TINJAUAN PUSTAKA Drs. Agustrisno, M.SP 4. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pentingnya Sejarah Sebuah Kota

Wujud sebuah kota terkait dengan masa lampau, sehingga perencanaan serta pengarahan pertumbuhan kota sekarang dan di masa mendatang harus dengan perspektif sejarah. Warisan sejarah mencakup bangunan, kawasan, struktur berupa patung, air mancur, taman, pepohonan dan lansekap. Daya tarik terhadap warisan sejarah ini dapat bersumber dari signifikannya dalam hal arsitektur, estetis, historis, ilmiah, kultural dan sosial. Dalam pertumbuhan kota terkait tiga aspek yaitu : 1 Aspek sejarah dalam hal ini yang perlu di analisa adalah tatanan arsitektur yang berperan pada masa lampau, masa kini dan masa mendatang. 2 Faktor pertumbuhan dan perkembangan kota sebagai akibat pertambahan penduduk secara alami maupun migrasi-urbanisasi, faktor ekonomi, faktor sosial budaya termasuk kecenderungan masyarakat public interst, faktor kedudukan kota dalam lingkup wilayah. 3 Aspek legal yang menyangkut peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penataan ruang dan fisik kota yang berlaku secara umum maupun berlaku khusus untuk kota yang bersangkutan. Universitas Sumatera Utara Kaitan suatu tempat dan sejarah sangat erat karena suatu tempat adalah sumber memori individu dan memori kolektif. Dengan demikian suatu tempat juga memberi kontribusi pada identitas individu dan kolektif karena karakter dan kepribadian tempat itu sendiri yang membedakannya dari tempat lain dan masyarakat yang tinggal di suatu tempat mempunyai rasa memiliki dan keterikatan dengan tempat tersebut. Para perencana kota harus mempertahankan kelayakan inti kota dengan memastikan bahwa bangunan-bangunan baru dan pembangunan berskala besar tidak menghilangkan ciri khas kota yang mudah dikenali. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan menyelamatkan dan merehabilitasi sebanyak mungkin bangunan lama, membangun yang baru hanya jika yang diperlukan dan kemudian dengan mengintegrasikan yang baru dengan yang lama Lotmann, 1976. Selain itu, karakter suatu tempat juga ditentukan oleh faktor-faktor lain yaitu lingkungan binaan. Menurut K. Lynch 1960 dalam bukunya “The Image of the city” bahwa kualitas lingkungan binaan yakni citra imageability dan kejelasan legibility bangunan-bangunan memberi kontribusi pada munculnya identitas yang menonjol pada suatu tempat. Citra suatu tempat merupakan kombinasi beberapa faktor lansekap yang saling terkait yaitu bentuk, tampak dan warna bangunan, ritme kumpulan orang, kemeriahan serta acara-acara yang diadakan di tempat tersebut. Faktor lain yang menentukan identitas suatu tempat adalah kombinasi berbagai elemen kultur non- material seperti karakteristik masyarakat etnis, agama, bahasa serta apa yang di Universitas Sumatera Utara sebut sebagai genius loci. Istilah genius loci dikemukakan oleh Dubos yang dikutip dalam buku Place and placeness 1976 yang artinya adalah roh suatu tempat, mencakup keunikan lingkungan binaan, kekayaan dan momen-momen historis. Hal yang sama juga dikemukakan dalam Guidelines for preparing conservation plan 1994 bahwa penentuan apakah suatu bangunan atau tempat tertentu layak dilindungi sebagai warisan sejarah ditentukan juga oleh aspek-aspek non-fisik yaitu : 1. Mempunyai nilai estetik yaitu menunjukkan aspek desain dan arsitektur suatu tempat. 2. Mempunyai nilai edukatif yaitu menunjukkan gambaran kegiatan manusia di masa lalu di tempat itu dan menyisakan bukti-bukti yang asli. Bisa mencakup teknologi, arkeologi, filosofi, adat istiadat, selera dan kegunaan sebagaimana halnya juga teknik atau bahan-bahan tertentu. 3. Nilai sosial atau spiritual yaitu keterikatan emosional kelompok masyarakat tertentu terhadap aspek spiritual, tradisional, politis atau suatu peristiwa. 4. Nilai historis yaitu asosiasi suatu bangunan bersejarah dengan pelaku sejarah, gagasan atau peristiwa tertentu. Mencakup analisis tentang aspek-aspek yang tidak kasat mata intangible aspects dari masa lalu bangunan tersebut. Universitas Sumatera Utara Apabila suatu bangunan atau kawasan mempunyai semua persyaratan untuk dilindungi sebagai warisan sejarah, maka selanjutnya perlu dirumuskan suatu kebijakan umum sebagai perangkat pelestarian warisan sejarah. Tujuan dari kebijakan umum dalam bidang preservasi landmark dan kawasan bersejarah adalah untuk : 1. Mempengaruhi dan memberi perlindungan, peningkatan dan pelestarian bangunan, kawasan dan daerah-daerah yang mewakili atau merefleksikan elemen kultural, sosial, ekonomi, politisi dan sejarah arsitektural kota. 2. Melindungi warisan historis, estetis dan kultural kota, sebagaimana terangkum dan terefleksikan dalam bangunan, kawasan dan daerah tersebut. 3. Memantapkan dan meningkatkan nilai properti di kawasan tersebut. 4. Mendorong kebanggaan masyarakat terhadap keindahan dan prestasi agung di masa lalu. 5. Melindungi dan meningkatkan daya tarik kota untuk para wisatawan dan pengunjung sekaligus mendukung serta merangsang iklim usaha dan industri yang terkait. 6. Memperkuat perekonomian kota. Kekayaan ini sebenarnya merupakan kebanggaan yang tak ternilai harganya. Namun tidak banyak disadari, oleh masyarakat maupun penentu kebijakan bahwa bangunan-bangunan kuno dan bahkan antik banyak di anggap ketinggalan jaman yang sewaktu-waktu dapat terancam kehadirannya. Semestinya tidak hanya bangunan Universitas Sumatera Utara kuno saja yang perlu untuk dilestarikan, tetapi juga wilayah kota yang dipertahankan sebagai cagar budaya, karena peninggalan-peninggalan arkeologi yang tersisa masih cukup banyak.

2.2. Melestarikan Bangunan Bersejarah

Pelestarian bangunan bersejarah merupakan suatu pendekatan yang strategis dalam pembangunan kota, karena pelestarian menjamin kesinambungan nilai-nilai kehidupan dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh aktor pembangunan stakeholder. Istilah yang digunakan untuk bangunan lama yang memiliki nilai-nilai berharga adalah historical building, atau dapat kita samakan artinya dengan bangunan bersejarah. Pada pusat kota terjadi perkembangan dan perubahan yang dinamis ditandai dengan munculnya berbagai aktivitas, terutama perekonomian dan mengakibatkan perubahan secara fisik. Menurut seorang ahli hukum dari Denmark yang bernama JJA Worsaae pada abad ke 19 mengatakan bahwa : “bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak hanya melihat masa kini dan masa mendatang, tetapi mau berpaling ke masa lampau untuk menyimak perjalanan yang dilaluinya”. Senada dengan ucapan di atas ungkapan lain muncul yang ditegaskan oleh filsuf Aguste Comte mengatakan bahwa : “mempelajari masa lalu, melihat masa kini, untuk menentukan masa depan. Melihat masa lalu yang diungkapkan dengan keberadaan fisik bangunan kuno tentunya tidak dilihat dari sosok bangunannya saja, tetapi nilai sejarah besar apa yang melekat dan membungkusnya sebagai makna kultural. Karena tampilan pembungkus makna ini dapat diikutkan dalam menentukan dan memberikan Universitas Sumatera Utara identitas bagi kawasan perkotaan di masa mendatang Antariksa: 20 Juni 2009, Jurnal Architecture Articles”. Pelestarian dalam bangunan maupun arsitektur perkotaan merupakan salah satu daya tarik bagi sebuah kawasan. Dengan terpeliharanya satu bangunan kuno- bersejarah pada suatu kawasan akan memberikan ikatan kesinambungan yang erat, antara masa kini dan masa lalu. Pelestarian merupakan terjemahan dari conservation atau konservasi. Pelestarian atau konservasi dalam bidang arsitektur dan lingkungan binaan berawal dari konsep konservasi yang bersifat dinamis dengan cakupan yang lebih luas. Sasaran konservasi tidak hanya pada peninggalan arkeologi saja, melainkan meliputi juga karya arsitektur lingkungan atau kawasan bahkan kota bersejarah. Konservasi lantas merupakan istilah yang menjadi payung dari segenap kegiatan pelestarian kawasan atau bangunan bersejarah Jurnal Architecture Articles . Sebenarnya, istilah bangunan kuno telah digunakan dalam arti yang luas untuk menunjukkan bangunan-bangunan baik objek tidak bergerak, pemukiman, area bersejarah, artistik, arsitektur, sosial, budaya maupun simbol ilmu pengetahuan. Istilah perlindungan bangunan kuno, menunjukkan adanya variasi dari aktifitas yang terlibat didalamnya, sebagai contoh restorasi, renovasi, rekonstruksi, rehabilitasi dan konservasi dalam lingkup bangunan dan perkotaan, adalah semua proses untuk memelihara bangunan atau kawasan sedemikian rupa, sehingga makna kultural yang berupa nilai keindahan, sejarah, keilmuan, atau nilai sosial untuk generasi lampau, masa kini, dan masa mendatang akan dapat terpelihara. Universitas Sumatera Utara Menurut Kurokawa 1988, mengatakan bahwa ada dua jalan pemikiran mengenai sejarah dan tradisi. Pertama, adalah sejarah yang dapat kita lihat seperti bentuk arsitektur, elemen dekorasi, dan simbol-simbol yang telah ada pada kita. Kemudian yang kedua, adalah sejarah yang tidak dapat kita lihat seperti sikap, ide- ide, filosofi, kepercayaan, keindahan dan pola kehidupan. Kehidupan merupakan bagian dari identitas yang dihasilkan dari konteks budaya dan sosial. Maka, identitas dapat dianggap sebagai individual dan diri sendiri, tetapi juga identitas dapat semata bertranformasi menjadi bentuk yang berbeda mengikuti transformasi yang terjadi pada lingkungan sekitar kita. Dapat disimpulkan, bahwa tanpa usaha pelestarian yang layak sebuah kota akan kehilangan sejarah dan identitas yang menghubungkan kita dengan masa lalu. Dengan demikian, menghancurkan bangunan kuno-bersejarah sama halnya dengan menghapuskan salah satu cermin untuk mengenali sejarah dan tradisi masa lalu. Dengan hilangnya bangunan kuno, lenyap pula bagian sejarah dari suatu tempat yang sebenarnya telah menciptakan suatu identitas tersendiri, sehingga menimbulkan erosi identitas budaya Sidharta Budhiardjo, 1989. Mengetahui sejarah harus mengalaminya lewat benda-benda atau dari tulisan-tulisan sejarah. Benda boleh hancur tetapi nilai harus tetap asli yakni photo-photo sebelum dihancurkan. Di Indonesia upaya pelestarian terhadap warisan budaya sebenarnya telah di mulai sejak masa kolonial. Untuk pertama kalinya dibentuk komite khusus pada tahun 1822 sebagai lembaga pemerintah. Dengan tujuan mengeksplorasi sumber daya budaya Indonesia untuk meningkatkan citra Belanda di luar negeri. Peran negara Universitas Sumatera Utara tersebut semakin kuat dengan ditetapkannya Monumenten Ordonantie, Staatsblad 238 tahun 1931 atau dengan MO 1931. Secara tegas gedung-gedung yang termasuk cagar budaya tidak boleh di bongkar atau di ubah bentuknya, baik living monument keraton, rumah adat, bangunan bersejarah maupun dead monument candi-candi. Kemudian dalam perjalanannya MO tahun 1931 di atas, Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Didalamnya dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan Cagar Budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 lima puluh tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa sekurang-kurangnya 50 lima puluh tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan Tunggul, 1997. Undang-undang di atas dipertegas lagi dengan Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia 2003, yang bertekad untuk bersama-sama melaksanakan Agenda Tindakan dalam Dasa Warsa Pelestarian Pusaka Indonesia 2004-2013 meneguhkan upaya pelestarian sebagai berikut : 1. Pusaka Indonesia adalah pusaka alam, pusaka budaya, dan pusaka saujana. Pusaka alam adalah bentukan alam yang istimewa. Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di Tanah Air Indonesia, dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah Universitas Sumatera Utara keberadaannya. Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan budaya dalam kesatuan ruang dan waktu. 2. Pusaka budaya mencakup pusaka berwujud dan pusaka tidak berwujud. 3. Pusaka yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya sangat penting sebagai landasan dan modal awal bagi pembangunan masyarakat Indonesia di masa depan, karena itu harus dilestarikan untuk diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan baik, tidak berkurang nilainya, bahkan perlu ditingkatkan untuk membentuk pusaka masa mendatang. 4. Pelestarian adalah upaya pengelolaan pusaka melalui kegiatan penelitian, perencanaan, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan atau pengembangan secara selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian dan daya dukungnya dalam menjawab dinamika jaman untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih berkualitas. Benda cagar budaya memiliki sifat unik unique, langka, rapuh, tidak dapat diperbaharui nonrenewable, tidak bisa digantikan oleh teknologi dan bahan yang sama, dan penting significant karena merupakan bukti-bukti aktivitas manusia masa lampau. Oleh karena itu dalam penanganannya harus hati-hati dan diusahakan tidak salah yang bisa mengakibatkan kerusakan dan perubahan pada benda. Perubahan yang terjadi sekecil apapun akan menyebabkan dampak yang mengurangi nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Karena tinggalan benda cagar budaya dapat Universitas Sumatera Utara memberikan gambaran tentang tingkat-tingkat kemajuan dalam kehidupan sosial ekonomi, pemukiman, penguasaan teknologi, kehidupan religi dan lain-lain. Pelestarian benda cagar budaya merupakan hal yang penting berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki oleh benda cagar budaya dan sesuai dengan amanat dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa dan kepentingan nasional. Pada masa otonomi daerah saat ini, dimana Pemerintahan Daerah Pemda mempunyai kewenangan yang besar untuk mengatur daerahnya, telah juga ikut serta dalam hal pelestarian benda cagar budaya yang dahulunya dominan dilakukan oleh pemerintah pusat. Di satu sisi ada baiknya bahwa Pemda terlibat dalam pelestarian benda cagar budaya, karena tidak sedikit biaya yang diperlukan dan tidak cukup ditangani oleh pemerintah pusat. Namun di sisi lain pelestarian benda cagar budaya oleh pemda sering kali tidak sesuai yang diharapkan. Salah satu yang banyak dikeluhkan dalam perkembangan kota modern adalah hilangnya ciri khas wajah-wajah kota yang tergantikan oleh bangunan-bangunan bergaya internasional. Wajah-wajah tersebut menjadi anonimus dan tak berjiwa. Karena itulah warisan budaya menjadi gencarnya kegiatan modrenisasi dan globalisasi kota-kota di dunia yang bila tidak dikendalikan akan memberikan wajah kota yang sama di setiap kota. Universitas Sumatera Utara Kota Medan secara keseluruhan merupakan kawasan pariwisata kota berbasis bangunan bersejarah. Kawasan-kawasan yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda diisi oleh bangunan-bangunan bersejarah yang berfungsi sebagai penanda kawasan. Namun, dewasa ini fungsi kawasan beserta bangunannya sudah banyak yang berubah. Spesifikasinya yang berbasis bangunan bersejarah justru mengalami pengabaian di balik gencarnya diskursus modernitas pembangunan. Proses modernisasi Kota Medan melalui pembangunan yang kapitalistik menyebabkan Kota Medan mengalami komodifikasi yang mengancam pusaka budaya dan pengembangan pariwisata. Sebagaimana dikatakan oleh Barker 2004: 408, komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme dimana objek, kualitas, dan tanda dijadikan sebagai komoditas dan komoditas adalah sesuatu yang tujuan utamanya untuk dijual di pasar. Kekuasaan pemerintah dan kekuatan modal pengusaha disebut sebagai penyebab penghancuran bangunan bersejarah di mana, di dalamnya, pemerintah sedang mempraktikkan politik ekonomi instan. Pengembangan pariwisata jauh lebih menguntungkan bila dikelola dengan baik dan benar. Realitas menunjukkan bahwa beberapa pusat perbelanjaan yang sudah ada akhirnya ditutup karena pusat perbelanjaan yang lebih modern didirikan. Menurut Richards 1996 menyebutkan bahwa : “kecenderungan pariwisata global ditandai dengan meningkatnya bentuk- bentuk pariwisata posmodern yang terkait dengan pusaka budaya tetapi sebelum dikembangkan menjadi sebuah city tour, misalnya, perlu dilakukan tindakan konservasi mengingat usia bangunan rata-rata di atas 100 tahun. Salah satu teknik konservasi adalah pengembangan pariwisata karena konservasi tidak akan berarti bila tidak menguntungkan secara ekonomi”. Universitas Sumatera Utara Makna pelestarian pusaka budaya terkait dengan tuntutan hak budaya cultural rights, baik untuk pelestarian itu sendiri maupun dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata dan manfaatnya bagi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Pusaka budaya merupakan sumber daya budaya yang memiliki berbagai nilai dan makna antara lain nilai dan makna informasi atau ilmu pengetahuan, ekonomi, estetika, dan asosiasi atau simbolik Ardika ; 2007. Kegiatan pelestarian bukanlah hal yang mudah dan tanpa tantangan. Kinerja kegiatan pelestarian sering mengalami benturan dengan kepentingan pembangunan, sehingga pelestarian bangunan dan kawasan dianggap sebagai penghalang pembangunan yang mengakibatkan timbulnya pertentangan-pertentangan dalam pelestarian. Permasalahan pelestarian timbul akibat perbedaan kepentingan untuk melestarikan bangunan lingkungan kuno atau kawasan bersejarah dengan tuntutan kebutuhan jaman akan bangunan lingkungan atau kawasan modren. Di sisi lain masih banyak ditemukan adanya upaya pelestarian yang secara tidak disadari justru telah merusak situs benda cagar budaya itu sendiri. Pelestarian juga harus dapat mengakomodasi kemungkinan perubahan, karena pelestarian harus dianggap sebagai upaya untuk memberikan makna baru bagi warisan budaya itu sendiri. Selain itu, permasalahan pelestarian secara makro terdiri dari aspek ekonomi, sosial dan fisik, sedangkan permasalahan mikro pelestarian berkaitan dengan sistem pengelolaan warisan budaya yang terdiri dari aspek legal, sistem administrasi, piranti perencanaan, kuantitas dan kualitas tenaga pengelola, serta pendanaan. Universitas Sumatera Utara Upaya pelestarian yang telah dilakukan dahulu dan sekarang pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu pelestarian demi kepentingan penggalian nilai- nilai budaya dan proses-proses yang pernah terjadi pada masa lalu. Namun seiring dengan usaha pembangunan yang terus berlangsung di negara kita, maka memberi tantangan tersendiri terhadap upaya pelestarian. Pembangunan sering kali berdampak negatif terhadap kelestarian benda cagar budaya. Problem semacam ini muncul dimana-mana terutama di daerah perkotaan. Kegiatan pembangunan tanpa menghiraukan keberadaan benda cagar budaya hingga saat ini masih terus berlangsung. Hal ini tampak dari semakin menurunnya kualitas dan kuantitas benda cagar budaya. Upaya pelestarian benda cagar budaya membutuhkan keterlibatan banyak pihak dan yang terpenting adalah keterlibatan masyarakat, terutama pada benda cagar budaya yang masih dipakai living monument. Pelestarian living monument terkadang lebih sulit, dikarenakan kurangnya pemahaman sang pemilik tentang pentingnya pelestarian benda cagar budaya miliknya. Menurut Mundarjito UI 2002, dalam Jurnal FT UMJ 2005: 3 tentang upaya pelestarian benda cagar budaya secara garis besar sebagai berikut:

1. Perlindungan

Perlindungan merupakan upaya melindungi benda cagar budaya dari kondisi- kondisi yang mengancam kelestariannya melalui tindakan pencegahan terhadap gangguan, baik yang bersumber dari perilaku manusia, fauna, flora maupun lingkungan alam. Upaya perlindungan yang dilakukan melalui : Universitas Sumatera Utara