Tidak bisa menikah Kerugian Padan

41 antara Aster dan Paul adalah cinta yang tidak dapat dipersatukan karena secara padan mereka tidak dibenarkan untuk saling mencintai sebab mereka sudah ditakdirkan untuk menjadi seorang kakak beradik.

4. Tidak bisa menikah

Kerugian terbesar yang dialami oleh Aster dan Paul akibat padan adalah tidak bisa menikah. Ketika seseorang ingin menikah maka terlebih dulu ia harus mengikat komitmen yang kuat. Menurut Kelly dalam Sukmadiarti, 2011, komitmen adalah tahapan di mana seseorang menjadi terikat dengan sesuatu atau seseorang dan terus bersamanya hingga hubungannya berakhir. Ketika hubungan seseorang telah berakhir maka ia terlepas dari komitmen tersebut. Seorang individu yang telah mengikat komitmen untuk menikah tidak bisa diingkari secara sembarangan atau sekadar bermain-main. Menurut Newman dan Newman dalam Sukmadiarti, 2011 menyatakan jika jalinan hubungan seseorang berhasil atau tidaknya menuju pernikahan maka hal itu tergantung dari masing-masing individu, apakah ada atau tidaknya keinginan yang mendasar dari dalam diri individu tersebut untuk menikah. Aster dan Paul memiliki komitmen yang kuat untuk bisa menikah. Namun pernikahan yang telah mereka rancangkan harus pupus karena padan tidak memperbolehkan marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali menikah. Terlihat dari kutipan di bawah ini: ”Paul itu marga Siregar, kamu boru Nainggolan. Kedua marga itu tidak boleh saling menikahi”, ucap Mama, kali ini tegas sekali. ”Kenapa, Ma? Kenapa tidak boleh?”. Aster terlihat tak bisa menerima. 42 ”Padan, anakku. Padan,” jawab Mama makin miris. Leluhur kita telah saling berjanji dan membuat padan bahwa keturunan kedua marga itu akan dianggap sebagai saudara, tak boleh saling menikahi.” Situmorang, 2012:181-182. Padan memang tidak memperbolehkan kedua marga yang mengikatnya untuk menikah karena hal itu sangat bertentangan. Tidak menutup kemungkinan bahwa marga yang mengikrarkan padan di masa lampau akan selalu terikat menjadi seorang saudara walaupun zaman sudah tidak lagi mempedulikan hal tersebut. Meskipun begitu jika ada yang berani melanggar padan maka si pelanggar akan mendapat hukuman yang siap menimpa dirinya. Terlihat dari kutipan di bawah ini: ”Apa yang terjadi jika padan itu dilanggar, Ma?”, tanya Eddy hati- hati. ”Dulu, hukumannya ditenggelamkan di danau Toba. Sekarang, sanksinya selain dikucilkan dari adat, juga sanksi moral lainnya.... Kemudian sanksi berupa kutukan, contohnya keturunannya akan sakit-sakitan, cacat, atau mungkin meninggal. Mama menahan nada pilu dalam suaranya. Matanya berkaca- kaca.” Situmorang,2012:185. Ada banyak sanksi yang akan diberikan kepada si pelanggar jika orang tersebut tidak mematuhi padan. Secara adat maka si pelanggar akan mendapatkan sanksi dikucilkan dari acara-acara penting ketika orang tersebut menghadiri pesta adat di sebuah kampung. Secara moral maka si pelanggar akan mendapat cibiran dan ejekan dari penduduk satu kampung. Kemudian secara fisik maka si pelanggar akan mendapat sanksi berupa kutukan, seperti: sakit-sakitan, cacat, atau meninggal karena berani melanggar padan. 43

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Masyarakat Batak Toba identik dengan berbagai macam adat, salah satunya padan. Sebenarnya kisah padan banyak dimiliki oleh marga-marga lain namun padan yang terkenal di masyarakat adalah padan marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali. Terjadinya padan di antara kedua marga tersebut diawali dengan pertukaran anak yang dilakukan oleh istri Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada suami mereka. Istri Siregar Silali yang tidak memiliki anak laki-laki akhirnya menukarkan borunya perempuan kepada istri Nainggolan Parhusip, begitu juga sebaliknya, istri Nainggolan Parhusip menukarkan anak laki-laki kepada istri Siregar Silali karena tidak memiliki boru perempuan. Ketika kedua suami mereka tahu bahwa anak yang bersama dengan mereka bukanlah anak kandungnya maka terucaplah sebuah perjanjian atau dalam bahasa Batak disebut dengan padan. Mohon maaf sattabi hata, jika istri Siregar Silali tidak menukarkan borunya kepada istri Nainggolan Parhusip maka tidak ada marga Siregar Silali sampai hari ini karena seorang perempuan tidak bisa menurunkan marga kepada anak-anaknya. Masyarakat Batak Toba menganut sistem patrilineal yaitu garis keturunan marga yang diturunkan ayah kepada anak-anaknya sedangkan marga Nainggolan Parhusip sendiri tidak pernah merasakan boru perempuan karena istrinya melahirkan anak laki-laki. Namun karena pertukaran anak telah terjadi di antara mereka maka bapak Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali sama-sama