2. Sosialisasi Kurang
Rendahnya tingkat kepedulian bangsa ini dengan bangunan bersejarah maupun kelestarian cagar budaya membuat negeri ini akan terpuruk secara
sendirinya. Hilangnya rasa memiliki dan melestarikan nilai-nilai sejarah diakibatkan kurangnya perhatian pemerintah yang tidak peka dengan peninggalan tempo dulu.
Perubuhan bangunan itu seharusnya tidak lepas dari keterkaitan Pemko Medan yang dalam hal ini Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan TRTB Kota Medan. Karena,
dalam hal ini izin untuk perubuhan bangunan terlebih bangunan bersejarah seharusnya diteliti terlebih dahulu dan melakukan koordinasi kepada seluruh pihak
terkait. Perubuhan bangunan yang mempunyai nilai sejarah di kota Medan bukan kali ini saja terjadi. Seperti halnya bangunan di Jalan Diponegoro, Jalan Timor
simpang Printis Kemerdekaan. Seharusnya hal ini di sosialisasikan oleh Bappeda Kota Medan. Karena bila hal ini tidak dilakukan Bappeda sudah melanggar UU No
14 Tahun 2008 tentang KIP Keterbukaan Informasi Publik. Oleh karena, Pemko Medan harus bertanggung jawab dalam perubuhan bangunan bersejarah yang telah
berdiri 50 tahun lamanya ini. Kalau memang izin peruntuhan bangunan itu tidak ada dikeluarkan, maka Pemko Medan harus mengambil sikap tegas dengan memberi
sanksi kepada pengembang tanpa melihat keterlibatan yang diduga dibacking oleh salah satu media terbitan Medan tersebut.
Menurut wawancara dengan berbagai instansi pemerintah, observasi di lapangan dan pengalaman penulis dalam bidang pelestarian bangunan bersejarah,
Universitas Sumatera Utara
faktor yang berpengaruh terhadap rendahnya tingkat sosialisasi Perda No. 6 Tahun 1988 dan UU Nomor 5 Tahun 1992 di Kota Medan yakni kurang koordinasi antar
instansi pemerintah, terutama instansi-instansi yang secara langsung terlibat dengan pengelolaan bangunan bersejarah yaitu :
a. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Medan : bertugas untuk menggali
potensi bangunan bersejarah sebagi obyek wisata sehingga dapat menambah pendapatan daerah dan mengadakan studi atau penelitian terhadap benda cagar
budaya. Sampai saat ini program ini sepenuhnya belum semua dilakukan. b.
Dinas Tata Kota dan Bangunan : bertugas untuk mengawasi pelestarian bangunan bersejarah melalui pengendalian pemberian izin IMB dan meninjau
lokasi bangunan bersejarah dan kesesuaiannya dengan lingkungan kota, transportasi serta ketinggian bangunan. Lembaga ini akan merevisi perda nomor
6 Tahun 1988 karena sejak diterbitkannya perda ini ada lebih 600 bangunan lain yang layak masuk dalam daftar bangunan yang dilindungi di Kota Medan
BWS, 2010. c.
Badan Perencanaan Daerah Bappeda : sebagai badan koordinasi yang mengeluarkan konsep-konsep kebijakan pembangunan daerah dalam bentuk
Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kota. Bappeda Kota Medan tidak membuat perencanaan kota dan perencanaan anggaran untuk mendukung
pelestarian bangunan bersejarah seperti misalnya subsidi untuk pemeliharaan banguana bersejarah yang dilindungi dan upaya pembentukkan Dewan
Konservasi Kota yang melibatkan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
d. Dinas Pendidikan Nasional : bertugas mensosialisasikan bangunan bersejarah
untuk kepentingan edukasi atau pendidikan. Dinas ini tidak mempunyai program-program edukasi yang mendukung pelestarian bangunan bersejarah.
Tabel I. Peranan Lembaga
No Lembaga
Peranan
1 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kota Medan Melaksanakan promosi pariwisata
kawasan bersejarah di Kota medan, sosialisasi kepada masyarakat, memberi
pelindungan terhadap bangunan . 2
Dinas Tata Kota dan Bangunan Pemberian izin bangunan dengan
memperhatikan UU Nomor 5 Tahun 1992, Perda No 6 tahun 1988.
3 Bappeda
Membuat program yang berkaitan dengan bangunan-bangunan bersejarah yang
dilindungi oleh UU Nomor 5 Tahun 1992, Perda No 6 tahun 1988.
4 Dinas Pendidikan Nasional
Melakukan sosialisasi UU Nomor 5 Tahun 1992, Perda No Tahun 1988
Sumber : Pemerintah Kota Medan 2010
Universitas Sumatera Utara
Dari tabel di atas terlihat bahwa seharusnya ada keterkaitan antar beberapa instansi dalam hal perlindungan bangunan bersejarah. Bappeda harus berkordinasi
dengan Dinas Pariwisata sebelum menyusun perencanaan pembangunan Kota Medan. Demikian juga halnya dengan Dinas Tata Kota dan Bangunan perlu berkomunikasi
dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan pengaturan tata letak bangunan. Dengan adanya koordinasi dan
komunikasi antar departemen ini, keberadaan bangunan bersejarah akan lebih terlindungi karena semua pihak mendukungnya.
4.5. Upaya Pelestarian Bangunan Bersejarah
4.5.1. Perlindungan
Perlindungan merupakan upaya melindungi benda cagar budaya dari kondisi- kondisi yang mengancam kelestariannya melalui tindakan pencegahan terhadap
gangguan, baik yang bersumber dari perilaku manusia, fauna, flora maupun lingkungan alam. Upaya perlindungan yang dilakukan melalui penyelamatan,
pengamanan dan perizinan. Pemerintah Kota Medan berupaya melestarikan dan memelihara keberadaan
bangunan-bangunan bersejarah di Kota Medan. Karena bangunan-bangunan bersejarah tersebut merupakan gambaran perjalanan hidup dan perkembangan kota
Medan yang mengandung nilai budaya dan sejarah yang tidak ternilai. Oleh karena itu, perlu pertimbangan yang sangat matang sebelum mengambil keputusan untuk
merubah keberadaan bangunan-bangunan bersejarah tersebut. Selama ini sering sekali
Universitas Sumatera Utara
kita temukan kenyataan bangunan-bangunan bersejarah tersebut diganti dengan bangunan lain hanya karena alasan ekonomis. Misalnya untuk membangun pusat
perbelanjaan, pertokoan, pemukiman-pemukiman modern dan bangunan-bangunan baru lainnya. Padahal nilai ekonomis yang diperoleh dari bangunan tersebut hanya
bersifat sementara, sedangkan nilai ekonomis dari bangunan bersejarah tersebut akan berkelanjutan dan mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan waktu.
Bangunan Tjong A Fie adalah bangunan bersejarah yang terletak di tengah kota medan. Ini berarti posisi Tjong A Fie merupakan posisi yang sangat strategis bila
dijadikan sebagai pusat pertokoan atau usaha bisnis lainnya. Namun, kesadaran Keluarga Pemilik Tjong A Fie akan nilai bersejarah dari rumah tersebut membuat
mereka membuang jauh-jauh keinginan untuk mengganti keberadaan dari bangunan yang didirikan pada tahun 1900 tersebut. Dengan demikian upaya penyelamatan
bangunan bersejarah Tjong A Fie ini mendapat perlindungan penyelamatan dari pemilik sendiri. Namun bukan berarti pemerintah lepas tangan begitu saja.
Pemerintah juga perlu memberikan suatu jaminan perlindungan bagi bangunan- bangunan bersejarah baik yang merupakan milik pemerintah maupun milik
perseorangan. Upaya lain yang dapat dilakukan pemerintah terhadap Bangunan Tjong A Fie
adalah dengan memberikan suatu perlindungan hukum tentang keberadaan bangunan bersejarah tersebut. Misalnya dengan pemberian izin Tjong A Fie menjadi salah satu
ikon bersejarah kota Medan, menjadi objek wisata baik bagi masyarakat lokal maupun dari luar negeri. Dengan demikian, masyarakat bisa mengenal salah satu
Universitas Sumatera Utara
bangunan bersejarah di kota ini dan menumbuhkan rasa memiliki dan keinginan untuk melestarikan, dan dengan adanya pihak dari luar negeri yang mengetahui
keberadaan bangunan Tjong A Fie dapat mengharumkan nama bangsa di mata dunia selain menjadi sumber ekonomi bagi negara yang berasal dari retribusi yang dibayar
oleh pengunjung tersebut. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa salah satu upaya pemerintah
dalam melestarikan bangunan bersejarah adalah dengan memberikan perlindungan bagi bangunan bersejarah tersebut sehingga keberadaannya bisa dipertahankan.
Upaya perlindungan tersebut dapat dilakukan diantaranya adalah dengan mengeluarkan suatu keputusan legalitas keberadaan bangunan tersebut. Untuk itu
pemerintah perlu menetapkan beberapa kriteria atau indikator bangunan yang dianggap sebagai bangunan bersejarah dan harus dilindungi.
4.5.1.1. Kriteria untuk bangunan bersejarah yang harus dilindungi Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan
Unimed Dr. Phill. Ichwan Azhari mengatakan, ratusan bangunan bersejarah peninggalan Belanda yang tersebar di beberapa lokasi di Kota Medan merupakan
daya pikat bagi wisatawan asing. “Jika ini dikelola secara baik, akan menjadi sumber devisa,” kata Ichwan Azhari. Kriteria untuk bangunan bersejarah yang harus
dilindungi yang menjadi landasan hukum adalah : a.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 yang menyatakan : Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Dalam penjelasan dinyatakan
Universitas Sumatera Utara
b. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar
Budaya merupakan wujud murni bahwa penanganan benda cagar budaya dilakukan secara khusus dan dilindungi undang-undang. Sehingga dalam pasal
2 sangat jelas disebutkan, “Perlindungan benda cagar budaya dan situs bertujuan untuk melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan
kebudayaan nasional Indonesia”. c.
Ketetapan MPR Nomor IVMPR1999, dalam Tap MPR tersebut salah satunya menyebutkan “Mengembangkan dan membina kebudayaan nasional Indonesia
yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya nasional yang mengandung nilai-nilai universal termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan hidup bermasyarakat dan membangun peradaban bangsa”.
Universitas Sumatera Utara
d. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1988 mengenai Perlindungan Bangunan di
Kota Medan. Dengan dikeluarkannya Perda tersebut akan melindungi seluruh bangunan bersejarah yang ada di Kota Medan.
e. Sifat Benda Cagar Budaya yaitu :
1. Unik
2. Langka
3. Tidak Dapat Diperbaharui Nonrenewable
4. Tidak bisa digantikan oleh teknologi dan bahan yang sama
5. Signifikan penting berisi bukti-bukti aktivitas manusia masa lampau
Upaya perlindungan yang dilakukan melalui : 1
Penyelamatan
Pemerintah sudah mengeluarkan Undang-undang Perlindungan Benda Cagar Budaya BCB No. 5 Tahun 1992 sebagai upaya melindungi BCB. Dalam UU
tersebut sudah terlampir ancaman dan denda bagi orang yang merusak BCB. Tidak tanggung-tanggung mereka yang merusak, mengambil, atau menjual akan dikenakan
denda Rp. 500.000.000,- dan akan dihukum penjara selama 5 tahun. Agaknya peraturan hukum ini masih lemah jika melihat kenyataan fenomena yang ada. Papan
pengumuman yang bertuliskan larangan merusak BCB yang dipasang di sekitar BCB hanya berfungsi sebagai hiasan pelengkap saja, bahkan sampai berkarat hingga tidak
bisa dibaca.
Universitas Sumatera Utara
Dalam upaya penyelamatan bangunan bersejarah yang ada di Kota Medan mengenai mengapa gedung tertentu yang dipilih, tentunya melihat dari sisi
arsitekturnya, keunikannya, sejarahnya dan juga aspek-aspek budaya yang melekat pada gedung itu. Bahwa ada gedung biasa yang bisa menjadi cagar budaya,
misalnya bangunan Tjong A Fie termasuk dalam kategori bangunan bersejarah dengan melihat aspek budaya dan keunikan dari bangunan tersebut. Walaupun
bangunan Tjong A Fie merupakan bangunan bersejarah namun pemiliknya dapat atau diizinkan melakukan perubahan sejauh tidak merusak nilai budaya dan sejarah yang
terkandung dalam bangunan tersebut. Namun, menurut Fon Prawira : “salah satu ahli waris Tjong A Fie biaya yang dibutuhkan untuk
penyelamatan dan perawatan gedung-gedung kuno itu adalah mahal, khususnya apabila harus mengganti kayu ataupun bahan tembok kapur yang mudah rusak
akibat perkembangan Kota Medan dengan berbagai polusi dan penyebab kerusakan lainnya”.
Adanya tuntutan untuk melestarikan dan merawat bangunan bersejarah namun
dengan keterbatasan dana, tentunya menjadi dilema bagi pemilik bangunan bersejarah Tjong A Fie, dan bangunan bersejarah lainnya. Di satu sisi mereka dituntut untuk
menjaga kelestarian dan keselamatan bangunan tersebut tetapi bagi mereka tidak diberikan suatu imbalan atau insentif yang dapat mereka gunakan untuk menjalankan
kewajiban tersebut. Sebenarnya hal ini perlu menjadi perhatian bagi pemerintah agar masyarakat tidak “bekerja sendiri” dalam melestarikan bangunan-bangunan
bersejarah yang ada.
Universitas Sumatera Utara
Pada sisi yang lain, mereka pun seharusnya tunduk kepada kewajiban budaya untuk merawat warisan nenek moyang mereka dan kewajiban hukum untuk
menjaga arsitekturnya tidak berubah misalnya apabila ada penambahan anggota keluarga maka akan dilakukan penambahan ruangan dengan menyekat ruangan atau
menambah bangunan baru dengan cara kamarnya disekat dengan triplek saja tanpa membangun kamar beton baru. Masalahnya, kesadaran dalam dua komponen ini
sangatlah kurang. Pemerintahnya tidak sadar budaya dan bahkan dalam sejumlah hal masih anti dengan warisan budaya, pada sisi lain, masyarakat sendiri juga sudah
kurang peduli budaya dan berubah menjadi zoon economicon yang beranggapan bahwa apa yang kuno itu adalah merepotkan, usang dan ketinggalan jaman.
Berkaca dari itu semua, sebenarnya masyarakat yang sadar budaya masih bisa berperan. Kalau punya posisi atau lembaga, gunakan untuk menekan pemerintah
untuk peduli dan pada sisi lain menyadarkan masyarakat pemilik Benda Cagar Budaya mengenai arti pentingnya. Kalaupun tidak punya tenaga, waktu atau uang,
yaa bisa mengeluh lewat milis, surat pembaca atau hal-hal semacam itu. Kalau kaya dan berkuasa, yaa, apa salahnya menyisihkan sebagian dana untuk mendirikan
lembaga yang bertugas menginventarisasi kekayaan budaya ini dalam arti yang sesungguhnya dan bukan artifisial atau untuk kepentingan koleksi pribadinya belaka
untuk kemudian mendorong upaya perawatan dan konservasinya misalnya kalau pemiliknya kesulitan biaya, yaa, menyediakan dana perawatan dan bahkan tenaga
yang cakap untuk menjaganya.
Universitas Sumatera Utara
Puluhan orang dari berbagai elemen pembela gedung bersejarah dan pecinta gedung tua berkumpul di hall Rahmat International Wildlife Gallery, Sabtu 29 Mei
2010, untuk menggalang komitmen, memberikan reaksi, serta perencanaan aksi berkelanjutan, menyusul perubuhan bangunan tua yang semakin gencar di Kota
Medan baru-baru ini. Setelah mufakat melembagakan gerakan di bawah organisasi bernama Dewan Kota Masyarakat Sipil, para peserta turun melakukan aksi unjuk rasa
ke lokasi bangunan terakhir yang dirubuhkan, yaitu dua gedung di sudut Jalan Gwangju-Ahmad Yani, Kesawan.
Anggota DPD RI dari Sumut, Rahmat Shah, selaku fasilitator pertemuan mengimbau agar gerakan yang dilembagakan ini dapat menyatukan elemen-elemen
yang selama ini melakukan aksi secara parsial. Kita tidak bisa berharap terlalu banyak pada pejabat di Kota Medan, oleh
karena itu perlu gerakan sosial yang tertib dan damai, ungkapnya. Ia juga menekankan bahwa perubuhan gedung yang telah masuk dalam Perda bukan
lagi bersifat delik aduan. Oleh sebab itu, pihak kepolisian dapat bertindak dengan menangkap langsung pelaku utama perubuhan gedung tersebut.
Semestinya polisi tak menunggu lagi, sebab ini pidana. Sedangkan untuk melindungi bangunan yang belum masuk dalam daftar Perda, kita harus segera
melakukan inventarisasi seluruh aset bersejarah di Sumatera Utara, dan mendorong dilakukannya revisi Perda sesegera mungkin, tambahnya.
Dalam pertemuan tersebut, hadir para pengurus BWS, sejarahwan Ichwan
Azhari, Dirk Buiskool, sosiolog Bungaran A. Simanjuntak, Kepala Departemen Sejarah USU Ratna, Inside Sumatera, pemerhati lingkungan Jaya Arjuna, pengurus
Ikatan Arsitektur Indonesia IAI Medan, PUSSIS-UNIMED, para mahasiswa Jurusan Sejarah dari UNIMED, Universitas Sumatera Utara, dan sejumlah pecinta
sejarah Kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
Sekretaris BWS, Rika Susanto, menyebutkan : “program-program gerakan penyelamatan gedung warisan, tidak selamanya
diartikan sebagai pelarangan terhadap perubuhan bangunan tua. Namun, menurutnya, ada aturan dan prosedur yang harus dipatuhi semua pihak,
terutama pemerintah kota, untuk melakukan pembangunan. Lihatlah misalnya gedung Balaikota di Hotel Aston, Lonsum, Kantor PTPN IV, dan aset bersejarah
milik H. Anif Shah. Aston, misalnya, mereka tidak merubuhkan gedung lama, tapi tetap bisa membangun hotel berbintang lima di belakangnya. Ke depan, kita
sebenarnya tidak hanya melakukan gerakan penentangan, tapi juga akan memberikan penghargaan kepada pihak-pihak yang turut melestarikan bukti-
bukti sejarah dan identitas kota, paparnya. Ia juga menegaskan bahwa lembaga Dewan Kota Masyarakat Sipil akan berjuang untuk mendesak pemerintah
memberikan insentif dan keistimewaan kepada pihak yang melestarikan bangunan bersejarah”.
Pada saat yang sama, Ichwan Azhari selaku salah seorang formatur
pembentukan Dewan Kota Masyarakat Sipil menegaskan : “pihaknya akan melakukan aksi dan tekanan yang lebih militan terhadap
pihak-pihak yang masih ingin melakukan perubuhan bangunan tanpa melewati prosedur yang seharusnya”.
2 Pengamanan
Yang dimaksud dengan upaya pengamanan adalah pencegahan terhadap gangguan perbuatan manusia yang dapat mengakibatkan kerugian fisik dan nilai
benda. Dasar hukum pengamanan ini adalah Undang-Undang No. 5 tahun 1992.
Salah satu cara untuk mensosialisasikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 adalah melalui penyuluhan, baik melalui seminar, diskusi, pameran industri pariwisata dan
aktivitas pemerhati arsitektur bangunan bersejarah. Kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan sikap mempertahankan, melindungi, dan merawat bangunan
bersejarah dari para pemilik atau pengelola bangunan bersejarah. Sosialisasi Undang-
Universitas Sumatera Utara
Undang No. 5 Tahun 1992 dapat dilakukan oleh pemerintah ataupun pihak lain yang
peduli pada pelestarian bangunan bersejarah.
Pemerintah telah berusaha melindungi cagar budaya dengan mengeluarkan UU No 51992. Secara teori UU No 51992 cukup kuat sebagai pelindung cagar
budaya yang kita miliki terhadap ancaman kerusakan. Realitas memperlihatkan kerusakan dan hilangnya banyak cagar budaya yang kita miliki semakin parah.
Meskipun Undang-Undang tersebut juga menyebutkan batasan, hak, kewajiban, dan hukumannya bagi orang yang melanggarnya. Namun sampai sekarang masih banyak
benda cagar budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia hilang dan rusak. Di Kota Medan juga banyak cagar budaya yang hilang atau rusak, bahkan
sudah berganti bangunan. Misalnya, eks Gedung Kerapatan Adat Deli pada tahun 1989, bangunan SMPN I Medan pada tahun 1999, eks bangunan Mega Eltra tahun
2001, villa kembar yang berlokasi di Jalan Diponegoro Medan, dan masih banyak lagi. Sedangkan untuk bangunan Tjong A Fie, pengamanan dilakukan oleh pihak
pemilik sendiri dan peranan pemerintah belum ada.
3 Perizinan
Perizinan dilakukan melalui pengawasan dan perizinan, baik dalam bentuk ketentuan atau ketetapan maupun tindakan penertiban terhadap lalu lintas benda cagar
budaya. Kegiatannya berupa mengeluarkan ijin pemanfaatan untuk kepentingan pendidikan Siswa sekolah dan keagamaan. Contohnya adalah pemberian izin kepada
bangunan Tjong A Fie untuk dijadikan sebagai tempat kunjungan budaya bagi pelajar
Universitas Sumatera Utara
kota Medan maupun dari daerah lainnya. Bagi pemilik Tjong A Fie diberikan izin untuk memungut biaya sebesar Rp 35.000,- per orang bagi pengunjung umum. Dan
tidak setiap hari keluarga Tjong A Fie membuka pintu bagi pengunjung-pengunjung tersebut. Hanya pada hari-hari tertentu misalnya pada saat Pekan raya Sumatera, atau
adanya inisiatif dari pemilik gedung untuk memperkenalkan bangunan Tjong A Fie kepada para turis atau bagi pencinta bangunan bersejarah. Dari uang tersebutlah
digunakan sebagai sumber dana untuk melestarikan dan merawat bangunan ini. Pemko Medan diminta tidak mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan IMB
terhadap bangunan baru yang didirikan di atas bangunan yang dihancurkan, terutama di kawasan sejarah. Direktur Pusat Studi Ilmu Sosial dan Ilmu Sejarah Pussis
Unimed Dr Phill Ichwan Azhari mengatakan: “saat ini satu demi satu bangunan bersejarah di kawasan jalur hijau
bersejarah di Kota Medan dirobohkan atau berubah fungsi. Salah satu contoh gedung bersejarah yang saat ini sudah diratakan dengan tanah adalah gedung tua
eks perumahan DSM di perempatan Jalan Timor Medan. Kemudian rumah tua di Jalan Gwang Ju kawasan Kesawan yang sudah dihancurkan untuk diganti dengan
gedung baru. Menurut dia, penghancuran gedung-gedung bersejarah tersebut nantinya dikhawatirkan menghancurkan identitas kota. ”Kita akan terus melihat
pembinasaan jejak historis dan peradaban kota yang penting, tanpa kita mampu mencegahnya. Untuk itu diperlukan komitmen Pemko Medan untuk tidak
mengeluarkan izin terhadap pembangunan gedung-gedung baru di kawasan bersejarah tersebut,” katanya pada diskusi penyelamatan sejarah di Rahmat Gallery,
Jalan Letjend S Parman, Sabtu 295.
Dia melanjutkan, penyelamatan benda bersejarah di Medan juga tidak boleh
direduksi atas bangunan-bangunan tua saja. Menurutnya : “keberadaan kawasan bersejarah dan semua yang ada di atasnya juga saat
ini perlu menjadi pusat perhatian untuk diselamatkan”.
Universitas Sumatera Utara
Ichwan pun meminta DPRD Kota Medan untuk segera mengeluarkan perda pelarangan merobohkan bangunan-bangunan bersejarah yang berada di kawasan
sejarah. Dengan adanya aturan tersebut, Pemko Medan dapat digugat jika tetap mengeluarkan izin IMB terhadap pembangunan gedung baru yang berdiri di atas
gedung bersejarah yang dihancurkan. ”Untuk itu diperlukan aliansi dan desakan berbagai elemen agar hal itu
dapat terwujud dan dapat dikontrol pelaksanaannya. Dengan cara ini, pengusaha akan berpikir untuk membeli dan mengambil alih bangunan-
bangunan bersejarah yang berada di kawasan bersejarah,” katanya.
4.5.2. Pemeliharaan
Pemeliharaan merupakan upaya untuk melestarikan benda cagar budaya dari kerusakan yang diakibatkan oleh manusia dan alam. Sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya bahwa upaya pemeliharaan bangunan bersejarah belum maksimal dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Pemerintah berperan mengeluarkan
peraturan yang bersifat mengikat dan memaksa, sedangkan masyarakat terutama pemilik bangunan tersebut berperan menjaga keberadaan bangunan dengan cara tidak
menjual atau mengganti bangunan tersebut dengan bangunan baru. Masalah yang dihadapi oleh masyarakat pemilik adalah tekanan ekonomi dan
adat istiadat yang mendorong akhirnya bangunan yang biasanya merupakan warisan keluarga tersebut harus berpindah tangan untuk mendapatkan uang. Disinilah
pemerintah harus berperan mencari solusi dari dilema tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Upaya pelestarian benda-benda sejarah tersebut bukan hanya menjadi tugas dari pemerintah saja, tetapi juga peran serta dari masyarakat. Karena banyak diantara
bangunan-bangunan bersejarah tersebut merupakan bangunan milik pribadi yang diwariskan secara turun-temurun. Sering sekali bangunan bersejarah tersebut dijual
karena alasan pembagian harta warisan atau keinginan untuk merubah model bangunan ke arah yang lebih modern. Oleh karena itu, perlu kiranya upaya
penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya menjaga dan melestarikan bangunan-bangunan bersejarah tersebut. Upaya panyadaran dapat dilakukan dengan
penanaman pemahaman kepada masyarakat mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Menurut Rika Sutanto Sekretaris Badan Pengurus Badan Waris Sumatera BWS mengatakan
“bagaimanapun kampanye kesadaran terhadap cagar budaya itu memang perlu. Banyak orang yang setuju bahwa peninggalan bangunan bersejarah itu
perlu dilestarikan, dijaga keberadaannya, dihormati sedemikian rupa agar tidak menghilangkan jejak sejarah. Misalnya buat para murid sekolah juga perlu
ditingkatkan apresiasinya, diajak mengunjungi bangunan-bangunan bersejarah sambil mengenali, memahami dan memperdalam apresiasi mereka terhadap
peninggalan nenek moyang tersebut. Kalau menemukan benda cagar budaya, laporkan dan serahkan pada pemerintah. Jangan mencoret, merusak atau
apalagi mengambil benda-benda cagar budaya untuk kepentingan pribadi dan lebih-lebih untuk diperjualbelikan. Dan berbagai upaya pendidikan lainnya”.
Harus diakui, bahwa keberadaan benda-benda cagar budaya berupa candi,
arca dan semacamnya memang sangat sedikit atau belum memberikan manfaat secara langsung bagi penduduk sekitarnya. Dengan adanya berbagai macam peraturan
dan larangan itu seolah-olah mereka dan masyarakat pada umumnya mau tak mau
Universitas Sumatera Utara
harus menerima beban sejarah, bahwa cagar budaya itu penting, bermutu tinggi, bernilai, harus dihormati keberadaannya dan sebagainya, tetapi mereka tidak
mendapatkan kontribusi apa-apa dari beberadaan cagar budaya tersebut. Jadi, ketika masyarakat terus menerus diserbu dengan larangan dan peraturan serta ditingkatkan
kesadarannya, sementara mereka tidak mendapatkan apapun, maka yang terlintas di kepalanya adalah bagaimana mendapatkan keuntungan tersendiri dari benda cagar
budaya. Kalau semula mereka tak acuh terhadap arca misalnya, ketika ada informasi bahwa arca yang tergeletak di desanya bernilai tinggi, muncullah keinginan untuk
mengambil dan menjualnya. Mereka yang suka mencuri benda-benda purbakala itu sesungguhnya telah memiliki apresiasi yang tinggi terhadap cagar budaya. Mereka
tahu persis, arca yang bagaimana yang bagus, yang punya nilai sejarah tinggi, dan tentunya juga punya nilai jual tinggi. Tak jarang mereka mengecoh petugas dengan
memberi tambahan ukiran-ukiran pada peninggalan-peninggalan sejarah untuk menyamarkan kegiatan penyelundupan yang akan dilakukannya. Disinilah muncul
buah simalakama itu. Bagaimana memberikan kontribusi positif bagi masyarakat terhadap keberadaan benda cagar budaya itulah yang seharusnya sekarang ini perlu
dipikirkan semua pihak. Peraturan, larangan dan segala seruan itu tak bakal punya makna apa-apa karena masyarakat tidak punya peluang untuk mendapatkan manfaat
dari keberadaan benda cagar budaya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Dr. Phill Ichwan Azhari bahwa : “dalam upaya untuk melestarikan benda cagar budaya, diperlukan
melibatkan masyarakat dalam melindungi cagar budaya. Pada kenyataannya, kesadaran itu belum sepenuhnya tumbuh. Masyarakat secara luas masih perlu
ditanamkan kesadaran sehingga mereka mau aktif ikut mengamankan dan melindungi benda cagar budaya. Kesadaran itu perlu ditumbuhkan sedari
kanak-kanak melalui pendidikan di sekolah. Dalam upaya memupuk kesadaran tersebut, anak-anak diajak ke situs cagar budaya dan diberikan pengertian
bahwa benda cagar budaya atau peninggalan sejarah dari religi atau etnis apa pun merupakan hasil karya manusia. Adapun faktor-faktor yang turut
mempengaruhi keberhasilan suatu program pelibatan masyarakat dalam pengembangan DTW Daerah Tujuan Wisata adalah: dialog dengan umpan
balik dari masyarakat; kejujuran dan keterbukaan; pelibatan dari awal; dan komitmen terhadap masyarakat”.
Jika masyarakat lokal dilibatkan sejak awal dan diberi kesempatan untuk
menyampaikan aspirasinya, maka mereka akan lebih bersemangat dalam mendukung upaya pengembangan pariwisata, dan pada akhirnya mereka akan dengan sukarela
mendukung kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pariwisata seperti membagi informasi tentang pariwisata didaerahnya. Untuk meningkatkan peran serta dan
motivasi keterlibatan masyarakat dalam pengembangan daerah tujuan wisata, maka diperoleh kejelasan keterlibatan mereka baik pada tahap pelaksanaan, pengambilan
keputusan dan pemantaun atau pengendalian. Dengan demikian diharapkan akan muncul rasa memiliki dan tanggung jawab dalam diri masyarakat terhadap
pengembangan pariwisata termasuk pariwisata budaya di daerahnya. Pesatnya pembangunan di kota Medan dalam 1 dekade terakhir berimbas bagi
rusaknya bangunan-bangunan bersejarah di Kota Medan sampai Belawan. Berdasarkan data yang dilakukan oleh Badan Warisan Sumatera BWS, tercatat ada
600 bangunan bersejarah di kota Medan dengan berbagai kondisinya, kini terancam
Universitas Sumatera Utara
punah, jika pihak pemerintah tidak serius untuk melestarikannya. Ketua Badan Pengurus BWS, Nicolaus Simamora mengatakan :
“seharusnya bangunan-bangunan bersejarah itu dilestarikan, karena bangunan bersejarah juga memiliki nilai ekonomis. Dikhawatirkan nanti, jika bandar udara
sudah berpindah, maka kota Medan ditakuti berkembang tanpa mengindahkan bangunan-bangunan warisan bersejarah. Sebisa mungkin, kota medan di tiap
distrik-distrik tetap memiliki bangunan warisan budaya. Sehingga identitas kota tetap terjaga”.
Nicolaus juga mengatakan :
“ada dua bangunan bersejarah yang sudah dihancurkan yaitu Villa kembar, yang berlokasi di Jalan Diponegoro Medan. Seharusnya jika memang lahan
tersebut digunakan untuk pembangunan hotel atau bussines centre, bisa dikonsultasikan dengan cara memadukan bangunan lama dan bangunan baru.
Nicolaus mencontohkan pembangunan Grand Aston City Hall, Bangunan baru yang dipadukan dengan bangunan lama Kantor Walikota Medan atau City
Hall”.
Sebagai bentuk continuitas pelestarian bangunan bersejarah di kota Medan,
BWS berupaya memberikan edukasi kepada pemilik bangunan-bangunan lama untuk mencintai bangunan miliknya tersebut. Sebab tidak semua kota di Indonesia ini
memiliki warisan bangunan bersejarah. Sementara Jhon Tylor, Konsultan Program Study Pelestarian Cagar Budaya asal Amerika didampingi Konsul Amerika Stanly
Harsa pada pertemuan dengan Wagubsu Gatot Pudjo Nugroho, di ruang kerja mengatakan :
“potensi Sumut bisa menerapkan penataan kota yang sama persisnya dengan Solo. Dengan memperbaiki struktur kaki lima yang demokratis lokal,
akses umum, dan pasar, dan perencanaan kota sehingga bisa terbentuk tata kota berkarakter Solo, dengan tidak menghilangkan identitas daerah”.
Universitas Sumatera Utara
Pelestarian dan pemanfaatan bangunan bersejarah bukannya tanpa kendala, mulai dari yang kasat mata hingga yang tersembunyi. Beberapa kendala tersebut
dapat dijabarkan yaitu : 1.
Lemahnya Law Enforcement pelaksanaan hukum Dengan adanya UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, tidak
menjamin upaya pelestarian bangunan-bangunan pusaka, terutama yang memiliki nilai sejarah dan budaya serta arsitektur yang khas. Sering karena dalih
pembangunan, suatu bangunan bersejarah atau kawasan pusaka berubah fungsi dan rupa, bahkan dihancurkan. Padahal pembangunan tetap dapat dilaksanakan tanpa
harus mengorbankan nilai-nilai pusaka suatu bangunan atau kawasan. Untuk merumuskan langkah dan payung hukum bagi upaya perlindungan dan
pelestarian tinggalan sejarah yang dimiliki seperti dalam bentuk peraturan daerah perda yang mengatur tentang Pelestarian Bangunan dan Lingkungan yang
Bersejarah Arsitektur Kepurbakalaan terdapat pada Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1988 sudah tidak relevan lagi, sehingga pemda harus segera membuat perda
baru yang lebih komprehensif untuk memperhatikan kelestarian dan menindak kriminalisasi terhadap BCB yang dimiliki. Pengaturan ini diharapkan bisa dijadikan
landasan hukum bagi pemerintah ataupun masyarakat, dalam beraktifitas yang ada hubungannya dengan BCB.
Universitas Sumatera Utara
2. Ekonomi
Isu ini memang seakan menjadi dilema, terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia. Di satu sisi, kita dihadapkan pada kenyataan harus membangun,
di sisi lain juga memiliki kewajiban moral untuk melestarikan aset pusaka kota dan negara. Bagi instansi pemerintah dan sektor industri, isunya adalah apakah
pelestarian bangunan pusaka menjadi hal yang penting, bila kenyataannya bangunan-bangunan tersebut tidak menghasilkan keuntungan secara ekonomis, dan
daripada memelihara bangunan lama yang tidak produktif ditambah pemikiran bahwa merawat bangunan lama lebih mahal dibanding membangun yang baru,
lebih baik membangun yang baru dan bisa memberi keuntungan ekonomis seperti : mal, ruko, dan lain sebagainya.
3. Pendidikan
Mayoritas pelaku wisata pusaka di negeri itu adalah para baby boomer generasi yang lahir akhir 1940-an hingga 1950-an. Akibatnya, banyak dari
generasi ini yang mengenyam pendidikan lebih baik dan lebih tinggi, dan sukses secara karier ketika memasuki usia produktif. Hasilnya pada saat generasi ini
memasuki usia mapan tahun 1990-an, mereka menginginkan suatu pengalaman wisata yang tidak lagi bersifat rekreatif semata, namun juga bermuatan pendidikan
dan budaya, seperti pariwisata pusaka atau melihat bangunan-bangunan bersejarah yang ada di Kota Medan. Jadi pada dekade 1990-an lah pariwisata pusaka mulai
menjadi tren di negeri tersebut, walaupun isu pelestarian sudah muncul beberapa
Universitas Sumatera Utara
dekade sebelumnya. Dengan semakin baiknya mutu dan tingkat pendidikan seseorang umumnya akan lebih merangsang keingintahuannya.
Hal yang sama setidaknya juga diidealkan pada masyarakat yang telah mengalami pendidikan yang lebih baik. Pada masa itulah masyarakat didikan tersebut
akan menuntut pengalaman baru dalam wisata pendidikan pada tempat-tempat warisan budaya seperti bangunan Tjong A Fie, Restaurant Tip Top, Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara dan lain sebagainya. Perkembangan inilah yang seharusnya ditangkap oleh pemerintah Kota Medan, yaitu perkembangan
pendidikan di kotanya yang mengarah kepada tingkat kekritisan masyarakatnya yang semakin meningkat. Sehingga tidak begitu saja masyarakat Kota Medan dan
sekitarnya sebagai konsumen wisata budaya bangunan-bangunan bersejarah ini mau begitu saja dibohongi mentah-mentah oleh upaya rekayasa picik dalam pemugaran
bangunan-bangunan tersebut.
Upaya pemeliharaan dilakukan melalui : a.
Konservasi dan Pemugaran
Sebagai benda buatan manusia dari masa lampau, kondisi Benda Cagar Budaya yang baru ditemukan umumnya dalam kondisi rusak dan tidak terawat,
sehingga diperlukan upaya penanganan yang tepat terhadap Benda Cagar Budaya yang baru ditemukan. Hal ini perlu dilakukan dalam upaya untuk menghindarkan
terjadinya kerusakan yang lebih parah. Kerusakan Benda Cagar Budaya yang dijumpai umumnya karena pengaruh lingkungan. Iklim Indonesia yang lembab
menjadikan Benda Cagar Budaya yang terbuat dari kayu menjadi cepat lapuk.
Universitas Sumatera Utara
Kerusakan yang disebabkan oleh lingkungan biotik juga memperparah kondisi Benda Cagar Budaya.
Sebelum menangani Benda Cagar Budaya lebih jauh, yang pertama sekali harus diperhatikan adalah pengenalan bahan, karena Benda Cagar Budaya terbuat dari
bahan yang tidak sama. Benda Cagar Budaya yang terbuat dari batu akan berbeda penanganannya dengan Benda Cagar Budaya yang terbuat dari kayu, logam atau
kertas. Setiap jenis bahan Benda Cagar Budaya memiliki spesifikasi tersendiri, sehingga penanganannya akan berbeda. Salah dalam menangani Benda Cagar Budaya
tentu akan memberi dampak buruk bagi Benda Cagar Budaya tersebut. Kegiatan penanganan Benda Cagar Budaya atau disebut dengan kegiatan
konservasi adalah kegiatan dalam rangka menangani Benda Cagar Budaya guna memperpanjang usia BCB tersebut. Namun kegiatan ini bukan berarti menjadikan
Benda Cagar Budaya tersebut abadi. Harus disadari, Benda Cagar Budaya yang terbuat dari bahan organik lambat laun juga akan hancur, disinilah peranan konservasi
dibutuhkan. Tujuan konservasi adalah memperpanjang usia Benda Cagar Budaya dan menyelamatkannya dari kerusakan yang lebih parah.
Seperti rumah mantan saudagar kaya yang juga bangunan cagar budaya Tjong A Fie mengalami pelapukan. Ciri bangunan yang berusia 108 tahun ini mulai hilang
di bagian-bagian penting. Pada awal Desember lalu, ahli waris mendirikan The Tjong A Fie Memorial Institute yang bergerak di bidang kebudayaan dan pendidikan. Ketua
Asosiasi Museum Indonesia AMI Sumatera Utara Ichwan Azhari mengatakan :
Universitas Sumatera Utara
“kawasan sekitar rumah Tjong A Fie merupakan warisan sejarah bernilai tinggi. Di kawasan inilah potret awal pembangunan Kota Medan berlangsung. Rumah
Tjong A Fie tidak boleh berubah fungsi karena telah dilindungi oleh Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Pelestarian Bangunan dan Lingkungan
yang Bernilai Sejarah Arsitektur dan Kepurbakalaan”.
Bangunan bergaya campuran art deco, Tionghoa, dan pengaruh Barat ini terancam kerusakan serius.
”Sepuluh tahun terakhir tidak ada bantuan biaya renovasi bangunan ini. Padahal, kami selaku ahli waris sudah menyampaikannya kepada pihak
pemerintah maupun swasta,” tutur salah satu ahli waris keluarga Tjong A Fie, Fon Prawira.
Selain pelapukan, sistem sanitasi rumah juga tidak berfungsi lagi sehingga
kerap bagian dalam rumah tergenang air. Pihak keluarga, katanya, tidak berani memperbaiki kerusakan yang ada.
”Badan Warisan Sumatera pernah menyarankan agar dilakukan renovasi rumah ini,” kata Fon Prawira. Pihak keluarga, katanya, “menggugah kepedulian
banyak pihak untuk turut menjaga bangunan bersejarah ini. Berdasarkan pembicaraan awal dengan konsultan arsitektur, renovasi total bangunan ini
membutuhkan sedikitnya Rp 3 miliar”.
Kasi Sejarah dan Kepurbakalaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota
Medan Dra. Adriani Wawancara dilakukan pada tanggal 11 Maret 2010 menuturkan bahwa :
“memberikan dana untuk konservasi bagi bangunan-bangunan bersejarah termasuk bangunan Tjong A Fie, Restaurant Tip Top dan bangunan bersejarah
lainnya, dengan cara pengecetan kembali bangunan-bangunan yang sudah tidak terawat lagi serta memberi bantuan untuk perawatan bangunan-bangunan
tersebut”.
Universitas Sumatera Utara
Namun ketika dikonfirmasikan dengan pemilik Tjong A Fie, menyatakan : “belum pernah menerima bantuan dana dari pemerintah termasuk dana untuk
konservasi dan pemugaran bangunan tersebut. Seperti biaya untuk pengecatan, perbaikan bagian-bagian yang rusak dan sebagainya, malah menggunakan dana
pribadi mereka”.
Demikian juga halnya dengan Restaurant Tip Top, mereka melakukan
pemugaran dan perbaikan dengan menggunakan dana sendiri. Apalagi Restaurant ini masih beroperasi sampai dengan saat ini sehingga otomatis tetap membutuhkan
perbaikan guna meningkatkan daya tarik bagi konsumen dengan tetap menjaga bentuk bangunan masa lalu.
4.5.3. Dokumentasi atau Publikasi
4.5.3.1. Mempromosikan peninggalan kolonial yang tersebar di Kota Medan Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan
Unimed Dr. Phill. Ichwan Azhari mengatakan : “ratusan bangunan bersejarah peninggalan Belanda yang tersebar di
beberapa lokasi di Kota Medan merupakan daya pikat bagi wisatawan asing. “Jika ini dikelola secara baik, akan menjadi sumber devisa,” kata Ichwan
Azhari.
Hingga saat ini, Medan sekedar tempat transit wisatawan asing yang akan
mengunjungi kawasan wisata di Sumatera Utara, karena tidak ada yang bisa ditawarkan agar mereka mau tinggal sehari atau dua hari di sana.
“Kalau kita hanya menyuguhkan mall atau gedung modern, pasti tidak akan menarik perhatian mereka, karena yang mereka cari adalah tempat yang
memiliki jejak masa lalu yang mengesankan seperti bangunan kuno di sekitar Lapangan Merdeka,” ujarnya.
Universitas Sumatera Utara
Ia mengatakan : “konsep pariwisata di berbagai negara juga tidak melulu menawarkan objek
wisata yang memiliki pemandangan alam. Banyak kota di negara lain yang dikunjungi wisatawan karena kota itu menawarkan situs bangunan kuno.
Padahal Kota Medan memiliki modal untuk menjaring wisatawan dengan bangunan kuno”.
Menurut Dr. Phil Ichwan Azhari, salah satu yang harus dilakukan adalah
“melestarikan bangunan bergaya arsitektur sebelum tahun 1940-an yang sebagian besar merupakan peninggalan Kolonial Belanda”.Kota Medan dapat
mencontoh Roma, Paris, London, dan Amsterdam, kota yang setiap tahun mendapat kunjungan jutaan turis yang justru lebih tertarik menikmati “atmosfir
sejarah” yang unik dengan bangunan-bangunan tua. Seharusnya, kata dia, penguasa dan pengusaha di Kota Medan lebih mampu melihat nilai komersial
pelestarian warisan sejarah kota itu sekaligus memandangnya sebagai bisnis properti yang menguntungkan. “Para pejabat kita sudah seharusnya mulai peka
terhadap hal-hal seperti ini, apalagi mereka sering melakukan studi banding ke luar negeri,” katanya.
Penasehat Badan Warisan Sumatera BWS Dirk A. Buiskool mengatakan : “bangunan bersejarah merupakan salah satu sumber pendapatan untuk
menambah devisa melalui kunjungan wisatawan mancanegara. Oleh karena itu, kata Buiskool, dirinya menyayangkan niat Pemko Medan membangun kota
metropolitan dengan menghadirkan pusat perbelanjaan modern dan gedung pencakar langit justru harus dengan mengorbankan keberadaan bangunan
bersejarah tersebut. Bangunan-bangunan bersejarah telah dikorbankan demi nafsu pembangunan yang dicanangkan Pemko Medan. Padahal jika bangunan
bersejarah itu dikelola dengan baik bisa mendatangkan devisa yang sangat besar. Ia menyebut sejumlah bangunan bersejarah yang telah dikorbankan untuk
pembangunan kota itu, seperti Gedung Mega Eltra di Jalan Brigjen Katamso yang dulunya adalah kantor dagang perusahaan Belanda bernama “Lindeteves-
Stokvis” yang dihancurkan pada 2002 untuk pembangunan Palm Plaza.
Asmyta Surbakti, pengurus BWS, mengatakan :
“bangunan bersejarah di Kota Medan yang dulunya sebagai Kota Paris van Sumatera dapat ditransformasikan dari modal budaya menjadi modal ekonomi
dan selanjutnya menjadi modal simbolik. Bentuk yang ditawarkan adalah pengembangan pariwisata budaya berbasis bangunan bersejarah yang ada di
Kota Medan dan sekitarnya.“Pariwisata budaya merupakan aktivitas yang
Universitas Sumatera Utara
memungkinkan para wisatawan mengetahui dan memperoleh pengalaman tentang perbedaan cara hidup orang lain, merefleksikan adat-istiadatnya, tradisi
religiusnya dan ide-ide intelektual yang terkandung dalam pusaka budaya yang belum dikenalnya,” ujarnya. Harian Sinar Indonesia Baru, 2 November 2008.
4.5.3.2. Peranan media massa dan elektronik untuk membantu mempromosikan bangunan sejarah sebagai objek wisata yang harus dikembangkan.
Menurut Rika Sutanto Sekretaris Badan Pengurus Badan Waris Sumatera BWS Wawancara pada tanggal 15 Maret 2010 mengatakan bahwa :
“peranan media massa dan elektronik sangat besar. Benda Cagar Budaya merupakan media yang sederhana namun efektif untuk belajar tentang
kebudayaan. Dengan mengetahui latar belakang, aspek kognitif dan arti simbolis di balik suatu benda cagar budaya, orang bisa belajar mengapresiasi benda-
benda cagar budaya. Pemahaman ini bermuara pada meningkatnya kesadaran budaya. Bagaimana pun, tak dapat disangkal bahwa “masa kini adalah hasil
daripada perkembangan masa silam, sedangkan dalam masa kini terletak benih- benih masa depan”.
Salah satu media massa yang berperan penting dalam pelestarian benda
bersejarah tersebut adalah media televisi. Televisi dapat menyajikan berbagai bentuk tayangan yang menjadi ajang promosi dan sosialisasi keberadaan bangunan
bersejarah di Kota medan khususnya. Namun sayangnya saat ini, program-program yang mengangkat keberadaan bangunan bersejarah tersebut masih sangat sedikit
karena kurang mengandung nilai jual.
Universitas Sumatera Utara
4.6. Analisis Peranan Pemerintah Kota dan Badan Warisan Sumatera BWS
dalam Melestarikan Bangunan Bersejarah di Kota Medan
Lagi-lagi dan tidak henti-hentinya pemerintahan Kota Medan lebih mementingkan azas ekonomi dibanding warisan sejarah. Indonesia mengalami
perubahan sejarah dari masa ke masa. Kemajuan suatu daerah atau kota ditandai dengan pertumbuhan perekonomian dan pembangunan. Baik pembangunan
infrastruktur yang meliputi fasilitas umum dan bangunan gedung pemerintahan, pasar, rumah sakit, ruko dan yang paling marak belakangan ini adalah permukiman
penduduk yang ditawarkan para pengembang developer. Kaum modalis tetap menang dibanding kepentingan identitas Kota Medan. Seiring dengan proses
pertumbuhan yang sedemikian pesat, kita dalam hal ini pemerintah daerah atau kota terkadang lupa atau melupakan bahwa di balik kemajuan suatu daerah atau kota
berawal dari berdirinya bangunan tua bersejarah atau tradisional. Dengan alasan pelebaran jalan, pembuatan jalur hijau dan seterusnya, pemda
melakukan pembebasan lahan untuk keperluan tersebut. Begitu banyak rupiah yang dikeluarkan oleh pemda untuk hal itu, tetapi apakah pernah terlintas di pikiran bahwa
menggusur bangunan tradisional sama dengan menghapus sejarah, paling tidak sejarah perkembangan arsitektur kota. Membangun suatu daerah tidak selalu
berimplikasi pada hal-hal yang positif saja, melainkan yang negatif pun ada. Sekarang bagaimana meminimalkan yang negatif tersebut. Di sinilah kebijakan pemda lebih
banyak berperan dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Pembangunan suatu daerah hendaknya tidak meninggalkan akar budaya lokal dalam hal ini arsitektur tradisional.
Universitas Sumatera Utara
Kemajuan suatu daerah bukan diukur dari banyaknya bangunan modern yang megah dengan segala fasilitasnya, tetapi bagaimana memadupadankan bangunan
lama dengan bangunan baru secara harmonis tanpa harus saling mendominasi. Memang tidak mudah tetapi bukan berarti tidak bisa dilakukan.
Berdasarkan penemuan-penemuan BCB Benda Cagar Budaya yang terselamatkan, perjalanan sejarah Indonesia diawali dari masa kolonial Belanda.
BCB memiliki arti penting dalam bagi pemahaman dan perkembangan sejarah, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya, kata Soekarno. Perlu introspeksi diri, apakah kita ini bangsa
yang besar? Walaupun Cuma seonggok batu atau reruntuhan bangunan, ini merupakan identitas bangsa Indonesia. Kemegahan bangunan-bangunan kuno
tersebut merupakan suatu seni arsitektur yang luar biasa di masa lampau. Sangatlah bijak jika dalam menata kehidupan yang sekarang kita menengok di masa lalu.
Ada tiga penyebab hancurnya warisan bangunan bersejarah tersebut, pertama adalah karena adanya tekanan lingkungan enviromental presuress seperti gempa
bumi dan banjir. Kedua adalah akibat tekanan ekonomi economically presuress seperti urbanisme yang melonjak di perkotaan. Yang terakhir adalah adanya tekanan
politik political presuress seperti pemerintah, kelompok etnis dan agama maupun perbedaan persepsi sejarah terhadap warisan tersebut.
Gagasan untuk pencegahan agar bangunan bersejarah itu tidak kembali dirubuhkan, sering kali menghadapi
benturan, terutama diakibatkan oleh perbedaan persepsi dari setiap orang, baik yang berada di lingkungan warisan bangunan bersejarah maupun dari luar lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
Keadaan ini sering kali berujung pada konflik dan pemusnahan warisan. Oleh karena itu, perlu adanya kesamaan persepsi dan cara pandang terhadap warisan bangunan
bersejarah tersebut. Misalnya Titi Gantung yang berada di tengah kota Medan kini menjadi
kenangan masa lalu bagi Indonesia umumnya dan khususnya bagi penulis. Bagi
masyarakat Kota Medan dan sekitarnya,Titi Gantung lebih identik sebagai pusat penjualan buku bekas. Bukan sebagai situs sejarah. Adalah wajar jika masyarakat
berpandangan seperti itu mengingat belum adanya perhatian serius Pemerintah Kota Pemkot Medan untuk menjadikannya sebagai simbol sejarah perkembangan kota.
Kawasan tersebut hanya dibenahi dan di cat ulang tanpa memberikan kesan atau berupaya untuk memanfaatkan titi gantung sebagai potensi wisata bangunan lama
menjadi daya tarik wisatawan domestik dan international.
Gambar : Titi Gantung di Kota Medan Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Titi Gantung memiliki arsitekturnya yang khas dan unik, serta jelas bernilai sejarah sebab dibangun menyusul dibukanya perusahaan kereta api Deli Spoorweg
Maatschappij DSM pada tahun 1885 dan jelas sebagai bangunan bernilai sejarah
peninggalan tempo dulu. Deli Spoorweg Maatschappij DSM merupakan perusahaan
kereta api pertama di luar Jawa semasa kolonial Belanda. Menurut data yang penulis peroleh, kereta api pertama kalinya ada pulau Jawa yang awalnya bukan hanya untuk
angkutan penumpang, tetapi untuk angkutan barang hasil perkebunan. Dari data itu disebutkan pemerintahan Hindia Belanda melakukan pencangkolan pertama
pembangunan rel kereta api oleh Gubernur Jenderal, Baron Solet van Beele pada 17 Juni 1864 dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
Perjalanan waktu merupakan catatan sejarah yang penting bagi siapa saja termasuk bagi pemerintah Kota Medan. Bukan saja bagi pemerintah Kota Medan
tetapi bagi penulis kehadiran Titi Gantung merupakan kenangan masa lalu yang tidak terlupakan, tidak ingin dilewatkan begitu saja dalam perjalanan hidup. Bila menata
Titi Gantung dengan mengembalikan kepada fungsi awalnya maka secara otomatis sebuah situs sejarah terselamatkan. Kemudian wajah kota Medan semakin indah, asri
dan menyejukkan mata. Bila wajah kota Medan semakin indah, asri dan menyejukkan mata maka secara otomatis kota Medan sebagai pintu gerbang Sumatera Utara
menjadi daerah tujuan wisata sejarah yang diperhitungkan para wisatawan domestik
dan mancanegara. Mengembalikan fungsi awal dari Titi Gantung bermakna global,
mulai dari menyelamatkan situs sejarah, memperindah kota Medan, mengundang turis datang dan membangkitkan kenangan masa lalu
Universitas Sumatera Utara
Penghancuran bangunan sejarah historical building Kota Medan telah banyak terjadi terbukti diantara bangunan sejarah tinggal kenangan saja. Berbagai
aksi dan gerakan penyelamatan tetap terjadi namun semua itu adalah kegiatan yang tidak penting dianggap pemerintah Kota Medan. Karena semua dilandasi oleh
kekuatan uang. Penghancuran bangunan sejarah Kota Medan diakibatkan oleh beberapa faktor yakni :
1 Pemerintah kurang peduli terhadap bangunan sejarah yang diakibatkan oleh
biaya yang besar, yang harus dikeluarkan tidak sebanding dengan manfaat ekonomis yang pragmatis kepentingan bisnis terhadap lokasi Benda Cagar
Budaya lebih kuat dibanding upaya pelestarian. Penyebab ketidakperdulian tersebut adalah kurangnya pemahaman tentang arti penting bangunan sejarah.
Ini di latar belakangi dari latar belakang pendidikan masing-masing pegawai yang berada di pemko itu sendiri.
2 Kepedulian masyarakat Kota Medan kurang optimal dalam pengaksesan
bangunan sejarah akibat pembelajaran sejarah yang sentralistrik sehingga masyarakat banyak tidak mengetahui sejarah Kota Medan. Sentralistik yaitu
dengan penulisan sejarah lokal yang dibuat harus sesuai dengan cerita sejarah pada masa itu, agar masyarakat menjadi tahu dan peduli terhadap bangunan-
bangunan yang ada di Kota Medan. 3
Penegakkan hukum di Kota Medan hanya dipandang sebelah mata saja. Berbagai peraturan hukum kalah akan kekuatan uang dalam bahasa bataknya
“hepeng na mengatur negaraon”
Universitas Sumatera Utara
Perlindungan dan pemeliharaan Benda Cagar Budaya wajib dilakukan dengan memperhatikan nilai sejarah dan keaslian bentuk serta pengamanannya. Dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Benda Cagar Budaya adalah benda buatan manusia bersifat bergerak movable maupun
tidak bergerak unmovable yang telah berusia sekurang-kurangnya lima puluh tahun atau memiliki masa gaya lima puluh tahun dan memiliki arti penting untuk sejarah,
ilmu pengetahuan, dan budaya. Pemanfaatan Benda Cagar Budaya itu sendiri meliputi pemanfaatan untuk
tujuan ilmiah dan ekonomis. Tujuan ilmiah adalah sebagai objek penelitian yang dianggap memiliki nilai penting bagi ilmu pengetahuan. Tujuan ekonomis adalah
memanfaatkan Benda Cagar Budaya yang ada sebagai aset pariwisata, sehingga mampu memberi nilai tambah bagi masyarakat di sekitar Benda Cagar Budaya
tersebut berada. Untuk itu perlu upaya penyadaran kepada masyarakat terutama yang berada di
sekitar bangunan tersebut bahwa keberadaan bangunan bersejarah tersebut akan memberi manfaat ekonomi yang lebih berkelanjutan bagi mereka daripada ketika
bangunan tersebut diubah menjadi bangunan modern misalnya pusat perbelanjaan atau pemukiman. Ketika bangunan tersebut diubah menjadi bangunan modern,
mungkin manfaat ekonomi yang didapat hanya pada saat pusat perbelanjaan tersebut masih baru dan menarik minat masayarakat yang ingin tahu, namun pelan tapi pasti
masyarakat akan berpaling ke bangunan baru lain yang lebih modern dan akhirnya bangunan lama tersebut ditinggalkan. Demikian juga halnya dengan pusat
Universitas Sumatera Utara
perbelanjaan, biasanya masyarakat tertarik hanya sesaat sebelum akhirnya mencari pusat perbelanjaan lain yang lebih modern dan lebih maju.
Upaya penyadaran tersebut dapat dilakukan melalui beberapa cara, di antaranya adalah :
1. Pendidikan