Kedudukan Badan Arbitrase Syariah dari Segi Tata Hukum Indonesia

terjadi perselisihan diantara para pihak maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”. Dengan adanya fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut dimana setiap bank syariah atau lembaga keuangan syariah dalam setiap produk akadnya harus mencantumkan klausula arbitrase, maka semua sengketa-sengketa yang terjadi antara perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah dengan nasabahnya maka penyelesaiannya harus melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional BASYARNAS. Badan Arbitrase Syariah Nasional BASYARNAS berdiri secara otonom dan independen sebagai salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang datang dari dalam lingkungan bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya. Bahkan, dari kalangan non muslim pun dapat memanfaatkan Badan Arbitrase Syariah Nasional BASYARNAS selama yang bersangkutan mempercayai kredibilitasnya dalam menyelesaikan sengketa. Lahirnya Badan Arbitrase Syariah Nasional ini, menurut Prof. Mariam Darus Badrulzaman, sangat tepat karena melalui Badan Arbitrase tersebut, sengketa-sengketa bisnis yang operasionalnya mempergunakan hukum Islam dapat diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam.

B. Kedudukan Badan Arbitrase Syariah dari Segi Tata Hukum Indonesia

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 Ayat 1 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Negara. Namun demikian didalam Penjelasan Pasal 3 Ayat 1 Undang-Undang tersebut disebutkan antara lain: Universitas Sumatera Utara “Penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi dari pengadilan” Dasar hukum Arbitrase disaat pertama kali muncul yaitu adalah Pasal 377 HIR “jika orang Indonesia dan orang timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa eropa”. Kemudian pada Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemeen Acara Perdata Reglement op de Rechtvordering, Staatsblad 1847:52 dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbarui dan Pasal 705 Reglemen Acara Daerah Luar Jawa dan Madura Rechtsglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227 BASYARNAS tidak dapat dihelakkan kepada sejarah Badan Arbitrase sebelumnya karena itu merupakan cikal bakal dasar hukum BASYARNAS dapat muncul di Indonesia. Secara khusus badan Arbitrase diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan antara Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal kemudian diperbarui dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, melalui Pasal 81, undang-undang tersebut secara tegas mencabut ketiga macam ketentuan tersebut terhitung sejak tanggal diundangkannya. Maka segala ketentuan yang berhubungan dengan arbitrase, termasuk putusan arbitrase asing tunduk pada ketentuan Undang-Undang 30 Tahun 1999. Universitas Sumatera Utara BASYARNAS merupakan badan arbitrase independen yang secara khusus dibentuk untuk menyelesaikan masalah-masalah ekonomi syariah di luar pengadilan. Kedudukan BASYARNAS adalah sama dengan badan arbitrase institusional nasional lainnya seperti BANI dan BAPMI. Badan ini dibentuk secara permanen yang ditujukan demi kepentingan bangsa atau negara dan ruang lingkupnya hanya sebatas kawasan negara indonesia saja.

C. Putusan Badan Arbitrase Syariah