23
Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali diumpamakan ke dalam peribahasa umpasa berikut:
”Habang siruba-ruba, Paihut-ihut rura,
Hata naung nidok, Sitongka mubauba
” ”Terbang burung Cucak Rawa,
Mengikuti jalur sungai, Kata padan yang sudah diucapkan,
Pantang berubah-
ubah” Ketika seseorang menyimpang dari padan yang mereka perbuat atau janjikan,
maka pihak yang ingkar tersebut akan menerima sapata balasan atas derita hatinya dari orang yang dikecewakan tersebut setimpal dengan apa yang
diperbuatnya pada saat itu atau kelak terhadap keturunannya. Bukan hanya itu saja, maka akan terjadi suatu marabahaya yang menimpa dirinya sendiri
Tambun, 1995:80.
4.1.1 Proses Terjadinya Padan Marga Nainggolan Parhusip dan Siregar
Silali dalam Novel Senja Kaca Karya Almino Situmorang
Banyak marga yang terikat dengan padan. Padan terjadi karena adanya suatu peristiwa di masa lampau yang membuat marga tersebut mengikat
perjanjian dengan marga lainnya. Salah satu marga yang mengalami padan adalah marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali.
Novel Senja Kaca menceritakan bahwa padan marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali awalnya dimulai dengan pertukaran anak. Dahulu,
istri dari Nainggolan Parhusip dan istri dari Siregar Silali sama-sama
24
mengandung. Tiba waktunya, kedua istri tersebut melahirkan secara bersama- sama. Terlihat dari kutipan di bawah ini:
Kala itu istri Bapak Nainggolan dan istri Bapak Siregar sama- sama sedang hamil tua dan diperkirakan keduanya akan bersalin
dalam waktu yang berdekatan. Ketika waktu persalinan tiba, para suami yang belum tahu tentang kelahiran kedua anak
tersebut siang itu sedang pergi mencari ikan di tengah danau Toba. Di siang hari yang cerah itulah, istri Nainggolan
melahirkan seorang anak laki-laki, kemudian lahir jugalah seorang putri yang cantik dari istri Siregar. Situmorang,
2012:182.
Bapak Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali tidak mengetahui bahwa istri mereka akan sama-sama melahirkan karena pada saat itu mereka sedang
berada di danau Toba untuk mencari ikan. Meskipun melahirkan di waktu yang bersamaan namun istri dari Nainggolan Parhusip lebih awal melahirkan anaknya
yang berjenis kelamin laki-laki. Tidak lama berselang setelah istri dari Nainggolan Parhusip melahirkan anak laki-laki kemudian lahirlah seorang anak
permpuan dari istri Siregar Silali. Kedua istri dari Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali sama-sama
melahirkan anak namun dengan jenis kelamin yang berbeda. Karena selalu melahirkan anak perempuan maka istri dari Siregar Silali berniat untuk
menukarkan anak perempuannya dengan anak laki-laki dari Nainggolan Parhusip. Ketika mereka sepakat maka anak tersebut segera mereka tukarkan dan menjadi
milik mereka masing-masing. Terlihat dari kutipan di bawah ini: Karena istri Siregar ini setiap kali melahirkan selalu lahir anak
perempuan, maka singkat cerita kedua istri tersebut sepakat untuk saling menukar anak mereka yang baru lahir itu. Bayi
laki-laki Nainggolan diserahkan ke istri Siregar dan bayi perempuan yang dilahirkan istri Siregar diserahkan ke istri
Nainggolan. Situmorang, 2012:182-183.
25
Penukaran anak yang dilakukan oleh kedua istri tersebut merupakan awal terjadinya sebuah masalah yang akan menimpa keluarga mereka. Atas
ketidakpuasan istri dari Siregar Silali yang selalu melahirkan anak perempuan maka timbul suatu keinginan dalam dirinya untuk memiliki seorang anak laki-
laki. Keinginannya yang kuat untuk memiliki anak laki-laki membuat dirinya rela menukarkan anak perempuan yang baru dilahirkannya kepada istri dari
Nainggolan Parhusip karena anak laki-laki akan menurunkan marga suaminya supaya marga tersebut tidak hilang dari generasi selanjutnya. Selain itu, istri dari
Nainggolan Parhusip juga tidak memiliki anak perempuan. Oleh karena sama- sama ingin memiliki anak dengan jenis kelamin berbeda dari sebelumnya maka
kedua istri sepakat untuk menukarkan mereka tanpa sepengetahuan kedua suami masing-masing. Istri dari Nainggolan Parhusip mendapatkan anak perempuan
sedangkan istri dari Siregar Silali mendapatkan anak laki-laki dari hasil pertukaran anak yang sudah disepakati bersama.
Ketika istri Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali selesai menukarkan anak mereka tiba-tiba muncul bunyi guntur yang sangat keras. Bapak Nainggolan
Parhusip dan Bapak Siregar Silali terkejut karena muncul suara guntur yang menggelegar pada siang hari secara tiba-tiba. Mereka menganggap bahwa guntur
tersebut adalah pertanda turunnya hujan namun guntur itu adalah suatu pertanda bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak baik di antara keluarga mereka. Terlihat
dari kutipan di bawah ini: Tak lama setelah mereka melakukan penukaran bayi itu,
terdengarlah suara guntur yang dahsyat di siang hari. Mendengar itu, para suami yang sedang mencari ikan terkejut
26
dan bingung. Bunyi guntur di siang bolong adalah sebuah keanehan. Mereka menyangka mungkin sebentar lagi akan turun
hujan sehingga keduanya segera bergegas kembali ke rumah dan tiba di rumah dengan sangat gembira mengetahui bahwa anak
mereka telah lahir. Situmorang, 2012:183.
Akibat guntur yang muncul secara tiba-tiba pada siang hari maka Bapak Nainggolan Parhusip dan Bapak Siregar Silali segera pulang untuk menemui istri
mereka masing-masing. Ketika sampai di rumah maka kedua bapak tersebut sangat senang karena mengetahui bahwa istri mereka masing-masing telah
melahirkan anak mereka dengan selamat. Bapak Nainggolan Parhusip bahagia karena bisa melihat anak
perempuannya lahir dalam keadaan sehat. Namun bapak Nainggolan merasa aneh karena paras anak perempuan yang bersamanya terlihat berbeda dengan dirinya.
Ketika suaminya merasakan adanya perbedaan terhadap anaknya maka sang istri langsung ketakutan. Terlihat dari kutipan di bawah ini:
Mereka berdua begitu gembira karena anak mereka telah lahir dalam keadaan sehat. Tapi bapak Nainggolan merasa heran dan
bert anya dalam hatinya, ”Kenapa paras bayi perempuan saya ini
berbeda?” Melihat wajah sang suami yang kelihatan curiga, istri
Nainggolan menjadi ketakutan....Akhirnya istri Nainggolan tersungkur dan menyembah suaminya. Dia langsung mengakui
bahwa anak yang diberikan pada suaminya itu bukan anaknya, dan mengakui bahwa mereka telah menukarnya dengan putri
dari Siregar. Situmorang, 2012:183.
Sama seperti perasaan seorang ibu, seorang ayah juga dapat merasakan sesuatu yang berbeda dari anaknya meskipun penukaran anak tersebut tidak
dilihat secara kasatmata oleh bapak Nainggolan Parhusip. Bapak Nainggolan Parhusip memiliki firasat yang tidak baik tentang anak perempuan yang saat itu
27
sedang bersamanya. Atas dasar kecurigaan suaminya terhadap anak perempuan yang bersamanya saat itu, sang istri menjadi takut dan langsung mengakui bahwa
anak perempuan itu bukanlah anak kandungnya. Istrinya secara jujur menyatakan bahwa anak laki-laki yang baru saja dilahirkannya telah ditukar dengan anak
perempuan dari istri Siregar Silali. Selesai sang istri mengakui kesalahannya maka bapak Nainggolan
Parhusip segera bergegas menuju ke rumah bapak Siregar Silali untuk meminta penjelasan apakah benar anak laki-laki yang dilahirkan oleh istrinya sendiri telah
ditukar kepada istri dari Siregar Silali. Terlihat dari kutipan di bawah ini: Tidak lama kemudian Nainggolan langsung menyusul ke rumah
Siregar dengan membawa bayi yang baru dilahirkan itu. Melihat hal itu istri Siregar pun menjadi ketakutan dan sebelum
dijelaskan, dia juga tersungkur di depan suaminya seperti istri Nainggolan, kemudian ia mengakui kesalahannya di depan
suaminya. Situmorang, 2012:183-184.
Istri dari Siregar Silali juga mengakui kesalahannya bahwa ia telah menukarkan anak perempuannya dengan anak laki-laki dari istri Nainggolan
Parhusip. Istri dari Siregar Silali tidak bisa berdalih karena bapak Nainggolan Parhusip membawa anak perempuan hasil penukaran yang dilakukan istrinya.
Dengan begitu bapak Siregar Silali menjadi tahu bahwa anak laki-laki yang ada bersamanya saat itu bukanlah anak kandung yang dilahirkan oleh istrinya.
Bapak Nainggolan Parhusip merasa sedih karena anak perempuan yang bersama dengannya itu bukanlah anak kandungnya, namun ia tidak mungkin lagi
mengembalikan anak perempuan yang sudah ditukar oleh istrinya kepada bapak Siregar Silali. Alasan inilah yang membuat bapak Nainggolan Parhusip kemudian
28
mengucapkan padan atau janji kepada bapak Siregar Silali yang menyatakan bahwa mereka akan menjadi seorang saudara. Terlihat dari kutipan di bawah ini:
Mendengar hal itu bapak Siregar langsung lemas, menyadari bahwa ternyata anak laki-laki yang ada padanya bukan anaknya.
Begitu bapak Nainggolan melihat bapak Siregar lemas tak berdaya, dia langsung mengucapkan sumpah, yang dalam
bahasa Batak disebut Padan, kepada bapak Siregar.
”Mulai sadarion, ho Siregar, anggiku ma. Jala anakmu tung naso jadi mangoli tu boru Nainggolan al
a mariboto.” Artinya, mulai sekarang, kamu Siregar, kita marpadan, kau
adikku. Dan anakmu tidak akan boleh menikah dengan putri Nainggolan karena mereka kakak-adik. Situmorang, 2012:183-
184.
Ketika padan itu diucapkan maka marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali telah sah menjadi seorang saudara. Sejak padan itu diucapkan,
kedua marga tersebut harus menanggung konsekuensi bahwa mereka tidak boleh menikah karena anak laki-laki Nainggolan Parhusip telah menjadi milik Siregar
Silali dan anak perempuan Siregar Silali telah menjadi milik Nainggolan Parhusip. Padan yang terjadi di masa lampau menjadi turun-temurun kepada
generasi selanjutnya dari kedua marga tersebut . Terlihat dari kutipan dibawah ini: Siregar langsung tersungkur dan ia pun mengiyakan perkataan
Nainggolan tersebut. Sejak saat itulah Padan itu berlaku turun- temurun. Situmorang, 2012:184.
Akibat padan yang telah disepakati oleh marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali, maka generasi dari kedua marga tersebut juga ikut menanggung
padan yang tetap berlaku di dalam kehidupan masyarakat Batak Toba hingga sekarang. Saat ini tidak pernah terdengar kabar bahwa marga Nainggolan
Parhusip menikah dengan Siregar Silali, begitu juga sebaliknya, karena ketika
29
mereka melanggar padan tersebut maka mereka harus menanggung hukuman yang akan diberikan bagi mereka yang tidak mematuhinya.
4.1 .2 Proses Terjadinya Padan Menurut Informan Marga Nainggolan