Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Altrenatif Penyelesaian Sengketa adalah sebagai dasar dimana penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah
dapat muncul. Melalui undang-undang ini pula hingga saat ini, Arbitrase Syariah mengalami perubahan yang menuju perbaikan dimana awalnya bernamakan Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional BASYARNAS.
B. Undang - Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Ekonomi syariah pada saat ini tidak hanya dikenal di negara-negara Islam namun juga di negara-negara non-Islam. Suatu perkembangan yang cukup luar biasa bahwa
ekonomi syariah khususnya perbankan syariah dapat diterima dengan baik di dunia barat bahkan menjadi kajian khusus bagaimana perkembangannya di kemudian hari.
Perkembangan perbankan syariah yang ada di Indonesia harus juga bersamaan dengan perkembangan peraturan yang ada, mulai dari sistem hingga bagaimana
penyelesaian sengketanya. Diawal perkembangan perbankan syariah di indonesia, belum dikenal dengan adanya lembaga peradilan yang secara khusus menangani perkara
syariah, di saat itu hanya dikenal dengan nama BAMUI Badan Arbitrase Muamalat Indonesia. Lembaga ini dibentuk oleh MUI dengan dasar hukumnya Undang-Undang
No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Altrenatif Penyelesaian Sengketa. Terdapat beberapa permasalahan yang muncul ketika BAMUI yang kini menjadi BASYARNAS
mengeluarkan suatu putusan. Pihak yang kalah tidak mau mengikuti putusan tersebut secara sukarela. Arbitrase tidak dapat melakukan eksekusi karena tidak memiliki
kewenagan untuk melakukannya. Adanya kekurangan pada lembaga arbitrase inilah
Universitas Sumatera Utara
maka diterbitkan Undang - Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagai lembaga yang
dapat melaksanakan eksekusi yang telah diputuskan oleh Arbitrase Syariah Nasional. Berlandaskan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama tersebut, Peradilan Agama telah memiliki suatu kompetensi baru khususnya dalam menangani sengketa ekonomi syariah.
Pasal 49 huruf i Revisi UUPA menyatakan bahwa PA bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dalam bidang ekonomi syariah.
Penjelasan huruf i pasal ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara
lain meliputi: a.
Bank syariah b.
Lembaga keuangan makro syariah c.
Asuransi syariah d.
Reasuransi syariah e.
Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah f.
Sekuritas syariah g.
Pembiayaan syariah h.
Pegadaian syariah i.
Dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan j.
Bisnis syariah Dengan demikian tidak ada lagi kesulitan atau kebingungan ketika ada pihak yang
merasa dirugikan atas tindakan pihak yang kalah untuk tidak melaksanakan putusan
Universitas Sumatera Utara
arbitrase secara sukarela. Pihak tersebut dapat membuat permohonan secara langsung kepada ketua pengadilan agama.
Peradilan Agama sesuai dengan peraturan yang baru, memiliki kewenangan absolut di lingkungan peradilan di bidang hukum perdata saja. Cakupan kewenangan absolut
lingkungan peradilan agama juga mampu menjangkau dengan pihak yang non-Islam. Transaksi yang menjadi mitra usaha di perbankan syariah tidak hanya pihak yang
beragama islam saja, melainkan juga yang non-Islam. Salah satu kelebihan dari Undang- Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama adalah adanya satu asas penting yang baru diberlakukan. Asas ini terdapat dalam Pasal 49 undang-undang tersebut yang dalam penjelasannya “yang
dimaksud dengan antara orang-orang yang beragama Islam”: adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum
Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama sesuai dengan ketentuan pasal ini.
Atas dasar ketentuan tersebut jelas dapat dipahami bahwa pihak-pihak yang dibenarkan berperkara di peradilan agama tidak hanya terbatas pada mereka yang
beragama Islam saja, melainkan juga yang non-Islam. Yang harus diingat peradilan Agama hanya tidak menjangkau atas klausula arbitrase. Disaat para pihak melakukan
perjanjian disertai dengan klausula arbitrase, maka pengadilan agama tidak berwenang untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut apa lagi hingga mengeluarkan putusan.
C. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Implikasi berlakunya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah adalah terbukanya beberapa cara penyelesaian sengketa baik didalam pengadilan
Universitas Sumatera Utara
ataupun di luar pengadilan yang diberikan kepada pihak yang bersengketa. Pada Pasal 55 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, penyelesaian sengekta
dapat dilakukan melalui jalur non-litigasidi luar pengadilan. Musyawarah, mediasi
perbankan dan Arbitrase Syariah.
Undang-undang ini juga memberi ruang kepada Pengadilan Negeri menangani kasus syariah. Dapat dipahami bahwa perkara hukum yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah
sudah ditangani oleh pengadilan agama yang secara substansial sangat kompeten, mengingat basis pendalaman hukumnya adalah hukum syariah, sedangkan pengadilan
negeri yang memiliki basis hukum positif yang secara keseluruhan hukumnya berdasarkan hukum dari belanda sangat bertentangan dengan hukum agama islam.
Peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif didalam masyarakat yang dinamis dan kompleks akan menciptakan keadaan lebih stabil. Undang-Undang No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah telah cukup baik yang secara khusus mengatur sistematika perbankan syariah di Indonesia. Sejak lahirnya sistem perbankan syariah di
Indonesia, sangat sulit dirasakan apabila pengaturannya tidak memiliki kejelasan apalagi bila terjadi sengketa, lembaga mana yang akan menyelesaikannya.
Pertumbuhan sistem ekonomi syariah di Indonesia mengalami peningkatan sejak lahirnya undang-undang mengenai perbankan syariah ini. Penyelesaian secara
musyawarah dimana para pihak dapat berhadapan secara langsung dengan melakukan pembicaraan dua arah mencari jalan keluar yang terbaik. Kemudian jalan yang dapat
diambil adalah melalui mediasi perbankan dimana para pihak akan di hadapakan dengan seorang mediator yang menjadi penengah. Berikutnya para pihak dapat menyelesaiakn
melalui Badan Arbitrase Syariah dimana seorang arbiter akan mengambil keputusan yang
Universitas Sumatera Utara
putusannya tidak dapat dibanding atau ditolak terkecuali yang diatur dalam undang- undang. Alternatif lain yang dapat diambil oleh para pihak adalah melalui peradilan
negeri yang adalah sebuah pilihan, bukan merupakan suatu keharusan. Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah lebih
mengarahkan para pihak menyelesaikan sengketa yang ada melalui di luar persidangan. Hal ini dianggap karena penyelesaian di luar persidangan dapat diambil keputusan yang
tidak merugikan ke dua belah pihak dan juga prosesnya tidak terlalu lama.
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang