Hukum dan Syarat Poligami

poligami, tetapi ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang sangat amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan. 16

2. Hukum dan Syarat Poligami

a. Perspektif Fikih

Kedatangan Islam dengan ayat-ayat poligaminya, walaupun tidak menghapus praktik ini, namun Islam membatasi kebolehan poligami hanya sampai empat orang isteri dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti keharusan berlaku adil di antara para isteri. Syarat-syarat ini ditemukan di dalam dua ayat poligami yaitu surat an-Nisa ayat 3. ☺ ءﺎ ا : 3 Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka kawinilah seorang saja 17 , atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” QS. An-Nisa:3. An-Nisa ayat 129. 16 Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual: Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, cet-1, h. 270. 17 Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja. ⌧ ☺ ☺ ⌧ ☺ ⌧ ⌧ ⌧ ☺ ءﺎ ا : 129 Artinya: “ Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri mu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. An-Nisa:129. Dalam pandangan Asghar, sebenarnya dua ayat di atas menjelaskan betapa al-Quran begitu berat untuk menerima institusi poligami, tetapi hal itu tidak dapat diterima dalam situasi yang ada maka al-Quran membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang isteri dengan syarat harus adil. Dengan mengutip al-Tabari, menurut Asghar, inti ayat di atas sebenarnya bukan pada kebolehan poligami, tetapi bagaimana berlaku adil terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini mereka. 18 Berbeda dengan pandangan fikih, poligami yang dalam kitab-kitab fikih disebut ta’addud al-zaujat, sebenarnya tidak lagi menjadi persoalan. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, bahwa ulama sepakat tentang kebolehan poligami, kendatipun dengan persyaratan yang bermacam-macam. As-sarakhsi menyatakan kebolehan poligami dan mensyaratkan pelakunya harus berlaku adil. Al-Kasani menyatakan lelaki yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap isteri-isterinya. As-Syafi’i juga mensyaratkan keadilan di antara para isteri, dan menurutnya 18 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, Yogyakarta: LKiS, 2003, h.111. keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik, misalnya mengunjungi isteri di malam atau siang hari. 19 Landasan hukum tentang kebolehan poligami selain terdapat di dalam al- Quran, juga terdapat dalam hadis Nabi yang salah satunya mengenai batas jumlah isteri yaitu hanya boleh empat orang saja. ﺮ ﺎﻓ ﺎﻓ ةﻮ ﺮ و ا ﺔ ا نﻼ نا ا ﺎ ﺎً را ﻬ ﺮ نا و ﷲا ﻰ ا ﺬ ﺮ و ﺪ ﺣا ور 20 Artinya : “Dari Salim dari ayahnya r.a. bahwasannya Ghailan binti Salamah masuk Islam sedang ia mempunyai sepuluh orang isteri dan mereka pun masuk Islam bersamanya maka Nabi SAW. menyuruh agar ia memilih empat orang dari isteri-isterinya.” HR. Ahmad dan Turmudzi. Hadis lain yang mengatur poligami adalah hadis dari Abi Hurairah. ا ﻰ ه ﺮ ﺮ ة ﷲا ر لﺎ : نأ ﷲا لﻮ ر م ص ﻬ ةﻮ رأ ﻰ أ ن ﻬ ﺠ : ا ﺮ أ ة و ﻬ و ةأﺮ او ﺎ ﺎ ﻬﺎ . ﺔ ﺎ ﺠ ا اور 21 . Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW melarang empat wanita untuk dipoligami. yaitu, seorang wanita dengan bibinya dari jalur ayah dan seorang bibinya dari jalur ibu .” HR. Jama’ah. 19 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 11974 sampai KHI . Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Juli 2006, cet.ke-3.h.98. 20 Muhammad bin Ismail Shan’ani, Subulu al-Salam,al-Mausilah ila al-Maram min Jami’adillah al-Hakam, Kairo: Dar Ibnu Jauziyah, 2008 , juz 6, h.66. 21 Abi al-Hasan Muslim bin al-Hijaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Bierut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 2004, h. 562. Kedua hadis di atas pada dasarnya hanya menjelaskan tentang batas kebolehan beristeri lebih dari seorang dan larangan berpoligami antara seorang wanita dengan bibinya dari jalur ayah dan seorang bibinya dari jalur ibu. Akan tetapi jika kita telaah lebih jauh bahwa hadis di atas merupakan penjelasan lebih lanjut dari ayat al-Quran yang menjelaskan tentang poligami. Menurut Wahbah az-Zuhaili, alasan pembatasan poligami sampai empat orang adalah karena pada lahirnya kemampuan suami dalam berlaku adil, membayar nafkah, pembagian waktu dan sebagainya hanya sampai empat orang isteri dengan pengaturan mingguan dalam satu bulan. Lebih dari itu, disangsikan suami tidak mampu memberi perhatian sempurna dan tidak sanggup menunaikan hak-hak isteri-isterinya. Karena itu kebolehan berpoligami setidaknya harus memenuhi dua persyaratan. Pertama, berlaku adil antara isteri-isteri dan anak- anaknya. Kedua, kesanggupan membayar nafkah atau belanja nikah rumah tangganya, sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW tentang perlunya biaya nikah al-ba’ah bagi calon suami. HR.al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud. 22 Jika kita sederhanakan, pandangan normatif al-Quran dan al-Hadis yang selanjutnya diadopsi oleh para ulama fikih setidaknya menjelaskan tiga persyaratan yang harus dimiliki dan diperhatikan suami. Pertama, seorang laki- laki yang akan berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya isteri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan semua isterinya dengan adil, tiap isteri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain. Ketiga, 22 “Poligami” dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Voeve, 1997, vol.4, h.1187. hanya boleh empat orang isteri dengan ketentuan bukan merupakan bibi atau kaka beradik. Berkenaan dengan alasan-alasan darurat yang membolehkan poligami, menurut Abdurrahman, setelah merangkum pendapat fuqaha, setidaknya ada delapan keadaan, yaitu: 1. Isteri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit untuk disembuhkan. 2. Isteri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak dapat melahirkan. 3. Isteri sakit ingatan gila. 4. Isteri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai isteri. 5. Isteri memiliki sifat buruk. 6. Isteri minggat dari rumah, 7. Ketika terjadi ledakan perempuan jumlah perempuan yang banyak misalnya dengan sebab perang, 8. Kebutuhan suami beristeri lebih dari satu, dan jika tidak dipenuhi menimbulkan kemadharatan di dalam kehidupan dan pekerjaannya. 23

b. Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum

Islam KHI Pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami seperti yang terdapat di dalam pasal 3 yang menyatakan, “seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai 23 Ibid, Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, h.159. seorang suami”, 24 Namun pada bagian yang lain dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan. Klausul kebolehan poligami di dalam Undang-Undang Perkawinan sebenarnya hanyalah pengecualian dan untuk itu pasal-pasalnya mencantumkan alasan-alasan yang membolehkan tersebut. Dalam pasal 4 Undang-Undang Perkawinan dinyatakan: Seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Dengan adanya pasal-pasal yang membolehkan untuk poligami walaupun dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa asas yang dianut oleh Undang- Undang Perkawinan sebenarnya bukan asas monogami mutlak melainkan disebut monogami terbuka. Di samping itu, lembaga poligami tidak semata-mata kewenangan penuh suami tetapi atas dasar izin dari hakim pengadilan. Oleh sebab itu pada pasal 3 ayat 2 ada pernyataan: “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. 25 Dengan adanya ayat ini, jelas sekali Undang-Undang Peradilan telah melibatkan pengadilan agama sebagai institusi yang cukup penting untuk mengabsahkan kebolehan poligami bagi seorang, sesuatu yang tidak ada preseden 24 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Prenada Media, Desember 2003, H.269. 25 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Peraturan Perundang- Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama , Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2001 historisnya di dalam kitab-kitab fikih. Di dalam penjelasan pasal 3 ayat 2 tersebut dinyatakan, “Pengadilan agama dalam memberikan putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut pada pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami”. 26 Berkenaan dengan pasal 4 di atas setidaknya menunjukkan ada tiga alasan yang dijadikan dasar mengajukan permohonan poligami. Pertama, isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. Kedua, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan menurut dokter. Ketiga, tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang suami yang ingin melakukan poligami adalah: 1. Adanya persetujuan dari isteriisteri-isteri; 2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri- isteri dan anak-anak mereka. 3. Adanya jaminan bahwa suami akam berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka. Ayat 2 Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 dua tahun, 26 Ibid, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, H. 152. atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilain dari hakim pengadilan. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, persyaratan beristeri lebih dari seorang dibatasi hanya sampai empat orang isteri dengan syarat utamanya adalah berlaku adil. Hal ini sesuai dengan pasal 55 yaitu: 1. Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri. 2. Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. 3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat 2 tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang. Sedangkan pasal 56 menjelaskan tentang seorang suami yang hendak beristeri lebih dari seorang harus mendapat ijin dari pengadilan agama, pasal 58 menjelaskan tentang harus adanya persetujuan isteri baik secara lisan atau tulisan. Apabila seorang isteri tidak mau memberikan persetujuan, maka pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian izin. Dalam hal penetapan ini, baik suami atau isteri dapat mengajukan banding atau kasasi. Ketentuan tersebut sebagaimana dijelaskan dalam pasal 59. 27 Dari penjelasan pasal-pasal di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa aturan Perundang-Undangan Perkawinan Indonesia tentang poligami sebenarnya telah berusaha mengatur agar laki-laki yang melakukan poligami adalah laki-laki yang benar-benar: 27 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia , Jakarta: Gema Insani Press, 1994, h.93. 1. Mampu secara ekonomi menghidupi dan mencukupi seluruh kebutuhan sandang, pangan dan papan keluarga isteri-isteri dan anak-anak, 2. Mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya sehingga isteri-isteri dan anak-anak dari suami poligami tidak disia-siakan. Selain itu, suami yang akan melaksanakan poligami harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan isteri atau para isteri.

C. POLIGAMI LIAR

Pembenaran poligami di kalangan umat muslim sering kali didasarkan pada dalil naqli yaitu surat an-Nisa` ayat 3 yang didalamnya terkandung pembahasan tentang anak yatim. Jika kita hanya melihat sepintas dari ayat ini untuk dijadikan petunjuk pembenaran kebolehan poligami karena didalamnya terdapat kalimat, ........ Artinya : “Kawinlah perempuan-perempuan yang kau sukai, dua, tiga, atau empat....” QS: an-Nisa: 3. Apabila kita melihat makna ayat di atas, maka ayat tersebut cenderung mengesankan bahwa ayat ini merupakan perintah atau setidaknya anjuran untuk berpoligami karena mengandung kata perintah fi’il amr yakni “nikahilah”. Sementara sebagian orang menangkap kesan dari kata perintah ini bahwa al- Quran menganjurkan atau setidaknya mempersilahkan kepada kaum laki-laki untuk berpoligami. Lebih jauh pendapat ini suka menarik logika yang tampak benar. “jika Allah saja memperbolehkan poligami, lantas apa haknya kaum perempuan melarang suami mereka berpoligami?”. 28 Namun perlu kita pahami bersama bahwa petunjuk al-Quran tidak dapat dipahami secara utuh dan benar hanya dengan menunjuk pada bagian tertentu dari satu ayat dan mengabaikan bagian ayat yang lain. Seharusnya, sebuah ayat hendaknya dilihat secara utuh, tidak dipotong-potong apalagi hanya mengambil bagian ayat yang menguntungkan dan menafi’kan bagian lainnya yang dirasa tidak menguntungkan. Jika kita telaah dengan seksama makna dari kandungan surat an-Nisa mulai dari ayat pertama, kedua dan ketiga, maka kita akan melihat secara jelas bahwa substansi kandungan ayat-ayat tersebut terfokus pada perintah untuk berlaku adil, terutama terhadap anak yatim. Wujud perilaku adil tersebut antara lain tidak memutuskan hubungan silaturahim dengan mereka, tidak menyalahgunakan harta mereka dan tidak berbuat aniaya dengan cara mengawini mereka tanpa memberikan hak-haknya. Poligami liar yang dimaksud dalam skripsi ini adalah poligami tanpa adanya izin pengadilan agama dan persetujuan isteri. Perkawinan itu dilakukan dengan memanipuasi identitas, selain itu perkawinan ini juga dilakukan di bawah tangan yaitu perkawinan menurut ajaran agama Islam atau hukum adat, dan tidak 28 Anshorie Fahmi, Siapa Bilang Poligami Itu Sunnah, Jakarta: Pustaka IIMaN, 2007, cet.I, h.16 merujuk pada hukum positif. Alhasil pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama KUA maupun Kantor Catatan Sipil KCS. 29 Poligami seperti ini tidak menggunakan perjanjian yang kuat mitsaqon ghalidho karena tidak tercatat secara hukum. Apabila terjadi masalah yang menjurus pada perceraian atau ditinggalkan oleh suami, istri tidak bisa menggugat suami. Kalaupun ingin menggugat cerai, penyelesaiannya diserahkan kepada pemimpin agama. Persoalannya akan bertambah rumit jika sampai pasangan poligami itu mempunyai anak. Status anak mereka tidak jelas karena untuk memperoleh kejelasan status dibutuhkan data akta kelahiran. Padahal untuk memperoleh akta kelahiran, disyaratkan adanya akta nikah. Hal ini memberikan implikasi pada pembagian harta warisan, dimana sang anak akan kesulitan mendapatkan hak warisnya. Lebih dari itu, istri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal, misalnya asuransi. Apabila suami sebagai pegawai, maka istri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami.

D. MADHARAT POLIGAMI

Menurut al-Athar dalam kitabnya ta’addud al-zawzat, sebagaimana dikutip oleh Karam 30 mencatat empat dampak negatif poligami. Pertama, poligami dapat menimbulkan kecemburuan di antara para isteri. Kedua, menimbulkan rasa kekhawatiran isteri kalau-kalau suami tidak bisa bersikap bijaksana dan adil. Ketiga , anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang berlainan sangat rawan untuk 29 Makalah Menguak Sisi Gelap Poligami Sabtu, 23 Desember 2006, wwwhukumonline.com 30 Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Pandangan Islam, Nasrani Dan Yahudi. Jakarta: Darul Haq, Februari 2007, H.30 terjadi perkelahian, permusuhan dan saling cemburu. Keempat, kekacauan dalam bidang ekonomi. Selain itu, dalam buku Relasi Suami Istri Dalam Islam, dijelaskan bahwa poligami bisa membawa madharat. Pertama, adanya orang yang tersakiti isteri pertama dengan adanya poligami baik secara fisik maupun psikis. Dari sini kekerasan dalam rumah tangga kerap terjadi, baik kekerasan dalam fisik, nafkah, pendidikan anak dan lain-lain. Kedua, banyaknya perceraian karena tidak adanya persetujuan isteri pertama. Kedua hal di atas sesuai dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim yaitu: Ali bin Abi Thalib meminang anak perempuan Abu Jahal pada saat masih ada Fatimah, ketika Fatimah mendengar kabar tersebut ia mendatangi Rasul dan mengatakan bahwa kaummu membicarakan mu bahwa engkau tidak marah untuk anakmu karena Ali akan menikahi anak perempuan Abu Jahal, Amma Ba’d maka Nabi berkata sesungguhnya Fatimah adalah belahan jiwaku dan aku khawatir ia terjerumus dalam fitnah dalam agama, karena demi Allah anak Rasul tidak akan berkumpul dengan anak musuhnya selamanya. Kemudian Ali membatalkan pinangnnya. 31 Dalam interpretasi hadis ini, terdapat pandangan beragam. Menurut al- Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, Jilid 16, ketidak setujuan Rasul bukan pada poligaminya, tetapi pada siapa yang akan dipinang Ali yaitu anak Abu Jahal yang terkenal kekafirannya dengan ungkapan “aku tidak akan menghalalkan sesuatu yang haram dan begitupun seballiknya”. 32 31 Abi al-Hasan Muslim bin al-Hijaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Bierut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 2004, 91. 32 Ibid, h.93 Alasan ideologi ini nampaknya kurang relevan, karena Rasulallah saw. juga menikahi Ummu Habibah anak Abu Sofyan seorang tokoh kafir Makkah dan juga menikahi Shafiyah Binti Huyay, salah seorang tokoh Yahudi. Artinya bahwa pelarangan Nabi bukan terletak pada ideologi tentang siapa yang akan dinikahi Ali, tetapi pada iidza tersakitinya Fatimah. Karena menyakiti Fatimah berarti menyakiti Nabi. Oleh karena itu, undang-undang perkawinan di Indonesia mengharuskan adanya izin dari isteri atau isteri. Hal ini dimaksudkan agar dalam pernikahan tersebut tidak ada yang merasa disakiti dan didhalimi.

E. HIKMAH POLIGAMI

Menurut Rasyid Ridho 33 bahwa poligami memiliki beberapa manfaat, yaitu: 1. Untuk mendapatkan anak bagi suami yang subur dan isteri yang mandul, 2. Menjaga keutuhan keluarga tanpa harus mencerai isteri pertama meski ia tidak berfungsi semestinya sebagai isteri karena cacat fisik dan sebagainya, 3. Untuk menyelamatkan suami yang hiperseks dari perbuatan zina. Tercatat di beberapa negara barat yang melarang poligami mengakibatkan merajalelanya praktek prostitusi dan free sex kumpul kebo dan lahirnya anak-anak hasil zina mencapai jumlah yang cukup tinggi, 4. Menyelamatkan harkat dan martabat wanita dari krisis akhlak melacur bagi mereka yang tinggal dinegara yang jumlah wanitanya lebih banya dibandingkan laki-laki seperti dikarenakan akibat peperangan Sedangkan menurut al-Jurwaji dalam kitabnya, hikmah al-tasyri’ wa falsafatuhu 34 menjelaskan ada empat hikmah yang dikandung poligami. Pertama, kebolehan poligami yang dibatasi sampai empat orang menunjukkan bahwa manusia sebenarnya terdiri dari empat campuran di dalam dirinya. Kedua, batasan empat juga sesuai dengan empat jenis mata pencaharian laki-laki; pemerintahan, perdagangan, pertanian dan industri. Ketiga, bagi seorang suami yang memiliki empat orang isteri berarti ia mempunyai waktu senggang tiga hari dan ini merupakan waktu yang cukup untuk mencurahkan kasih sayang. Kita boleh sepakat atau tidak dengan hikmah yang digali oleh al-Jurwaji di atas, namun setidaknya pernyataan di atas cukup sebagai bukti betapa para ulama 33 Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Mesir: Darul Manar, 1374 M,h.357. 34 Ali Ahmad Al-Jarwaji, Hikmah Al-Tasyri’wa Falsafatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, t.t, Juz II, h.10 fikih selalu mencoba melakukan rasionalisasi agar poligami bisa diterima dengan baik.

F. PEMBATALAN PERKAWINAN

1. Perspektif Fikih