Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih Clean Develoment Mechanism Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Gambar 2: Struktur Penunjukan Otoritas
Gambar 3: Struktur Institusi Nasional untuk CDM
C. Kebijakan Indonesia Terhadap Mekanisme Pembangunan Bersih CDM
Kehutanan
Pada tanggal 23 Juni 2004, DPR telah menandatangani Undang-Udang ratifikasi Protokol Kyoto yang berarti Indonesia berhak untuk ikut berpartisipasi dalam proyek Mekanisme Pembangunan
Bersih Clean Development Mechanism. Dalam rangka persiapan, Pemerintah Indonesia melalui Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup sudah melakukan Kajian Strategi Nasional National
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih Clean Develoment Mechanism Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Strategy Study untuk pelaksanaan CDM, baik sektor energi maupun sektor kehutanan yang didalam Protokol Kyoto disebut dengan LULUCF Land Use, Land Use Change and Forestry. Disamping itu,
kajian tentang Badan Otoritas Nasional Designated National Autohority, badan yang akan mengatur pelaksanaan proyek-proyek CDM di Indonesia juga sudah diselesaikan.
Hasil kajian NSS National Strategy Study CDM kehutanan menunjukkan bahwa potensi sektor kehutanan dalam menyerap pasar karbon global cukup besar. Karena harga karbon dari proyek
kehutanan lebih murah dibanding sektor energi, diperkirakan sektor kehutanan akan menyerap lebih banyak pasar karbon global dibanding sektor energi. Dari pasar karbon global yang besarnya sekitar
566 juta ton CO2 per tahun, Indonesia secara potensial akan mampu menyerap sebesar 36 juta ton CO2 per tahun, yaitu sebesar 28 juta ton CO2 per tahun oleh sector kehutanan dan 8 juta ton CO2 per tahun
oleh sektor energi. Namun potensi ini tidak akan bisa dicapai apabila kendala utama baik yang bersifat teknis maupun non-teknis tidak dapat diatasi. Hasil NSS menunjukkan bahwa luas lahan
yang tersedia dan memenuhi syarat definisi lahan Kyoto ialah sekitar 20 juta hektar, terdiri dari 7 ha. dalam bentuk lahan kritis di dalam dan di luar kawasan, 3 juta ha. lahan alang-alang dan 10 juta ha.
lahan terlantar fallow land. Secara rinci ketersediaan lahan untuk pelaksanaan proyek karbon kehutanan di Indonesia disajikan pada tabel berikut:
Tabel 15 : Potensi Lahan Yang Layak Untuk CDM No
Land use cover 1990 Area
Ha 2000 Area Ha1
1. Hutan skunder atau terdegradasi
50
12.230.000 30.785.000 2. Perkebunan
42
2.052.447 16.543.663
50
Sebagian kecil dari lahan yang masuk dalam ketegori diperkirakan memenuhi kriteria lahan Kyoto
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih Clean Develoment Mechanism Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
3. Lahan kritis outside forest areas
51
6.787.000 23.725.552 4. Sawahpertanian
42
8.112.883 8.106.356 5. Lahan terlantarkosong
43
9.823.175 10.260.492 6. Lahan alang-alang
43
3.219.648 2.424.469 7.
Bekas perladangan berpindahkebun Tegalan
42
12.718.787 12.768.711
Total Kyoto lands 54.944.740
88.070.580
Sumber : MoE, 2002 Jenis proyek kehutanan yang diperkirakan dapat dijadikan Afforestasi dan Reforestasi atau
disingkat dengan AR-CDM diantaranya reforestasi, HTI, agroforestri, hutan kemasyarakatan Social Forestry, MPTS dan penghijauan.
Potensi penyimpanan karbon berkisar antara 53 sampai 306 ton Cha. hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 16 : Potensi Penyimpanan Karbon Jenis
Potensi penyimpanan t
Cha Keuntungan lain
Reforestasi 204 – 256
Improve water and soil quality, prevent erosion
HTI species tumbuh cepat 53
Increase soil productivity Agroforestry
119 Soil slope protection areas using bamboo
in hilly Community forest
63 – 256 Increase optimal use of land for protection
MPTS Multi system proposes tree
54 – 306 Buffer zone of the protection areas and
production areas Penghijauan
121 Soil protection and soil conservation
Sumber : MoE, 2002
51
Sebagian besar dari lahan diperkirakan memenuhi syarat Kyoto Land. Syarat Kyoto ialah lahan yang akan digunakan untuk proyek CDM kondisinya sudah bukan hutan sejak tanggal 31
Desember 1989. Defini hutan dalam Kyoto Protokol ialah lahan yang penutupan tujuknya minimal antara 10-30, tinggi pohon secara potential bisa mencapai 2-5 meter dan luasnya minimal antara 0.05
– 1ha. Penentuan nilai diantara selang yang akan digunakan dalam mendefinisikan hutan diserahkan kepada masingmasing Negara.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih Clean Develoment Mechanism Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Penentuan batas proyek Project BoundaryCDM ialah batas geografis dari kawasan proyek yang berada dalam control pelaksana proyek. Lokasi proyek boleh tidak berada dalam satu satuan
lahan. Net anthropogenic GHG removal by sinks disingkat dengan ‘NAGR’ GRK netto yang diambil dari atmosfer oleh rosot sebagai akibat dari proyek atau aktivitas manusia. NAGR dihitung dengan
cara berikut: GRK netto actual yang diserap oleh rosot actual net GHG removals by sinks disingkat dengan ‘ANGR’ dikurangi dengan perubahan stok karbon dalam batas proyek pada kondisi baseline
baseline net GHG removals by sinks disingkat dengan ‘BNGR’ dikurangi dengan leakage disingkat dengan ‘Lg’. Jadi NAGR = ANGR-BNGR-L. ANGR ialah perubahan stok karbon dalam ‘pool’
dalam batas proyek yang dapat diverifikasi dikurangi dengan jumlah peningkatan emisi GRK yang terjadi akibat dari proyek. BNGR ialah jumlah perubahan stok karbon dalam ‘pool’ dalam batas proyek
yang akan terjadi apabila proyek tidak ada. Lg ialah peningkatan emisi GRK diluar batas proyek yang dapat diukur dan merupakan akibat dari adanya proyek. Sedangkan pool ada lima bentuk yaitu biomass
di atas permukaan, biomass bawah permukaan, bahan organik tanah, sarasah dan kayu mati. Apabila ada justifikasi yang kuat maka pool yang dianggap tidak nyata kontribusinya terhadap perubahan
cadangan karbon dapat dikeluarkan dari perhitungan. Secara sederhana perhitungan di atas dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih Clean Develoment Mechanism Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Gambar 4 : Ilustrasi perhitungan keuntungan karbon dari proyek CDM Kehutanan
Keputusan pada COP9 Annex para 22, pelaksana proyek boleh memilih metodologi berikut sesuai dengan kondisi setempat dengan memberikan justifikasinya yaitu: i Perubahan stok karbon
dalam pool di dalam batas proyek diperkirakan akan mengikuti kondisi histories atau kondisi pada saat sebelum proyek dimulai, ii Perubahan stok karbon dalam pool diproyeksikan dengan
mempertimbangkan faktor ekonomi dan kendala investasi, iii Perubahan stok karbon dalam pool diproyeksikan menurut kondisi penggunaan lahan yang paling mungkin pada saat proyek dimulai.
Kredit karbon yang dihasilkan oleh proyek kehutanan sifatnya tidak permanent karena suatu saat dapat saja karbon yang sudah disimpan dilepaskan kembali. Untuk mengatasi hal ini, COP9
menyetujui dua bentuk kredit karbon yaitu tCER temporary CER dan lCER long-term CER. tCER hanya berlaku sampai akhir satu periode komitmen yang mengikuti periode komitmen saat CER
dikeluarkan. Baseline net GHG removal by sinks
BNGR: a.
Kondisi stok carbon di pool saat ini; b.
Perkiraan perubahan stok di pool ke depan apabila tidak ada proyek
Actual net GHG removal by sinks ANRG: a.
Emisi GRK oleh proyek; b.
Penurunan emisi atau penyerapan GRK oleh proyek Leakage Lg;
c. Peningkatan emisi di luar batas proyek Net
anthropogenic GHG removal NAGR by sinks = ANGR-BNGR-Lg
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih Clean Develoment Mechanism Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Gambar 5 : Ilustrasi pemberian kredit karbon
Dengan definisi ini maka lama umur tCER tidak akan lebih dari 10 tahun dengan asumsi lama setiap periode komitmen ialah 5 tahun.
Periode komitment periode ialah dari tahun 2008-2012. Sedangkan masa berlakunya lCER ialah selama periode kredit. Apabila masa berlakunya habis maka CER tersebut harus diganti dengan
CER yang baru. Untuk lCER ini apabila setelah CER dikeluarkan terjadi penurunan nilai NAGR maka jumlah penurunan yang terjadi harus diganti dengan lCER yang baru. Lama masa kredit juga ada dua
pilihan yaitu 30 tahun atau 3x20 tahun, dimana setiap 20 tahun harus dievaluasi ulang asumsi yang digunakan dalam penentuan baseline. Ilustrasi dapat dilihat pada Gambar diatas.
Untuk Proyek Karbon Kehutanan Skala Kecil, COP9 sudah menyetujuinya dengan maksimum penyerapan karbon sebesar 8000 t CO2 atau 2180 t C per tahun. Proyek skala kecil ini
boleh menggunakan aturan keproyekan yang disederhanakan yang masih akan dibicarakan dalam COP10 mendatang. Proyek skala kecil juga boleh digabungkan dengan mengikuti syarat yang juga
akan ditetapkan pada COP10. Proyek skala kecil hanya boleh diperuntukkan untuk masyarakat berpenghasilan rendah low income community yang definisinya diserahkan kepada masing-masing
Negara. Dengan mempertimbangkan isu-isu di atas, maka hal-hal yang perlu dipersiapkan oleh
Indonesia untuk dapat meningkatkan kemampuan Indonesia dalam menyerap pasar karbon kehutanan dan persiapan untuk COP10 diantaranya ialah:
1. Perbaikan database stok karbon pada berbagai jenis vegetasi penutup lahan dan peta lahan
kritis yang memenuhi definisi Kyoto. Informasi ini diperlukan untuk mengetahui sebaran daerah untuk pelaksanaan proyek CDM kehutanan dan perkiraan potensi stok karbon yang
akan dihasilkan oleh proyek.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih Clean Develoment Mechanism Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
2. Pemilihan nilai batas untuk definisi hutan dari nilai selang yang sudah ditetapkan oleh
Protokol Kyoto. Untuk penetapan ini diperlukan kajian terlebih dahulu implikasi dari pemilihan nilai batas tersebut terhadap ketersediaan lahan CDM dan jenis kegiatan proyek
kehutanan yang diperbolehkan. 3.
Pelaksanaan kegiatan pelatihan bagi pihak pemangku kepentingan, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional untuk berbagai aspek yang terkait dengan implementasi CDM
seperti mekanisme kelembagaan yang harus dilakukan dalam pengusulan proyek CDM perizinan dan lain-lain, penyusunan dokumen desain proyek Project Design Document,
kemampuan untuk mengidentifikasi sumber emisi GRK dan bentuk kegiatan yang diperkirakan dapat menyebabkan perubahan besar emisi dari setiap sumber yang sudah
diidentifikasi tersebut, dan teknik pengukuran dan monitoring karbon yang disederhanakan tetapi tetap memenuhi standar bamku yang sudah ada.
4. Penyusunan paper posisi Indonesia dalam COP10 berkaitan dengan beberapa isu penting
khususnya yang berkaitan dengan proyek CDM skala kecil karena potensi Indonesia dalam menyerap proyek skala kecil sangat besar karena sangat luasnya lahan-lahan yang milik
masyarakat ekonomi lemah yang kurang produktif dan layak untuk dijadikan proyek CDM. Beberapa isu yang perlu mendapat perhatian Indonesia berkaitan dengan proyek CDM
kehutanan skala kecil ialah: i
Kategori proyek CDM kehutanan skala kecil; ii
Penyederhanaan dalam penentuan baseline, leakage dan batas proyek; iii
Persyaratan dan aturan dalam pengabungan proyek-proyek skala kecil dalam satu PDD; dan
iv Usulan atau bentuk program yang dapat memfasilitasi pelaksanaan proyek CDM skala
kecil.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih Clean Develoment Mechanism Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
BAB IV BERBAGAI PERMASALAHAN TEKNIS MEKANISME