5.6 5.8 Laporan Kebijakan Moneter Triwulan I 201

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 9 Grafik 1.6 Kontribusi Pertumbuhan Ekonomi Grafik 1.7 Ekspor Nonmigas Riil Perlambatan ekonomi triwulan I 2014 juga disebabkan oleh melambatnya konsumsi pemerintah. Konsumsi pemerintah pada triwulan I 2014 tercatat sebesar 3,6 yoy, lebih rendah dari triwulan IV 2013 sebesar 6,4 yoy dan perkiraan Bank Indonesia sebelumnya. Perlambatan ini sesuai dengan pola serapan belanja pemerintah yang rendah di awal tahun. Kontribusi konsumsi pemerintah yang masih rendah terhadap perekonomian dapat terindikasi dari surplus APBN terhadap PDB yang lebih besar hingga Februari 2014 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 Tabel 1.3. Namun demikian, perlambatan ini diduga bersifat temporer sebagai dampak penyaluran Dana Bagi Hasil DBH yang beralih dari triwulan I menjadi triwulan II 2014. Tabel 1.3 Perkembangan Operasi Keuangan Pemerintah L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 10 Di tengah kinerja sektor eksternal yang menurun, permintaan domestik dari konsumsi rumah tangga dan investasi masih cukup terkendali, sehingga dapat menahan penurunan pertumbuhan ekonomi lebih dalam. Konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2014 mampu tumbuh 5,6 yoy, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan IV 2013 sebesar 5,3 yoy. Akselerasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga antara lain didorong oleh daya beli konsumen yang terjaga seiring dengan keyakinan konsumen yang meningkat dan inflasi yang mereda. Indeks Kepercayaan Konsumen IKK BI hingga Maret 2014 menunjukkan tren yang meningkat pada semua kelompok pengeluaran masyarakat Grafik 1.8. Keyakinan konsumen yang menguat kemudian mendorong masih meningkatnya penjualan eceran. Penjualan mobil sampai dengan Maret 2014 juga meningkat ditopang oleh penjualan varian baru kendaraan, termasuk jenis Low Cost Green Car LCGC Grafik 1.9. Grafik 1.8 Indeks Ekspektasi Menurut Kelompok Pengeluaran Grafik 1.9 Penjualan Kendaraan Bermotor Investasi pada triwulan I 2014 masih tumbuh meningkat, khususnya investasi nonbangunan. Investasi meningkat dari 4,4 yoy pada triwulan IV 2013 menjadi 5,1 yoy pada triwulan I 2014. Peningkatan tersebut didorong oleh investasi nonbangunan yang kembali tumbuh positif, terutama investasi mesin, sementara investasi bangunan melambat. Peningkatan investasi nonbangunan terindikasi sebagai respons ekspektasi penguatan konsumsi swasta dan ekspor manufaktur ke depan. Selain itu, utilisasi kapasitas manufaktur yang meningkat ke kisaran atas historis 75 diperkirakan mampu menjadi insentif bagi pelaku usaha untuk melakukan investasi Grafik 1.10. Sementara itu, investasi bangunan tumbuh lambat merespons pengetatan kebijakan LTV dan kenaikan suku bunga. Kondisi ini tercermin pada pertumbuhan penjualan semen yang lemah Grafik 1.11. Dari sisi pembiayaan, penyaluran kredit investasi dari perbankan mulai meningkat sehingga memberi dukungan bagi pulihnya investasi. Grafik 1.10 Utilisasi Kapasitas Manufaktur Grafik 1.11 Indikator Investasi Bangunan L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 11 Pengaruh cukup kuat ekspor rill khususnya ekspor komoditas pertambangan terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi triwulan IV 2014 juga terlihat dari pertumbuhan ekonomi b erdasarkan lapangan usaha. Meskipun perlambatan terjadi di hampir semua sektor ekonomi, sektor pertambangan merupakan satu-satunya sektor yang mencatat kontraksi Tabel 1.3. Pertumbuhan negatif sektor pertambangan bersumber dari lebih dalamnya penurunan produksi, baik pada subsektor migas maupun nonmigas. Penurunan subsektor migas disebabkan oleh menurunnya lifting minyak karena penurunan produksi alamiah dan gangguan produksi akibat faktor cuaca. Sementara itu, kontraksi pertambangan nonmigas disebabkan oleh melambatnya permintaan ekspor batubara dan terhentinya untuk sementara ekspor pertambangan konsentrat mineral terkait kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah. Perlambatan di sektor pertambangan berdampak pada penurunan sejumlah sektor lain yang terkait khususnya di beberapa subsektor seperti subsektor alat angkut, mesin dan peralatan. Sektor pertanian juga melambat bersumber dari perlambatan subsektor peternakan, perikanan, dan terbatasnya pertumbuhan subsektor tanaman bahan makanan tabama. Di sisi lain, kinerja sektor bangunan melambat seiring dengan investasi bangunan yang melambat terkait kebijakan stabilisasi makroekonomi. Sementara itu, perlambatan di sektor keuangan tercermin pada pertumbuhan kredit bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank LKBB yang melambat sebagai respons kenaikan suku bunga. Pengaruh signifikan kontraksi ekspor riil terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi juga tergambar pada pertumbuhan ekonomi yang tidak merata di seluruh wilayah. Penurunan pertumbuhan ekonomi terutama terjadi di wilayah yang banyak ditopang sektor pertambangan yakni di Kawasan Timur Indonesia KTI. Pertumbuhan ekonomi KTI pada triwulan I 2014 tercatat 4,6 yoy, menurun tajam dari 6,6 yoy pada triwulan IV 2013, sejalan penurunan produksi sektor pertambangan sebagai dampak implementasi kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah. Beberapa daerah di KTI seperti Kalimantan Timur, Papua, Papua Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Aceh bahkan tumbuh pada kisaran yang rendah 0,6 - 3,3 Gambar 1.1. Berbeda dengan KTI, wilayah Jawa dan Sumatera mencatat pertumbuhan di atas pertumbuhan nasional yakni masing-masing 5,8 yoy dan 5,4 yoy. Bahkan pertumbuhan ekonomi di kawasan Jakarta meningkat dari 5,6 yoy pada triwulan IV 2013 menjadi 6,0 yoy pada triwulan I 2014. Kenaikan pertumbuhan ekonomi di kawasan Jakarta banyak ditopang kenaikan sektor perdagangan dan sektor pengangkutan, antara lain dipengaruhi penyelenggaran Pemilu legislatif. Y-o-Y, Tahun Dasar 2000 2014 I II III IV I Pertanian,Peternakan,Kehutanan, Perikanan 3.7 3.3 3.3 3.8 3.5 3.3 Pertambangan Penggalian 0.1 -0.6 2.0 3.9 1.3 -0.4 Industri Pengolahan 6.0 6.0 5.0 5.3 5.6 5.2 Listrik, Gas Air Bersih 7.9 4.0 3.8 6.6 5.6 6.5 Konstruksi 6.8 6.6 6.2 6.7 6.6 6.5 Perdagangan, Hotel Restoran 6.5 6.4 6.1 4.8 5.9 4.6 Pengangkutan Komunikasi 9.6 10.9 9.9 10.3 10.2 10.2 Keuangan, Real Estat Jasa Perusahaan 8.2 7.7 7.6 6.8 7.6 6.2 Jasa-jasa 6.5 4.5 5.6 5.3 5.5 5.8 PDB 6.0

5.8 5.6

5.7 5.8

5.2 Sumber : BPS 2013 S e k t o r Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sisi Lapangan Usaha Tabel 1.4 2013 L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 12 Gambar 1.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan I 2014 Menggunakan metode perhitungan baru, perekonomian Indonesia masih kondusif dalam penyerapan tenaga kerja. 1 Perbaikan indikator tenaga kerja tersebut diperkirakan dipengaruhi permintaan domestik yang masih kuat disertai dengan inflasi yang rendah berdampak Grafik 1.12. Tingkat pengangguran terbuka di bulan Februari 2014 kembali turun menjadi 5,7, setelah sempat meningkat di bulan Agustus 2013 sebesar 6,2. Berdasarkan kualitas tenaga kerja, komposisi jam kerja juga membaik tercermin dari jumlah pekerja penuh waktu yang meningkat mencapai 64,8 dari total pekerja. Sejalan dengan perkembangan tersebut, pangsa kelompok pekerja paruh waktu dan setengah pengganggur menurun secara tahunan. Jika dibandingkan dengan negara kawasan, tingkat pengangguran terbuka Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia, Korea, dan Tiongkok yang cenderung stabil pada level 3-4, meskipun masih lebih baik dibandingkan dengan Filipina Grafik 1.13. Grafik 1.12 Pertumbuhan PDB, Inflasi dan Tingkat Pengangguran Terbuka Grafik 1.13 Tingkat Pengangguran Terbuka Beberapa Negara Asia 1 Penghitungan statistik tenaga kerja tahun 2014 mengalami perbaikan yaitu perubahan estimasi pertumbuhan jumlah penduduk dari semula 1,49 berdasarkan sensus penduduk 2010 menjadi 2,1. Perubahan ini berdampak pada jumlah penduduk yang lebih tinggi dibandingkan penghitungan sebelumnya.