BAB III BATAS WILAYAH NKRI
A. Ruang Lingkup Wilayah Batas Negara
Negara merupakan sebuah tatanan hukum, maka segala masalah yang timbul dalam teori umum tentang negara harus dapat diterjemahkan ke dalam masalah-
masalah yang dapat dipahami dalam teori umum tentang negara. Doktrin tradisional membedakan tiga “unsur” negara: teritorialnya, rakyatnya, dan kekuasaannya.
Sehingga yang dianggap sebagai esensi suatu negara ialah bahwa negara itu mempunyai suatu teritorial dengan batas-batas tertentu.
27
Dalam sejarah Indonesia, wilayah darat pulau-pulau zaman kolonial Belanda serta merta dijadikan acuan untuk
penarikan tata batas laut kini, sedangkan di negara Asia Tenggara lain semisal Filipina, negara ini cenderung bertahan pada tata batas historisnya, yaitu mengacu
pada tata batas Spanyol-Amerika Serikat dalam dokumen Paris Treaty 1898. Pada sidang BPUPKI tanggal 11 Juli 1945 misalnya terjadi perdebatan dalam
rangka penentuan teritori nasional. Saat itu, 66 anggota BPUPKI yang hadir pecah ke dalam tiga faksi dengan opsi wilayah berbeda, yaitu 1. Wilayah negara Hindia
belanda yang dulu 2. Wilayah Hindia Belanda ditambah Borneo Utara, ditambah Papua dan Timor seluruhnya 3, Wilayah Hindia Belanda dahulu ditambah Malaka,
ditambah Papua, ditambah Timor, dan kepulauan sekitarnya. Tarik menarik mengenai rentang wilayah itu diselesaikan sidang itu dengan mekanisme voting. Hasilnya,
27
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung: PT. Nusamedia Nuansa,2006, hal. 297
pilihan nomor 2 dipilih 39 anggota. Opsi 1 dipilih 19 anggota dan opsi 3 didukung 6 anggot, sementara satu abstain.
28
Artinya, wilayah negara yang ingin dipatok para elit founding fathers Indonesia itu adalah wilayah Hindia Belanda plus,
yaitu, plus Borneo Utara, plus Papua dan Plus Timor Portugis. Memang saat itu wilayah-wilayah yang hendak dijadikan tambahan ini masih
diduduki Jepang. Para founding parents Indonesia berasumsi wilayah-wilayah itu akan dengan gampang diberikan pihak Jepang dengan logika sederhana bukankah
pihak Jepang sendiri yang membentuk BPUPKI. Opsi para pendiri itu jelas tidak realistis bagi ‘bayi’ negara Indonesia saat itu. Opsi mayoritas BPUPKI itu terbukti
tidak berdaya diwujudkan. Tak heran, menjelang kemerdekaan, rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI akhirnya mengambil jalan realistis
memutuskan wilayah Indonesia sekadar meliputi 8 propinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda kecil. PPKI
menyebut daerah-daerah ini ‘untuk sementara’. Ketetapan PPKI ini tidak dapat diwujudkan sehingga akhirnya, wilayah negara Indonesia sederhananya sekedar
menjiplak wilyah negara Hindia Belanda. Disimpulkan demikian, karena dicantumkannya aturan peralihan UUD 1945. Dengan aturan itu, negara Indonesia
28
Bahar Safroedin, 1995, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI
, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 28 Mei – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
dalam hal wilayah menganut uti possidentis juris atau sekedar meneruskan aturan tentang wilayah kekuasaan negara Hindia Belanda sebelumnya.
29
Wilayah itu dalam istilah para penguasa tentara jepang saat itu disebut sebagai To indo
30
. Dengan prinsip uti possidentis juris, secara khusus untuk wilayah laut, diartikan Indonesia pada saat proklamasi menetapkan rentang wilayah laut teritorial 3
mil. Batas laut teritorial itu memang ditetapkan negara Hindia Belanda tahun 1939 dalam produk hukum bernama Territorial Zee en Maritime Kringen Ordonantie
TZMKO yang tertera pada Staatblad NO. 442 tahun 1939. Wilayah warisan itu tidak diotak-atik Indonesia lagi. Dalam artian ditambah-kurangkan. Pada Konstitusi
RIS 1949 wilayah nasional sekadar dibagi-bagi ke dalam beberapa negara bagian saja RIS.
31
Kemudian wilayah nasional yang disepakati tahun 1945 itu dijadikan acuan sejak Indonesia mempergunakan UUDS 1950. Dan tujuh tahun sesudahnya wilayah
itu dirumuskan via Deklarasi Djuanda Desember 1957. Pada waktu itu wilayah laut semua daerah Indonesia diasumsikan bertambah dari 3 mil ke 12 mil. Kemudian saat
Indonesia kembali ke UUD 1945 lewat dekrit presiden Soekarno 5 Juli 1959. Batas- batas darat negara kolonial Hindia Belanda tetap diacu, sedang untuk rentang laut
29
Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadilr, Daerah Perbatasan Keterbatasan Perbatasan
, Yogyakarta, FUSPAD, 2008, hal 165
30
Silalahi S, Dasar-dasar Indonesia Merdeka, Versi Para Pendiri Negara, Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2001, hal 20
31
Makalah Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Tedjo Edhy Purdijatno, S.H. pada acara pembekalan kepada Peserta Pendidikan Kursus Kader Pimpinan Suskapin Tingkat Nasional
Tahun 2009 Komando Nasional Resimen Mahasiswa Indonesia, tanggal 23 Oktober 2009 di Gedung Candraca Grup 3 Kopassus Cijantung Jakarta Timur.
teritorialnya sudah mengacu pada deklarasi Djuanda.
32
Penetapan batas-batas darat Indonesia ternyata dapat disebut lebih cepat dirampungkan dibanding dengan batas-
batas laut. Batas-batas darat Indonesia ke negara tetangga Malaysia, Papua dan Timor Leste praktis sudah diakurkan. Sedang batas-batas laut negara kita sebagian besar
masih terkatung-katung. Batas darat Indonesia dengan malaysia di Borneo Utara, sudah disepakati
mengacu pada perjanjian batas antara kerajaan Inggris dan Pemerintahan Hindia, yaitu Treaty 1891, Konvensi 1915 di Konvensi 1928. Panjang garis batasnya adalah
sekitar 2000 Km. Penetapan batas darat ini dulu didasarkan pada batasan alam , yaitu mengikuti punggung gunung dan garis pemisah air watershed.
33
Batas darat lain di ujung Timur sudah disepakati dengan negara Papua Nugini PNG. Sebagian batasnya tergolong batasnya tergolong batas buatan artifisial,
yaitu ditetapkaan pada meridian astronomis 141 bujur timur, mulai dari pantai utara Irian Jaya Papua ke selatan sampai memotong sungai Fly. Di sungai ini kemudian
penentuan batas mengikuti batas alam , yaitu mengikuti thalweg sungai terus ke selatan hingga ke titik sungai yang memotong meridian 141 14101’10’’ bujur timur.
Selanjutnya dari situ mengikuti garis meridian itu ke muara sungai Bensbach di pantai selatan. Sedang survei dan demarkasi perbatasan RI-PNG sepanjang 1780 Km
sudah dilakukan dua negara. Di jalur perbatasan telah ditempatkan 52 pilar MM1 sampai MM14 MM = Meridian Monument sebagai pilar batas utama. Penetapan
32
T. May Rudy, Hukum Internasional 2, Bandung: PT.Refika Aditama, 2006, hal. 112
33
Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadilr, Daerah Perbatasan Keterbatasan Perbatasan
, Yogyakarta: FUSPAD, 2008, hal. 166
batas dan penegasan titik-titik demarkasi sudah dikukuhkan pihak Indonesia dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1973 lengkap dengan rincian lampiranya. Sedang,
batas darat dengan negara Timor Leste, yang berpisah dari Indonesia tahun 1999, didasarkan pada perjanjian pemerintah Hindia Belanda dan Portugis tahun 1904 dan
Permanent Court Award Tahun 1914. Sejak tahun 2006 sudah dilakukan upaya
deliensi. Panjang garis batas darat di batas darat Selatan ini adalah sejauh 270 km. Yang dirasa sebagai kerumitan dalam tata batas darat Selatan ini adalah sejauh 270
Km. Yang dirasa sebagai kerumitan dalam tata batas darat dengan Timor Leste adalah posisi Distrik Oekusi yang merupakan wilayah Timor Leste yang masuk menjuruk di
antara wilayah-wilayah daratan Indonesia di provinsi Nusa Tenggara Timur.
34
Distrik itu seolah enclave Timor leste dalam wilayah negara Indonesia. Lain hal dengan wilayah daratan, penetapan batas di wilayah laut lebih lambat. Karena
memang lebih rumit. Salah satu masalahnya adalah perkembangan berbagai acuan konsepsi hukum laut. Baik terkait prinsip, pranata hukum serta metode penetapan
batas, delimitasi dan demarkasi. Perkembangan pemikiran hukum laut internasional memang dapat disebut
sangat pesat. Salah satu segmen penting perkembangan itu adalah apa yang disebut “Perang Buku” battle of books, yaitu polemik hakikat hukum laut internasional
antara para pemikir Belanda dengan pentolan ahli hukumnya Hugo de Groot alias Grotius melempar gagasan prinsipil mare liberum kebebasan laut tahun 1690.
34
Wila, Marnixon, Konsepsi Hukum dalam Pengaturan dan Pengelolaan Wilayah Perbatasan Antar Negara,
Bandung: PT.Antara, 2006, hal. 17
Sedang para “pendekar” hukum laut Inggris mengajukan paradigma lain menentangnya. Di antaranya, oleh William Welwood dan John Selden yang
mengusung prinsip mare clausum laut tertutup tahun 1635.
35
Perkembangan konsep hukum laut selanjutnya berkembang dalam badan-badan dunia. Misalnya,
pembahasan konsepsi hukum laut negara kepulauan di PBB tahun 1950-an. Di antaranya, tahun 1950 dan 1957 Filipina dan Indonesia mengajukan definisi negara
kepulauan dsb.
36
Meskipun demikian, ternyata lepas dari pemikiran hukum laut internasional , penentuan batas laut antara dua negara bertetangga menjadi banyak
terkendala perbedaan penafsiran batas, acuan sumber hukum, klaim sejarah kepemilikkan serta klaim peta-peta yang berbeda, bahkan bertentangan.
Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 dengan mengeluarkan Undang- undang Nomor 171985. Dengan mengacu pada acuan hukum ini beberapa pranata
perbatasan laut nasional akan dituntaskan. Berikut diberikan sekadar gambaran capaian penetapan batas laut Indonesia untuk beberapa pranata hukum laut yaitu,
Batas Laut Teritorial BLT, batas laut Zona Ekonomi Eksklusif ZEE, Batas Landasan Kontinen BLK, Batas Laut Teritorial BLT Indonesia yang selebar 12
mil laut dari garis pangkal sebagian besar sudah disepakati dengan negara lain, kecuali dengan Timor Leste. Dengan negara yang baru merdeka ini masih harus
ditentukan garis-garis pangkal kepulauan di pulau Leti, kisar, Wetar, liran, alor,
35
Wahyono Ary, et al., 2000, Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia, Media Pressindo, Yogyakarta, hal. 10
36
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global
, Bandung: PT. Alumni Bandung, 2005, hal. 309
pantar hingga pulau vatek dan titik dasar sekutu di pulau timor. Di samping itu, Indonesia harus merampungkan perundingan tiga pihak tripartit dengan Singapura
dan Malaysia untuk menyepakati BLT di Selat Singapura bagian barat dan timur yang lebarnya kurang dari 24 mil serta bersinggungan dengan perbatasan tiga negara. 2.
Zona Ekonomi Eksklusif ZEE mengacu pada Undang-undang Nomor 171985 Indonesia tidak menghadapi kesulitan menetapkan batas ZEE itu ke wilayah laut
bebas. Yaitu hanya dengan menarik garis pangkal sejauh 200 mil ke laut bebas tersebut. Namun untuk batas laut yang berhadapan dengan wilayah negara-negara
tetangga dengan jarak yang kurang dari 400 mil dari garis pangkal masing-masing harus ditetapkan lewat perundingan bilateral. Artinya untuk penetapan batas laut ZEE
itu Indonesia masih harus menetapkann batas pada wilayah laut yang: a Berhadapan dengan Malaysia dan Singapura di selat malaka b Berhadapan dengan Malaysia di
laut natuna sebelah barat dan timur c Berhadapan dengan Vietnam di laut Cina selatan sebelah utara 3 Batas laut kontinen BLK mengacu pada Undang-undang Nomor 11973 tenta
kepulauan Indonesia.
37
Hal itu berlaku di seluruh wilayah perairan Indonesia, kecuali pada segmen segmen wilayah tertentu yang memerlukan kesepakatan khusus dengan
negara tetangga, yaitu a Berhadapan dengan India dan Thailand di laut Andaman b Berhadapan dengan Thailand di selat malaka bagian utara c Berhadapan dengan
Malaysia di selat Malabagian selatan serta dilaut natuna bagian timur dan barat d Berhadapan dengan Vietnam di laut Cina Selatan e berhadapan dengan Filipina di
37
Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadilr, Daerah Perbatasan Keterbatasan Perbatasan
, Yogyakarta: FUSPAD, 2008, hal. 166-169
laut Sulawesi f berhadapan dengan pulau di samudra pasifik g berhadapan dengan Australia di laut arafura, laut timor, samudra Hindia dan wilayah perairan di sekitar
pulau Christmas h Berhadapan dengan Timor Leste di laut timor. Selain itu juga terdapat titik-titik BLK yang titik batasnya harus ditentukan bersama oleh tiga negara
sekaligus three junction point, yaitu: Three junction point di laut andaman antara Indonesia, India dan Thailand dan three junction point di selat malaka bagian utara
antara Indonesia, Thailand dan Malaysia. Kini sebagian BLK dengan negara tetangga sudah disepakati dan dikukuhkan dalam produk hukum nasional. Namun beberapa
masalah dalam proses negiosiasi antara lain dengan Filipina, Vietnam, Palau dan Timor Leste.
38
Membicarakan batas kedaulatan negara di udara, terutama batas atasnya, menjadi semakin menarik akhir-akhir ini karena perkembangan teknologi bidang
kedirgantaraan sudah begitu pesat sekali. Sejak zaman dulu sebenarnya sudah banyak upaya manusia untuk mengatur hal yang agak rumit tentang udara. Dalam hukum
Romawi dikenal suatu prinsip yang berbunyi Cujus est solum, Ejus est usque coelum, yang berarti bahwa barang siapa memiliki sebidang tanah, ia juga memiliki apa yang
berada di dalam tanah dan juga ruang yang berada di atasnya tanpa batas ad infinitum; up to the sky. Hukum Romawi menolak prinsip open sky.
39
38
T. May Rudy, Hukum Internasional 2, Bandung: PT.Refika Aditama, 2006, hal. 17-24
39
Priyatna Abdurrasyid, Prinsip-prinsip Hukum Angkasa, Jakarta: PT Sinar Grafika Offset, 2002, hal. 97
Dalam membahas persoalan kedaulatan suatu negara biasanya akan berhubungan langsung dengan suatu analisis tentang mata rantai, yang terdiri dari
aspek-aspek politik, hukum, dan ekonomi. Dari sisi ini, aspek politik dan ekonomilah yang akan selalu menonjol. Aspek hukum, terutama sekali hukum udara khususnya di
negara kita, posisinya jauh tertinggal. Padahal dalam menyongsong masa depan yang ditandai dengan pesatnya kemajuan teknologi dirgantara, mau atau tidak mau, suka
atau tidak suka, kita akan banyak berhadapan dengan masalah hukum udara. Pengaruh dari hukum Romawi tentang hak kepemilikan di udara terdapat di dalam
hukum Indonesia, yakni dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 571, yang berbunyi, “Hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya,
kepemilikan atas segala yang ada di atasnya dan di dalam tanah”.
40
Mengacu kepada hal ini, tentu dapat diartikan, dalam konteks yang lebih besar, dalam hal ini negara, maka daerah kedaulatan negara akan termasuk di
dalamnya kedaulatan negara di udara. Perangkat negara yang ditugaskan untuk menjaga kedaulatan negara di udara adalah angkatan udara, dalam hal ini TNI
Angkatan Udara.
41
Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, yaitu tahun 1944, telah terbentuk Convention on International Civil Aviation
, Chicago, 7 Desember 1944. Dalam Pasal 1 juga disebutkan bahwa “Setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan
40
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global
, Bandung: PT. Alumni Bandung, 2005, hal. 312-338
41
http:www.legalitas.org . Di unduh pada Hari jum’at tanggal 12 Februari 2010 pada pukul
17.29
eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayahnya”. Selanjutnya disebutkan juga bahwa “hak lintas damai” di ruang udara nasional suatu negara, seperti halnya pada
hukum laut, ditiadakan. Jadi tidak satu pun pesawat udara asing diperbolehkan melalui ruang udara nasional suatu negara tanpa izin negara yang bersangkutan.
Sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia, telah meratifikasi Konvensi Geneva 1944 sehingga kita menganut pemahaman bahwa setiap negara memiliki
kedaulatan yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayahnya, dan tidak dikenal adanya hak lintas damai.
42
Dengan demikian dapat dibayangkan betapa berat tugas dan tanggung jawab TNI Angkatan Udara, yang harus menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia di udara. Menjadi lebih rumit lagi tugas ini karena ada sebagian wilayah udara kedaulatan Republik Indonesia yang berstatus sebagai wilayah yang Indonesia
tidak memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif, yaitu wilayah udara yang berada di bawah pengaturan Flight Information Region FIR Singapura.
43
Di wilayah udara kedaulatan RI inilah semua pengaturan penerbangan berada di bawah otoritas
Singapura. Sungguh merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan. Ditambah lagi karena sudah berlangsung puluhan tahun, sering kali otoritas pengatur lalu lintas
udara Singapura bertindak berlebihan dalam mengatur pesawat Indonesia di atas wilayah Indonesia sendiri dengan mengatasnamakan keselamatan penerbangan yang
42
Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadilr, Daerah Perbatasan Keterbatasan Perbatasan
, Yogyakarta: FUSPAD, 2008, hal. 137
43
http:www.depkominfo.go.id?action=viewpid=newsid=5183 di unduh pada Tanggal
12 Februari 2010 pada pukul 17.15
sebenarnya adalah bisnis penerbangan di Bandara Changi untuk kepentingan Singapura sendiri. Semua penerbang Indonesia yang pernah atau sering
melaksanakan tugasnya di wilayah ini pasti merasakan kejanggalan yang sangat tidak mengenakkan ini. Di ibaratkan bergerak di rumah sendiri, tetapi harus mendapat izin
dan diatur mutlak oleh tetangganya, dengan rumah yang jauh lebih kecil atau dari paviliunnya.
Lebih memilukan lagi, ada orang yang berpendapat bahwa hal itu adalah sesuatu yang sudah benar adanya dan harap diterima saja sebagai suatu kenyataan.
Sikap inilah yang antara lain membawa bangsa kita sampai bisa terjajah selama 350 tahun oleh Belanda. Tidak bisa dibantah, atas nama keselamatan penerbangan dan
atas nama kemajuan teknologi kita yang tertinggal, hal ini terjadi. Memang seluruh kolom udara telah dibagi habis dalam pengorganisasian pengaturan lalu lintas udara
bagi negara-negara anggota International Civil Aviation Organization yang telah diatur dalam Civil Air Safety Regulation CASR. Namun, membiarkan hal ini
berlangsung terus-menerus tanpa ada upaya sama sekali untuk mengoreksinya adalah suatu hal yang sangat merendahkan harga diri dan kehormatan bangsa. Hal ini juga
menyimpang dari sikap kita yang telah meratifikasi Konvensi Geneva 1944 tentang kedaulatan negara di udara yang lengkap dan eksklusif.
44
B. Hak-hak berdaulat Wilayah