Peranan Imeum Mukim Dalam Pengambilan Keputusan Sengketa Antar Masyarakat Di Mukim Suluh Jaya Kecamatan Rikit Gaib Kabupaten Gayo Lues

(1)

(2)

(3)

(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Peradilan Adat Di Aceh sebagai Kerukunan Masyarakat , Majelis Adat Aceh 2009

Biro Pemerintahan Sektariat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.2004.

Petunjuk Tekni Penyelenggaraan Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Iqbal Hasan,. M. 2002. Pokok-pokok materi Teori Pengambian Keputusan.Jakarta : Ghalia Indonesia

Huda, Ni’matul .2007 Hukum Tata Negara Indonesia..Jakarta:Raja Grafindo Persada

Sri Mulyono. 1996. Teori Pengambilan Keputusan. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung : Graha ilmu

Sarundajang.2002. Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan.

Singarimbun M. Metode Penelitian Survei. Jakarta PT Rineka Cipta 1989


(5)

Sugiyono, 2004, Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan, Jakarta : Pranada Media

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi.1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta LP3ES

Wasistiono, Sadu, 2006 . Prospek Pengembangan Desa. Bandung : CV Fokus Media

Widjaja, H.AW.2003. Pemerintahan Desa dan Administrasi Desa Menurut

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 (sebuah Tinjauan). Jakarta:Raja Grafindo

Persada

Zuriah, 2006, Metode Penelitian Sosial dan Pendidika. Jakarta : PT. Bumi Aksara

Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 44 Tahun1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan


(6)

Qanun Provinsi Aceh Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi Aceh

Qanun Kabupaten Gayo Lues Nomor 12 tahun 2012 tentang Pemerintah Mukim

Qanun Provinsi Aceh Nomor 5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Aceh

Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat

Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat

Internet


(7)

BAB III

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai daerah penelitian, penulis kemudian memberikan gambaran umum daerah penelitian, dimana sangat memberikan andil dalam pelaksanaan penelitian terutama pada saat pengambilan data, dalam hal ini untuk menentukan teknik pengambilan data yang digunakan terhadap suatu masalah yang diteliti. Di sisi lain pentingnya mengetahui daerah penelitian, agar dalam pengambilan data dapat memudahkan pelaksanaan penelitian dengan mengetahui situasi baik dari segi kondisi wilayah, jarak tempuh dan karakteristik masyarakat sebagai objek penelitian.


(8)

B. Keadaan Umum

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang keadaan Mukim Suluh Jaya, maka berikut ini penulis akan memberikan gambaran secara singkat mengenai beberapa aspek penting untuk diketahui yaitu keadaan geografis, keadaan demografis dan keadaan pemerintahan Mukim Suluh Jaya.

1. Keadaan Geografis

a. Letak Wilayah

Mukim Suluh Jaya menurut data Statistik Rikit Gaib dalam Angka tahun 2014 dengan batas-batas sebagai berikut :

- Sebelah Utara : Kab.Aceh Timur

- Sebelah Selatan : Kec.Blangkejeren, Kec. Kuta Panjang, Kec. Blangjerangao

- Sebelah Timur : Kec. Pantan Cuaca - Sebelah Barat : Kec. Dabun Gelang b. Luas Wilayah

Di dalam Kecamatan Rikit Gaib terbagi dua Mukim dengan keseluruhan luasnya 27341 Ha, dengan Sumber Daya Alam yang didapat dari pertanian, peternakan, dan perikanan.

c. Orbitasi

Orbitasi/ jarak dari pusat-pusat pemerintahan :


(9)

- Lama jarak tempuh ke Pusat Pemerintah Kabupaten dengan

kendaraan bermotor ± 0.5 jam

2. - Jarak ke Pusat Pemerintahan Kabupaten: ± 12 Km

- Lama jarak tempuh ke Pusat Pemerintah kabupaten dengan kendaraan bermotor ± 0.30 jam

3. - Jarak ke pusat pemerintahan Provinsi ± 400 km

- Lama jarak tempuh ke pusat pemerintah Provinsi dengan

kenderaan bermotor ± 10 jam d. Karakteristik Mukim Suluh Jaya

Mukim Suluh Jaya merupakan dengan karakteristik masyarakatnya yang bersifat agraris dengan mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah bercocok tanam terutama sektor pertanian dan perkebunan dengan tanaman pangan dengan hasil utama padi, minyak sere dan getah pinus. Sedangkan pencaharian lainnya diantaranya yaitu berdagang. Masyarakat yang berdominan adalah bersuku Gayo.

C. Keadaan Demografi

Penduduk merupakan unsur terpenting bagi desa yang meliputi jumlah, pertambahan, kepadatan, persebaran dan mata pencaharian penduduk desa setempat (Bintarto, 1983:13). Jumlah penduduk di Mukim Suluh Jaya berjumlah 2193 jiwa dengan 555 KK. Adapun jumlah penduduk dari bagian Mukim Suluh Jaya


(10)

mengawasi tujuh desa yang menjadi tugas untuk memantau desa yang menjadi bagiannya dapat dilihat dalam tabel 3.1 sebagai berikut:

Tabel 3.1

Data Desa Mukim Suluh Jaya Lingkungan Laki-laki

(Jiwa) Perempuan (jiwa) Jumlah (jiwa) Jumlah (KK)

Desa Lukup Baru Desa Pinang Rugup Desa Penomon Jaya Desa Tungel Baru Desa Tungel Desa Rempelam Desa Cane Uken

103 167 154 156 220 112 149 105 168 156 145 287 121 150 208 335 310 301 507 233 299 46 89 80 83 120 62 75

Sumber Data: Kantor Kepala Desa Dalam Kecamatan Rikit Gaib

Penduduk Mukim Suluh Jaya mayoritas memeluk agama islam yaitu 100% ( 2193 jiwa), semua menganut agama Islam. Berikut diperlihatkan jumlah sarana ibadah sebagaimana pada tabel 3.2.

Tabel 3.2

Kepercayaan dan Sarana Ibadah Mukim Suluh Jaya

Agama & sarana keagamaan Jumlah (unit)

Masjid Musholla

4 8

Jumlah 12

Sumber Data: Kantor Kepala Desa di Kecamatan Rikit Gaib

Corak kehidupan masyarakat di Mukim Suluh Jaya didasarkan pada ikatan kekeluargaan yang erat dan terun temurun dari kebiasaan adat istiadat yang ada dari terdahulunya. Masyarakat merupakan suatu “gemeinschaft” yang memiliki unsur


(11)

gotong royong yang kuat. Hal ini dapat dimengerti karena penduduk desa merupakan “face to face group” dimana mereka saling mengenal betul seolah-olah mengenal diri sendiri”. (Wasistiono,2006:11)

penganut agama yang ada di Mukim Suluh Jaya yaitu 100% masyarakat menganut agama Islam. Sehingga basis agama Islam sangat kental di tengah masyarakat. Karena kuatnya agama Islam dalam masyarakat maka acara adat pun masih di kait-kaitkan dengan ajaran agama Islam, maka tidak mengherankan jika setiap hari jumat maka masyarakat mengadakan wirid sekecamatan Rikit Gaib dengan berpindah dari desa yang satu kedesa yang lain dan begitulah seterusnya.

Maka tidak heran bila hampir setiap desa memiliki Menasah (Mussolah) dan masjid sebagai tempat untuk beribadah. Karena Aceh terkenal akan Serambi Mekkah sehingga jarang terdapat adanya agama lain selain Islam untuk menetap di Mukim Suluh Jaya .

Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Mukim Suluh Jaya beraneka ragam, dimana mata pencaharian penduduknya sebagian besar bekerja sebagai petani/buruh tani, dan hanya sebagian kecil menekuni bidang swasta dan Pegawai Negeri Sipil. Hal ini dikarenakan Mukim Suluh Jaya merupakan perdesaan yang bersifat agraris, dengan mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah bercocok tanam terutama sektor pertanian dan perkebunan dengan tanaman pangan hasil utama padi, minyak sere dan getah pinus. Sedangkan pencaharian lainnya diantaranya yaitu perdagangan. Maka pencaharian penduduk secara umum dapat dilihat pada tabel 3.3.


(12)

Tabel 3.3

Mata Pencaharian Utama Kepala Keluarga Di Mukim Suluh Jaya

Mata Pencaharian Jumlah (KK)

Petani/Pekebun PNS Pedagang

Lainnya

332 47 42 134

Total 555

Sumber Data: kantor kepala Desa dalam Kecamatan Rikit Gaib

Berikut sarana dan prasarana pendidikan yang ada di Mukim Suluh jaya pada tabel 3.4

Tabel 3.4

Prasarana dan Sarana Pendidikan

Sarana Pendidikan Jumlah (unit)

Gedung SMA/Sederajat Gedung SMP/Sederajat Gedung SD/Sederajat

Gedung TK

1 1 5 1

Sumber Data: kantor sekolah di Kecamatan Rikit Gaib

D. Gambaran Umum Mukim Suluh Jaya

Visi Misi Kepala Mukim Suluh Jaya a. Visi

Terwujudnya keberdayaan masyarakat Aceh dalam pemantapan pelayanan penyelenggaraan Pemerintahan Mukim dan kampung.


(13)

- Pemantapan pelayanan penyelenggaraan Pemerintahan Mukim dan

kampung;

- Mengermbangkan kelembagaan dan partisipasi masyarakat dalam

membangun kampung;

- Pemantapan nilai-nilai sosial Budaya masyarakat dan pemberdayaan

Keluarga ;

- Meningkatkan pelayanan kerja dalam mukim dan jajarannya.

Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 3 dan 4 tahun 2003 pasal 1 ayat 3 Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Aceh yang terdiri atas gabungan beberapa kampung (Desa) yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekakyaan sendiri, berkedudukan langsung dibawah camat atau nama lain yang dipimpin oleh Mukim atau nama lain.

Karena adanya situasi wilayah antara kampung dengan kampung yang lainnya memiliki jarak yang berjauhan untuk dapat melaporkan masalah yang didapat maka dengan adanya Kepala Mukim merupakan sebagai wadah penyampaian tiap kejadian atau perkara yang di dapat dari tiap desa maka dengan begitu untuk memudahkan kepala desa untuk dapat menyampaikan dari tiap keluhan dan kejadian yang ada, karena jarak yang berjauhan maka mukim yang mengawasi dan membantu tugas dari camat itu sendiri.


(14)

Pemerintahan Mukim dalam peraturan Perundang-Undangan (UU dan Qanun/Perda), maka keberadaan Kepala Mukim mendapat pengakuan dan pengukuhannya dalam hukum positif Indonesia. Dengan demikian, keberadaannya tidak saja hanya diakui dalam tataran sosial budaya masyarakat Aceh, tetapi juga telah diadopsi kedalam tataran juridis formal. Sehingga, keberlakuan dan penegakan hukumnya telah mendapat dukungan kuat dari institusi resmi negara dan pemerintahan.

Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Kabupaten Gayo Lues yang terdiri atas gabungan beberapa kampung yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah camat yang dipimpin oleh Kepala Mukim.

2. Struktur Pemerintahan Mukim

Organisasi Mukim merupakan lembaga yang yang terstruktur dalam pemerintahannya, sehingga memudahkan dalam menjalan roda pemerintahan. Di bawah ini merupakan struktur Organisasi Mukim :


(15)

Gambar 2.1 Struktur Organisasi Kepala Mukim

Sumber : Biro Pemerintah sekretariat Provinsi Aceh (2004:40)

Majlis

Musyawarah Majelis Adat Mukim

Imeum Mukim

Tuha Peuet Mukim

Seksi Keistimewaan Seksi

Pemerintahan Sektaris Mukim

Kaur Pemeberdayaan

Perempuan Imeum Chiek

Seksi Tata Usaha

Seksi Perekonomian

dan Pembangunan

KEPDES KEPDES

KEPDES KEPDES

KEPDES KEPDES


(16)

Kepala Mukim mempunyai kedudukkan wewenang dan fungsi dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan. Dalam melaksanakan tugasnya kepala mukim mempunyai wewenang :

1. Mukim mempunyai kewenangan :

b. Melindungi adat dan adat istiadat, membina dan meningkatkan kualitas pelaksanaan Syari’at Islam;

c. Mengkoordinasikan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan kampung;

d. Melaksanakan tugas yang dilimpahkan oleh Camat;

e. Di bidang pertanahan dapat menjadi saksi dalam proses perbuatan hukum pemindahan/peralihan hak atas tanah dan hak milik satuan rumah susun yang dilakukan oleh dan/atau dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang, sepanjang memenuhi syarat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

f. Terlibat dalam proses perencanaan dan pengembangan kawasan kampung dalam wilayah kemukiman yang dilakukan oleh pemerintah atau pihak ke tiga; g. Melaksanakan tugas pembantuan dari Pemerintah Aceh dan/atau Pemerintah

Kabupaten melalui Camat;

h. Wewenang yang dilimpahkan oleh camat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan;

i. Tugas pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f disertai dengan pembiayaan, sarana/prasarana serta personalia yang melaksanakan.


(17)

j. Mukim berhak menolak pelaksanaan tugas pembantuan yang tidak disertai dengan pembiayaan, sarana/prasarana serta personalia yang melaksanakan.

2. Fungsi Mukim adalah:

a. Penyelenggaraan pemerintahan baik berdasarkan azas desentralisasi, dekonsentrasi dan urusan tugas pembantuan serta segala urusan pemerintahan lainnya;

b. Pelaksanaan pembangunan baik pembangunan ekonomi, pembangunan fisik maupun pembangunan mental spritual;

c. Pembinaan kemasyarakatan di bidang pelaksanaan Syari’at Islam, pendidikan, peradatan, sosial budaya, ketentraman dan ketertiban masyarakat;

d. Peningkatan percepatan pelayanan kepada masyarakat;

e. Penyelesaian dalam rangka memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal adanya persengketaan-persengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat.

Selain itu Kepala Mukim mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan Mukim kepada camat setiap bulan dengan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat.

1. Sekretaris Mukim, mempunyai tugas :

a. Melakukan koordinasi terhadap kegiatan yang dilakukan oleh unsur teknis dan wilayah.


(18)

b. Melaksanakan pembinaan dan pelayanan teknis administrasi pemerintah mukim dan kemasyarakatan .

c. Melaksanakan urusan keuangan, perlengkapan, rumah tangga Mukim, surat menyurat dan kearsipan .

d. Mengumpulkan, mengevaluasi dan merumuskan data dan program untuk pembinaan dan pelayanan masyarakat .

e. Menyusun laporan Pemerintah Mukim dari tiap desa.

f. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Mukim.

Unsur teknis berada di bawah Kepala Mukim dan bertanggungjawab kepada Kepala Mukim, unsur teknis terdiri dari :

1. Seksi Tata Usaha

a. Mengkoordinasi tugas-tugas yang di berkan oleh kepala mukim b. Mengelola dan mempertanggung jawabkan pengeluaran rumah tangga c. Mengelola surat-surat yang masuk dan keluar

d. Menginventarisasi semua perlengkapan yang ada

e. Melaksanakan tugas lain yang diberikan Kepala Mukim. 2. Seksi Pemerintahan

Seksi Pemerintahan mempunyai tugas melaksanakan penyelenggaraan Pemerintahan umum di Mukim yang meliputi pembinaan Pemerintahan dan Administrasi Mukim dan kampung, lembaga kampung, pertahanan, Kependudukan dan pembinaan pengelolaan anggaran pendapatan kampung dan


(19)

mukim serta pembinaan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum dilingkungan kecamatan.

3. Seksi Keistimewaan

Seksi keistimewaan Aceh mempunyai tugas melaksanakan pembinaan dan pengkoordinasian pengembangan sarana dan prasarana peribadatan, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Badan Amal Zakat Infak dan Sedekah (BAZIS), Majelis Adat Aceh (MAA), Majelis Pendidikan Daerah (MPD) dan pembinaan dan penyelenggaraan hari-hari besar Islam serta pembinaan kebudayaan di Kecamatan

4. Seksi Pemegang Kas

Pemegang Kas mempunyai tugas:

a. Membantu Sekretaris Mukim dalam hal keuangan .

b. Mengadakan pembukuan keuanganMukim , menerima dan mengeluarkan kas disertai dengan bukti – bukti / kwitansi yang disetujui oleh Kepala Mukim. c. Melaporkan keadaan kas Mukim.

d. Melaksanakan tugas lain yang diberikan atasan atau Kepala Mukim. 5. Seksi Ekonomi dan Pembangunan.

Urusan Ekonomi dan Pembangunan, dalam melaksanakan tugasnya mempunyai fungsi :

a. Melaksanakan koordinasi, pelayanan, penyuluhan dan pembinaan bidang ekonomi, pembangunan, pertanian, pekerjaan umum.


(20)

b. Menyusun dan membuat laporan bidang ekonomi pembangunan dan melaporkan kepada Kepala Mukim .


(21)

BAB IV PENYAJIAN DATA

Metode kualitatif adalah metode yang lazim digunakan dalam penelitian ilmu sosial. Penelitian kualitatif menggunakan observasi terstruktur maupun tidak terstruktur dan interaktif komunikatif sebagai alat pengumpulan data, terutama wawancara mendalam dan peneliti menjadi instrumen utamanya.

Setelah dilakukan penelitian dan melakukan pengumpulan data maka telah dikumpulkan sejumlah data, baik data primer yang diperoleh hasil wawancara dari berbagai responden dan data sekunder yang diperoleh dari hasil observasi dan dokumen milik Pemerintahan Mukim dan tinjauan sumber pustaka lainnya. Data yang dikumpulkan tersebut merupakan data yang diperlukan untuk mengetahui Peranan Imeum Mukim dalam Pengambilan Keputusan Sengketa Antar Masyarakat di Mukim Suluh Jaya Kecamatan Rikit Gaib Kabupaten Gayo Lues.

A. Identitas Informan

a. Dalam penelitian ini yang menjadi responden adalah pihak-pihak yang menduduki jabatan dalam Pemerintahan Kecamatan Rikit Gaib, Pemerintahan Kepala Mukim, dan informan tambahan. Wawancara yang dilakukan kepada orang yang paham mengenai judul peneliti yang terkait untuk dijadikan data primer dalam penelitian ini sebanyak lima orang yang


(22)

akan diwawancarai. Dalam hal ini peneliti merumuskan identitas informan kedalam empat bagian yang masing-masing adalah sebagai berikut:

1) Identitas informan berdasarkan jenis kelamin

Tabel : 4.1

Identitas Informan berdasarkan Jenis Kelamin No Jenis Kelamin Frekuensi

(orang)

Persentase (%)

1 Laki-laki 5 100

Jumlah 5 100

2) Identitas informan Berdasarkan Usia

Disini kita dapat melihat bagaimana variasi tingkat usia informan di Mukim Suluh Jaya kecamatan Rikit Gaib Kabupaten Gayo Lues, dimana peneliti mengelompokkannya kedalam dua bagian dengan rentang usia antara usia 31-40 tahun,usia 41-50 tahun, Untuk lebih jelasnya, dapat kita lihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.2

Identitas Informan Berdasarkan Usia

No Usia

(Tahun) Frekuensi (orang) Persentase (%) 1 2 31-40 41-50 2 3 40 60

Jumlah 5 100

Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa informan yang memiliki rentang usia lebih dari 50 tahun yang termasuk kedalam golongan orang tua paling banyak mendominasi karena lebih memahami bagaimana peranan yang dilakukan


(23)

seorang Kepala Mukim terhadap jabatan yang dimiliki dan dianggap lebih memiliki banyak pengetahuan mengenai adat istiadat dan di tertuakan dapat menengahi dalam setiap masalah yang ada terdapat di mukim baik dalam hal pemahaman maupun hal yang lainnya.

3) Identitas Informan berdasarkan Jabatan

Dalam penelitian ini, peneliti mencoba melihat identitas informan melalui jabatan informan dalam Pemerintahan Kecamatan, Kepala Mukim , Majelis Adat Aceh. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.3

Identitas Informan berdasarkan Jabatan N

o.

Nama Jabatan

1. 2. 3. 4. 5. Drs.Bayumin Adam SE Justar Abdur Rahman

H. Zainal Abidin SE.MM

Camat Rikit Gaib Seketaris Camat Kepala Mukim Sekretaris Mukim Kasek MAA Gayo Lues

Sistem Pemerintahan Mukim selain memiliki hubungan dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan Pemerintah Kampung sesuai dengan tugas, wewenang dan fungsinya, juga memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Kepala Desa dan masyarakat. Sebagai suatu lembaga di yang mengawasi tujuh desa, Mukim juga bertanggungjawab terhadap apa saja yang terjadi di salah satu desa dan sebagai pihak yang mengatasi permasalahan terlebih awal dan menyelesaikan perkara sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan pengawasan tentang Kebiasaan Adat dan Adat


(24)

Istiadat sesuai dengan dasar hukum Qanun No 9 Tahun 2009. Mukim memiliki peranan yang sangat berpengaruh atas pengambilan keputusan terhadap perkara yang ada dalam suatu desa yang memiliki sengketa perkara tanah, perselisihan adat istiadat, pertikaian di kampung, selisih antara warga yang semua perkara dilaporkan kepada Kepala Mukim dan diselesaikan secara adat Istiadat oleh Mukim dan selama perkara tersebut tidak dapat diselesaikan oleh Mukim dengan camat maka perkara tersebut dibawa kejalur hukum Negara dan selama permasalahan itu tidak dapat tergolong ke Pidana maka masih tetap di atasi oleh pemerintahan camat dan bawahannya. Mukim juga sebagai perantara penyampaian kepada camat untuk memberikan laporan perbulannya kepada camat.

Pemerintahan Mukim sangat erat hubungannya dengan pemerintah camat karena memiliki tugas untuk membantu camat dalam pelaksanaan tugasnya yaitu melakukan pembinaan terhadap masyarakat, melaksanakan kegiatan adat istiadat, menyelesaikan sengketa, membantu penyeleggaraan pemerintah dan membantu pelaksanaan pembangunan dan hasilnya akan disampaikan ke Pemerintahan Camat dalam hasil kerja berbentuk laporan yang diberi tiap bulan. Untuk melaksanakan tugasnya dan tanggungjawab tersebut kepala Mukim berkoordinasi dengan semua elemen yang menjadi bagian dari Mukim Suluh Jaya.

Dengan melakukan observasi untuk mengumpulkan data, peneliti saya juga berlangsung untuk melakukan wawancara kegiatan di Mukim Suluh Jaya selama lima hari dan melakukan wawancara dengan informan kunci Camat, Sekretaris Camat, dan informan utama Kepala Mukim dan sekretaris mukim yang menjadi objek penelitian


(25)

ini, tambahan kepada Majelis Adat Aceh. Adapun tahapan dalam proses wawancara adalah sebagai berikut:

a) Pengumpulan dokumen tertulis tentang lokasi yang akan diteliti. Dalam hal ini Mukim Suluh Jaya, Kecamatan Rikit Gaib, Kabupaten Gayo Lues.

b) Melakukan wawancara dengan informan yang tentunya memiliki wawasan tentang masalah yang diteliti. Dalam hal ini, yang menjadi Informan kunci adalah Camat, Seketaris Camat, Informan utama adalah Kepala Mukim, seketaris mukim dan Informan Tambahan adalah Majlis Adat Aceh.

Tipe wawancara yang digunakan peneliti adalah terstruktur dimana sebelum melakukan wawancara terlebih dahulu menyusun daftar pertanyaan yang berhubungan dengan judul atau masalah yang akan diteliti. Namun dalam prosesnya sendiri, peneliti tidak menutup kemungkinan akan munculnya pertanyaan baru sehingga dapat menggali lebih dalam. Berikut ini adalah hasil wawancara dengan beberapa informan.

a. Sejarah dan latar belakang mengenai terbentuknya sistem kepala Mukim

Pertama sekali peneliti bertanya kepada Camat Rikit Gaib Bapak Drs. Bayumin dengan mengajukan pertanyaan : Dapatkah Bapak jelaskan mengenai Sejarah dan latarbelakang mengenai terbentuknya sistem Kepala Mukim ? Dan beliau menjawab:

”Sejarah mencatat bahwa lembaga mukim tersebut terbentuk seiring dengan masuknya agama Islam ke Aceh. Mukim merupakan sistem pemerintahan tersendiri yang dipimpin oleh Imum Mukim. Karenanya, ia tidak tunduk pada


(26)

kekuasaan di atasnya. Mukim mempunyai harta kekayaan serta sumber keuangan sendiri dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.

Pada masa kolonial Belanda keberadaan Imeum Mukim tetap diakui.”

Kemudian peneliti bertanya kepada seketaris Camat Rikit Gaib Bapak Adam SE dengan mengajukan pertanyaan : Dapatkah Bapak jelaskan mengenai Sejarah dan latar belakang mengenai terbentuknya sistem kepala mukim ? Dan beliau menjawab:

“Mengenai awal mula terbentuk sistem Kepala Mukim ini di karenakan tidak

bisa terlepas dari kehidupan masyarakat aceh yang beragama Islam dalam sebuah Mukim yang membawahi beberapa kampung dan terdapat satu mesjid pada jaman dulu jarak antar desa itu berjauhan dan untuk berurusan kecamat susah jadi dengan begitu adanya mukim sebagai tempat pengaduan kepala desa / gecik yang pertama.sehingga masih berlakunya untuk sistem ini

dan menjadi bagian dari sistem pemerintahan dia Aceh.”

Untuk menggambarkan latar belakang mengenai terbentuknya sistem kepala Mukim ini yang lebih jelas lagi, saya mendatangi Bapak Justar selaku Kepala Mukim. Dan beliau menjawab:

“Sejarah dan latar belakang mengenai sistem Kepala Mukim ini sejak dari

masa kolonial Belanda sudah adanya sistem mukim ini dan sudah menjadi kebiasaan dan mendarah daging pada masyarakat mengenai sistem ini dan masih terbawa-bawa dalam masyarakat dalam hal penyelesaian masalah yang ada, dan sempat di hentikan sistem ini namun kembali berjalan lagi. Dan dikarenakan situasi wilayah antara satu kampung dengan satu kampung yang lainnya berjauhan maka untuk mempermudah kepala desa memberi laporan dan tanggapan yang cepat maka mukimlah sebagai tempat penyampaian masalah tersebut dan didalam satu mukim terdapat ada beberapa kampung.karena situasi dan jarak yang berjauhan dari tiap kampung ada, jadi mukim ini membantu kepala desa dalam mengurus

tugasnya dan mengawasinya.”

Selanjutnya saya mewawancarai Bapak Abdurrahman sebagai Sekretaris Mukim masih menanyakan hal yang sama dengan pertanyaan yang diatas dan beliau mengatakan :


(27)

“Latar belakang terbentuknya sistem Kepala Mukim ini dikarenakan adanya kebiasaan-kebiasaan dulu dalam penyelesaian masalah sehingga masih terbawa-bawa sampai saat ini. Ini dikarenakan untuk dapat membantu camat dalam tugasnya, penugasan atau pembagian tugas yang diberikan oleh

camat.”

Masih mengajukan pertanyaan yang sama kepada Bapak H.Zainal Abidin SE.MM selaku kepala seketaris Majelis Adat Aceh Gayo Lues dan beliau mengatakan dalam pertanyaan yang sama :

“Dilihat dari usia, Pemerintahan Mukim memang sudah sangat usang.

Berdasarkan catatan sejarah, Pemerintahan Mukim telah lahir di Aceh sejak beberapa abad silam. Pertama sekali, Pemerintahan Mukim ini dicetuskan pada dinasti Sultan Iskandar Muda, itulah awal kelahiran pemerintahan mukim di Aceh. Sejak dulunya dikala Aceh masih dijajah Belanda mukim ini sudah ada sebagai pembinaan sampai pada pengembangan berbagai hal yang ada dalam mukim-mikim. Mukim senantiasa menjalankan peranannya

dalam mengatur masyarakat.”

b. Apa saja peranan Bapak selaku Kepala Mukim ?

Untuk lebih mengetahui apa saja peran Kepala Mukim maka saya menanyakan pada Bapak Drs. Bayumin selaku camat Rikit Gaib dan beliau berkata :

“Peranan Kepala Mukim tersebut sesuai dengan apa yang sudah menjadi

ketentuan yang tertulis yang dapat dilakukannya, peran kepala Mukim Suluh Jaya dapat kita melihat secara garis besar berperan sebagai masyarakat adat, sebagai Lembaga Adat, sebagai jenjang Pemerintahan dan sesuai

dengan pembagian tugasnya.”

Saya masih melanjutkan pertanyaan ini dengan pertanyaan yang masih sama kepada Bapak Adam,SE sebagai Sekretaris Camat beliau mengatakan :

“Peranan mukim itu sebagai orang penengah dalam masalah karena segala

perkara yang terjadi yang berada dibawah naungan Kepala Mukim harus diketahui oleh Mukim dan diawasi oleh Kepala Mukim karena Mukim ini memilik wewenang dan berperan untuk dapat menyelesian sengketa yang terjadi di tujuh desa bagian Mukim Suluh Jaya ini. Mukim ini berperan


(28)

sebagai pengambil keputusan terhadap perkara-perkara yang ada, dan perannya sudah diatur dalam Qanun.”

Selanjutnya peneliti masih menanyakan kepada bapak Justar sebagai Kepala Mukim di Suluh Jaya dan dia menjelaskan :

“Peranan saya selaku Kepala Mukim berperan untuk mempertanggung

jawabkan permasalahan yang ada di desa Mukim Suluh Jaya dengan memberi hasil laporan tiap bulan. Lalu saya berperan sebagai pengambil keputusan dalam tiap perkara yang tergolong menjadi wewenang saya sesuai dengan Qanun No.4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim. Dan peran saya dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di kampung yaitu dalam kewenangan peradilan adat Qanun Aceh No.9 Tahun 2008 untuk

menyelesaikan sengketa yang ada didesa. ”

Selanjutnya masih melanjutkan pertanyaan kepada seketaris Mukim Bapak Abdurrahman menanyakan hal yang sama dengan sebelumnya beliau mengatakan :

“Peranan Mukim itu sudah diatur dalam qanun tersendiri Dia berperan

sebagai kontribusi pembinaan sampai pada pengembangan berbagai hal yang ada dalam mukim. Mukim senantiasa menjalankan perannya dalam mengatur masyarakat yang kemudian terhadap pembangunan fungsional masyarakat, baik penididikan, agama dan, perekonomian Masyarakat mendapatkan pembinaan dari pemerintahan mukim dalam mengelola dan melaksakan berbagai hal dan dalam pengambil Keputusan sengketa juga ikut terlibat dalam pemutusan yang dia anggap bersifat akhir. ”

Melanjutkan pertanyaan yang diatas maka saya menanyakan kepada Bapak Kasek Majelis Adat Aceh ( MAA) Gayo Lues H. Zainal Abidin SE. MM beliau mengatakan :

“Dalam peranan yang terdapat di Mukim ini sudah diatur dalam Qanun aceh

yang tersendiri maka berdasarkan ketentuan tersebutlah mukim ini malakukan peranannya dan menduduki Jabatannya dalam melakukan tugas peran dari kepala mukim ini kalau dilihat dari pengambil keputusannya dia berperan sebagai ketua sidang dan sebagai penentu pengambilan keputusan bila dilihat dari struktur pedoman peradilan adat tingkat mukim dan sudah


(29)

c. Bagaimana cara Bapak Mengambil Keputusan dalam suatu Perkara ?

Sesuai dengan apa yang menjadi peran yang didapat oleh Mukim dan bawahannya maka saya menanyakan bagaimana cara pengambilan keputusan atas permasalahan/perkara yang terjadi maka saya mewawancarai Bapak Justar Kepala Mukim :

“Terlebih dahulu kita melihat kasus seperti apa yang terjadi apakah tergolong pada kasus-kasus yang dapat diselesaikan ditingkat peradilan adat maka kasus itu dapat diselesaikan tanpa dibawa ke Ranah hukum formal karena bisa diselesaikan secara baik. Cara yang dilakukan dalam pengambilan keputusan yang diutamakan adalah kearifan lokal terlebih dahulu. Bila kasus tersebut tergolong pidana maka Mukim dan bawahannya dapat memberitahu pada camat dan mengarahkan kepada pihak kepolisian ditingkat kecamatan (Polsek) secara lisan maupun tulisan.”

Peneliti masih menanyakan kepada Bapak Abdurrahman sebagai sekretaris Mukim masih menanyakan hal sama dan beliau menjawab :

“Peranan Mukim dalam hal itu sangat penting karena hasil terakhir putusan

ditentukan oleh Kepala Mukim untuk dapat menyelesaikan masalah yang ada karena permasalahan yang ada dilakukan dengan teknik bermusyawarah (Mediasi atau Negosiasi) dalam peradilan adat untuk mencapai hasil putusan

yang baik dan adanya tata cara dalam penetapan keputusan.”

Masih melanjutkan pertanyaan yang sama, maka pertanyaan ini saya layangkan kepada Bapak Drs. Bayumin beliau mengatakan :

“Cara ataupun tahapan dalam pengambilan keputusan itu sistemnya

diselesaikan terlebih dahulu dengan menggunakan sistem adat istiadat, melalui musyawarah, dan kepala Mukim diberi wewenang untuk dapat memgambil suatu keputusan tanpa harus diserahkan ke Camat namun tidak lepas dari pertanggungjawaban laporan atas hasil kerja tetap dilaporkan kepada camat dalam pelaksanaan penetapan keputusan tersebut sesuai dengan tata cara dalam peradilan adat. ”


(30)

Peneliti masih ingin menanyakan bagaimana tentang hasil putusan dalam suatu perkara yang didapat maka saya menanyakan kepada Sekretaris Mukim Bapak Adam,SE beliau menjawab :

“Peran Mukim dalam pengambilan keputusan pastinya dengan cara musyawarah dan diusahakan dengan jalur cara berdamai dari kedua pihak yang bertikai dan diselesaikan dengan cara diserahkan diperadilan adat terlebih dahulu. Dalam hal ini sesuai dengan perintah qanun Aceh No.9 Tahun 2008 pasal 13 ayat (3) yang menegaskan bahwa : Aparat penegak hukum memberi kesempatan kepada keucik dan Imuem Mukim untuk menyelesaikan sengket-sengketa atau perselisihan digampong atau Mukim masing-masing. Itulah cara hasil mendapatkan keputusan dalam suatu

perkara.”

Melanjutkan pertanyaan kepada Bapak Kepala Seksi Majelis Adat Aceh Gayo Lues dan beliau mengatakan bahwa :

“Untuk mendapatkan suatu putusan maka ada tata caranya dari peradialn

adat kita bawa dulu keforum karena dalam persidangaan tidak di ambil persetujuan oleh sepihak, melainkan dari hasil yang sudah di rembukkan semulanya begitulah dalam pengambilan keputusan yang dilakukan dalam

peradila adat.”

d. Bagaimana Proses Menyelesaian Sengketa yang Dilakukan?

Hukum adat tidak membedakan antar kasus perdata dan pidana. Namun untuk memudahkan penjelasan prosedur penanganannya, ada petimbangan-pertimbangan dan prosedur-prosedur yang perlu diterapkan jika kasus pidana sedang ditangani dan diselesaikan. Maka saya menanyakan pada Bapak Camat mengenai proses menyelesaikan sengketa yang dilakukan maka beliau menjawab bahwa:

“Dalam menyelesaikan sengketa yang ada dalam prosesnya kita membuka

Forum persidangan terutama dari tata letak duduk para pihak dan para pelaksana peradilan adat disusun sedemikian rupa sehingga kelihatan formil secara adat maka dengan telah ditetapkannya tata letak duduk maka dengan


(31)

begitu persidangan dimulai dan dapat mengambil keputusan dari

musyawarah yang sudah dilakukan. ”

Melanjutkan pertanyaan dengan seketaris camat Bapak Adam SE mengajukan pertanyaan yang sama dengan begitu beliau menjawab:

“Proses yang dilakukan untuk dapat menyelesaikan sengketa tersebut

biasanya dibawa dalam peradilan adat dan diselesaikan secara adat dengan cara musyawarah begitulah proses yang dilakukan dalam menyelesaikannya.”

Saya masih melanjutkan pertanyaan dengan Bapak justar selaku kepala mukim dan sebagai kepala sidang dalam proses penyelesaian sengketa ini dan beliau pun menjawab :

“Proses penyelesaian yang kita lakukan sesuai dengan prosedur yang sudah

ditetapkan maka disini kita mengambil cara penyelesaian secara damai terlebih kita mencari kesepakatan dengan bermusyawarah dalam peradilan untuk dapat menetapkan suatu ketetapan dengan menyelesaikan persengketaan yang terjadi dan sejalan dengan prosedur yang ditetapkan.”

Melanjutkan pertanyaan yang sama dengan sekretaris mukim disini Bapak Abdurrahman mengatakan :

“Untuk menyelesaikan perkara/sengketa biasanya kita membawa keforum

peradilan adat dan melakukan musyawarah dengan anggota lainnya dengan begitulah cara yang dilakukan untuk dapat menyelesaikan dengan mendapatkan hasil putusan dari musyawarah dalam peradilan dengan

memberi tanggapan terhadap permasalahan yang terjadi.”

Peneliti masih melakukan wawancara dengan Bapak Kepala Sekretaris Majelis Adat Aceh Kabupaten Gayo Lues beliau menjawab :

“Dalam menyelesaikan sengketa yang ada sudah ada ketentuan yang diatur dalam qanun yaitu dengan membawa masalah tersebut keperadilan dalam tingkat kampung maupun tingkat Mukim dan proses penyelesaian itu ada tingkatannya dengan begitu mereka membawa kasus tersebut keperadilan adat dan menyelesaikan perkara dengan prosedur yang ada. ”


(32)

e. Dalam Hal atau Perkara Apa Saja Yang Sudah Dapat di Selesaikan Kepala Mukim ?

Permasalahan yang terjadi antar kampung merupakan pertanggung jawaban yang harus di atasi dan disesaikan oleh bapak Mukim. Untuk itu kita akan mempertanyakan kepada Bapak Drs. Buyamin Camat Rikit Gaib maka beliau menjawab :

“Berbicara mengenai masalah perkara yang terjadi antar kampung itu pasti

ada terjadi untuk sejauh ini perkara yang diatasi itu untuk sejauh ini sudah dapat diselesaikan dengan Kepala Mukim di misalnya seperi perkara yang kemarin pernah terjadi yaitu tentang sengketa Hak milik tanah itu diselesaikan oleh Mukim dan sudah selesai, dalam menyelesaikan perkara ada tingkatan dalam penyelesaian mungkin perkara itu dapat di atasi oleh

tingkat Kampung terlebih Dahulu. ”

Kemudian saya masih menelusuri jawaban mengenai pertanyaan yang sama kepada Bapak Adam SE selaku sekretaris camat dan beliau pun menjawab :

“Perkara yang pernah terjadi di Mukim Suluh Jaya ini pasti ada saja yang terjadi namun sebagai perkara atau kasus yang ada sudah dapat diselesaikan di tingkat kampung. Namun perkara yang tidak dapat diselesaikan tingkat kampung perkara itu dibawa ketingkat mukim dan selama saya menjabat perkara yang ada yaitu masalah perselisihan antar warga, perselisihan dalam rumah tangga, perkara tanah dan ada juga yang melakukan Khalawat

dan diselesaikan semua secara peradilan adat. ”

Saya melanjutkan pertanyaan kepada Bapak Mukim yaitu Bapak Justar saya menanyakan hal yang masih sama dengan yang di atas maka bapak menjawab :

“Perkara yang menjadi kewenangan saya dalam peradilan adat itu sesuai

dengan menurut Qanun Aceh nomor 9 tahun 2008 diantaranya perkara yang pernah terjadi dan dapat saya selesaikan selaku Kepala Mukim diantaranya :

1. Persoalan perkara Tanah 2.Perselisihan adat istiadat

3.Pertikaian yang terjadi dikampung 4.Perselisihan antar warga


(33)

5.Perselisihan dalam Rumah Tangga 6. Permasalahan Khalawat/Mesum

Masih melanjutkan pertanyanan yang sama dengan anggota Mukim yaitu bertanya kepada Bapak Abdurrahman dan beliau mengatakan :

“Masalah yang sering terjadi itu biasanya masalah pertikaian yang terjadi

mengenai pertengkaran Rumah tangga yang terkadang tidak dapat diselesaikan diantar kedua belah pihak sampai perkara itu didamaikan oleh Mukim yang sebagai pihak mediasi diantara mereka. Masalah yang lain adanya persengketaan atas kepemilikan tanah yang bertikai antar masyarakat dalam mukim dan luar mukim maka ini diselesaika dengan pedoman

Peradilan di Adat Aceh. ”

f. Apakah Selama ini Untuk dapat Memutuskan Suatu Perkara itu Sesuai dengan Peraturan yang Dibuat dalam Qanun ?

Mengingat segala sesuatu hal yang dilakukan dalam pengambilan keputusan haruslah memiliki kemampuan dan dasar pegangan yang kuat untuk dapat menetapkan keputusan yang tidak terlepas dari jalur ketentuannya maka peneliti menanyakan hal ini pada Camat yaitu Bapak Bayumin dan beliau pun menjawab :

“Dalam pengambilan keputusan kita tidak mungkin mengambil keputusan

dengan sesuka hati, karena kita juga harus melihat undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh Bab XIII tentang lembaga adat. Dan melihat peraturan yang ada didalam Qanun No. 4 Tahun 2003 tentang pemerintah mukim. Maka memutuskan itu juga dengan dasar yang sudah ada di tetapkan dan kita juga dengan cara memutuskan sesuatu itu dengan

bermusyawarah dalam peradilan adat. ”

Masih menanyakan yang sama saya mengajukan kembali pertanyaan yang sama dengan Bapak Adam SE dan beliau bersedia menjawab :

“Suatu keputusan itu sudah harus sesuai dengan apa yang menjadi ketentuan

bila tidak pasti perkara tersebut tidak dapat diselesaikan. Seperti yang sudah


(34)

Kemudian saya masih melanjutkan pertanyaan ini kepada bapak Justar yang menjabat sebagai Kepala Mukim beliau menjawab :

“Harus sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang tertera dari Qanun Aceh

yang sudah ada ditetepkan dan berjalan sesuai dengan yang menjadi wewenang saya dan tugas saya sebagai penentu pengambilan keputusan terhadap hasil akhir maka saya juga menjalankan tugas sebagaimana yang ada dalam ketentuan seperti qanun No. 4 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggro Aceh Darussalam memberikan wewenang pada saya dan sesuai dengan proses penyelesaian perkara yang kita

lakukan.”

Pertanyaan yang sama masih tetap kita lanjutkan seperti yang diatas maka pertanyaan ini pun saya tanyakan pada bapak Abdurrahman yaitu seketaris Mukim dan beliau mengatakan :

“Yang kita lihat seperti penyelesaian masalah yang sudah-sudah saya lihat hasil putusan itu sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku dan dengan

bermusyawarah memutuskannya dan sesuai dengan aturan. ”

Setelah menanyakan kepada seketaris mukim saya beralih bertanya kepada bapak H. Zainal Abidin SE.MM Kasek MAA Gayo Lues dan beliau menjawab :

”Dalam pengambilan keputusan yang di lakukan harus sudah sesuai, karena

masalah yang lalu- lalu pernah ada sudah berdasarkan ketentuan Qanun yang sudah tertera. Dan harus sesuailah dengan ketentuan yang sudah diberlakukan jadi apabila tidak sesuai maka hal itu tidak akan dapat

diselesaikan dengan baik. ”

g. Apakah Setiap Pendapat dalam Pengambilan Keputusan Dapat Diterima Oleh Masyarakat?

Dalam keputusan yang didapat dan diberikan dapat dipastikan adanya rasa puas dan tidak puas yang dirasakan oleh pihak yang terkait untuk itu kita menanyakan mengenai hasil putusan tersebut apakah selalu dapat diterima oleh pihak yang


(35)

bersangkutan maka saya menanyakan kepada Bapak Mukim yaitu Bapak Justar dan beliau mengatakan :

“Pendapat maupun keputusan yang saya beri namun untuk masyarakat itu semua dalam hal kebaikkan namun walaupun demikian pasti hasil keputusan yang saya beri juga bukan hanya dari diri saya sendiri kami juga sudah memusyawarahkan jadi keputusan yang saya beri itulah yang menjadi keputusan yang tepat dan dapat di mengerti masyarakat dan diterima. ”

Selanjutnya saya masih menanyakan dengan sekretaris mukim mengenai pertanyaan yang sama dengan yang diatas maka Bapak Abdurrahman menjawab :

“Kalau hasil dari keputusan pasti ada prokontra, tapi masyarakat selalu terima atas apa hasil putusan kepala mukim seperti contoh permasalahan perselisihan dalam rumah tangga pasti putusan yang diberi hal baik dibawa

dalam penyelesaian adat dan mereka juga dapat menerima. “

Masih memberikan pertanyaan kembali dengan orang yang sama yaitu dengan bapak Camat Rikit Gaib Drs. Bayumin beliau mengatakan :

“Terima maupun tidak, itu kan merupakan hasil putusan yang diberikan

kepala mukim sebagai penetap keputusan jadi, hal yang diberi juga dalam hukum positif dan kebaikan itu juga jadi masalah selesai dan diterima oleh

mereka masyarakat. ”

Masih memberi pertanyaan yang sama kepada seketaris Camat Bapak Adam SE dan beliau menjawab:

“Biasanya dari perkara-perkara yang ada dan hasil putusan mukim itu diterima masyarakat dan bilapun tidak dapat diterima maka kami menyerahkan masalah itu pada tingkat atas yaitu pada pihak yang berwajib hukum Negara untuk dapat menyelesaikan masalahnya. Biasanya juga selalu dapat diterima. Dalam hasil putusan pendapat yang disampaikan oleh kepala mukim sudah di bawa keperadilan adat dan putusan itu pun sudah menjadi berdasarkan ketentuan yang terdapat atau tertera dalam Qanun mengenai apa yang harus di dapat oleh pihak terkait, namun hal ini masih dianggap


(36)

h. Bagaimana Strata atau Tingkatan yang Didapat Oleh Gecik dan Kepala Mukim dalam Pengambilan Peranannya ?

Untuk pemabagian tugas dan dalam pengmabilan peranannya harus sama dengan ketentuan yang diapat dari tiap porsi yang sudah ditentukan maka dari itu saya ingin tahu bagaimana yang tingkatan yang didapat dalam perannya maka saya bertanya pada Bapak Justar sebagai Kepala Mukim maka beliau menjawab :

“Dalam Proses penyelesaian permasalahan di kampung atau mukim terlebih

dahulu permasalahan itu di selesaikan di tingkat kampung dulu bila tidak dapat diselesaikan tingkat kampung baru permasalahan itu naik ketingkat mukim sebagai penentu akhir dalam pemutusan masalah, bila juga tidak dapat diselesaikan, maka mukim memberi rekom kepada camat. Jadi strata

dalam peranan itu berjalan. ”

Kemudian saya bertanya kepada Bapak Abdurrahman menanyakan starta atau tingkatan dalam pengambilan keputusan dan beliau berkata:

“Tingkatan yang didapat oleh gecik dan Kepala Mukim dalam perannya sesuai

dengan strata yang diaturkan. Jika permasalahan tidak dapat diselesaikan/ diputuskan oleh gecik maka masalah oleh mukim bila itu juga tidak dapat diselesaikan atau tidak diterima putusannya, dalam waktu 15 hari tidak diterima

oleh warga baru dialihkan ke Camat itu juga harus sesuai dengan prosedur. “ Kemudian melanjutkan pertanyaan ini kepada bapak Camat Rikit Gaib menanyakan hal yang sama dan beliau menjawab :

“Peranan yang dari setiap gecik dan mukim tidak ada salah mengambil perannya karena semua sudah terstruktur, bagaimana dengan kebiasaan-kebiasaan dan sudah mengetahui porsi dari masing-masing tugas yang mereka


(37)

Lalu peneliti menanyakan kepada seketaris Camat Bapak Adam SE yang mengatakan bahwa tingkatan yang didapat Gecik dan Kepala Mukim dalam peranannya beliau menjawab :

“Dalam tingkatan penyelesaian sengketa itu terlebih dulu diatasi oleh tingkat

kampung dulu dalam tingkatan penyelesaian masalah yang ada sudah diatur dan terstruktur didalam penyelesaiannya apakah perkara ini harus dibawa pada

tingkat mukim, ada tahapan yang ditetapkan. ”

Melanjutkan pertanyaan yang sama kepada Bapak H. Zainal Abidin SE.MM Kasek MAA Gayo Lues beliau mengatakan :

“Dalam peranan yang didapat gecik dan mukim itu berbeda dan adanya

tingkatan yang didapat dan dalam pedoman peradilan adat aceh untuk menyelesaikan perkara yag ada sudah ada qanun yang menentukan bagian-bagian dan tahapan yang didapat untuk menyelesaikan perkara tersebut. Biasanya permasalahan di selesaikan tingkat mukim dulu dan bila tidak terelesaikan maka tingkat mukimlah yang melanjutkan menyelesaikan perkara


(38)

BAB V ANALISA DATA

A. Hasil Analisa Data

Pada bab ini, peneliti menganalisis dan menginterpretasikan data yang telah dikumpulkan dan disajikan pada bab sebelumnya. Adapun jenis metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan analisa data kualitatif, dimana data dan fakta yang didapatkan di lapangan dideskripsikan sebagaimana adanya diiringi dengan penafsiran dan analisa yang rasional.

Dari seluruh data yang telah disediakan secara menyeluruh yang diperoleh selama penelitian, baik melalui wawancara, studi kepustakaan, serta observasi terhadap fenomena-fenomena yang terjadi yang ada kaitannya dengan Peranan Imeum Mukim Dalam Pengambilan Keputusan Sengketa Antar Masyarakat Di Kecamatan Rikit Gaib Kabupaten Gayo Lues. Penelitian ini mengkaji tentang peranan Imeum Mukim dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai pengambil keputusan atas sengketa yang terjadi di Mukim Suluh Jaya. Dalam penelitian ini yang menjadi informan Adapun informasi dalam penelitian yang digunakan dalam penelitian terdiri atas Informan adalah Camat, Seketaris camat, Gecik. Informan utama adalah Kepala Mukim dan Perangkat Mukim, Informan Tambahan adalah Majlis Adat Aceh dan Masyarakat sebanyak 22 orang yang di mintai pendapat untuk dapat mengisi kuesioner dan lima orang yang di wawancarai


(39)

dianggap paham akan masalah peneliti ini. Dimana metode wawancara ini ditujuan untuk memperkuat validitas data yang diperoleh.

Selanjutnya dalam analisa data ini, akan manjabarkan masalah-masalah yang ditemukan di lapangan, untuk dilakukan analisa terhadap setiap data yang ada dan fakta yang didapat melalui interpretasi data dan penguraian-penguraian masalah sebagai berikut:

a. Sejarah dan Latar Belakang Mengenai Terbentuknya Sistem Kepala Mukim

Dari hasil penelitian dan wawancara dari berbagai narasumber yang ada meliputi Camat, Sekretaris Camat, Kepala Mukim, Sekretaris Mukim, Majelis Adat Aceh Gayo Lues, memberikan jawaban yang bervariasi. Secara umum dari hasil wawancara, informan menggambarkan sejarah dan Latar Belakang mengenai terbentuknya sistem Mukim.

Beberapa informan mengatakan bahwa sejarah mencatat bahwa Mukim tersebut terbentuk seiring dengan masuknya agama Islam ke Aceh. Mukim merupakan sistem pemerintahan tersendiri yang dipimpin oleh Imeum Mukim. Karenanya, ia tidak tunduk pada kekuasaan di atasnya. Mukim mempunyai harta kekayaan serta sumber keuangan sendiri dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Pada masa kolonial Belanda keberadaan Imeum Mukim tetap diakui. Mengenai sistem Kepala Mukim ini sejak dari masa kolonial Belanda sudah adanya sistem mukim ini dan sudah menjadi kebiasaan dan mendarah daging pada masyarakat mengenai sistem ini dan masih terbawa-bawa dalam masyarakat dalam


(40)

hal penyelesaian masalah yang ada, dan sempat di hentikan sistem ini namun kembali berjalan lagi. Dan dikarenakan situasi wilayah antara satu kampung dengan satu kampung yang lainnya berjauhan maka untuk mempermudah kepala desa memberi laporan dan tanggapan yang cepat maka mukimlah sebagai tempat penyampaian masalah tersebut dan didalam satu mukim terdapat ada beberapa kampung. Karena situasi dan jarak yang berjauhan dari tiap kampung yang ada, jadi Mukim ini membantu kepala desa dalam mengurus tugasnya dan mengawasinya.

Dari pertanyaan dengan informan yang sudah kita lakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa sejarah dan latar belakang Mukim ini sudah ada sejak masuknya Islam ke Aceh dan dari jaman penjajahan Belanda ataupun Pemerintahan Indonesia, sudah berlaku yang dinamakan sistem pemerintahan mukim ini pada masyarakat Aceh. Mukim tetap eksis sebagai satuan pemerintahan adat dan dilaksanakan berdasrkan adat dan hukum adat. Keberadaan Imeum Mukim diakui sebagai salah satu unit pemerintahan tersendiri yang berada dibawah camat dan diatur dalam Qanun masing-masing Kabupaten/Kota.

b. Peranan Selaku Kepala Mukim

Peranan yang didapat Kepala Mukim Nomor 2 Tahun 2012 pasal 11 tentang Tugas dan Kewajiban Kepala Mukim merupakan sebagai membina kerukunan beragama dan antar umat beragama serta meningkatkan kualitas pelaksanaan Syari’at Islam dalam masyarakat, melaksanakan tugas pembantuan dari Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten melalui camat, menjaga dan memelihara kelestarian adat dan


(41)

istiadat, kebiasaan–kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, membina kesejahteraan masyarakat, memelihara ketenteraman dan ketertiban serta sikap saling menghargai secara inklusif dalam masyarakat, menjadi hakim adat dalam penyelesaian persengketaan adat di kemukiman.

Dari hasil penelitian dan wawancara dari berbagai narasumber yang ada meliputi Bapak Camat, Sekretaris Camat, Kepala Mukim, Sekretaris Mukim dan Majelis Adat Aceh Gayo Lues memberikan jawaban yang secara umum dari hasil wawancara, informan menggambarkan Peranan Selaku Kepala Mukim sudah ada aturan dan qanun yang menjadi dasar berlakunya sistem Kepala Mukim ini. Peranan Kepala Mukim tersebut sesuai dengan apa yang sudah menjadi ketentuan yang tertulis yang dapat dilakukannya, peranan Kepala Mukim Suluh Jaya dapat kita melihat secara garis besar berperan sebagai masyarakat adat, sebagai Lembaga Adat, sebagai jenjang Pemerintahan dan sesuai dengan pembagian tugasnya.

Peranan mukim itu sebagai orang penengah dalam masalah karena segala perkara yang terjadi yang berada dibawah naungan Kepala Mukim harus diketahui oleh Mukim dan diawasi oleh Kepala Mukim karena Mukim ini memilik wewenang dan berperan untuk dapat menyelesian sengketa yang terjadi di tujuh desa bagian Mukim Suluh Jaya ini. Mukim ini berperan sebagai pengambil keputusan terhadap perkara-perkara yang ada, dan peranannya sudah diatur dalam Qanun No.4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim. Dan peran dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi dikampung yaitu dalam kewenangan peradilan adat Qanun Aceh No.9


(42)

Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat untuk menyelesaikan sengketa yang ada dikampung bagian Mukim Suluh Jaya.

c. Cara Pengambilan Keputusan dalam Sengketa

Dalam mengambil suatu keputusan merupakan bukan suatu hal yang dianggap mudah dan harus memikirkan dari tiap perkara yang dilakukan secara adil agar tidak ada pihak yang merasa lebih dirugikan dan merasakan lebih tertindas dari hasil keputusan yang kita tetapkan. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam pedoman peradilan Adat di Aceh yang diutamakan adalah dengan cara perdamaian untuk keputusan yang diberikan. Untuk mengambil keputusan harus sesuai dengan prosedur yang ada untuk memutuskan terlebih harus mengetahui pokok perkara, keterangan para pihak, keterangan saksi, bukti yang diajukan, pertimbangan agota majelis, usulan bentuk penyelesaian damai, pernyataan menolak / menerima bentuk damai, dengan begitu baru kita dapat memutuskan untuk penetapan keputusan musyawarah. Dengan begitu kita dapat melihat dari hasil wawancara yang peneliti lakukan yang bertanya pada informan yang sudah ditetapkan.

Hasil wawancara yang didapat mengatakan bahwa, Terlebih dahulu kita melihat kasus seperti apa yang terjadi apakah tergolong pada kasus-kasus yang dapat diselesaikan ditingkat peradilan adat maka kasus itu dapat diselesaikan tanpa dibawa ke Ranah hukum formal karena bisa diselesaikan secara baik. Cara yang dilakukan dalam pengambilan keputusan yang diutamakan adalah kearifan lokal terlebih dahulu. Bila kasus tersebut tergolong pidana maka Mukim dan bawahannya dapat


(43)

memberitahu pada camat dan mengarahkan kepada pihak kepolisian ditingkat kecamatan (Polsek) secara lisan maupun tulisan. Untuk memberitakan sengketa yang terjadi juga melalui prosedur karena masalah itu di sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan untuk dapat diputuskan menyelesaikan dan mengambil keputusan yang diserah kemukim dan bila tidak teratasi maka di bawa kejalur hukum Negara.

Peranan Mukim dalam hal menetapkan putusan sangat penting karena hasil terakhir putusan ditentukan oleh Kepala Mukim untuk dapat menyelesaikan masalah yang ada karena permasalahan yang ada dilakukan dengan teknik bermusyawarah (Mediasi atau Negosiasi) dalam peradilan adat untuk mencapai hasil putusan yang baik dan adanya tata cara dalam penetapan keputusan. Cara ataupun tahapan dalam pengambilan keputusan itu sistemnya diselesaikan terlebih dahulu dengan menggunakan sistem adat istiadat, melalui musyawarah, dan Kepala Mukim diberi wewenang untuk dapat memgambil suatu keputusan tanpa harus diserahkan ke camat namun tidak lepas dari pertanggungjawaban laporan atas hasil kerja tetap dilaporkan kepada camat dalam pelaksanaan penetapan keputusan tersebut sesuai dengan tata cara dalam peradilan adat. Dalam hal ini sesuai dengan perintah Qanun Aceh No.9 Tahun 2008 pasal 13 ayat (3) yang menegaskan bahwa : Aparat penegak hukum memberi kesempatan kepada keucik dan Imuem Mukim untuk menyelesaikan sengket-sengketa atau perselisihan digampong atau Mukim masing-masing. Itulah cara hasil mendapatkan keputusan dalam suatu perkara. Yang dikatakan menjadi putusan akhir Mukim karena keputusan yang diberi tersebut dapat kita lihat sebagai penentu apakah perkara tersebut dibawa kejalur yang lebih serius apa dapat diatasi.


(44)

d. Proses Menyelesakan Sengketa

Hukum adat tidak membedakan antar kasus perdata dan pidana. Namun untuk memudahkan penjelasan prosedur penanganannya, ada perimbangan-pertimbangan dan prosedur-prosedur yang perlu diterapkan jika kasus pidana sedang ditangani dan diselesaikan. Kasus / perkara pidana yang paling umum jatuh dibawah payung adat adalah pencurian dan kekerasan. Mekanisme dan prosedur penanganan perkara beserta prosesi penyelesaiannya didepan pengadilan berdasarkan hukum positif atau formal menghabiskan waktu sepanjang jenjang peradilan adat yang dilakukan sesuai dengan tahapan-tahapannya.

Wawancara yang saya lakukan dalam menyelesaikan sengketa yang ada dalam prosesnya k membuka forum persidangan terutama dari tata letak duduk para pihak dan para pelaksana peradilan adat disusun sedemikian rupa sehingga kelihatan formil secara adat maka dengan telah ditetapkannya tata letak duduk maka dengan begitu persidangan dimulai dan dapat mengambil keputusan dari musyawarah yang sudah dilakukan. Dengan membuka forum seperti itu harus adanya dasar-dasar penyelesaian sengketa yaitu ada komunikasi, ada lembaga mukim, adanya perangkat, adanya kompetensi / kewenangan, ada proses, ada administrasi , ada persidangan, ada keputusan, ada eksekusi, ada upacara/ seremonial.

Dengan begitu melihat perkara dan prosesi penyelesaiannya ada tahapan dan ketentuannya proses penyelesaian yang dilakukan sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan maka disini kita mengambil cara penyelesaian secara damai terlebih kita mencari kesepakatan dengan bermusyawarah dalam peradilan untuk dapat


(45)

menetapkan suatu ketetapan dengan menyelesaikan persengketaan yang terjadi dan sejalan dengan prosedur yang ditetapkan dengan secara perdamaian.

e. Perkara yang Sudah Dapat di Selesaikan Kepala Mukim

Sengketa atau perselisihan adat menurut Qanun no. 9 tahun 2008, tentang Pembinaan kehidupan adat adat istiadat meliputi: perselisihan dalam rumah tangga, sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh, perselisihan antar warga, khalwat meusum, perselisihan tentang hak milik, pencurian dalam keluarga (pencurian ringan), perselisihan harta sehareukat, pencurian ringan, pencurian ternak peliharaan, pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan, persengketaan di laut, persengketaan di pasar, penganiayaan ringan, pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat), pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik, pencemaran lingkungan (skala ringan), ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman), dan perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat. Hal itulah yang menjadi ketentuan yang diatasi oleh peradilan tingkat mukim dan kampung.

Dari hasil wawancara yang sudah dilakukan maka yang sudah pernah terjadi di Mukim Suluh Jaya ini diantaranya dapat ditarik kesimpulannya oleh peneliti Berbicara mengenai masalah perkara yang terjadi antar kampung itu pasti ada terjadi untuk sejauh ini perkara yang diatasi itu untuk sejauh ini sudah dapat diselesaikan dengan Kepala Mukim di misalnya seperi perkara yang kemarin pernah terjadi yaitu tentang sengketa Hak milik tanah itu diselesaikan oleh Mukim dan sudah selesai,


(46)

dalam menyelesaikan perkara ada tingkatan dalam penyelesaian mungkin perkara itu dapat di atasi oleh tingkat Kampung terlebih Dahulu, pernah terjadi dan dapat diselesaikan selaku Kepala Mukim diantaranya : persoalan perkara tanah , perselisihan adat istiadat, pertikaian yang terjadi dikampung, perselisihan antar warga, perselisihan dalam rumah tangga, permasalahan khalawat/mesum.

Masalah yang sering terjadi itu biasanya masalah pertikaian yang terjadi mengenai pertengkaran Rumah tangga yang terkadang tidak dapat diselesaikan diantar kedua belah pihak sampai perkara itu didamaikan oleh Mukim yang sebagai pihak mediasi diantara mereka. Masalah yang lain adanya persengketaan atas kepemilikan tanah yang bertikai antar masyarakat dalam mukim dan luar mukim maka ini diselesaikan dengan pedoman Peradilan di Adat Aceh.

Penyelesaian sengketa yang sudah pernah terjadi yang disebutkan diatas sudah dapat diselesaikan pada peradilan adat dilakukan dan sudah berdasarkan prosedur dan ketentuan yang berlaku dalam penyelesaiannya maka disini meraka melakukan pemeberian sanksi yang diberikan kepada pelanggar hukum adat dalam Pasal 16 Qanun no. 9 tahun 2008 tentang Jenis-jenis Sanksi Adat yang diberi antara antara lain: nasehat, teguran, pernyataan maaf, sayam; (semacam peusijuek), diyat, denda, ganti kerugian, dikucilkan oleh masyarakat gampong, dikeluarkan dari masyarakat gampong, pencabutan gelar adat dan bentuk sanksi lainnya sesuai dengan adat setempat.


(47)

f. Memutuskan Perkara Sesuai dengan Peraturan

Proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk ditindak lanjuti digunakan sebagai suatu cara pemecahan masalah. Untuk dapat menetapkan dalam suatu perkara harus berdasarkan ketentuan yang sudah di atur dalam qanun dan disini peneliti sudah melakukan wawancara dalam pengambilan keputusan terhadap sengketa sudah memiliki kemampuan dan dasar pegangan yang kuat untuk dapat menetapkan keputusan yang tidak terlepas dari jalur ketentuannya dengan ketentuan dan mengutamakan hukum kebaikan yang diberikan.

Dalam pengambilan keputusan tidak mungkin mengambil keputusan dengan sesuka hati, karena harus melihat Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Bab XIII tentang lembaga adat. Dan melihat peraturan yang ada didalam Qanun No. 4 Tahun 2003 tentang pemerintah Mukim. Maka memutuskan itu juga dengan dasar yang sudah ada di tetapkan dan kita juga dengan cara memutuskan sesuatu itu dengan bermusyawarah dalam peradilan adat.

Dari Qanun Aceh yang sudah ada ditetepkan dan berjalan sesuai dengan yang menjadi wewenang dan tugas sebagai penentu pengambilan keputusan terhadap hasil akhir maka untuk menjalankan tugas sebagaimana yang ada dalam ketentuan seperti Qanun No. 4 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggro Aceh Darussalam memberikan wewenang pada Kepala Mukim dan sesuai dengan proses penyelesaian perkara yang dilakukan.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku dan mengikutu proses yang dilakukan untuk dapat memutuskan sesuai dengan dasar yang sudah ada maka disini


(48)

dapat disimpulkan para pemerintahan mukim tidak melakukan atau mengabil keputusan berdasarkan kehendak sendiri menyelesaikan melainkan mengikuti peraturan yang sudah dibuat.

g. Pengambilan keputusan dapat diterima oleh masyarakat

Hasil keputusan yang diberikan adalah hasil yang sudah dibawakan keforum dan sudah dimusyawarahkan, berdasarkan hasil yang ditetapkan sudah sesuai dan hasil keputusan dapat diterima dengan mengutamakan sistem tanpa vonis menang atau kalah .

Maka dari itu peneliti sudah menanyakan dengan Kepala Mukim hal keputusan yang diberi bagaimana tanggapan masyarakat apakah dapat diterima atau menjadi konflik yang baru terjadi lagi atas keputusan maka dapat disimpulkan dari hasil wawancara yang didapat, hasil keputusan itu sudah dapat diterima namun, masih adanya ditemui prokontra dari keputusan yang beri walaupun demikian keputusan yang ditetapkan sudah berdasarkan hukum adat merupakan penyelesaian perkara yang sangat efektif jika di tinjau secara social. Artinya, kemungkinan untuk selesai dalam suatu perkara sangatlah besar. Hal ini karena masyarakat kita sudah terbiasa dengan hukum adat yang berlaku dibandingkan dengan hukum positif. Selain biaya murah juga tidak merepotkan. Artinya tidak perlu memikirkan prosedur yang sangat membingungkan. Dan hasil yang diputuskan tetap diterima karena biasanya putusan itu dengan cara kebaikan dari hukum adat yang diberi.


(49)

h. Strata Gecik dan Kepala Mukim dalam Pengambilan Perannya

Adanya tingkatan-tingkatan yang didapat dalam struktur tingkat Mukim dan Kampung dan dalam peranan yang didapat sudah ada aturan yang tersendiri yang ditemukan sesuai dengan yang didapat dalam qanun bawah Mukim peranannya harus sama dengan ketentuan yang diapat dari tiap porsi yang sudah ditentukan Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Kabupaten Gayo Lues yang terdiri atas gabungan beberapa Kampung yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah camat yang dipimpin oleh Kepala Mukim.

Maka dari tiap tugasnya sudah mengerti mana yang menjadi bagian dari Kepala Mukim dan mana yang menjadi tugas gecik, dari sini terlihat tidak ada kekeliruan yang diterima karena mereka sudah menjalankan sesuai dengan apa yang menjadi tugas mereka dalam mengatasi sengketa yang ada.

Untuk itu peneliti sudah mewawancarai beberapa narasumber yang dapat dipercaya maka dapat disimpulkan dalam proses penyelesaian permasalahan di kampung atau mukim terlebih dahulu permasalahan itu di selesaikan di tingkat kampung terlebih dahulu dan bila tidak dapat diselesaikan tingkat kampung baru permasalahan itu naik ketingkat mukim sebagai penentu akhir dalam pemutusan masalah, bila juga tidak dapat diselesaikan, maka mukim memberi rekom kepada camat. Jadi strata dalam peranan itu berjalan dan terlihat jelas prosedur yang dikerjakan dengan begitu tidak ada yang meengambil peranan dari tiap struktur. Tingkatan yang didapat oleh gecik dan Kepala Mukim dalam perannya sesuai dengan


(50)

strata yang diaturkan. Jika permasalahan tidak dapat diselesaikan/ diputuskan oleh gecik maka masalah oleh Mukim bila itu juga tidak dapat diselesaikan atau tidak diterima putusannya, dalam waktu 15 hari tidak diterima oleh warga baru dialihkan ke camat itu juga harus sesuai dengan prosedur. Maka sistem untuk dapat menentukan keputusan harus berdasarkan yang tahapan-tahapan yang didapat dan memiliki peranan tersendiri dan saling membatu dan mengkoordinasikan.


(51)

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka peneliti dapat menarik kesimpulan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Kabupaten Gayo Lues yang terdiri atas gabungan beberapa kampung yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah camat yang dipimpin oleh Kepala Mukim

2. Keberadaan Kepala Mukim semakin kuat dengan diundangkannya Qanun (Perda)

Provinsi Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memberikan wewenang kepada mukim untuk memutuskan dan atau menetapkan hukum, memelihara dan mengembangkan adat, menyelenggarakan perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan adat terhadap perselisihan-perselisihan dan pelanggaran adat, memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan adat dan adat istiadat.

3.Sengketa atau perselisihan yang terjadi di tingkat gampong dan mukim yang


(52)

Qanun Aceh Nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh.

4. Sistem pemerintahan Mukim selain memiliki hubungan dalam penyelenggaraan

pemerintahan dengan Pemerintah Kampung sesuai dengan tugas, wewenang dan fungsinya, juga memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Kepala Desa dan masyarakat. Sebagai suatu lembaga di yang mengawasi tujuh desa, Mukim juga bertanggungjawab terhadap apa saja yang terjadi di salah satu desa dan sebagai pihak yang mengatasi permasalahan terlebih awal dan menyelesaikan perkara sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan pengawasan tentang Kebiasaan Adat dan Adat Istiadat sesuai dengan dasar hukum Qanun No 9 Tahun 2009 .

5. Mukim memiliki peran yang sangat berpengaruh atas pengambilan keputusan

terhadap perkara yang ada dalam suatu desa yang memiliki sengketa perkara tanah, perselisihan adat istiadat, pertikaian di kampung, selisih antara warga yang semua perkara dilaporkan kepada Kepala Mukim dan diselesaikan secara adat istiadat oleh mukim dan selama perkara tersebut tidak dapat diselesaikan oleh mukim dengan camat maka perkara tersebut dibawa kejalur hukum Negara dan selama permasalahan itu tidak dapat tergolong ke pidana maka masih tetap di atasi oleh pemerintahan camat dan bawahannya. Mukim juga sebagai perantara penyampaian kepada camat untuk memberikan laporan perbulannya kepada camat.


(53)

6. Adanya tingkatan-tingkatan yang didapat dalam penyelesaian sengketa terlebih

dahulu diatasi pada tingkat kampung dan dilanjutkan pada tingkat peradilan mukim apabila tidak dapat diatasi oleh peradilan kampung, apabila perkara tidak dapat terselesaikan maka masih berlajut dibawa kepada camat dan bahkan pada peradilan formal Negara diserahkan.

7. Tiap sengketa yang terjadi akan dapat diatasi pada peradilan adat Aceh yang

mengutamakan hukum kebaikan tanpa adanya vonis kalah atau menang yang didapatkan untuk menyelesaikan perkara.

B. Saran

1. Seharusnya kinerja Kepala Mukim dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, sebagai bukti kinerja Kepala Mukim dan perangkatnya dalam menyelesaikan tugasnya.

2. Perlu dipertahankan dan bila perlu dikembangkan lagi dengan meningkatkan kwalitas penyelesaian persengketaan di kalangan masyarakat dan lebih intensif komunikasi yang sehat, baik secara horizontal maupun vertikal dan komunikasi yang mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi / kelompok agar semakin terciptanya hubungan yang harmonis baik antara gecik dengan mukim dan masyarakat yang ada dimukim Suluh Jaya.

3. Masyarakat harus lebih aktif dan kritis di dalam menyikapi berbagai kebijakan dan produk hukum yang dihasilkan oleh Mukim serta di dalam proses


(54)

penyusunan keputusan sehingga kebijakan yang dibuat dapat berdampak baik bagi kemajuanMukim Suluh Jaya.

4. Sosialisasi lebih kepada masyarakat akan peranan dan fungsi Kepala Mukim perlu ditingkatkan agar tidak terjadi kesalah pahaman antara masyarakat dengan aparatur pemerintahan kampung dan mukim.


(55)

BAB II

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Zuriah (2006:47) penelitian dengan menggunakan metode deskriptif adalah penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat/mengenai sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Dalam penelitian deskriptif cenderung tidak perlu mencari atau menerangkan saling berhubungan dan menguji hipotesis.

Adapun alasan penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dikarenakan penelitian ingin mengetahui dan melihat secara mendalam bagaimana peran Kepala Mukim dalam pengambilan keputusan dengan mewawancarai pihak-pihak yang bersangkutan secara mendalam. Maka dari itu penulis akan berusaha menganalisi, menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, situasi yang timbul pada objek sehingga dadat diperoleh sebuah kesimpulan jelas mengenai penelitian yang dimaksud.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Mukim Suluh Jaya Kecamatan Rikit Gaib Kabupaten Gayo Lues. Penelitian melakukan penelitian ini dengan pertimbangan untuk mempermudah jangkauan informasi, pengumpulan data, dan pertimbangan lain


(56)

seperti lokasi penelitian ini merupakan kampung halaman peneliti sehingga dapat lebih ekonomis dalam biaya penelitian dan dapat selesai pada waktunya sesuai jadwal yang ditetapkan.

C. Informan Penelitian

Bungin (2007:76) informasi penelitian adalah subjek yang memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek penelitian.

Suyanto (2005:172) menjelaskan bahwa ada tiga jenis informan dalam penelitian deskriptif kualitatif antara lain informan kunci yaitu informan yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian, informan utama yaitu informan yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti, dan informan tambahan yaitu informan yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial yang diteliti.

Adapun informasi dalam penelitian yang digunakan dalam penelitian terdiri atas :

a. Informan adalah Camat, Seketaris camat, Gecik

b. Informan utama adalah Kepala Mukim dan Perangkat Mukim c. Informan Tambahan adalah Majlis Adat Aceh dan Masyarakat


(57)

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, untuk memperoleh data, informasi, atau keterangan-keterangan yang diperlukan penulis meggunakan metode atau teknik sebagai berikut:

1. Teknik pengumpulan data primer

Teknik pengumpulan data primer adalah pengumpulan data yang dilakukan secara langsung pada lokasi penelitian. Pengumpulan data primer dilakukan dengan instrumen wawancara (interview) yaitu, teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan kepada orang yang berhubungan dengan objek penelitian.

2. Teknik pengumpulan data sekunder

Teknik pengumpulan data skunder adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui studi bahan-bahan kepustakaan yang perlu untuk mendukung data primer. Pengumpulan data skunder dapat dilakukan dengan instrumen sebagai berikut :

a. Studi Kepustakaan (Library research). Yaitu, pengumpulan data yang dilakukan dari buku-buku, karya ilmiah, pendapat ahli yang memiliki relevansi dengan masalah yang diteliti.

b. Studi Dokumentasi (Documentary). Yaitu, pengumpulan data yang diperoleh dengan menggunakan catatan-catatan tertulis yang ada di lokasi penelitian serta sumber-sumber lain yang menyangkut masalah diteliti dengan instansi yang terkait.


(58)

E. Teknik Analisi Data

Miles dan Huberman, terdapat tiga teknik analisisi data kualitatif yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Proses ini berlangsung terus-menerus selama penelitian berlangsung, bahkan sebelum data benar-benar terkumpul.

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan salah satu dari teknik analisis data kualitatif. Reduksi data adalah bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat diambil. Reduksi tidak perlu diartikan sebagai kuantifikasi data.

2. Penyajian Data

Penyajian data merupakan salah satu dari teknik analisis data kualitatif. Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi disusun, sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan. Bentuk penyajian data kualitatif berupa teks naratif (berbentuk catatan lapangan), matriks, grafik, jaringan dan bagan.

3. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan merupakan salah satu dari teknik analisis data kualitatif. Penarikan kesimpulan adalah hasil analisis yang dapat digunakan untuk mengambil tindakan.


(59)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pranata adat merupakan jiwa masyarakat adat yang masih hidup dan berkembang di Aceh, pranata tersebut mewajibkan pelaksanaan dan singkronisasi penerapan hukum adat dalam hukum nasional, sesuai dengan pasal 18B ayat 2 undang-undang 1945 yang memberikan kewenangan khusus untuk pembangunan pranata adat di daerah masing-masing. Bagi masyarakat dan pemerintah Provinsi Aceh, hukum adat membuka ruang pelaksanaan dan kedudukan yang khusus dan istimewa melalui undang-undang dan qanun-qanun untuk terkait dengan adat peradilan adat masih hidup bahkan berlaku dalam mendukung pemerintahan Aceh. Keberadaannya memiliki dasar yang kuat baik untuk pengaturan kehidupan sosial (adat) maupun untuk kehidupan beragama (hukum), dan juga kemudian pemerintahan.

Hukum adat terlebih dahulu harus di buat berdasarkan kesepakatan pemukah/perangkat adat setempat. Barulah peradilan adat mampu berperan dalam menyelesaikan konflik atau sengketa sesama masyarakat yang berada di lingkungan setempat. Penyebanya sengketa/konflik dilatarbelakang dari persoalan karena pelanggaran atas tata-prilaku dengan berbagai bentuk baik pencurian, kekerasaan, tapal batas tanah, rumah tangga, dll. Hasilnya dinamakan hukum adat. Peradilan adat merupakan bentuk kearifan lokal (local wisdon).


(60)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), keberadaan mukim sebagai unit pemerintahan kembali mendapat pengakuan, pengaturan, dan pengukuhannya dalam satu bab tersendiri, yaitu Bab XV tentang mukim dan gampong. berdasarkan qanun Kabupapten Gayo Lues Nomor 2 tahun 2012 Tentang Pemerintahan Mukim yang merupakan Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Kabupaten Gayo Lues yang terdiri atas gabungan beberapa Kampung yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat yang dipimpin oleh Kepala Mukim. Dalam penyebutan nama Jabatan Mukim terdapat perbedaan dari beberapa Kabupaten dalam hal nama yang digunakan seperti dalam Qanun Kabupaten Gayo Lues disebut dengan Kepala Mukim sama dengan artinya Imeum Mukim.

Keberadaan Kepala Mukim semakin kuat dengan diundangkannya Qanun (Perda) Provinsi Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memberikan wewenang kepada mukim untuk memutuskan dan atau menetapkan hukum, memelihara dan mengembangkan adat, menyelenggarakan perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan adat terhadap perselisihan-perselisihan dan pelanggaran adat, memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan adat dan adat istiadat.

Dengan telah dinyatakannya mukim sebagai penyelenggara pemerintahan dalam peraturan perundang-undangan (UU dan Qanun/Perda), maka keberadaan Mukim mendapat pengakuan dan pengukuhannya dalam hukum positif Indonesia.


(1)

c. Mukim Sebagai Masyarakat Hukum Adat ….. 9

d. Mukim Sebagai Pemerintah Resmi …………. 13

e. Wewenang dan Fungsi Kepala Mukim ……… 14

3. Pengambilan Keputusan... 16

a. Pengertian Pengambilan Keputusan... 16

b. Teori Pengambilan Keputusan... 16

c. Unsur-unsur Pengambilan Keputusan...…… 16

4. Peran Kepala Mukim dalam Pengambilan Keputusan ………... 18

5. Peradilan Adat Model Aceh……… 19

a. Badan Penyelenggara Peradilan adat di Aceh….. 26

6. Pengertian Persengketaan………. 29

F. Definisi Konsep ... 29

BAB II : METODE PENELITIAN ... 32

A. Metode Penelitian ... 32

B. Lokasi Penelitian ... 33

C. Informan Penelitian ... 33

D. Teknik Pengumpulan Data ... 34

E. Teknik Analisis Data ... 35

1. Reduksi Data……… 35

2. Penyajian Data………... 35

3. PenarikanKesimpulan……… 35

BAB III : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN……… 36

A.Peta Wilayah……….. 37

B.Keadaan Umum………. 37


(2)

C.Keadaan Demografi………. 38

D.Gambaran Umum Mukim Suluh Jaya……… 41

1. Pemerintah Mukim……….. 42

2. Struktur Pemerintahan Mukim……… 43

BAB IV : PENYAJIAN DATA……… 50

A. Identitas Informan……….. 50

a. Sejarah dan latar belakang mengenai terbentuknya sistem kepala mukim ……… 54

b. Apa saja peranan Bapak selaku Kepala Mukim? ……… 56

c. Bagaimana cara Bapak mengambil keputusan dalam suatu perkara?... 58

d. Bagaiamana proses menyelesaikan sengketa yang dilakukan oleh Kepala Mukim……….. 59

e. Dalam hal atau perkara apa saja yang sudah dapat di selesaikan Kepala Mukim ? ……… 61

f. Apakah selama ini untuk dapat memutuskan suatu perkara itu selesai dengan peraturan yang dibuat didalam Qanun…. 62 g. Apakah setiap pendapat dalam pengambilan keputusan dapat diterima oleh masyarakat?... 63 h. Bagaiamana Strata atau tingkatan yang di dapat oleh Gecik


(3)

dan Kepala Mukim dalam pengambilan perannya?...65

BAB V : ANALISA DATA ……… 67

A. Hasil analisa data ………... 67

a. Sejarah dan latar belakang mengenai terbentuknya sistem kepala Mukim ………. 68

b. Peranan selaku Kepala Mukim ……… 69

c. Cara pengambilan keputusan dalam Sengketa …….... 71

d. Proses Menyelesakan Sengketa ……… 73

e. Perkara yang sudah dapat di selesaikan Kepala Mukim... 74

f. Memutuskan perkara sesuai dengan peraturan ……….. 76

g. Pengambilan keputusan dapat diterima oleh masyarakat 77 h. Strata Gecik dan Kepala Mukim dalam pengambilan Peranannya ……… 78

BAB VI : PENUTUP ……… 80

A. Kesimpulan ………... 80


(4)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Sumber Pedoman Peradilan Adat Aceh………. 25

Tabel 3.1 Data Desa Mukim Suluh Jaya ……….... 39

Tabel 3.2 Kepercayaan dan Sarana Ibadah Mukim Suluh Jaya ………. 39

Tabel 3.3 Mata Pencaharian Utama Kepala Keluarga di Mukim Suluh Jaya.. 41

Tabel 3.4 Prasarana dan Sarana Pendidikan ……….. 41

Tabel 4.1 Identitas Informan Berdasarkan Jenis Kelamin ………. 51

Tabel 4.2 Identitas Informan Berdasarkan Usia ……… 51

Tabel 4.3 Identitas Informan Berdasarkan Jabatan ……….. 52


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Struktur Peradilan Adat Tingkat Mukim ……… 20

Gambar 1.2 Tingkat Penyelesain Perkara ……….. 27

Gambar 1.3 Posisi Perangkat dalam Persidangan Gampong ………... 28

Gambar 2.1 Struktur Organisasi Kepala Mukim ……… 44


(6)

ABSTRAK

PERANAN IMEUM MUKIM DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN SENGKETA ANTAR MASYARAKAT DI MUKIM SULUH JAYA

KECAMATAN RIKIT GAIB KABUPATEN GAYO LUES Skripsi ini disusun oleh :

Nama : Dessy Wahyuni

NIM : 120903010

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dosen Pembimbing : Drs. Rasudyn Ginting M.Si

Penelitian ini berjudul Peranan Imeum Mukim dalam Pengambilan Keputusan

Sengketa Antar Masyarakat di Mukim Suluh Jaya Kecamatan Rikit Gaib Kabupaten Gayo Lues. Peranan merupakan aspek dinamisi kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. Dengan adanya peranan maka Kepala Mukim memiliki wewenang dalam hal pengambilan keputusan dari cara yang di tetapkan dan berjalannya Pemerintahan Mukim menggambarkan bahwa Mukim memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan sebagai penyelesai sengketa di tingkat Gampong (Desa) dengan bantuan lembaga perwakilan Mukim. Dalam penyelesaian sengketa yang dilakukan Kepala Mukim merupakan sebagai pimpinan sidang untuk dapat menetapkan keputusan terhadap sengketa yang terjadi dan sebagai pengambil keputusan untuk menyelesaikan sengketa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peranan imeum mukim dalam pengambilan keputusan sengketa antar masyarakat di Mukim Suluh Jaya Kecamatan Rikit Gaib Kabupaten Gayo Lues. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat Kualitatif dengan melakukan wawancara kepada informan sebanyak lima informan yang menjadi informan utama dan tambahan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sistem penyelesaian masalah yang dilakukan di Mukim Suluh Jaya masih berjalan sesuai dengan Qanun (Perda) Provinsi Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memberikan wewenang kepada mukim untuk memutuskan dan atau menetapkan hukum, memelihara dan mengembangkan adat, menyelenggarakan perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan adat terhadap perselisihan-perselisihan dan pelanggaran adat, memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan adat dan adat istiadat.