Pelestarian Bangunan Bersejarah Di Kota Medan (Kajian Tentang : Peranan Pemerintah Kota Dan Peranan Badan Warisan Sumatera)

(1)

PELESTARIAN BANGUNAN BERSEJARAH DI KOTA MEDAN

(KAJIAN TENTANG : PERANAN PEMERINTAH KOTA DAN

PERANAN BADAN WARISAN SUMATERA)

TESIS

Oleh

ANNISA ILMI FARIED LUBIS

087024002/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PELESTARIAN BANGUNAN BERSEJARAH DI KOTA MEDAN (KAJIAN TENTANG : PERANAN PEMERINTAH KOTA DAN

PERANAN BADAN WARISAN SUMATERA) TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) Dalam Program Studi Pembangunan

Pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh

ANNISA ILMI FARIED LUBIS

087024002

PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PELESTARIAN BANGUNAN BERSEJARAH DI KOTA MEDAN (KAJIAN TENTANG : PERANAN PEMERINTAH KOTA DAN PERANAN BADAN WARISAN SUMATERA)

Nama Mahasiswa : Annisa Ilmi Faried Lubis

Nomor Pokok : 087024002

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Drs. Gustanto, M.Hum) (Drs. Warjio, MA)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 30 Juni 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Drs. Gustanto, M.Hum

Anggota : 1. Drs. Warjio, MA

2. Drs. Irfan, M.Si

3. Drs. Agustrisno, M.SP


(5)

PERNYATAAN

PELESTARIAN BANGUNAN BERSEJARAH DI KOTA MEDAN (KAJIAN TENTANG : PERANAN PEMERINTAH KOTA

DAN PERANAN BADAN WARISAN SUMATERA)

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar perpustakaan.

Medan, 30 Juni 2010 Penulis,


(6)

PERSEMBAHAN :

Karya ini dipersembahkan untuk Keluarga tercinta khususnya kepada :

1.

Alm. H. M. Faried Wadjedi Lubis

2.

drg. Hj. Siti Nurmaini Hutabarat

3.

drg. Saida Amelia Faried Lubis

4.

dr. Cherie Nurul Faried Lubis

5.

dr. M. Taufik Akbar Faried Lubis


(7)

ABSTRAK

Suatu kawasan kota perlu memperhatikan warisan sejarah sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya dalam dimensi ruang untuk mencapai kawasan kota yang lebih baik. Bangunan bersejarah merupakan salah satu sumber pendapatan untuk menambah devisa melalui kunjungan wisatawan mancanegara. Pelestarian bangunan bersejarah di kawasan-kawasan yang terdapat di Kota Medan merupakan langkah yang sangat tepat untuk dilaksanakan. Pelestarian bangunan mempunyai tujuan untuk menyelamatkan kelestarian objek yang masih bertahan sampai saat ini. Dari beberapa kasus kita menemukan suatu kenyataan bahwa sering sekali bangunan bersejarah semakin berkurang dan diganti dengan bangunan yang lebih modren. Untuk itu perlu dilakukan segera pelestarian dan perlindungannya.

Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk menelitinya dan dituangkan dalam judul ”Pelestarian Bangunan Bersejarah Di Kota Medan (Kajian Tentang Peranan Pemerintah Kota dan Peranan Badan Warisan Sumatera)”. Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui peran serta Pemerintah Kota dan Badan Warisan Sumatera (BWS) dalam pelestarian bangunan bersejarah di Kota Medan. Sedangkan manfaat yang diharapkan adalah sebagai bahan masukan bagi individu dan institusi yang peduli terhadap bangunan bersejarah.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. dengan menggunakan tehnik Purposive, yaitu penentuan informan yang ditentukan secara sengaja yang dianggap mengetahui tentang keberadaan bangunan-bangunan bersejarah di Kota Medan yaitu pegawai dinas Pariwisata Kota Medan, Badan Warisan Sumatera, Bappeda, Ahli Sejarahwan, dan beberapa pemilik bangunan bersejarah di Kota Medan. Lokasi penelitian adalah di Tjong A Fie, Restaurant Tip Top, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara.

Dari hasil analisis data diperoleh kesimpulan bahwa pelestarian bangunan bersejarah yang tindakan yang harus dilakukan adalah 1) perlindungan, 2) pemeliharaan dan 3) dokumentasi terhadap bangunan bersejarah tersebut. Peranan pemerintah dalam melestarikan bangunan bersejraha adalah : upaya penyediaan dana pelestarian bangunan bersejarah, pembentukkan Dewan Konservasi Kota, perumusan dasar hukum yang jelas dan tegas. Sedangkan peranan BWS yaitu mengajukan revisi Peraturan Daerah No.6 tahun 1988 tentang Perlindungan Bangunan kepada Pemko Medan, serta melakukan uji lapangan pada masalah pelestarian warisan budaya dalam kepemerintahan yang baik. Dan saran yang diberikan adalah perlu peningkatan peran serta dan komitmen dari pemerintah Kota Medan, BWS serta masyarakat untuk mendukung pelestarian bangunan-bangunan bersejarah di Kota Medan khususnya di Kawasan Kesawan dan kawasan-kawasan lainnya.


(8)

ABSTRACT

An area of the city needs to consider the legacy of history as an effort to utilize resources in a spatial dimension to achieve a better area of town. The historic building is one source of income to supplement foreign exchange through visits by foreign tourists. Preservation of historic buildings in these areas contained in Medan is a very appropriate step to be implemented. Preservation of buildings has a goal to save the preservation of objects that persist to this day. Of the several cases we find a fact that historic buildings often been reduced and replaced with a more modren building. It is necessary for immediate preservation and protection.

Based on this writer is interested to examine and set forth in the title of "Preservation of Historic Buildings In Medan City (Study About the Role of Municipal Government and the Role of Sumatra Heritage Board)." The purpose of the writing of this manuscript is to determine the role of the City Government and National Heritage of Sumatra (BWS) in the preservation of historic buildings in the city of Medan. While the expected benefit is as an input for the individuals and institutions that care for historic buildings.

The research method used is descriptive and qualitative methods. using a purposive technique, namely the determination of the informant who set deliberately deemed aware of the existence of historic buildings in Medan that Tourism department officials Medan, Sumatra Heritage Board, Bappeda, Expert Historian, and several owners of historic buildings in the city of Medan. The observation was done in Tjong A Fie, Restaurant Tip Top, Department of Tourism and Culture of North Sumatra Province.

From the results of data analysis, we concluded that the preservation of historic buildings that action needs to be done is 1) protection, 2) maintenance and 3) documentation of these historical buildings. The government's role in preserving the buildings bersejraha are: efforts to preserve historic buildings providing funds, the formation of Town Conservation Board, the legal basis for the formulation of a clear and unequivocal. While the role of the proposed revisions BWS Local Regulation No.6 of 1988 on the Protection of Buildings to Pemko Medan, and conducting field tests on the problem of preservation of cultural heritage in good governance. And advice given is necessary to increase the participation and commitment from the government of Medan, BWS and communities to support the preservation of historic buildings in the city of Medan, particularly in Regions Kesawan and other areas.


(9)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, berkat rahmat dan ridho serta kemudahan dari-Nya, penulis akhirnya dapat menyelesaikan tugas akhir ini dalam bentuk thesis, yang mana thesis ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara.

Thesis ini mengangkat masalah Pelestarian Bangunan Bersejarah Kota Medan (Kajian Tentang Peranan Pemerintah Kota dan Badan Warisan Sumatera) dengan melakukan penelitian melalui daftar pertanyaan melalui wawancara kepada orang yang benar-benar mengetahui tentang pelestarian bangunan bersejarah di Kota Medan.

Dalam penyelesaian tugas akhir ini penulis juga mendapat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis merasa sangat pantas untuk menghaturkan terimakasih yang tidak terhingga kepada: Kedua orang tua penulis yang tercinta, Ayahanda Almarhum Drs. H. M. Faried Wadjedi Lubis dan Ibunda drg. Hj. Siti Nurmaini Hutabarat, yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, moril, spiritual, dan motivasi yang tak terhingga kepada penulis. Serta Kakak drg. Saida Amelia Faried Lubis, dr. Cherie Nurul Faried Lubis dan Adikku dr. Taufik Akbar Faried Lubis atas dukungannya hanya ALLAH yang bisa membalas semuanya. Terimakasih kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. DR. dr. Syahril Pasaribu, DTM &H, M.Sc (CTM), Sp.A(K).

2. Bapak Prof. DR. M Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.


(10)

3. Bapak Drs. Gustanto, M.Hum dan Bapak Drs. Warjio, selaku dosen pembimbing dalam penulisan tesis ini. Terimakasih untuk bimbingan yang telah diberikan selama ini.

4. Bapak Drs Agustrisno, dan Bapak Drs. Irvan, MSi, selaku dosen penguji. Terimakasih untuk kritik dan saran yang sangat membangun demi kebaikan tesis ini.

5. Bapak dan ibu dosen ataua staf pengajar Program Magister Studi Pembangunan USU beserta seluruh pegawai.

6. Ibu Dra. Adriani sebagai Kepala Seksi Bagian Kebudayaan dan Kepurbakalaan Di Dinas Pariwisata Kota Medan. Kepada Bapak Dr. Phill Ikhwan Azhari selaku Sejarahwan Kota Medan, Ibu Ir. Rika Susanto di BWS dan sebagainya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

7. Teman-temen Siswati, Retno, Desi, Rahmat (Rara), Sari, Melly, serta rekan-rekan mahasiswa Program Magister Studi Pembangunan USU Angkatan XIII, terimakasih untuk persahabatan dan kebersamaan yang begitu indah, semoga jalinan kekeluargaan ini akan abadi. Amin.

8. Sahabat-sahabatku Gita, Wilya, Menok, Sari, Ririn, Puspa, Fety, Risna, Ami, buat persahabatnya serta sepupu-sepupuku tercinta dan keponakanku yang lucu dan tersayang Anzalu atas dukungannya selama ini kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan tulisanini. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya untuk kita semua, Amin.

Medan, 30 Juni 2010 Penulis


(11)

RIWAYAT HIDUP

ANNISA ILMI FARIED LUBIS, dilahirkan di Medan, 27 Agustus 1984, anak ke tiga dari 4 bersaudara yaitu dr. Saida Amelia Faried Lubis, dr. Cherie Nurul Faried Lubis, dan adik bernama dr. M. Taufik Akbar Faried Lubis dari Alm. (ayahanda) H. M. Faried Wadjedi Lubis dan Ibunda Hj. Drg. Siti Nurmaini Hutabarat.

Pendidikan yang telah dilalui adalah SD IKAL Medan lulus tahun 1996, Ponpes. Al-Khautsar Al-Akbar Medan lulus tahun 1999, SMU Al-Azhar Medan lulus tahun 2002. Pada tahun 2002 diterima kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Di Universitas Islam Sumatera Utara Jurusan Administrasi Negara dan meraih gelar Sarjana Sosial tahun 2006.

Pada tahun 2008, penulis memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan program S2 di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada Program Studi Pembangunan.


(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR LAMPIRAN. ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 11

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1.3.1. Tujuan Penelitian ... 12

1.3.2. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pentingnya Sebuah Sejarah...13

2.2. Melestarikan Bangunan Bersejarah... 17

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Bentuk Penelitian ... 30

3.2. Defenisi Konsep. ... 30

3.3. Defenisi Operasional... 32


(13)

3.5. Teknik Pengumpulan Data... 34

3.6. Lokasi Penelitian... 35

3.7.Metode Analisis ... .35

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 36

4.2. Profil Bangunan Bersejarah di Kawasan Kesawan Medan... 38

4.2.1. Bangunan Tjong A Fie ... 38

4.2.2. Bangunan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara... 41

4.2.3. Bangunan Tip Top. ... 44

4.3. Peranan Pemerintah Kota Medan dalam Melestarikan Bangunan Bersejarah... 47

4.4. Peranan Badan Warisan Sumatera dalam Melestarikan Bangunan Bersejarah... 53

4.4.1.Kendala-kendala dalam Pelestarian Bangunan Bersejarah ... 55

4.5.Upaya Pelestarian Bangunan Bersejarah. ... 60

4.5.1.Perlindungan. ... 60

4.5.2.Pemeliharaan ... 71

4.5.3.Dokumentasi dan Publikasi... 81

4.6.Analisis Pelestarikan Bangunan Bersejarah Di Kota Medan (Kajian Tentang Peranan Pemerintah Kota dan Badan Warisan Sumatera (BWS)84 BAB V Penutup 5.1. Kesimpulan. ... 95

5.2. Saran... 96


(14)

DAFTAR TABEL


(15)

DAFTAR GAMBAR

1. Tjong A Fie...40

2. Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Di Provinsi Sumatera Utara...44

3. Restaurant Tip Top...47

4. Bangunan yang dirobohkan di jalan Gwangju...56


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Daftar Pertanyaan Penelitian………..101 2. Kondisi Bangunan Bersejarah Di Kota Medan………..113 3. Kondisi Bangunan Bersejarah Di Jalan Jenderal Ahmad Yani (Sisi Kiri)….116 4. Kondisi Bangunan Bersejarah Di Jalan Jenderal Ahmad Yani (Sisi Kanan).119 5. Bangunan Yang Akan Diusulkan Untuk Dilestarikan………121


(17)

ABSTRAK

Suatu kawasan kota perlu memperhatikan warisan sejarah sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya dalam dimensi ruang untuk mencapai kawasan kota yang lebih baik. Bangunan bersejarah merupakan salah satu sumber pendapatan untuk menambah devisa melalui kunjungan wisatawan mancanegara. Pelestarian bangunan bersejarah di kawasan-kawasan yang terdapat di Kota Medan merupakan langkah yang sangat tepat untuk dilaksanakan. Pelestarian bangunan mempunyai tujuan untuk menyelamatkan kelestarian objek yang masih bertahan sampai saat ini. Dari beberapa kasus kita menemukan suatu kenyataan bahwa sering sekali bangunan bersejarah semakin berkurang dan diganti dengan bangunan yang lebih modren. Untuk itu perlu dilakukan segera pelestarian dan perlindungannya.

Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk menelitinya dan dituangkan dalam judul ”Pelestarian Bangunan Bersejarah Di Kota Medan (Kajian Tentang Peranan Pemerintah Kota dan Peranan Badan Warisan Sumatera)”. Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui peran serta Pemerintah Kota dan Badan Warisan Sumatera (BWS) dalam pelestarian bangunan bersejarah di Kota Medan. Sedangkan manfaat yang diharapkan adalah sebagai bahan masukan bagi individu dan institusi yang peduli terhadap bangunan bersejarah.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. dengan menggunakan tehnik Purposive, yaitu penentuan informan yang ditentukan secara sengaja yang dianggap mengetahui tentang keberadaan bangunan-bangunan bersejarah di Kota Medan yaitu pegawai dinas Pariwisata Kota Medan, Badan Warisan Sumatera, Bappeda, Ahli Sejarahwan, dan beberapa pemilik bangunan bersejarah di Kota Medan. Lokasi penelitian adalah di Tjong A Fie, Restaurant Tip Top, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara.

Dari hasil analisis data diperoleh kesimpulan bahwa pelestarian bangunan bersejarah yang tindakan yang harus dilakukan adalah 1) perlindungan, 2) pemeliharaan dan 3) dokumentasi terhadap bangunan bersejarah tersebut. Peranan pemerintah dalam melestarikan bangunan bersejraha adalah : upaya penyediaan dana pelestarian bangunan bersejarah, pembentukkan Dewan Konservasi Kota, perumusan dasar hukum yang jelas dan tegas. Sedangkan peranan BWS yaitu mengajukan revisi Peraturan Daerah No.6 tahun 1988 tentang Perlindungan Bangunan kepada Pemko Medan, serta melakukan uji lapangan pada masalah pelestarian warisan budaya dalam kepemerintahan yang baik. Dan saran yang diberikan adalah perlu peningkatan peran serta dan komitmen dari pemerintah Kota Medan, BWS serta masyarakat untuk mendukung pelestarian bangunan-bangunan bersejarah di Kota Medan khususnya di Kawasan Kesawan dan kawasan-kawasan lainnya.


(18)

ABSTRACT

An area of the city needs to consider the legacy of history as an effort to utilize resources in a spatial dimension to achieve a better area of town. The historic building is one source of income to supplement foreign exchange through visits by foreign tourists. Preservation of historic buildings in these areas contained in Medan is a very appropriate step to be implemented. Preservation of buildings has a goal to save the preservation of objects that persist to this day. Of the several cases we find a fact that historic buildings often been reduced and replaced with a more modren building. It is necessary for immediate preservation and protection.

Based on this writer is interested to examine and set forth in the title of "Preservation of Historic Buildings In Medan City (Study About the Role of Municipal Government and the Role of Sumatra Heritage Board)." The purpose of the writing of this manuscript is to determine the role of the City Government and National Heritage of Sumatra (BWS) in the preservation of historic buildings in the city of Medan. While the expected benefit is as an input for the individuals and institutions that care for historic buildings.

The research method used is descriptive and qualitative methods. using a purposive technique, namely the determination of the informant who set deliberately deemed aware of the existence of historic buildings in Medan that Tourism department officials Medan, Sumatra Heritage Board, Bappeda, Expert Historian, and several owners of historic buildings in the city of Medan. The observation was done in Tjong A Fie, Restaurant Tip Top, Department of Tourism and Culture of North Sumatra Province.

From the results of data analysis, we concluded that the preservation of historic buildings that action needs to be done is 1) protection, 2) maintenance and 3) documentation of these historical buildings. The government's role in preserving the buildings bersejraha are: efforts to preserve historic buildings providing funds, the formation of Town Conservation Board, the legal basis for the formulation of a clear and unequivocal. While the role of the proposed revisions BWS Local Regulation No.6 of 1988 on the Protection of Buildings to Pemko Medan, and conducting field tests on the problem of preservation of cultural heritage in good governance. And advice given is necessary to increase the participation and commitment from the government of Medan, BWS and communities to support the preservation of historic buildings in the city of Medan, particularly in Regions Kesawan and other areas.


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebuah kota dalam pertumbuhannya memiliki kawasan lama sebagai awal dari pertumbuhannya, sekaligus sebagai pusat pertumbuhan dan sejarah kota. Kehadiran bangunan-bangunan bernilai historis dan arsitektonis menampilkan cerita visual yang menunjukkan sejarah dari suatu tempat, mencerminkan perubahan-perubahan waktu tata cara kehidupan dan budaya dari penduduknya. Warisan budaya menjadi penting mengingat gencarnya kegiatan modernisasi dan globalisasi kota-kota di dunia yang bila tidak dikendalikan akan memberikan wajah kota yang sama di setiap kota (Adhisakti, 2001).

Suatu kawasan kota perlu memperhatikan warisan sejarah sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya dalam dimensi ruang untuk mencapai kawasan kota yang lebih baik. Pembangunan fisik perkotaan tanpa memperhatikan warisan yang telah ada baik dari segi bangunan, kawasan, tatanan masyarakat dan yang lainnya, akan merubah wajah kota sehingga nilai-nilai yang tertanam di sebuah kota akan hilang. Nilai tersebut sebenarnya memiliki potensi yang cukup besar baik dari aspek ekonomi, sosial dan budaya. Oleh sebab itu perubahan wajah sebuah kota merupakan cerminan dari masyarakat yang mengelola kota tersebut.


(20)

Bangunan bersejarah ini menjadi aset negara baik dari sisi ekonomi, sosial dan budaya. Keberadaan bangunan bersejarah ini secara umum semakin berkurang sebagai akibat kemajuan ekonomi, tingkat pendidikan, jumlah penduduk dan keragaman kelompok etnis sehingga membawa perubahan nilai dan sikap. Perubahan ini berpengaruh kepada pola pikir, penilaian dan cara pandang masyarakat yang akhirnya menggiring pada pembangunan yang menitikberatkan kepada kepentingan ekonomi.

Salah satu wilayah Indonesia yang memiliki peninggalan bangunan bersejarah adalah Kota Medan. Kota Medan adalah ibu Kota Provinsi Sumatera Utara, yang memiliki kurang lebih 600-an bangunan bersejarah berusia rata-rata lebih dari 100 tahun yang berdiri seiring sejarah perjalanan kota ini (sumber : BWS). Kota Medan saat ini telah mengalami kemajuan dan pembangunan yang sangat pesat. Sebagai pusat pemerintahan daerah Sumatera Utara, Medan tumbuh menjadi kota metropolitan dengan berpenduduk kurang lebih 2,5 juta jiwa. Sebagian besar penduduk tersebut adalah suku Batak dan Melayu. Selain itu ada orang Jawa, Aceh, serta warga keturunan Cina dan India (Surbakti, 2008).

Asal mula sejarah terbentuknya kota di Indonesia banyak dipengaruhi oleh kepentingan pemerintah kolonial Belanda, dan kemudian, pemerintah kolonial membentuk pusat pemerintahan yang bercirikan ‘Indisch’. Dengan masuknya bangsa Belanda, maka struktur kota mengalami intervensi fisik antara lain berupa pemetaan


(21)

kawasan kota dengan dasar politik segregasi etnik Eropa, Asia, dan pribumi, tempat masing-masing kawasan dikembangkan (Wiryomartono, 1995), dan pengelompokkan bangunan berdasarkan jenisnya (Handinoto & Soehargo, 1996).

Bangunan-bangunan bersejarah peninggalan kolonial Belanda tersebut terkait dengan aktivitas perkebunan Tembakau Deli yang produknya sangat terkenal di dunia pada masanya. Berkat estetika arsitekturalnya, Kota Medan dahulu dikenal sebagai sebuah kota dengan citra Parijs van Sumatra. Kota Medan dengan kesejarahannya telah mewariskan keragaman pusaka yang perlu dijaga dan dilestarikan keberlangsungannya.

Kondisi dan bentukan alam yang tercipta memberikan karakteristik tersendiri bagi Kota Medan. Konsep pariwisata di berbagai negara juga tidak sekedar menawarkan objek wisata yang memiliki pemandangan alam. Banyak kota di negara lain yang dikunjungi wisatawan karena kota itu menawarkan situs bangunan kuno. Padahal Kota Medan memiliki modal untuk menjaring wisatawan dengan bangunan kuno. Salah satu yang harus dilakukan adalah melestarikan bangunan bergaya arsitektur sebelum tahun 1940-an yang sebagian besar merupakan peninggalan kolonial Belanda.

Bangunan bersejarah merupakan salah satu sumber pendapatan untuk menambah devisa melalui kunjungan wisatawan mancanegara. Bangunan-bangunan bersejarah telah dikorbankan atas nama pembangunan yang dicanangkan Pemko Medan. Padahal jika bangunan bersejarah itu dikelola dengan baik bisa


(22)

mendatangkan devisa yang sangat besar. Bangunan bersejarah di Kota Medan yang dulunya sebagai Kota Paris van Sumatera dapat ditransformasikan dari modal budaya menjadi modal ekonomi dan selanjutnya menjadi modal simbolik. Artinya dengan adanya bangunan-bangunan yang khas tersebut maka Kota Medan akan dikenal sebagai kota Sejarah dan bila bicara tentang bangunan sejarah maka pemikiran orang langsung mengarah pada Kota Medan sebagaimana bila bicara masalah batik maka langsung tertuju pada Kota Yogyakarta.

Kota Medan tidak memiliki pemandangan alam yang bisa dijual kepada wisatawan. Ratusan bangunan bersejarah peninggalan Belanda yang tersebar di beberapa lokasi di Kota Medan merupakan daya pikat bagi wisatawan asing. Jika ini dikelola secara baik, akan menjadi sumber devisa.

Bentuk yang ditawarkan adalah pengembangan pariwisata budaya berbasis bangunan bersejarah yang ada di Kota Medan dan sekitarnya. Pariwisata budaya merupakan aktivitas yang memungkinkan para wisatawan mengetahui dan memperoleh pengalaman tentang perbedaan cara hidup orang lain, merefleksikan adat-istiadatnya, tradisi religiusnya dan ide-ide intelektual yang terkandung dalam pusaka budaya yang belum dikenalnya.

Hingga saat ini, Medan sekedar tempat transit wisatawan asing yang akan mengunjungi kawasan wisata di Sumatera Utara, karena tidak ada yang bisa ditawarkan agar mereka mau tinggal sehari atau dua hari di Medan. Kalau kita hanya


(23)

menyuguhkan mall atau gedung modern, pasti tidak akan menarik perhatian mereka, karena yang mereka cari adalah tempat yang memiliki jejak masa lalu yang mengesankan.

Oleh karena itu, pelestarian bangunan kuno-bersejarah di kawasan-kawasan yang terdapat di Kota Medan merupakan langkah yang sangat tepat untuk dilaksanakan. Pelestarian bangunan mempunyai tujuan untuk menyelamatkan kelestarian objek yang masih bertahan sampai saat ini. Di samping itu, pelestarian diharapkan juga dapat meningkatkan mutu lingkungan dan kawasan sekitar, yaitu meningkatkan taraf hidup masyarakat serta dapat menjadi wahana yang mendukung perkembangan pariwisata. Untuk mengantisipasi dengan semakin berkurangnya bangunan kuno-bersejarah baik bangunan rumah tinggal, kantor, toko, hotel, dan sebagainya di Kota Medan, maka perlu dilakukan segera pelestarian dan perlindungannya. Dalam upaya pelestarian ini, peranan pemerintah merupakan hal yang utama namun bantuan dari masyarakat juga sangat dibutuhkan misalnya dari pemilik bangunan bersejarah, stakeholders dan sebagainya.

Ada banyak bangunan-bangunan tua di Medan yang masih menyisakan arsitektur khas Belanda. Contohnya: Gedung Balai Kota lama, Kantor Pos Medan, Menara Air (yang merupakan ikon Kota Medan), Titi Gantung - sebuah jembatan di atas rel kereta api, dan juga Gedung London Sumatera. Selain itu, masih ada beberapa bangunan bersejarah, antara lain Istana Maimun, Mesjid Raya Medan, rumah Tjong A Fie di kawasan Kesawan.


(24)

Dengan menyebarnya berbagai bangunan tua di Medan, sebenarnya menjadi sulit bagi pendatang untuk dapat menikmati Medan Tempo Dulu pada sebuah kunjungan. Namun, ada sebuah titik di Kota Medan yang mempunyai kepadatan bangunan bersejarah sangat tinggi, yaitu Lapangan Merdeka dan sekitarnya. Dengan mengunjungi Lapangan Merdeka, kita sudah merasa seakan terlempar ke abad lalu. Pohon-pohon raksasa menghiasi alun-alun ini. Sementara di sekitar kita, paling tidak ada sebelas bangunan tua yang relatif masih utuh seperti saat didirikan.

Pemerintah Kota Medan seharusnya memasang papan informasi di setiap bangunan tua bersejarah yang tersebar di sejumlah kawasan khususnya di Kesawan untuk menarik minat wisatawan sekaligus membangun kesadaran masyarakat. Banyak wisatawan yang ingin tahu cerita sejarah di Medan dari melihat-lihat bangunan tua, makanya penting ada papan informasi. Bagi masyarakat lokal sendiri, papan informasi penting sebagai pengetahuan masyarakat agar mengenal sejarahnya yang pada akhirnya akan melahirkan kesadaran untuk melindungi dan melestarikan bangunan bersejarah.

Banyak masyarakat yang tidak mengetahui sejarah bangunan-bangunan tua yang mereka tempati atau berada di lingkungan sekitar, sehingga merasa tak ada beban melakukan perombakan bahkan merobohkannya. Di banyak negara, papan informasi bangunan-bangunan bersejarah selalu dipasang sehingga terkadang cerita sejarahnya justru lebih menarik ketimbang bentuk bangunannya. Ada banyak bangunan tua di Medan yang saat ini dibiarkan kosong dan satu persatu bagian bangunan dirusak tangan-tangan tak bertanggung jawab. Lebih jauh lagi masyarakat


(25)

tidak punya kepedulian lagi terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga yang terpikir hanya memanfaatkan atau mengeksploitasinya. Penguasa dan pengusaha di Kota Medan lebih mampu melihat nilai komersial pelestarian warisan sejarah kota itu sekaligus memandangnya sebagai bisnis properti yang menguntungkan. Para pejabat kita sudah seharusnya mulai peka terhadap hal-hal seperti ini, apalagi mereka sering melakukan studi banding ke luar negeri. Desakan kepada pemerintah untuk melindungi dan melestarikan bangunan bersejarah semakin kuat, karena hal itu merupakan kekayaan budaya bangsa. Peninggalan masa kolonial memang sudah menjadi bagian dari bukti sejarah bangsa, namun fungsinya saat ini adalah menjadi pengingat agar bangsa Indonesia tidak lagi terjerumus ke dalam keadaan terjajah di segala bidang.

Sesuai UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, dipandang sangat perlu untuk melindungi keberadaan benda cagar budaya, khususnya bangunan-bangunan kolonial dan kawasan sejarah yang ada di Kota Medan sebelum mengalami kehancuran dan kemusnahan lebih lanjut. Sudah waktunya dilakukan pendataan bangunan kolonial di Kota Medan sebagai langkah awal dari upaya perlindungan dan pelestariannya. Hasil pendataan diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah Kota Medan, sehingga perlindungan terhadap keberadaan bangunan peninggalan kolonial dan kawasan sejarah dapat dituangkan dalam bentuk peraturan daerah. Akibat pertumbuhan dan pemekaran Kota Medan secara fisik, banyak bangunan bersejarah yang terancam kelestariannya.


(26)

Jika dibiarkan dan langkah-langkah upaya perlindungan terhadap keberadaan bangunan bersejarah tersebut tidak ditangani secara serius, objek tersebut akan hilang karena sengaja dirobohkan atau hancur akibat tidak mendapat perawatan dan pemeliharaan yang layak. Padahal keberadaan bangunan kolonial tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah kelahiran dan pertumbuhan Kota Medan sampai pada bentuknya sekarang ini. Jika kesadaran itu muncul, maka bangunan bersejarah itu bisa dijual sebagai objek wisata, bukan untuk digusur dan diganti dengan bangunan modern.

Kenyataan menunjukkan, keberhasilan upaya pelestarian terletak pada kemampuan publik dalam memperdulikan aset yang dimilikinya. Suatu upaya yang perlu berangkat dari buah kecintaan, pemahaman dan apresiasi publik yang kemudian akan menciptakan suatu gerakan budaya masyarakat dalam pelestarian pusaka. Pada tataran inilah yang belum banyak digarap. Selama ini kita hanya sibuk berbicara tentang suatu objek pusaka itu sendiri, apakah tentang sejarahnya, keindahannya, ataukah ciri arsitekturnya. Kita memerlukan ”pasar” yang mampu memberikan apresiasi terhadap objek tersebut, untuk kemudian secara mandiri mampu memelihara, mengembangkan dan memanfaatkannya. Kita perlu good governance yang mampu mengakomodasi apresiasi dan gerakan budaya masyarakat dalam pelestarian pusaka.

Untuk itu perlu juga ditawarkan alternatif lain sebagai bentuk pemecahan yang sangat berkaitan dengan lajunya perkembangan tadi yaitu sektor pariwisata. Diharapkan dengan sektor ini, potensi kota akan terlihat dan tentu saja akan menjadi


(27)

daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke Kota Medan. Untuk melihat satu warisan budaya berupa bangunan kuno atau lingkungan masa lampau. Tak dapat disangkal bahwa arsitektur yang dimiliki oleh Kota Medan itu, tanpa disadari sudah lama menjadi investasi yang justru belum banyak dimanfaatkan.

Pelestarian kawasan bangunan bersejarah belum menjadi suatu persoalan yang secara sistemik terencana dan terkelola sejalan dengan derap pembangunan. Hal ini dapat dilihat dari indikator sebagai berikut:

a Mekanisme dan perangkat-perangkat pemerintah kota atau kabupaten di Indonesia sangat terbatas dalam mengelola praktek pelestarian bangunan bersejarah. Bahkan persoalan izin mendirikan bangunan umumnya tidak menyentuh aspek pelestarian.

b Aspek legal yang amat sangat terbatas dalam melindungi pelestarian bangunan bersejarah dalam kehidupan keseharian.

c Pembiayaan pelestarian bangunan bersejarah ini dalam konteks pembangunan dengan sendirinya menjadi sangat terbatas karena belum ada satu sistem pembiayaan pelestarian yang dibangun.

d Terbatasnya kepedulian baik masyarakat luas, dunia seni, dunia pendidikan, profesi, sektor swasta, pemerintah maupun legislatif tentang pelestarian bangunan bersejarah ini. Ini semua akan kembali terkait erat dengan kepedulian masyarakat luas, termasuk pihak-pihak lain seperti pemerintah dan swasta.


(28)

Upaya pelestarian budaya sebagai aset jati diri dan identitas sebuah masyarakat di dalam suatu komunitas budaya menjadi bagian yang penting ketika mulai dirasakan semakin kuatnya arus globalisasi yang berwajah modernisasi ini. Pembangunan sektor kebudayaan selanjutnya juga akan menjadi bagian yang integral dengan sektor lain untuk mewujudkan kondisi yang kondusif di tengah masyarakat (Joharnoto, 2005: 1).

Salah satu bentuk penginformasian budaya kepada publik adalah menyampaikan segala produk budaya yang telah terdokumentasikan baik oleh pemerintah maupun swasta melalui museum atau kantor yang menjaga pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB) yang selama ini dimiliki oleh daerah-daerah tertentu. Pemerintah maupun pihak swasta tertentu mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi tentang keberadaan BCB itu kepada publik. Tanpa melibatkan publik terutama generasi muda maka bisa jadi keberlangsungan dan kontuinitas pelestarian budaya tidak akan dapat berjalan terus-menerus.

Di samping itu, masalah kepekaan pemerintah daerah dalam melihat keberadaan BCB terkadang tidak sama antara satu daerah dengan yang lainnya. Banyak terlihat beberapa daerah yang sudah memiliki prasarana dan daya dukung dalam pemeliharaan BCB, namun demikian ada pula beberapa daerah lain yang justru belum memiliki sarana dan prasarana pemeliharaan BCB yang ideal.

Sayang sekali jika potensi ini dibiarkan, tidak ditata rapi, dan tidak dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Pelestarian kota tua mutlak dikembangkan. Hal ini sebagai salah satu upaya menarik minat para wisatawan mancanegara dan


(29)

wisatawan Nusantara. Karena di kota-kota besar di dunia, kawasan kota tua justru menjadi daya tarik wisata yang mampu menghasilkan devisa. Dan dalam hal ini perlu kerjasama antar semua pihak antara lain pemerintah, masyarakat dan lembaga pemerhati bangunan bersejarah seperti Badan Warisan Sumatera (BWS) untuk melestarikan bangunan bersejarah yang masih tersisa karena masa sekarang merupakan hasil dari masa lalu. Badan Warisan Sumatera merupakan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempunyai perhatian cukup besar terhadap keberadaan bangunan-bangunan bersejarah. Lembaga ini banyak menyimpan informasi dan data-data tentang bangunan bersejarah yang belum dilestarikan pemerintah.

Dan dalam tulisan ini penulis akan melihat bagaimana peranan pemerintah kota Medan dan BWS dalam upaya melestarikan bangunan bersejarah yang ada di Kawasan Kesawan. Dan hal ini akan dituangkan dalam sebuah tulisan berupa tesis dengan judul : ”Pelestarian Bangunan Bersejarah Di Kota Medan (Kajian Tentang Peran Serta Pemerintah Kota Dan Badan Warisan Sumatera)”.

1.2.Perumusan Masalah

Perumusan masalah dimaksudkan sebagai usaha guna menfokuskan penelitian yang akan dilakukan hingga mendapatkan hasil yang maksimal. Maka penulis mengemukakan perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bagaimana Peran Serta Pemerintah Kota Dan Badan Warisan Sumatera Dalam Pelestarian Bangunan Bersejarah Di Kota Medan ?


(30)

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : Untuk Mengetahui Peran Serta Pemerintah Kota Dan Badan Warisan Sumatera Dalam Pelestarian Bangunan Bersejarah Di Kota Medan.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :

1. Sebagai masukan bagi individu dan institusi yang peduli terhadap bangunan bersejarah sebagai upaya mencari strategi yang tepat dalam melestarikan bangunan bersejarah.

2. Menjadi acuan bagi perencanaan kota dalam pembangunan wilayah perkotaan sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan dan penyusunan program pembangunan, agar warisan sejarah tetap dipertahankan.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pentingnya Sejarah Sebuah Kota

Wujud sebuah kota terkait dengan masa lampau, sehingga perencanaan serta pengarahan pertumbuhan kota sekarang dan di masa mendatang harus dengan perspektif sejarah. Warisan sejarah mencakup bangunan, kawasan, struktur berupa patung, air mancur, taman, pepohonan dan lansekap. Daya tarik terhadap warisan sejarah ini dapat bersumber dari signifikannya dalam hal arsitektur, estetis, historis, ilmiah, kultural dan sosial.

Dalam pertumbuhan kota terkait tiga aspek yaitu :

(1) Aspek sejarah dalam hal ini yang perlu di analisa adalah tatanan arsitektur yang berperan pada masa lampau, masa kini dan masa mendatang.

(2) Faktor pertumbuhan dan perkembangan kota sebagai akibat pertambahan penduduk secara alami maupun migrasi-urbanisasi, faktor ekonomi, faktor sosial budaya termasuk kecenderungan masyarakat (public interst), faktor kedudukan kota dalam lingkup wilayah.

(3) Aspek legal yang menyangkut peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penataan ruang dan fisik kota yang berlaku secara umum maupun berlaku khusus untuk kota yang bersangkutan.


(32)

Kaitan suatu tempat dan sejarah sangat erat karena suatu tempat adalah sumber memori individu dan memori kolektif. Dengan demikian suatu tempat juga memberi kontribusi pada identitas individu dan kolektif karena karakter dan kepribadian tempat itu sendiri yang membedakannya dari tempat lain dan masyarakat yang tinggal di suatu tempat mempunyai rasa memiliki dan keterikatan dengan tempat tersebut.

Para perencana kota harus mempertahankan kelayakan inti kota dengan memastikan bahwa bangunan-bangunan baru dan pembangunan berskala besar tidak menghilangkan ciri khas kota yang mudah dikenali. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan menyelamatkan dan merehabilitasi sebanyak mungkin bangunan lama, membangun yang baru hanya jika yang diperlukan dan kemudian dengan mengintegrasikan yang baru dengan yang lama (Lotmann, 1976).

Selain itu, karakter suatu tempat juga ditentukan oleh faktor-faktor lain yaitu lingkungan binaan. Menurut K. Lynch (1960) dalam bukunya “The Image of the city” bahwa kualitas lingkungan binaan yakni citra (imageability) dan kejelasan (legibility) bangunan-bangunan memberi kontribusi pada munculnya identitas yang menonjol pada suatu tempat.

Citra suatu tempat merupakan kombinasi beberapa faktor lansekap yang saling terkait yaitu bentuk, tampak dan warna bangunan, ritme kumpulan orang, kemeriahan serta acara-acara yang diadakan di tempat tersebut. Faktor lain yang menentukan identitas suatu tempat adalah kombinasi berbagai elemen kultur non-material seperti karakteristik masyarakat (etnis, agama, bahasa) serta apa yang di


(33)

sebut sebagai genius loci. Istilah genius loci dikemukakan oleh Dubos yang dikutip dalam buku Place and placeness (1976) yang artinya adalah roh suatu tempat, mencakup keunikan lingkungan binaan, kekayaan dan momen-momen historis.

Hal yang sama juga dikemukakan dalam Guidelines for preparing

conservation plan (1994) bahwa penentuan apakah suatu bangunan atau tempat

tertentu layak dilindungi sebagai warisan sejarah ditentukan juga oleh aspek-aspek non-fisik yaitu :

1. Mempunyai nilai estetik yaitu menunjukkan aspek desain dan arsitektur suatu tempat.

2. Mempunyai nilai edukatif yaitu menunjukkan gambaran kegiatan manusia di masa lalu di tempat itu dan menyisakan bukti-bukti yang asli. Bisa mencakup teknologi, arkeologi, filosofi, adat istiadat, selera dan kegunaan sebagaimana halnya juga teknik atau bahan-bahan tertentu.

3. Nilai sosial atau spiritual yaitu keterikatan emosional kelompok masyarakat tertentu terhadap aspek spiritual, tradisional, politis atau suatu peristiwa.

4. Nilai historis yaitu asosiasi suatu bangunan bersejarah dengan pelaku sejarah, gagasan atau peristiwa tertentu. Mencakup analisis tentang aspek-aspek yang tidak kasat mata (intangible aspects) dari masa lalu bangunan tersebut.


(34)

Apabila suatu bangunan atau kawasan mempunyai semua persyaratan untuk dilindungi sebagai warisan sejarah, maka selanjutnya perlu dirumuskan suatu kebijakan umum sebagai perangkat pelestarian warisan sejarah. Tujuan dari kebijakan umum dalam bidang preservasi landmark dan kawasan bersejarah adalah untuk :

1. Mempengaruhi dan memberi perlindungan, peningkatan dan pelestarian bangunan, kawasan dan daerah-daerah yang mewakili atau merefleksikan elemen kultural, sosial, ekonomi, politisi dan sejarah arsitektural kota.

2. Melindungi warisan historis, estetis dan kultural kota, sebagaimana terangkum dan terefleksikan dalam bangunan, kawasan dan daerah tersebut.

3. Memantapkan dan meningkatkan nilai properti di kawasan tersebut.

4. Mendorong kebanggaan masyarakat terhadap keindahan dan prestasi agung di masa lalu.

5. Melindungi dan meningkatkan daya tarik kota untuk para wisatawan dan pengunjung sekaligus mendukung serta merangsang iklim usaha dan industri yang terkait.

6. Memperkuat perekonomian kota.

Kekayaan ini sebenarnya merupakan kebanggaan yang tak ternilai harganya. Namun tidak banyak disadari, oleh masyarakat maupun penentu kebijakan bahwa bangunan-bangunan kuno dan bahkan antik banyak di anggap ketinggalan jaman yang sewaktu-waktu dapat terancam kehadirannya. Semestinya tidak hanya bangunan


(35)

kuno saja yang perlu untuk dilestarikan, tetapi juga wilayah kota yang dipertahankan sebagai cagar budaya, karena peninggalan-peninggalan arkeologi yang tersisa masih cukup banyak.

2.2. Melestarikan Bangunan Bersejarah

Pelestarian bangunan bersejarah merupakan suatu pendekatan yang strategis dalam pembangunan kota, karena pelestarian menjamin kesinambungan nilai-nilai kehidupan dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh aktor pembangunan (stakeholder). Istilah yang digunakan untuk bangunan lama yang memiliki nilai-nilai berharga adalah historical building, atau dapat kita samakan artinya dengan bangunan bersejarah. Pada pusat kota terjadi perkembangan dan perubahan yang dinamis ditandai dengan munculnya berbagai aktivitas, terutama perekonomian dan mengakibatkan perubahan secara fisik.

Menurut seorang ahli hukum dari Denmark yang bernama JJA Worsaae pada abad ke 19 mengatakan bahwa :

“bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak hanya melihat masa kini dan

masa mendatang, tetapi mau berpaling ke masa lampau untuk menyimak perjalanan yang dilaluinya”.

Senada dengan ucapan di atas ungkapan lain muncul yang ditegaskan oleh

filsuf Aguste Comte mengatakan bahwa :

“mempelajari masa lalu, melihat masa kini, untuk menentukan masa depan.

Melihat masa lalu yang diungkapkan dengan keberadaan fisik bangunan kuno tentunya tidak dilihat dari sosok bangunannya saja, tetapi nilai sejarah besar apa yang melekat dan membungkusnya sebagai makna kultural. Karena tampilan pembungkus makna ini dapat diikutkan dalam menentukan dan memberikan


(36)

identitas bagi kawasan perkotaan di masa mendatang (Antariksa: 20 Juni 2009, Jurnal Architecture Articles)”.

Pelestarian dalam bangunan maupun arsitektur perkotaan merupakan salah satu daya tarik bagi sebuah kawasan. Dengan terpeliharanya satu bangunan kuno-bersejarah pada suatu kawasan akan memberikan ikatan kesinambungan yang erat, antara masa kini dan masa lalu.

Pelestarian merupakan terjemahan dari conservation atau konservasi. Pelestarian atau konservasi dalam bidang arsitektur dan lingkungan binaan berawal dari konsep konservasi yang bersifat dinamis dengan cakupan yang lebih luas. Sasaran konservasi tidak hanya pada peninggalan arkeologi saja, melainkan meliputi juga karya arsitektur lingkungan atau kawasan bahkan kota bersejarah. Konservasi lantas merupakan istilah yang menjadi payung dari segenap kegiatan pelestarian kawasan atau bangunan bersejarah (Jurnal Architecture Articles ).

Sebenarnya, istilah bangunan kuno telah digunakan dalam arti yang luas untuk menunjukkan bangunan-bangunan baik objek tidak bergerak, pemukiman, area bersejarah, artistik, arsitektur, sosial, budaya maupun simbol ilmu pengetahuan. Istilah perlindungan bangunan kuno, menunjukkan adanya variasi dari aktifitas yang terlibat didalamnya, sebagai contoh restorasi, renovasi, rekonstruksi, rehabilitasi dan konservasi dalam lingkup bangunan dan perkotaan, adalah semua proses untuk memelihara bangunan atau kawasan sedemikian rupa, sehingga makna kultural yang berupa nilai keindahan, sejarah, keilmuan, atau nilai sosial untuk generasi lampau, masa kini, dan masa mendatang akan dapat terpelihara.


(37)

Menurut Kurokawa (1988), mengatakan bahwa ada dua jalan pemikiran mengenai sejarah dan tradisi. Pertama, adalah sejarah yang dapat kita lihat seperti bentuk arsitektur, elemen dekorasi, dan simbol-simbol yang telah ada pada kita. Kemudian yang kedua, adalah sejarah yang tidak dapat kita lihat seperti sikap, ide-ide, filosofi, kepercayaan, keindahan dan pola kehidupan. Kehidupan merupakan bagian dari identitas yang dihasilkan dari konteks budaya dan sosial. Maka, identitas dapat dianggap sebagai individual dan diri sendiri, tetapi juga identitas dapat semata bertranformasi menjadi bentuk yang berbeda mengikuti transformasi yang terjadi pada lingkungan sekitar kita. Dapat disimpulkan, bahwa tanpa usaha pelestarian yang layak sebuah kota akan kehilangan sejarah dan identitas yang menghubungkan kita dengan masa lalu.

Dengan demikian, menghancurkan bangunan kuno-bersejarah sama halnya dengan menghapuskan salah satu cermin untuk mengenali sejarah dan tradisi masa lalu. Dengan hilangnya bangunan kuno, lenyap pula bagian sejarah dari suatu tempat yang sebenarnya telah menciptakan suatu identitas tersendiri, sehingga menimbulkan erosi identitas budaya (Sidharta & Budhiardjo, 1989). Mengetahui sejarah harus mengalaminya lewat benda-benda atau dari tulisan-tulisan sejarah. Benda boleh hancur tetapi nilai harus tetap asli yakni photo-photo sebelum dihancurkan.

Di Indonesia upaya pelestarian terhadap warisan budaya sebenarnya telah di mulai sejak masa kolonial. Untuk pertama kalinya dibentuk komite khusus pada tahun 1822 sebagai lembaga pemerintah. Dengan tujuan mengeksplorasi sumber daya budaya Indonesia untuk meningkatkan citra Belanda di luar negeri. Peran negara


(38)

tersebut semakin kuat dengan ditetapkannya Monumenten Ordonantie, Staatsblad 238 tahun 1931 atau dengan MO 1931. Secara tegas gedung-gedung yang termasuk cagar budaya tidak boleh di bongkar atau di ubah bentuknya, baik living monument (keraton, rumah adat, bangunan bersejarah) maupun dead monument (candi-candi). Kemudian dalam perjalanannya MO tahun 1931 di atas, Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Didalamnya dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan Cagar Budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (Tunggul, 1997).

Undang-undang di atas dipertegas lagi dengan Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia 2003, yang bertekad untuk bersama-sama melaksanakan Agenda Tindakan dalam Dasa Warsa Pelestarian Pusaka Indonesia 2004-2013 meneguhkan upaya pelestarian sebagai berikut :

1. Pusaka Indonesia adalah pusaka alam, pusaka budaya, dan pusaka saujana. Pusaka alam adalah bentukan alam yang istimewa. Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di Tanah Air Indonesia, dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah


(39)

keberadaannya. Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan budaya dalam kesatuan ruang dan waktu.

2. Pusaka budaya mencakup pusaka berwujud dan pusaka tidak berwujud.

3. Pusaka yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya sangat penting sebagai landasan dan modal awal bagi pembangunan masyarakat Indonesia di masa depan, karena itu harus dilestarikan untuk diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan baik, tidak berkurang nilainya, bahkan perlu ditingkatkan untuk membentuk pusaka masa mendatang.

4. Pelestarian adalah upaya pengelolaan pusaka melalui kegiatan penelitian, perencanaan, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan atau pengembangan secara selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian dan daya dukungnya dalam menjawab dinamika jaman untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih berkualitas.

Benda cagar budaya memiliki sifat unik (unique), langka, rapuh, tidak dapat diperbaharui (nonrenewable), tidak bisa digantikan oleh teknologi dan bahan yang sama, dan penting (significant) karena merupakan bukti-bukti aktivitas manusia masa lampau. Oleh karena itu dalam penanganannya harus hati-hati dan diusahakan tidak salah yang bisa mengakibatkan kerusakan dan perubahan pada benda. Perubahan yang terjadi sekecil apapun akan menyebabkan dampak yang mengurangi nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Karena tinggalan benda cagar budaya dapat


(40)

memberikan gambaran tentang tingkat-tingkat kemajuan dalam kehidupan sosial ekonomi, pemukiman, penguasaan teknologi, kehidupan religi dan lain-lain.

Pelestarian benda cagar budaya merupakan hal yang penting berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki oleh benda cagar budaya dan sesuai dengan amanat dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa dan kepentingan nasional. Pada masa otonomi daerah saat ini, dimana Pemerintahan Daerah (Pemda) mempunyai kewenangan yang besar untuk mengatur daerahnya, telah juga ikut serta dalam hal pelestarian benda cagar budaya yang dahulunya dominan dilakukan oleh pemerintah pusat. Di satu sisi ada baiknya bahwa Pemda terlibat dalam pelestarian benda cagar budaya, karena tidak sedikit biaya yang diperlukan dan tidak cukup ditangani oleh pemerintah pusat. Namun di sisi lain pelestarian benda cagar budaya oleh pemda sering kali tidak sesuai yang diharapkan.

Salah satu yang banyak dikeluhkan dalam perkembangan kota modern adalah hilangnya ciri khas wajah-wajah kota yang tergantikan oleh bangunan-bangunan bergaya internasional. Wajah-wajah tersebut menjadi anonimus dan tak berjiwa. Karena itulah warisan budaya menjadi gencarnya kegiatan modrenisasi dan globalisasi kota-kota di dunia yang bila tidak dikendalikan akan memberikan wajah kota yang sama di setiap kota.


(41)

Kota Medan secara keseluruhan merupakan kawasan pariwisata kota berbasis bangunan bersejarah. Kawasan-kawasan yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda diisi oleh bangunan-bangunan bersejarah yang berfungsi sebagai penanda kawasan. Namun, dewasa ini fungsi kawasan beserta bangunannya sudah banyak yang berubah. Spesifikasinya yang berbasis bangunan bersejarah justru mengalami pengabaian di balik gencarnya diskursus modernitas pembangunan.

Proses modernisasi Kota Medan melalui pembangunan yang kapitalistik menyebabkan Kota Medan mengalami komodifikasi yang mengancam pusaka budaya dan pengembangan pariwisata. Sebagaimana dikatakan oleh Barker (2004: 408), komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme dimana objek, kualitas, dan tanda dijadikan sebagai komoditas dan komoditas adalah sesuatu yang tujuan utamanya untuk dijual di pasar. Kekuasaan pemerintah dan kekuatan modal (pengusaha) disebut sebagai penyebab penghancuran bangunan bersejarah di mana, di dalamnya, pemerintah sedang mempraktikkan politik ekonomi instan. Pengembangan pariwisata jauh lebih menguntungkan bila dikelola dengan baik dan benar. Realitas menunjukkan bahwa beberapa pusat perbelanjaan yang sudah ada akhirnya ditutup karena pusat perbelanjaan yang lebih modern didirikan.

Menurut Richards (1996) menyebutkan bahwa :

“kecenderungan pariwisata global ditandai dengan meningkatnya bentuk-bentuk pariwisata posmodern yang terkait dengan pusaka budaya tetapi sebelum dikembangkan menjadi sebuah city tour, misalnya, perlu dilakukan tindakan konservasi mengingat usia bangunan rata-rata di atas 100 tahun. Salah satu teknik konservasi adalah pengembangan pariwisata karena konservasi tidak akan berarti bila tidak menguntungkan secara ekonomi”.


(42)

Makna pelestarian pusaka budaya terkait dengan tuntutan hak budaya (cultural rights), baik untuk pelestarian itu sendiri maupun dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata dan manfaatnya bagi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Pusaka budaya merupakan sumber daya budaya yang memiliki berbagai nilai dan makna antara lain nilai dan makna informasi atau ilmu pengetahuan, ekonomi, estetika, dan asosiasi atau simbolik (Ardika ; 2007).

Kegiatan pelestarian bukanlah hal yang mudah dan tanpa tantangan. Kinerja kegiatan pelestarian sering mengalami benturan dengan kepentingan pembangunan, sehingga pelestarian bangunan dan kawasan dianggap sebagai penghalang pembangunan yang mengakibatkan timbulnya pertentangan-pertentangan dalam pelestarian.

Permasalahan pelestarian timbul akibat perbedaan kepentingan untuk melestarikan bangunan lingkungan kuno atau kawasan bersejarah dengan tuntutan kebutuhan jaman akan bangunan lingkungan atau kawasan modren. Di sisi lain masih banyak ditemukan adanya upaya pelestarian yang secara tidak disadari justru telah merusak situs benda cagar budaya itu sendiri. Pelestarian juga harus dapat mengakomodasi kemungkinan perubahan, karena pelestarian harus dianggap sebagai upaya untuk memberikan makna baru bagi warisan budaya itu sendiri. Selain itu, permasalahan pelestarian secara makro terdiri dari aspek ekonomi, sosial dan fisik, sedangkan permasalahan mikro pelestarian berkaitan dengan sistem pengelolaan warisan budaya yang terdiri dari aspek legal, sistem administrasi, piranti perencanaan, kuantitas dan kualitas tenaga pengelola, serta pendanaan.


(43)

Upaya pelestarian yang telah dilakukan dahulu dan sekarang pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu pelestarian demi kepentingan penggalian nilai-nilai budaya dan proses-proses yang pernah terjadi pada masa lalu. Namun seiring dengan usaha pembangunan yang terus berlangsung di negara kita, maka memberi tantangan tersendiri terhadap upaya pelestarian. Pembangunan sering kali berdampak negatif terhadap kelestarian benda cagar budaya. Problem semacam ini muncul dimana-mana terutama di daerah perkotaan. Kegiatan pembangunan tanpa menghiraukan keberadaan benda cagar budaya hingga saat ini masih terus berlangsung. Hal ini tampak dari semakin menurunnya kualitas dan kuantitas benda cagar budaya.

Upaya pelestarian benda cagar budaya membutuhkan keterlibatan banyak pihak dan yang terpenting adalah keterlibatan masyarakat, terutama pada benda cagar budaya yang masih dipakai (living monument). Pelestarian living monument terkadang lebih sulit, dikarenakan kurangnya pemahaman sang pemilik tentang pentingnya pelestarian benda cagar budaya miliknya. Menurut Mundarjito (UI 2002, dalam Jurnal FT UMJ 2005: 3) tentang upaya pelestarian benda cagar budaya secara garis besar sebagai berikut:

1. Perlindungan

Perlindungan merupakan upaya melindungi benda cagar budaya dari kondisi-kondisi yang mengancam kelestariannya melalui tindakan pencegahan terhadap gangguan, baik yang bersumber dari perilaku manusia, fauna, flora maupun lingkungan alam. Upaya perlindungan yang dilakukan melalui :


(44)

a. Penyelamatan

Penyelamatan dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi benda cagar budaya dari kerusakan dengan kegiatan berupa ekskavasi penyelamatan, pemindahan, pemagaran, pencungkupan, penguasaan benda cagar budaya oleh negara melalui imbalan, dan pemasangan papan larangan.

b. Pengamanan

Pengamanan dilakukan untuk pencegahan terhadap gangguan perbuatan manusia yang dapat mengakibatkan kerugian fisik dan nilai benda. Kegiatannya berupa Penempatan Satuan Pengamanan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SATPENJARLA), dan Penyuluhan Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

c. Perizinan

Perizinan dilakukan melalui pengawasan dan perizinan, baik dalam bentuk ketentuan atau ketetapan maupun tindakan penertiban terhadap lalu lintas benda cagar budaya. Kegiatannya berupa mengeluarkan ijin pemanfaatan untuk kepentingan pendidikan Siswa sekolah dan keagamaan.

2. Pemeliharaan

Pemeliharaan merupakan upaya untuk melestarikan benda cagar budaya dari kerusakan yang diakibatkan oleh manusia dan alam. Upaya pemeliharaan dilakukan melalui :


(45)

a. Konservasi

Kegiatan pemeliharaan benda cagar budaya dari kemusnahan dengan cara menghambat proses pelapukan dan kerusakan benda sehingga umurnya dapat diperpanjang dengan cara kimiawi dan non kimiawi. Kegiatannya berupa pengangkatan Juru pelihara (Jupel), penataan lingkungan, pertamanan, pembersihan menggunakan pihak ketiga, pembersihan dengan bahan kimia, dan pengujian bahan kimia untuk konservasi.

b. Pemugaran

Serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki bangunan yang telah rusak dengan mempertahankan keasliannya, namun jika diperlukan dapat ditambah dengan perkuatan strukturnya. Keaslian yang harus diperhatikan dalam pemugaran mencakup keaslian bentuk, bahan, teknik pengerjaan, dan tata letak. 1) Keaslian Bentuk

Keaslian bentuk bangunan harus dikembalikan berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan antara lain foto-foto lama, dokumen tertulis, saksi hidup, atau studi teknis.

2) Keaslian Bahan

a. Dalam pemugaran bahan bangunan yang harus digunakan adalah bahan asli dan harus dikembalikan ke tempatnya semula

b. Apabila bahan bangunan mengalami rusak ringan maka harus dilakukan perbaikan dan pengawetan sehingga dapat digunakan kembali.


(46)

c. Apabila telah rusak berat atau hilang, maka dapat diganti dengan bahan baru. Namun bahan pengganti harus sama, baik jenis maupun kualitasnya. 3) Keaslian Tata Letak

a. Tata letak bangunan harus dipertahankan dengan lebih dahulu melakukan pemetaan

b. Keletakan komponen-komponen bangunan seperti hiasan, arca, dan lain-lain harus dikembalikan ke tempat semula.

4) Keaslian Teknologi

Keaslian teknologi pengejaan dengan bahan asli maupun baru harus tetap dipertahankan. keaslian teknologi ini antara :

a. Teknologi Pembuatan b. Teknologi Konstruksi

Berdasarkan prinsip-prinsip diatas, maka perlu dipahami bahwa pemugaran bukan merupakan pekerjaan pembangunan atau pembuatan bangunan, melainkan pekerjaan perbaikan dan pengawetan.

3. Dokumentasi atau Publikasi

Dokumentasi atau publikasi merupakan upaya untuk mendokumentasikan benda cagar budaya dan menyebarluaskannya kepada masyarakat melalui media cetak atau media elektronik. Upaya dokumentasi atau publikasi dilakukan melalui :


(47)

a. Perekaman Data

Perekaman Data merupakan rangkaian kegiatan pembuatan dokumen tentang benda cagar budaya yang dapat memberikan informasi atau pembuktian tentang keberadaannya. Kegiatannya berupa pemotretan, pemetaan, penggambaran, dan survei.

b. Publikasi

Publikasi merupakan upaya menyebarluaskan informasi pelestarian benda cagar budaya agar dapat diketahui dan dipahami oleh masyarakat. Kegiatannya berupa pameran, penerbitan buletin dan buku, film dokumenter dan website.

Bangunan-bangunan kuno bernilai sejarah dihancurkan dan ruang-ruang terbuka disulap menjadi bangunan. Banyak perencanaan arsitektur dan kota dikerjakan tidak atas dasar cinta dan pengertian sesuai etik profesional, melainkan berdasarkan eksploitasi yang bermotif komersial, sehingga menghasilkan karya berkualitas rendah. Dengan demikian, kehendak untuk membisniskan kota hendaknya mempertimbangkan secara matang, karena setiap kota mempunyai budaya dan sejarah yang berbeda-beda dengan kota-kota lainnya.


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Bentuk Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Peneliti hanya mengembangkan konsep dan menghimpun fakta tetapi tidak melakukan pengujian hipotesis. Oleh sebab itu penelitian ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu keadaan atau peristiwa subjek/objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (fact finding).

3.2. Definisi Konsep

Definisi konsep dipergunakan untuk menjelaskan gambaran masalah-masalah yang akan diteliti di lapangan. Hal ini dilakukan untuk memberikan focus pada apa yang akan diteliti, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memahami kerangka penelitian ini. Adapun hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian ini adalah:

1. Peranan Pemerintah Kota Medan

Dalam melestarikan bangunan bersejarah ini perlu mendapat perhatian khusus baik bagi Pemerintah, swasta, dan masyarakat sekitar harus saling melindungi dan melestarikan bangunan bersejarah itu, dengan cara mengelola bangunan bersejarah itu dengan baik sebagai potensi pariwisata melalui kunjungan wisatawan mancanegara untuk menambah sumber pendapatan daerah.


(49)

2. Peranan Badan Warisan Sumatera (BWS)

Badan Warisan Sumatera merupakan lembaga swadaya yang mempunyai perhatian sangat tinggi terhadap keberadaan bangunan bersejarah. BWS adalah organisasi kemasyarakatan bersifat nirlaba yang didirikan tanggap 29 April 1998 dengan Akte Notaris Syafnil Gani No. 21 di Medan. Tujuan BWS adalah melestarikan warisan sejarah berupa bangunan, alam dan budaya melalui keteladanan dan pendidikan.

Kegiatan utama dari lembaga ini adalah : 1. konservasi

2. dokumentasi dan publikasi

3. jaringan sumatera untuk pelestarian warisan budaya 4. edukasi publik

5. pencarian dana

6. pembinaan SDM dalam bidang pelestarian warisan budaya Sedangkan peranan dari BWS adalah :

1. Mengajukan revisi Peraturan Daerah No.6 tahun 1988 tentang Perlindungan Bangunan kepada Pemko Medan

2. Uji Lapangan Masalah Pelestarian Warisan Budaya dalam Kepemerintahan yang Baik, bekerjasama dengan UNDP (United Nation Development Programe) Asia Pasifik.


(50)

3. Melestarikan Bangunan Bersejarah Sebagai Potensi Pariwisata

Pelestarian bertujuan untuk tetap memelihara identitas dan sumber daya lingkungan dan mengembangkan beberapa aspeknya untuk memenuhi kebutuhan modern dan kualitas hidup yang lebih baik (Joharnoto : 2005).

Banyak bangunan yang bisa dijadikan potensi pariwisata untuk kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan Nusantara. Bangunan kuno tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tetapi para wisatawan pun yang mengunjungi tempat atau bangunan bersejarah juga ikut bertanggung jawab.

3.3. Defenisi Operasional

Untuk menjelaskan penelitian dan memberikan focus pada penelitian ini, maka perlu diuraikan definisi operasional yang merupakan uraian spesifik dari apa yang akan diteliti, dengan kata lain konsep yang telah dikemukakan di atas yang akan dioperasionalisasikan. Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah:

a. Peranan Pemerintah yang diwujudkan dalam sikap-sikap dan pemihakan lembaga yang berwenang untuk melaksanakan suatu peraturan daerah dengan sebaik-baiknya.

b. Peranan BWS yang diwujudkan dalam Mengajukan revisi Peraturan Daerah No. 6 tahun 1988 tentang perlindungan bangunan kepada Pemko Medan dan uji lapangan masalah pelestarian warisan budaya dalam kepemerintahan yang baik.


(51)

c. Upaya pelestarian, dengan indikator :

1) Perlindungan merupakan upaya melindungi benda cagar budaya sesuai dengan UU No. 5 Tahum 1992 dari kondisi-kondisi yang mengancam kelestariannya melalui tindakan pencegahan terhadap gangguan, baik yang bersumber dari perilaku manusia, fauna, flora maupun lingkungan alam. Upaya perlindungan yang dilakukan melalui :

a. Penyelamatan b. Pengamanan c. Perizinan

2) Pemeliharaan merupakan upaya untuk melestarikan benda cagar budaya dari kerusakan yang diakibatkan oleh manusia dan alam. Upaya pemeliharaan dilakukan melalui : Konservasi dan Pemugaran.

3) Dokumentasi atau Publikasi merupakan upaya untuk mendokumentasikan benda cagar budaya dan menyebarluaskannya kepada masyarakat melalui media cetak atau media elektronik yaitu melalui upaya :

a. Perekaman Data b. Publikasi

3.4. Sumber Informasi ( key informan)

Adapun tehnik untuk menentukan siapa yang menjadi sumber informasi (key

informan) dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan tehnik Purposive, yaitu


(52)

tentang keberadaan bangunan-bangunan bersejarah di Kota Medan yaitu pegawai dinas Pariwisata Kota Medan, Badan Warisan Sumatera, Ahli Sejarahwan, dan beberapa pemilik bangunan bersejarah di Kota Medan.

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data atau informasi, keterangan-keterangan dan data-data yang diperlukan, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1. Sumber Data Primer. Yaitu pengumpulan data yang dilakukan secara langsung pada lokasi penelitian. Data primer tersebut dilakukan dengan instrument sebagai berikut :

a. Wawancara, yaitu memberikan pertanyaan langsung kepada sejumlah pihak yang terkait dalam pelaksana perencanaan pariwisata yaitu kepada Sekretaris di Badan Warisan Sumatera (Ir. Rika Susanto), Ahli sejarahwan (Dr. Phill Ichwan Azhari), Kasie Kepurbakalaan Dinas Pariwisata Sumut (Dra. Andriani), dan pemilik bangunan-bangunan bersejarah.

2. Pengumpulan Data Sekunder. yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui penelitian kepustakaan, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari buku-buku, dokumentasi sejarah, karya ilmiah, pendapat para ahli yang memiliki relevansi dengan masalah yang diteliti.


(53)

3.6. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di beberapa tempat di mana bangunan bersejarah berada, dalam hal ini penulis menetapkan lokasi Kesawan yakni Tjong A Fie, Bangunan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara, Restaurant Tip Top.

3.7. Metode Analisis

Data–data yang sudah terkumpul selanjutnya perlu dianalisis agar dapat memberikan informasi yang jelas. Dengan format penelitian deskriptif kualitatif, maka analisis data dilakukan melalui interprestasi berdasarkan pemahaman intelektual yang dibangun oleh pengalaman empiris. Interprestasi dan analisis data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a Pengumpulan data, melalui teknik dokumentasi untuk memperoleh data sekunder serta wawancara dan observasi untuk memperoleh data bersifat primer.

b Menghubungkan berbagai informasi yang relevan yang diperoleh sehingga menjadi sebuah paparan yang dapat menjawab permasalahan yang ada.


(54)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Secara geografis, Kota Medan terletak antara 2 29’ LU-2 30’ LU dan 2 47’ BT-2 30’ BT dengan ketinggian 0-40 di atas permukaan laut. Sebagian wilayah Medan sangat dekat dengan wilayah laut yaitu pantai barat Belawan, dan daerah pedalaman yang tergolong dataran tinggi, seperti Kabupaten Karo. Luas wilayah Kota Medan adalah 265,10 km2 secara administratif terdiri dari 21 Kecamatan dan 151 Kelurahan. (Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia)

Kota Medan pada masa kolonial adalah bagian dari wilayah Sumatera Timur dan merupakan kampung halaman bagi etnis Karo, Melayu, dan Simalungun. Etnis Karo dan Simalungun menempati wilayah pesisir. Akan tetapi setelah masuknya pengaruh kolonial Belanda, yang ditandai dengan pembukaan lahan-lahan menjadi lokasi perkebunan, maka terjadi perubahan yang sangat besar dalam susunan masyarakat di Sumatera Timur tidak terkecuali Kota Medan. Pesatnya perkembangan perkebunan pada waktu itu menyebabkan jumlah penduduk di kawasan wilayah Sumatera Timur cepat bertambah, terutama karena banyaknya didatangkan buruh-buruh dari luar untuk bekerja di perkebunan-perkebunan tembakau tersebut.


(55)

Kota Medan adalah salah satu kota yang memiliki pola masyarakat yang heterogen di Indonesia heterogenitas penduduk. Sarana dan prasarana perhubungan di Kota Medan terdiri dari prasarana perhubungan darat, laut, udara. Transportasi lainnya adalah kereta api. Disamping itu juga telah tersedia prasarana listrik, gas, telekomunikasi, air bersih dan Kawasan Industri Medan (KIM) I. Sebagai daerah yang berada pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara memiliki posisi strategis.

Kota Medan berpenduduk dari berbagai latar belakang suku budaya dengan beragam adat istiadat. Keanekaragaman ini menjadi potensi pariwisata di Kota Medan. Dalam hubungannya dengan kecenderungan pengembangan pariwisata budaya, Medan bisa dipandang sebagai kota yang kaya akan potensi pariwisata kebudayaan baik fisik maupun nonfisik. Yang dimaksud potensi pariwisata kebudayaan fisik adalah bangunan-bangunan yang menjadi simbol keluhuran budaya nenek moyang. Sedangkan yang dimaksud potensi pariwisata kebudayaan nonfisik adalah berbagai jenis permainan, batik, jahitan, kerajinan tradisional, dan berbagai jenis tari tradisional. Potensi pariwisata yang lain yang juga sangat menjanjikan di Kota Medan adalah keberadaan bangunan-bangunan bersejarah.


(56)

4.2. Profil Bangunan Bersejarah di Kawasan Kesawan Medan 4.2.1. Tjong A Fie

Mayor Tjong A Fie (1880-1921) dilahirkan di desa Sung Kow (Mei Xien), berasal dari suku Khe atau Hakka dari propinsi Kwantung, di bagian selatan dataran Tiongkok. Ia adalah seorang jutawan dan saudagar yang menguasai sebagian wilayah Kota Medan, seorang yang juga berjasa membangun Kota Medan. Tjong A Fie tiba di Sumatera, tepatnya di Labuhan Deli pada tahun 1880, menyusul kakaknya Tjong Yong Hian yang sudah tiba 5 tahun sebelumnya. Kakaknya sudah cukup sukses, namun Tjong A Fie, dengan kecerdasannya, kemudian di minta oleh pemerintah Belanda untuk mengatasi berbagai masalah yang berkaitan dengan buruh perkebunan Tionghoa. Akhirnya, ia di beri gelar Letnan (lieutenant), kemudian menjadi Kapten (kapitein). Tjong A Fie kemudian menetap di Medan dan berhubungan baik dengan Sultan Deli, Maimoon Al Rasyid dan Tunku Raja Muda. Dengan demikian beliau mendapat kepercayaan untuk menangani beberapa urusan bisnis di Kota Medan.

Kekayaan Tjong A Fie yang melimpah banyak di peroleh dari kedudukannya sebagai patcher candu untuk daerah Deli. Karena separuh kekayaannya berasal dari usahanya sebagai patcher maka beliau merasa bahwa hartanya harus dikembalikan kepada masyarakat, maka ia banyak melakukan kegiatan sosial dengan membangun sarana-sarana umum dan menolong orang tanpa pandang bulu. Jasa-jasa Tjong A


(57)

Fie adalah membangun klenteng di Klingenstraat (jalan Keling) dan di Pulo Brayan, serta Pemakaman Pulo Brayan. Kemudian ia mendirikan rumah sakit khusus lepra di Pulau Sicanang yang bernama “Tjie On Tjien Jan”. Kemudian ia membiayai sepertiga pembangunan Mesjid Raya Medan sebagai penghormatannya kepada Sultan Deli dan penduduk muslim di Kota Medan.

Di kediamannya di Jalan Kesawan (yang berarti pesawahan) merupakan sebuah rumah megah yang unik bergaya art deco terdapat berjuta cerita dan berjuta harapan yang di bangun oleh masyarakat Tionghoa perantauan atau Chinesse Overseas di Medan. Rumah ini menjadi bangunan bersejarah yang dilindungi oleh pemerintah kota Medan. Rumah ini merupakan campuran gaya Cina Kuno, Belanda, dan Melayu di atas tanah 6.000 m². Bangunan ini didirikan tahun 1895 dan selesai pada tahun 1920-an dengan arsitektur dan interior yang indah. Terdapat banyak ruangan yang sangat nyaman dengan percampuran berbagai kultur di dalamnya. Diiringi suara masuk klasik yang membahana di seluruh ruang-ruang megah dari permainan piano cucu Tjong A Fie sendiri.

Nama Tjong A Fie tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Kota Medan khususnya dan Sumatera Timur umumnya. Dia adalah jutawan pertama di Sumatera yang namanya sangat terkenal sampai sekarang walaupun ia sudah wafat pada tahun 1921. Dia seorang Major bangsa Cina, jabatan tertinggi untuk bangsa Cina di Medan, ia juga adalah pendiri pertama "Deli Bank" di Medan dan Maskapai Perkebunan "Si Bulan", serta menjadi Presiden pertama Kamar Dagang Tionghoa


(58)

di Sumatera. Peninggalannya dapat kita lihat di Jalan Ahmad Yani yang merupakan rumah Tjong A Fie, gedung bergaya Tiongkok kuno yang sangat fantastis dan dibangun pada tahun 1900. Kesuksesannya berkat usaha dan hubungan baiknya dengan Sultan Deli dan para pembesar perkebunan tembakau Belanda. Hingga saat ini rumah tersebut masih ditempati keluarga Tjong A Fie.

“Di sini, pada bumi yang saya pijak, langit yang saya junjung. Kesuksesan dan kemahsyuran tidak hanya terdiri dari apa yang saya telah dapatkan, namun juga dari apa yang saya telah berikan” – filosofi Tjong A Fie. (Sumber : Leaflet Tjong A Fie. Benny G Stiono, 2004).

Sumber : Foto Pribadi


(59)

4.2.2. Bangunan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Utara Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara dahulunya adalah Gedung Percetakan Harian De Sumatra Post dan sekaligus Toko Buku bernama Varekamp & Co. Saat ini Gedung dijadikan Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Utara (DISBUDPARSU) serta pusat informasi turis. Sebagai salah satu bangunan tua yang bersejarah (eks Gedung Varekamp & Co) perlu diarsipkan dengan baik (sejarah, fungsi, arsitektur).

  

Gedung ini merupakan salah satu bangunan warisan kolonial Belanda yang sudah ada sejak tahun 1898 terletak di Kawasan Kesawan Medan. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara saat ini sedang melakukan proses evaluasi terhadap eksistensi dan konstruksi bangunan Gedung dengan melibatkan berbagai pihak terkait dari kalangan arsitek, arkeologi dan antropologi serta sejarah. Gedung ini awalnya bernama Boekhandel En Drukkerij, Varekamp & Co. De

Sumatra Post ;berfungsi sebagai toko buku dan percetakan/penerbitan surat kabar

De Sumatra Post yang didirikan oleh J. Hallerman dan Van Den Brand pada tahun 1899; merupakan surat kabar ketiga setelah Deli Courant dan De Oostkust di Kota Medan pada masa itu. Hasil telusuran literatur menunjukkan tidak jelas kapan persisnya bangunan berdiri, namun gedung ini dipastikan sudah ada sejak tahun 1899 saat pertama kali Harian De Sumatra Post didirikan dan berkantor di Gedung ini. Namun jika meniliik dari foto dokumentasi gedung seperti yang terdapat dalam post card, gedung diperkirakan sudah berdiri sebelum Harian De Sumatra Post didirikan (sebelum tahun 1899).


(60)

Dengan demikian usia gedung sudah lebih dari 100 tahun. Saat ini gedung digunakan sebagai Kantor Dinas Pariwisata Sumut. Bagian atas adalah untuk ruang perkantoran dan bagian bawah sebagai pusat informasi turis Desain arsitektur bangunan mengikuti aliran seni art deco, yang dicirikan oleh tampilan ornamen di setiap bagian bidang bangunan dari gedung dengan corak tertentu yang gunanya adalah untuk memperindah bangunan.

Kondisi bangunan saat ini terlihat masih kokoh, meskipun pada bagian dalam terutama di bagian asbes mengalami kebocoran serta bagian lantai tingkat II mengalami perbaikan di sana-sini. Selain itu tampilan warna dan cat gedung terkesan kusam dan tua, terutama pada bagian ornamen dan dinding bagian luar. Gedung ini memiliki arti yang sangat penting bagi Kota Medan baik dari aspek politis, sejarah, budaya maupun arsitektural.

Gedung Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara terletak di Kawasan Kesawan yang merupakan salah satu kawasan dengan lalulintas cukup padat. Sehingga mempengaruhi minat pengunjung yang ingin datang ke gedung ini. Karena sulitnya parkir kendraan. Terlebih pada jam-jam sibuk. Posisi gedung yang diapit oleh bangunan lainnya sehingga tidak ada lagi ruang tersisa mengakibatkan bangunan terkesan sempit dan pengap. Tidak tersedianya sarana bagi pejalan kaki (pedestrian) yang hendak menikmati nuansa Kesawan sebagai kawasan bersejarah. Tidak terteranya nama gedung karena terhapus didempet oleh bangunan lain menyebabkan kita kehilangan informasi tentang nama gedung dan tahun ketika pertama kali didirikan.


(61)

Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara atau eks Gedung Varekamp & Co De Sumatra Post adalah sebuah wujud dari kebudayaan fisik yang mengambarkan sebuah peradaban yang hidup dan berkembang pada masa kolonialisme Belanda di Kota Medan. Peradaban ini sedemikian rupa sehingga menggambarkan suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, ilmu pengetahun, seni bangunan, seni rupa dan sistem kenegaraan dan masyarakat kota yang maju dan kompleks (Koentjaraningrat, 1986:182).

Bangunan gedung merupakan bangunan berlantai dua dengan denah segi empat asimetris yang memanjang ke belakang, barat - timur dengan dimensi 46,91 x 31,70 meter. Pada bagian depan bangunan itu terdapat dua buah menara pada bagian sudut barat daya dan barat laut. Pada bagian tengah terdapat lorong yang membagi dua bangunan tersebut sehingga terbagi dua, sisi utara dan sisi selatan. Panjang keseluruhan, termasuk kedua menaranya 32 m, panjang masing-masing menaranya 5 m, sedangkan panjang bangunan utama 21,75 meter. Tinggi bangunan utama 12,70 meter, sedangkan tinggi masing-masing menaranya 15, 15 meter.

Bangunan ini dulunya dirancang sebagai bangunan penutup atau yang mengakhiri vista jalan Kesawan. Kedua menara di ujung-ujung bangunan mempertegas fungsi bangunan sebagai pengakhir vista. Di sisi kiri bangunan dulunya terdapat taman yang kemudian dibangun bangunan (sekarang Bank Mandiri).


(62)

Sumber : Koleksi Pribadi

Gambar 2. Gedung Kebudayaan dan Pariwisata Prov. Sumatera Utara

4.2.3. Tip Top

Tip-Top merupakan restauran tua di kota Medan yang menjadi saksi bisu betapa cepat kota ini berkembang. Tip-Top berada di gerbang menuju Kesawan, di Jalan Ahmad Yani, selama sejarah sosial berjalan di masa lalu. Tak hanya bernilai sejarah, restauran Tip-Top juga merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang ingin mengingat kenangan indah masa lalu. Turis-turis tua Belanda yang dulu pernah berada di sini akan datang kembali jika mereka berkunjung ke Sumatera Utara. Suasana romantis tempo dulu masih dapat dirasakan di tempat ini.


(63)

Pada tahun 1929, restauran ini bernama Jangkie, sesuai nama pemiliknya, dan berada di jalan Pandu, Medan. Setelah beberapa waktu, restauran ini pindah ke Kesawan pada tahun 1934 dan bernama Tip-Top (yang berarti “sempurna”). Pada masa lalu, Kesawan merupakan pusat bisnis di kota Medan. Banyak kantor pemerintah dan kantor perusahaan asing yang berlokasi di sini. Orang Belanda yang bekerja di perkebunan atau kantor pemerintah biasanya datang untuk makan pagi atau menikmati kopi pada sore hari. Mereka sangat menggemari kopi robusta lokal dari Sidikalang yang beraroma harum dari dapur Tip-Top. Ketika Jepang menjajah Indonesia pada tahun 1942, nama Tip-Top berubah menjadi Jangkie kembali. Ini disebabkan karena nama Tip-Top yang bernuansa ke-Belandaan.

Setelah Jepang kalah dalam perang dunia ke II pada tahun 1945, nama Tip-Top kembali digunakan. Setelah kemerdekaan, Tip-Tip-Top menjadi populer di kalangan penduduk lokal, Terutama pada kelas menengah dan atas. Mereka biasanya membawa keluarga dan anak-anak pada akhir pekan. Tip-Top tidak hanya dikunjungi anggota keluarga, tapi juga oleh laki-laki dan perempuan muda yang sedang jatuh cinta. Mereka membuat kenangan manis yang romantis di restaurant ini. Para orang tua datang untuk bernostalgia, mengenang kebersamaan mereka yang indah di masa lalu sambil membawa anak-anak mereka.

Pada saat ini, Tip-Top dikelilingi oleh bangunan-bangunan tua yang mungkin tidak lama lagi akan dihancurkan. Keadaan berubah dengan cepat, tapi restauran ini tetap konsisten akan keberadaannya. Barang-barang lama seperti bangunan, mesin,


(64)

meja dan kursi serta piano masih tetap digunakan. Tip-Top masih menggunakan tungku kayu bakar jaman Belanda sejak tahun 1934. Tungku ini menggunakan kayu bakar berkualitas baik sehingga dapat menghasilkan kue dengan aroma yang harum dan cita rasa yang enak. Kue-kue istimewa seperti kue tart, specolaas, saucijsebrood, moorkop, horen dan lain-lain dihasilkan dari tungku kayu bakar ini.

Restaurant ini juga menyediakan berbagai menu makanan dari Indonesia, China dan Eropa seperti steak ayam, steak lidah, salad, omelet, bitterballen, pancake, nasi goreng, cap-cay, fouyonghai, gado-gado, kari kambing, roti bakar dan lain-lain. Dan tidak ketinggalan, es krim buatan sendiri yang memiliki cita rasa tersendiri menjadi hidangan penutup yang istimewa sesuai dengan iklim kota Medan yang cukup panas. Waktu terus berlalu, tapi restaurant ini tetap berjalan dengan konsep, tradisi serta resep-resep lama yang tetap dipertahankan. Setiap orang dapat melihat sejarah yang terpampang di dinding restaurant tua ini. Tip-Top tidak hanya dikenal dengan makanan dan kue yang enak, tapi juga merupakan bagian dari sejarah dimana Tip-Top juga merupakan salah satu restaurant tertua di Indonesia.


(65)

Sumber : Koleksi Pribadi Gambar 3. Bangunan Tip Top

4.3. Peranan Pemerintah Dalam Melestarikan Bangunan Bersejarah

Hingga hari ini, kapitalisme masih menjadi corak perekonomian di Kota Medan. Modal dan investasi telah mengatur arah pembangunan, sehingga kebijakan publik menjadi sangat liar. Keuntungan dalam hitungan cash hampir satu-satunya pertimbangan dalam penggunaan tata ruang dan izin bangunan. Kawasan inti kota yang padat dan menyimpan banyak bangunan bersejarah, telah mengalami tekanan yang sangat kuat dari hari ke hari. Oligarki yang mempertemukan pengusaha dan kalangan eksekutif di pemerintahan akhirnya menguasai aset-aset dan ruang-ruang strategis di pusat kota. Hanya yang mempunyai modal besar yang sanggup memilikinya.


(66)

Konsep ini akhirnya membuat keberadaan bangunan-bangunan bersejarah semakin terdesak oleh keinginan untuk berinovasi ke arah yang lebih modern. Pertumbuhan bangunan-bangunan berupa perumahan mewah, pertokoan maupun pusat perbelanjaan yang megah, seperti jamur di musim hujan yang semakin menekan bahkan mengubur keberadaan bangunan-bangunan kuno. Baik bangunan kuno milik pribadi maupun milik pemerintah.

Tanpa kita sadari, kita telah menggunakan konsep kapitalisme yang memandang segala sesuatu dari sudut ekonomi (economy based) termasuk dalam memandang keberadaan bangunan bersejarah. Kita lebih memilih merubuhkan bangunan bersejarah untuk digantikan dengan bangunan perumahan mewah, pertokoan dan sebagainya yang mungkin hanya menghasilkan nilai ekonomi sesaat. Padahal bila bangunan bersejarah tersebut dipertahankan, kita akan mendapatkan nilai ekonomi yang berkelanjutan (dari devisa sektor wisata) plus nilai budaya yang tiada taranya. Jadi bukan hanya nilai ekonomi yang akan diperoleh tetapi juga nilai budaya, nilai seni bahkan mungkin nilai social lainnya.

Kita tidak menginginkan sejarah menghilang begitu saja. Bahkan Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir Soekarno merumuskan sebuah konsep tentang pentingnya menyimpan sejarah yang dikenal dengan istilah JAS MERAH, Jangan Sekali-Sekali Melupakan Sejarah. Dan untuk menjaga sejarah tersebut (berupa bangunan maupun artefak lainnya), perlu kerjasama dari berbagai pihak.


(67)

Menurut konsepsi Perlas (2003) dan Arsworth dan Tunbridge (1990), ada empat pilar (fourfolding) pengembangan pariwisata pusaka budaya di Kota Medan, yaitu:

1. Masyarakat, 2. Pemerintah,

3. Industri pariwisata,

4. Bangunan bersejarah itu sendiri.

Pemerintahan Kota Medan sebagai salah satu pilar pengembangan pariwisata Kota Medan dan yang mempunyai hak regulator yang besar, hanya akan melindungi bangunan tua yang memiliki nilai sejarah, atau mengingatkan sesuatu peristiwa penting dalam perkembangan Kota Medan. Sejauh ini ada sekitar 42 bangunan bersejarah termasuk kawasan yang dilindungi di kota ini. Penegasan ini dilakukan terkait banyaknya pembongkaran bangunan tua tanpa ada upaya pencegahan dari Pemerintah Kota Medan. Seperti yang terjadi di kawasan Jalan Timor, Jalan Ahmad Yani dan lainnya.

“Yang kami lindungi bangunan tua yang punya nilai sejarah tinggi (sic),

bukan asal tua saja. Dan semua itu ditetapkan dalam surat keputusan Wali Kota Medan, ucap Kepala Bappeda Medan Syaiful Bahri (12 Juni 2010, pukul 10:16).

Dia menambahkan, selama ini mereka kesulitan mencegah pembongkaran bangunan pribadi di luar bangunan yang dilindungi. Sebab, kebanyakan sudah berpindah tangan atau dijual ke pihak lain. Untuk menghentikannya, harus ada ganti rugi materi.


(68)

“Tidak bisa dihentikan begitu saja, karena kebanyakan milik pribadi.

Terserahlah mau diapakannya. Kalau mau mencegah harus dibayari. Tidak mungkin semua diganti rugi. Tidak ada anggaran disediakan untuk itu,”

tambahnya.

Disain bangunan yang dilihat dari tata letak dan bentuk arsitektur Kota Medan di bangun sesuai dengan fungsi dan dimensi ekonomi perkebunan pada masa kolonial. Ekonomi perkebunan pada masa lalu itupun tidak terlepas dari campur tangan pemikiran para kolonial. Dengan kata lain, disain dan tata letak dan bentuk arsitekturnya menurut budaya Belanda (kolonial), bukan menurut selera budaya orang Indonesia asli. Justru dahulu ketika Kota Medan ini di bangun oleh Belanda, orang Indonesia banyak yang telah jadi korban. Oleh karena itu jika disain tata letak dan bentuk arsitek kota tetap dipertahankan malah mengundang kesan duka lama teringat kembali. Bukankah lebih baik dihancurkan dan di ganti dengan disain tata letak dan serta bentuk arsitektur kota sesuai dengan selera kita, atau selera Indonesia saat ini? Menurut saya bangunan kuno-bersejarah yang di bangun oleh Belanda pada masa itu dan masih bertahan hingga saat ini adalah bukti sejarah yang bisa diceritakan kembali kepada anak cucu kita. Sehingga bangunan-bangunan kuno-bersejarah itu tidak perlu dirubuhkan tetapi perlu di jaga pelestariannya atau apabila ingin dirubuhkan menjadi bangunan modren mengapa tidak memadupadankan antara bangunan bersejarah dengan bangunan yang lebih modern.

Beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam pelestarian bangunan-bangunan bersejarah tersebut adalah :


(1)

        Gambar 3. Bangunan Lama Restaurant Tip Top

Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara

Gambar 4. Keluarga Besar Pemilik Tip Top Restaurant


(2)

      Gambar 5. Bangunan Lama yang ada di Kesawan Square

Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara

Gambar 6. Gedung Lonsum


(3)

Gambar 7. Bangunan Lama yang ada di jalan Ahmad Yani

Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara

Gambar 7. Bangunan Lama Yang Ada Di Kesawan Square


(4)

Gambar 8. Bangunan Lama Yang Ada Di Jalan Ahmad Yani

Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara

Gambar 9. Bangunan Lama Yang Ada Di Kesawan Square


(5)

Gambar 10. Bangunan Lama Yang Ada Di Kota Medan


(6)

Gambar 11. Bangunan Bank Indonesia

Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara

Gambar 12. Bangunan Balai Kota sebelum di Gabung dengan Grand Aston