σxy 2.

Maka didapat :

n = 14

( )

x 2 = (1135,48)2 = 1289314,83 ∑x = Lrata-rata = 1135,48

( )

2

y

∑ = (1194,12)2 = 1425922,57 ∑y = LAeq = 1194,12 ∑x2 = 92209,44

xy = 96951,67 ∑y2 = 101967,14

( )

[

2

]

[

( )

2

]

y y x x y x xy xy n n n r ∑ − ∑ ∑ − ∑ ∑ ∑ − ∑ = =

(

)

(

)

(

)

[

1492209,44 1289314,83

]

[

14

(

101967,14

)

1425922,57

]

12 , 1194 48 , 1135 96951,67 14 − − − Jenis Pesawat x1 (N) x2

(Lrata-rata)

y

(LAeq)

xy 1

xy 2

A330-300 1 79,40 83,66 83,66 6642,60

A330-200 1 80,22 85,41 85,41 6851,59

A320-200 1 82,29 86,62 86,62 7127,96

A320 1 78,81 83,74 83,74 6599,54

B737-900ER 3 82,67 86,42 259,26 7144,34

B737-800NG 1 84,09 87,30 87,30 7341,05

B737-400 1 82,84 87,49 87,49 7247,67

B737-300 2 82,54 87,11 174,22 7190,06

B737-200 1 84,55 89,15 89,15 7537,63

B777-200ER 1 77,48 85,13 85,13 6595,87

ATR 500 1 81,16 82,57 82,57 6701,38

FOKER 50 1 84,30 88,51 88,51 7461,39

CASA 212-400 1 81,34 83,40 83,40 6783,75

C208B 1 73,79 77,61 77,61 5726,84


(2)

(

)(

)

880 , 0 36 , 1617 01 , 1424 37 , 2615853 01 , 1424 39 , 1617 33 , 1617 37 , 1355899 38 , 1357323 = = = − =

Grafik Lrata-rata vs LAeq

68 70 72 74 76 78 80 82 84 86 A 330-300 A 330-200 A 320-200 A320

B 737-900 ER B 737-800 NG B 737-400 B 737-300 B 737-200 B 777-200 ER ATR 500 FOK ER 50

CAS A 21 2-40 0 C208B Jenis Pesawat L ra ta -r a ta (d B ) 70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 L A e q ( d B ) Lrata-rata LAeq


(3)

4.2.6 Landing 3

Tabel 4.2.6 Landing 3 untuk Jenis Pesawat, LAeq dan Lrata-rata

Tabel 4.2 Perhitungan dengan menggunakan rumus Korelasi Product Moment Pada Take Off dan Landing

Maka, dari tabel diatas dapat dilihat bahwa hubungan korelasi yang kuat (saling berhubungan) dari data yang ada adalah hubungan antara Lrata-rata vs LAeq yang

menunjukkan korelasi yang kuat. Jenis Pesawat

x1

(N)

x2

(Lrata-rata)

y

(LAeq)

xy 1

xy 2

A330-300 2 78,96 84,5 169 6672,12

A330-200 2 79,48 87,26 174,52 6935,42

A320-200 3 79,52 85,33 255,99 6785,44

B737-900ER 6 79,35 87,08 522,49 6909,8 B737-800NG 3 78,06 83,66 250,99 6530,5

B737-400 2 83,03 92,09 184,18 7646,23

B737-300 2 79,79 87,59 175,19 6988,80

B737-200 4 81,92 91,28 365,14 7477,65

B777-200ER 1 80,90 89,84 89,84 7268,05

ATR 500 1 78,60 84,09 84,09 6609,47

FOKER 50 2 80,18 86,19 172,39 6910,71

CASA 212-400 2 79,07 81,35 162,7 6423,34

CASA 212-200 1 78,04 81,39 81,39 6351,67

C208B 3 76,95 81,80 245,42 6294,51

Jenis Pesawat vs LAeq Lrata-rata vs LAeq

Take Off 1 0,431 0,941

Take Off 2 0,382 0,925

Take Off 3 0,556 0,247

Landing 1 0,595 0,612

Landing 2 0,181 0,880

Landing 3 0,082 0,792


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Dari data yang diperoleh diketahui bahwa tingkat kebisingan yang berpengaruh pada penduduk disekitar Bandara adalah pada saat take off (di Pasar 6 P. Bulan/475,11 m) yaitu 106,2 dB pada jenis pesawat B737-200 yang dapat menimbulkan ketulian jika didengar terus menerus karena mendekati ambang batas atas pendengaran manusia yaitu 140 dB.

2. Dari data kita ketahui bahwa hubungan korelasi yang sangat kuat adalah pada saat take off titik 1 (Pasar 6 P. Bulan) Lrata-rata vs LAeq yaitu 0,941.

3. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 48/MENLH/PER/XI/1996 bahwa didaerah sekitar Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan tidak layak didirikan bangunan umum dan permukiman karena prediksi tingkat kebisingan bandar udara diatas 70 dB(A), yaitu pada di Pasar 6 Padang Bulan 88,48 dB(A), sedangkan Simpang Pos Padang Bulan Medan 85,02 dB(A). Dimana berdasarkan Kep.Men tersebut batas tingkat kebisingan yang dapat ditoleransi untuk daerah pemukiman adalah 55 dB(A) sedangkan untuk bangunan umum lainnya berkisar antara 55 – 70 dB(A).


(5)

5.2. Saran

1. Penelitian ini hanya memprediksi kebisingan di Pasar 6 dan Simpang Pos Padang Bulan Medan akibat aktivitas pesawat terbang berdasarkan spesifikasi jenis pesawat yang beroperasi di bandar udara saat take off dan landing. Oleh karena itu diharapkan penelitian lebih lanjut tidak hanya sampai di Simpang Pos Padang Bulan Medan.

2. Pada penelitian selanjutnya perlu diperhatikan jadwal penerbangannya.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Ackerman, Eugene. 1988. “Ilmu Biofisika”. Airlangga University Press. Surabaya.

Basuki, Heru IR. 2008. “Merancang dan Merencanakan Lapangan Terbang”. Edisi Pertama. P.T. Alumni. Bandung.

Dolle, Lesie. 1993. “Akustika Lingkungan”. Erlangga, Jakarta.

Gabriel,dr. J.F. 1988. “Fisika Kedokteran”. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Giancoli, Douglas D. 2001. “Fisika”. Edisi 5. Jilid 1. Erlangga. Jakarta. Halliday, and Resnick. 1984. “Fisika”. Edisi ke 3. Jilid 1. Erlangga. Jakarta.

Mediastika, Christina. 2005. “Akustika Bangunan : Prinsip-Pribsip dan Penerapannya di Indonesia”. Elangga. Bandung.

Mukono, H.J. 2005. “Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan”. Edisi 2. Airlangga University Press. Surabaya

Satwiko, Prasasto. 2009. “Fisika Bangunan”. Edisi Pertama. Andi. Yogyakarta.

Sears, and Zemansky. 1962. “Fisika Untuk Universitas 1 : Mekanika, Panas dan Bunyi”. Binacipta. Bandung.

Smith, Michael J. T. 2004. “Aircraft Noise”.Text Book Cambridge University Press:Inggris.