Pembahasan HASIL DAN PEMBAHASAN

terhadap mortalitas ikan patin siam. Hasil uji BNT Lampiran 7 menunjukkan bahwa pada perlakuan D 39 ppm dan E 97,5 ppm memberikan pengaruh yang nyata terhadap mortalitas ikan patin siam. Pembuatan preparat ulas darah dan perhitungan persentase hematokrit dilakukan pada perlakuan yang berbeda nyata 39 ppm dengan perlakuan yang tidak berbeda nyata 15,6 ppm kemudian dibandingkan dengan ikan uji pada perlakuan kontrol 0 ppm. Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan gambaran bahwa pada perlakuan kontrol inti sel darah merah terletak sentral dengan sitoplasma dan berbentuk oval. Setelah dipaparkan metil metsulfuron dengan konsentrasi 15,6 ppm dan 39 ppm, terbentuk lipofuscin pada inti sel dan seroid yang hampir memenuhi permukaan sitoplasma. Hal tersebut diduga karena adanya sifat dari metil metsulfuron yang dapat menyebabkan timbulnya kelainan pada sitoplasma dan inti sel karena adanya lipofuscin dan seroid. Menurut Azhar dan Tjahjono 1999 dalam Yudha 1999, bahan toksik juga dapat mengakibatkan kerusakan membran sel yang parah dan membahayakan kehidupan sel juga menyebabkan pembentukkan kompleks lipofuscin dan seroid yang besar dan tidak larut, yang semakin lama akan semakin membesar hingga dapat memenuhi seluruh sel. Gangguan pada sistem sirkulasi ikan yang telah tercemar toksik dapat menimbulkan kerusakan pada sel darah merah serta penurunan nilai hematokrit. Hasil penelitian dan persentase hematokrit Gambar 8 dan Lampiran 8 yang didapat setelah dilakukan pemaparan metil metsulfuron pada ikan patin siam selama 96 jam yaitu, pada perlakuan kontrol sebesar 29,94 . Kondisi ini menunjukan bahwa ikan masih dalam keadaan baik, hal tersebut sesuai dengan pernyataan Bond 1979 yang mengatakan bahwa nilai hematokrit normal ikan teleostei berkisar antara 20-30 , dan pada beberapa spesies laut bernilai 42. Pada perlakuan C 15,6 ppm dan D 39 ppm presentase rata-rata nilai hematokrit mengalami penurunan, yaitu masing- masing sebesar 19,76 dan 14,8. Berdasarkan hasil penelitian diduga pengaruh dari terpaparnya metil metsulfuron pada perlakuan C 15,6 ppm dan D 39 ppm menyebabkan ikan patin siam mengalami anemia. Menurut pendapat Angka et al. 1985, bahwa hasil pemeriksaan terhadap hematokrit dapat dijadikan sebagai salah satu standar untuk menentukan keadaan kesehatan ikan, nilai hematokrit kurang dari 22 menunjukkan terjadinya anemia. Menurut pernyataan Robert 2001, bahwa anemia dapat berdampak pada terhambatnya pertumbuhan ikan, karena rendahnya persentase eritrosit menyebabkan suplai makanan ke sel, jaringan dan organ akan berkurang sehingga proses metabolisme ikan menjadi terhambat. Rendahnya persentase hematokrit juga mempengaruhi jumlah eritrosit menjadi rendah. Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa kisaran suhu, pH, dan DO pada kualitas air uji penentuan selang konsentrasi dan pada kualitas air uji definitif berada pada kisaran yang sesuai untuk pemeliharaan ikan patin siam. Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam pertumbuhan ikan, karena dapat mempengaruhi nafsu makan ikan uji. Menurut pendapat Pirzan 1992, suhu yang optimal yaitu 25-30 o C dan dengan pH 6,5-8. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kisaran suhu 25-28 o C dan nilai pH 7, hal tersebut menunjukkan bahwa suhu dan pH pada penelitian sudah optimum. Menurut pendapat Gufron dalam Minggawati 2012, kandungan oksigen yang optimal untuk pemeliharaan ikan patin yaitu antara 3-7 mgl. Keadaan tersebut relatif berbeda dari penelitian yang telah dilakukan memiliki kadar oksigen terlarut 4- 8 mgl, hal tersebut menunjukkan bahwa DO pada penelitian relatif kurang optimal.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu: 1. Metil metsulfuron memberikan pengaruh nyata terhadap mortalitas ikan patin siam Pangasius hypopthalmus. Semakin tinggi konsentrasi metil metsulfuron maka tingkat mortalitas ikan patin siam semakin meningkat. 2. Metil metsulfuron menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel darah merah berupa terbentuknya lipofuscin pada inti sel dan seroid yang hampir memenuhi permukaan sitoplasma serta menurunnya persentase nilai hematokrit yang menandakan ikan terkena anemia.

5.2 Saran

Adapun saran yang dapat diberikan dari penelitian ini, yaitu: Dapat dilakukan uji lanjut mengenai pengaruh metil metsulfuron terhadap ikan patin siam Pangasius hypopthalmus pada organ ginjal dan limpa. DAFTAR PUSTAKA Alabaster, J. and Lloyd. 1980. Water Quality Criteria for Fish. FAO of United Nations European Inland Fisheries Advisor Angka. 1985. The Pathologi of Walking Catfish, Clarian batrachus, Infected Intraperitoneally with Aeoromonas hydrophilla. AFS Anonim . 2001 . Metsulfuron Methyl . FAO of The United Nations Anonim. 2008. Fish Haematology. Dikutip dari : http:www.aqualex.orgelearning. Pada tanggal 17 April 2012, pukul 16.00 WIB. Bond C.E. 1979. Biology of Fishes. Philadelphia: Saunders Colege Publishing. Hlm 514. Chinabut S, Limsuwan C, and Kiswatat P. 1991. Histology of The Walking Catfish, Clarias bathracus. Canada :IDRC. Hlm 40-44. Clarke, E.G.C. and M.L. Clarke. 1975. Veterinary Toxicology Cassell and Collver. Mc Millan Publishers Ltd, London. Cornell, D.W. dan G.J. Miller. 1995. Chemistry and Ecotoxicology Of Pollution. A Wiley Publ. New York. Djariah, A.S. 2001. Budidaya Ikan Patin. Kanisius. Yogyakarta. Hlm 87. Finney. 1971. Probit Analysis. The University Press. Cambridge. Frank, C. Lu. 1995. Toksikologi Dasar Asas, Organ sasaran dan Penilaian Risiko. Edisi kedua . Penerjemah Edi Nugroho. UI Press Jakarta Khairuman dan Amri, K. 2002. Membuat Pakan Ikan Konsumsi. Agromedia Pustaka. Jakarta. Hlm 83. Lagler, K.F. and J.E. Bardach. 1977. Ichthyology. Jhon Welley and Sond Inc. New York.