Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada masa Kerajaan Aceh, struktur pemerintahan dibagi dalam lima tingkatan, yaitu : 1 Sultan yang memimpin kerajeun dan daerah taklukannya, serta mengkoordinir para Ulee Balang, 2 Panglima Sagoe yang membawahi beberapa daerah Ulee Balang. 3 Ulee Balang mengkoordinir beberapa mukim, 4 Imeum mukim yang membawahi beberapa gampong, dan 5 Geusyiek yang memimpin gampong sebagai unit pemerintahan terendah. Mukim terbentuk bersamaan dengan masuknya Islam ke Aceh. Keberadaannya memiliki dasar yang kuat baik untuk pengaturan kehidupan sosial adat maupun untuk kehidupan beragama hukom, dan juga kemudian pemerintahan. Said, 1981 :403 Pada masa kolonial Belanda keberadaan Imeum Mukim tetap diakui, bahkan diatur secara khusus dalam Besluit van den Governeur General van Nederland Indie van 18 November 1937 Nomor 8, dengan nama Imeumschaap. Masa penjajahan Jepang, pemerintahan oleh Imeum Mukim pun tetap diakui berdasarkan Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 1944. Syahbandir, 1995: 3 Setelah Indonesia Merdeka ketentuan-ketentuan tentang pemerintahan mukim tetap diberlakukan, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi “ Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini” . Untuk mempertahankan kedudukan mukim dalam struktur pemerintahan desa, Keresidenan Aceh mengeluarkan Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 2 dan Nomor 5 Tahun 1946, yang menurut kedua peraturan tersebut, Universitas Sumatera Utara Pemerintahan Mukim diberlakukan untuk seluruh Aceh. Akan tetapi kedudukannya tidak lagi berada di bawah Ulhee Balang, karena lembaga ini sudah dihapus dengan kedua peraturan tersebut di atas, melainkan berada di bawah camat dan membawahi beberapa gampong. Amin, 1978: 40 Pada masa rezim Orde Baru, penyelenggaraan pemerintahan berlangsung secara sentralistik, yang diikuti dengan politik hukum univikasi untuk seluruh wilayah Indonesia. Sehingga, dengan paradigma seperti ini, maka sistem pemerintahan di daerah diupayakan berlangsung secara seragam se-Indonesia. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah, dan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, keberadaan pemerintahan Mukim ini tidak lagi mendapat pengakuan dari pemerintah. Dengan demikian, mukim tidak lagi berkedudukan sebagai unit pemerintahan dalam struktur pemerintahan di Aceh. Namun dalam prakteknya ternyata pemberlakuan kedua undang-undang tersebut tidak serta merta dapat menghapuskan keberadaan lembaga adat mukim yang ada di Aceh. Pemerintah Daerah lstimewa Aceh mengeluarkan Peraturan Daerah Tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat beserta Lembaga Adat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dalam Pasal 5 Perda Nomor 2 Tahun 1990 ditentukan bahwa Kedudukan Imeum Mukim diakui dan diberikan kedudukan sebagai koordinator Kepala Desa dan Kepala Kelurahan dan Lembaga Adat sepanjang yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat. Kemudian diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Peraturan daerah Nomor 5 Tahun 1996 Tentang Mukim sebagai Kesatuan masyarakat adat dalam Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Djuned, 2003: 38 Universitas Sumatera Utara Seiring dengan berjalannya proses reformasi sistem pemerintahan di Indonesia, pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan telah diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini memberikan semangat baru untuk menghidupkan kembali sistem adat dan kelembagaan pada tingkat gampong di Aceh. Khusus bagi Aceh, dalam rangka penyelesaian konflik, Pemerintah memberlakukan pula Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Penyelenggaraan keistimewaan tersebut menurut Pasal 3 ayat 2 meliputi: 1 penyelenggaraan kehidupan beragama, 2 penyelenggaraan kehidupan adat, 3 penyelenggaraan pendidikan, dan 4 peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Berdasarkan ketentuan di atas jelaslah bahwa undang-undang ini kembali memperkuat keberadaan lembaga adat, termasuk lembaga adat Mukim. Selanjutnya, melalui Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam NAD, Pemerintahan Mukim dimasukkan kembali dalam struktur pemerintahan di Aceh. Pengukuhan keberadaan mukim semakin kuat dengan diundangkannya Qanun Perda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim. Setelah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tersebut dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh UUPA, keberadaan mukim sebagai unit pemerintahan kembali mendapat pengakuan, pengaturan, dan pengukuhannya dalam satu bab tersendiri, yaitu Bab XV tentang mukim dan gampong. Universitas Sumatera Utara Dengan telah dinyatakannya mukim sebagai penyelenggara pemerintahan dalam peraturan perundang-undangan UU dan QanunPerda, maka keberadaan Imeum Mukim mendapat pengakuan dan pengukuhannya dalam hukum positif Indonesia. Dengan demikian, keberadaannya tidak saja hanya diakui dalam tataran sosial budaya masyarakat Aceh, tetapi juga telah diadopsi kedalam tataran juridis formal. Sehingga, keberlakuan dan penegakan hukumnya telah mendapat dukungan kuat dari institusi resmi negara dan pemerintahan. Masyarakat Aceh mempunyai hubungan yang erat dengan lembaga imeum mukim. Karena mereka mengenal imeum mukiem dan lebih terbuka dalam merencanakan atau mendiskusikan berbagai hal yang menyangkut kepentingannya dengan Imeum Mukim. Dengan demikian diharapkan Imeum Mukim dapat berperan dalam mengajak masyarakat untuk menghasilkan suatu rencana yang dilakukan oleh semua pihak yang terkait dalam suatu bidang dan berbagai pihak merencanakan secara bersama-sama. Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan mengungkapkannya dalam bentuk skripsi dengan judul: “Peranan Imeum Mukim Terhadap Perencanaan Partisipatif Masyarakat Kemukiman Blang Siguci Kec. Idi Tunong Kab. Aceh Timur Provinsi Aceh”

1.2 Perumusan Masalah