Pembatalan perkawinan karena poligami liar (analisa yurisprudensi perkara Nomor 416/Pdt.G/1995/PA.Smd)

(1)

PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA POLIGAMI LIAR (Analisa Yurisprudensi Perkara Nomor 416/Pdt.G/1995/PA.Smd)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Arud Badrudin NIM : 106044101390

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 8 Juni 2010 M. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah (Peradilan Agama).

Jakarta, 8 Juni 2010

Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP: 1955 0505 1982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H.A. Basiq

Djalil, SH., MA. (... ) NIP : 19500306 197603 1001

2. Sekretaris : Kamarusdiana,

S.Ag., MH. ( )

NIP : 19720224 199803 1003

3. Pembimbing : Dr. H. Yayan

Sopyan, MA. ( )

NIP : 150277991

4. Penguji I : Drs. H.A. Basiq

Djalil, SH., MA. (... ) NIP : 19500306 197603 1001


(3)

5. Penguji II : Hotnida Nasution, S.Ag., MA. ( ... )


(4)

Ketua Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyah Drs., H. A. Basiq Djalil, SH., MA.

Di Tempat

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Teriring doa semoga Bapak dalam lindungan Allah swt. serta selalu meraih kesuksesan dalam segala aktivitas sehari-hari.

Sehubungan dengan akan berakhirnya masa studi, maka dengan ini saya mengajukan judul skripsi sebagai salah satu persyaratan mencapai gelar S1, dengan penulisan skripsi yang berjudul PELAKSANAAN PEMBATALAN PERKAWINAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN. (TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SUMEDANG), Maka saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Arud Badrudin NIM : 106044101390 Semester : VII (tujuh)

Prodi : Ahwal Al-Syakhsiyah (SAS) Konsentrasi : Peradilan Agama

Bermaksud mengajukan permohonan judul skripsi sebagai langkah awal dalam penulisan skripsi ini. Sebagai bahan acuan dan pertimbangannya dengan ini saya lampirkan :

1. Out line

2. Abstraksi BAB I

3. Daftar Pustaka Sementara

Demikianlah surat permohonan ini saya buat. Atas segala bantuannya saya ucapkan banyak terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 23 Oktober 2009

Mengetahui

Dosen Penasehat Akademik Hormat Saya

Prof., Dr., H., Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Arud Badrudin NIP: 150 210 422


(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 23 Oktober 2009


(6)

Alhamdulillâhirabbil’âlamîn. Seiring dengan rahmat Allah, ma’unah serta

barokah-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Kepada

Allah swt. kita memanjatkan pujian, meminta pertolongan, dan memohon ampunan. Kepada-Nya pula kita meminta perlindungan dari keburukan diri dan kejahatan amal perbuatan. Dialah Tuhan Pencipta hukum yang tiada hukum paling tinggi malainkan hukum ciptaan-Nya. Telah Ia syariatkan ajaran-ajaran ketauhidan melalui kitab-kitab suci yang disampaikan para Rasul, manusia pilihan yang diutus-Nya.

Shalawat dan salam teriring mahabbah semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad saw., beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti ajaran beliau hingga hari Akhir. Dialah Nabi utusan Allah yang terakhir dan tiada Nabi setelahnya. Kemuliaannya lebih utama dari pada manusia dan makhluk lainnya, Dialah manusia pilihan yang paling bertakwa dan paling taat akan perintah-perintah Allah, Rasul yang sangat mencintai umatnya, ridha Allah agar bisa hidup berdampingan dengan Rasulullah saw. di surga merupakan cita-cita para hamba-Nya.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, Penulis banyak menemui hambatan dan cobaan. Namun, Penulis berusaha menghadapi semuanya dengan ikhtiar dan

tawakal. Penulis sadar dengan sepenuh hati bahwa skripsi ini hanyalah setitik


(7)

ii

debu jalanan untuk menitik jalan menuju orang-orang besar. Namun dalam kapasitas Penulis yang serba dho’if dan dihimpit dengan berbagai keterbatasan, skripsi ini rasanya sebuah pencapaian monumental yang membuat diri ini serasa besar, minimal membesarkan perasaan Penulis dan mengobarkan bara semangat untuk memburu pencapaian-pencapaian berikutnya yang dianggap besar oleh orang-orang besar. Lebih dari itu, skripsi ini merupakan seteguk air dalam rentang kemarau studi yang Penulis tempuh selama ini.

Penulis juga sadar sepenuhnya bahwa diri ini berutang budi kepada banyak pihak yang telah berkontribusi langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada para pihak yang telah menanamkan jasa baik berupa bimbingan, arahan serta bantuan yang diberikan sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs., H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku Ketua Jurusan dan bapak Kamarusdiana, S.Ag., MH., sebagai Sekretaris Jurusan Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(8)

telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, fikiran dan kesabarannya untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Ketua Pengadilan Agama Sumedang beserta staf dan jajarannya yang telah membantu proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini.

5. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum, terima kasih atas ilmu dan bimbingannya. seluruh Staf Akademik, Jurusan, Kasubag Keuangan dan Perpustakaan terima kasih atas bantuan dalam upaya membantu memperlancar penyelesaian skripsi ini. 6. Ayahanda dan Ibunda tercinta atas pengorbanan dan cinta kasihnya baik berupa moril dan materil, serta doa yang tak terhingga sepanjang masa untuk keberhasilan studi Penulis, segala hormat Penulis persembahkan. 7. Seluruh keluarga besarku, kakak-kakak ku yang senantiasa memberi

dorongan dan motivasi agar Penulis tetap semangat dalam menempuh studi di kampus tercinta ini.

8. Dedeh Nur Hidayah, orang yang dengan setia menanti dengan ketulusan cinta dan motivasi serta doa yang selalu dia panjatkan demi kelancaran dan keberhasilan penulis.

9. Sahabat-sahabatku tercinta, teman-teman seperjuangan Peradilan Agama A, Eko, Aab, Asep, Firman, Lulu, Anis, Fitri dan semuanya yang tidak mungkin dapat Penulis sebutkan satu persatu, yang senantiasa menebarkan benih-benih keceriaan dalam bingkai


(9)

iv

kebersamaan, sahabat Stevanieca dan Quinzelistine, Miftah, Mujib, Imam, Ipay, Iping, Diah. Keluarga besar IKBAL Korda Jakarta yang selalu memberikan motivasi dengan celotehan khasnya. Anggota KKN ASMARA ’09 yang senantiasa menjaga ikatan tali silaturahmi.

Besar harapan bagi Penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang memerlukannya dan dapat memberikan khazanah baru dalam dunia akademik. Sebagai manusia yang dho’if, yang memiliki keterbatasan dan kekurangan, tentunya skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka dan kerendahan hati Penulis akan sangat berterima kasih apabila para pembaca yang budiman memberikan kritik dan saran yang membangun demi kebaikan dan perbaikan atas karya-karya yang lainnya.

Akrinya, hanya kepada Allah swt. juga kita memohon agar apa yang telah kita lakukan menjadi suatu investasi yang sangat berharga dan kelak dapat membantu kita di Yaumil Akhir .

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 25 Mei 2010


(10)

BAB I : PENDAHULUAN ...1 A...L

atar Belakang Masalah ………...… 1 B. ...P

erumusan dan pembatasan Masalah …… ...……… 7 C. ...M

anfaat dan Tujuan Penelitian ………… ...……….. 8 D....S

tudi Review Terdahulu ……… ...……… 8 E....M

etode dan Teknik Penelitian …… ...………... 9 F...S

istematika Penulisan ……… ...……….. 12 BAB II : PEMBATALAN PERKAWINAN POLIGAMI LIAR ...14 A...S

yarat dan Rukun Perkawinan ...14 B. ...P

oligami ... 24 C. ...P oligami Liar ……… ...………. 35


(11)

vi

D....M adharat Poligami ………… ...………. 37 E....H

ikmah Poligami ………...……… 39 F...P

embatalan Perkawinan ……… ...……….. 40 G...A

kibat Hukum Pembatalan Perkawinan …...………... 44 H....P

encatatan Nikah ……… ...………. 46 BAB III : PENYELESAIAN PERKARA NOMOR 416/PDT.G/1995/PA.SMD DI PENGADILAN AGAMA SUMEDANG ... 48 A....D

eskripsi Pengadilan Agama Sumedang ... 48 B. ...D

eskripsi Kasus Perkara Nomor : 416/pdt.G/1995/PA. Smd ... 53 C. ...A

nalisa Penulis ………… ...……….. 60 BAB IV : PENUTUP ... 68 A...K

esimpulan ………...………. 68 B. ...S


(12)

Daftar Pustaka ……… 70 Lampiran-lampiran …………...……… 72


(13)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perkawinan merupakan salah satu subsistem dari kehidupan beragama dan

merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan, rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma dalam tata kehidupan masyarakat. Melalui media perkawinan yang merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, esensi dan tujuan hidup berkeluarga (rumah tangga) berulah akan tercapai yaitu membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang penuh barokah, tentram, damai, rukun bahagia dan kekal.1

Pernikahan dalam Islam merupakan bentuk perbuatan yang suci, karena pernikahan merupakan hubungan yang tidak hanya didasarkan pada ikatan lahiriyah semata, melainkan juga ikatan bersifat batiniyah. Dengan kata lain, pernikahan mempunyai dua aspek, yaitu aspek biologis dan aspek afeksional. Aspek biologis adalah keinginan manusia untuk mendapatkan keturunan. Sedangkan aspek afeksional adalah kebutuhan manusia untuk saling mencintai, rasa kasih sayang, rasa aman dan terlindungi, rasa dihargai, diperhatikan dan sebagainya. Faktor afeksional ini merupakan pilar utama bagi stabilitas suatu pernikahan, untuk itu pernikahan tidak bersifat sementara tetapi atas dasar adanya ikatan hubungan antara suami isteri pernikahan menjadi bersifat seumur hidup. 2

1

Chandra Sabtian Irawan, Perkawinan Dalam Islam: Monogami atau Poligami?,

(Yogyakarta: An-Naba Islamic Media, 2007), Cet. Ke-1, h. 12.

2Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar Madzhab (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, Mei 2006), h.7


(14)

Selain itu, perkawinan juga mengandung unsur perbuatan ibadah yang pada dasarnya merupakan sunnah Allah dan Rasul-Nya. Jika kita melihat pada tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga bahagia yang kekal. Tujuan ini dapat dielaborasi menjadi tiga hal:

1. Suami isteri saling membantu dan saling melengkapi

2. Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk pengembangan tersebut suami isteri harus saling membantu.

3. Tujuan terakhir yang ingin dicapai adalah keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan material.3

Selain tiga hal di atas, ada beberapa hal lain yang hendaknya kita perhatikan dalam mengkaji khazanah pernikahan, yaitu:

Pertama, Dari sisi hukum, perkawinan bukan hanya sekedar untuk

keabsahan melakukan persetubuhan, tetapi lebih jauh dari itu bertujuan untuk mencapai sesuatu yang lebih luhur karena memang perkawinan itu dipandang sebagai sebuah persetujuan perikatan atau kontrak

Kedua, Secara sosial, perkawinan itu sendiri berhasil mengangkat derajat

seorang wanita ke tingkat yang lebih tinggi di masyarakat dibandingkan dengan kondisinya sebelum melangsungkan perkawinan

Ketiga, Perkawinan dari sudut pandang agama merupakan sesuatu yang suci

dan sakral. Untuk itu perkawinan harus dilakukan oleh orang-orang yang suci agar tujuan perkawinan yang luhur itu dapat tercapai. Lebih penting dari itu, dalam

3 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Juli 2006), cet.ke-3.h.57.


(15)

3

kacamata agama perkawinan merupakan langkah awal untuk membentuk keluarga sebagai asas masyarakat.

Mengingat perkawinan bukan hanya sekedar hubungan antar individu melainkan bisa merupakan perbuatan yang melibatkan orang lain yang pada gilirannya akan menimbulkan hak dan kewajiban. Maka pemerintah mencoba mengakomodir dan mengatur pernikahan itu dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa “Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.4

Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan dilain pihak undang-undang perkawinan harus pula membentuk keluarga bahagia, sejahtera dan kekal serta membangun jalinan keluarga yang

sakinah, mawadah, warahmah.

Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan mempuyai hubungan yang sangat erat sekali dengan agama/kerohanian, perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, hal ini bisa dilihat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dengan demikian, maka jelas tidak ada

4

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: 2001), h.131


(16)

perkawinan diluar hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Sedangkan yang dimaksud dengan “agama dan kepercayaannya” itu termasuk ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang.

Pada prinsipnya, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berazaskan monogami yaitu suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang dan meskipun hal ini dikehendaki oleh yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhinya berbagai persyaratan tertentu dan atas putusan izin pengadilan.5

Apabila persyaratan-persyaratan bagi seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang tidak terpenuhi, maka perkawinan yang baru dapat diajukan pembatalan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau tempat tinggal kedua suami isteri, ditempat suami atau isteri.

Poligami merupakan salah satu polemik dalam perkawinan yang paling banyak dibicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan

5 WWW.le g a lita s.c o .id, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pustaka Yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN), h.2


(17)

5

selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Bahkan para penulis Barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Akan tetapi, pada sisi lain poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi.

Poligami dengan berbagai padangan dan kontroversialnya, tetap memiliki dua sisi yang berlawanan, memiliki dampak positif dan negatif. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara hukum mengatur permasalahan di atas yaitu dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Kendatipun dalam undang-undang tersebut menganut asas monogami seperti yang terdapat di dalam pasal 3 yang menyatakan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun pada bagian yang lain dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan. Klausula kebolehan poligami di dalam Undang-Undang Perkawinan sebenarnya hanyalah pengecualian dan untuk itu pasal-pasalnya mencantumkan alasan-alasan yang membolehkan tersebut.

Perjalanan kehidupan berumah tangga tidaklah selalu berjalan mulus dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Kerikil kehidupan sering kali menjadi penghalang dan menimbulkan konflik yang mengoyak ketenteraman rumah tangga.

Kurangnya perhatian dari pasangan hidup dan alasan adanya indikasi perselingkuhan seringkali menjadi penyebab perceraian atau poligami. Dalam kasus yang ingin penulis bahas adalah sang suami melakukan poligami tanpa izin


(18)

isterinya dan memalsukan biodata diri dikarenakan suami menduga bahwa isterinya telah selingkuh dengan laki-laki lain yang pada akhirnya suami memutuskan untuk menikah lagi tanpa harus meminta izin dari isterinya.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa apabila persyaratan-persyaratan bagi seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang tidak terpenuhi, maka perkawinan yang baru dapat diajukan pembatalan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau tempat tinggal kedua suami isteri, ditempat suami atau isteri. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, sebagai aturan pemberlakuan atas Undang-Undang Perkawinan, menegaskan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan Agama6. Yang dimaksud dengan Pengadilan adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi yang lainnya.

Pengadilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, maka diundangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama sebagai upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum bagi pencari keadilan, juga untuk menciptakan kesatuan hukum dilingkungan Pengadilan Agama serta memurnikan fungsi Peradilan Agama agar dapat mencapai tingkat sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang sebenarnya.

Oleh karena itu penulis mencoba melakukan penelitian terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Sumedang dalam bentuk skripsi dengan judul “Pembatalan Perkawinan Karena Poligami Liar (Analisa Yurisprudensi Perkara Nomor 416/Pdt.G/1995/PA.Smd.)”.


(19)

7

B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH 1. Pembatasan Masalah

Dalam pembahasan skripsi ini penulis memilih Pengadilan Agama Sumedang sebagai obyek penelitian. Mengingat banyaknya perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama tersebut, maka penulis melakukan pembatasan yakni hanya pada putusan mengenai pembatalan perkawinan dengan perkara Nomor : 416/Pdt.G/1995/PA.Smd.

Sehubungan dengan beraneka ragamnya kasus pembatalan perkawinan, maka dalam skripsi ini penulis membatasi hanya pada kasus di atas yang difokuskan pada argumentasi dan landasan hukum hakim dalam memutus perkara.

2. Perumusan Masalah

Dalam teorinya, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai beristeri lebih dari seorang yaitu apabila seorang suami ingin melakukan poligami harus mendapatkan putusan izin dari pengadilan agama dan persetujuan isteri. Namun pada kenyataannya masih banyak suami yang melakukan poligami tanpa mengikuti aturan hukum yang ada bahkan mereka lebih berani untuk memalsukan biodata diri agar bisa berpoligami.

Sehubungan dengan permasalahan di atas dan untuk memudahkan penulis dalam penulisan skripsi ini, maka rincian rumusan masalah skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Mengapa hakim membatalkan perkawinan tersebut?

2. Apa landasan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara ini? 3. Apakah putusan tersebut menguntungkan isteri (penggugat) atau suami?


(20)

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui argumentasi hakim membatalkan perkawinan tersebut, 2. Mengetahui landasan pertimbangan hakim dalam memutuskan

perkara ini,

3. Mengetahui putusan tersebut menguntungkan isteri (penggugat) atau suami (tergugat I).

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis : untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang hukum Islam, baik materil atau formil.

b. Manfaat praktis : sebagai bahan referensi bagi pencari keadilan serta memberikan kejelasan pada masyarakat pada umumnya tentang ketentuan hukum dan perundang-undangan yang mengatur tentang pembatalan perkawinan.

D. STUDI REVIEW TERDAHULU

No Nama Penulis/Judul/Tahun Substansi Pembeda

1 Sadatul Abadiyah, Hak Isteri Pertama Terhadap Pem-batalan Perkawinan Kedua (Analisis Putusan di Pengadilan Agama Bogor No.486/pdt.G/2005/PA.Bgr).

Skripsi ini menjelaskan tentang hak isteri pertama dalam mengajukan pem-batalan perkawinan kedua.

Dalam skripsi yang penulis bahas menitik beratkan pada argumentasi hakim dalam menyidangkan kasus pem-batalan perkawinan tersebut. Selain itu, penulis juga membahas bagaimana sebe-narnya duduk perkara


(21)

po-9

Fakultas Syariah dan Hukum. 2008

ligami yang berimplikasi pada pembatalan perka-winan.

2 Sugeng Purwanto, Status

Kewarisan Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut KHI dan hukum positif. Fakultas Syariah dan Hukum, 2004

Skripsi ini menjelaskan tentang hak waris anak akibat pembatalan per-kawinan yang ditinjau dari KHI dan hukum positif

Perbedaan dengan skripsi ini adalah pada pem-bahasannya, penulis men-jelaskan tentang pandangan hakim tentang pembatalan perkawianan akibat poli-gami serta duduk per-karanya bukan tentang hak waris.

3 Tajun Nasroh Qurhi, Esensi dan eksistensi UU No.1 tahun 1974 Terhadap Poligami, Fakultas Syariah dan Hukum, 2004

Skripsi ini mengkaji tentang esensi dan eksis-tensi UU No.1 tahun 1974 terhadap poligami

Skripsi yang penulis bahas memang berkaitan dengan poligami akan tetapi pem-bahasannya terfokus pada pembatalan perkawinan akibat poligami liar atau tanpa izin dari isteri pertama

E. M ETO DE DA N TEKN IK PEN ELITIA N

1. Je nis d a n Pe nd e ka ta n Pe ne litia n

Je nis p e ne litia n ya ng d ig una ka n d a la m p e nulisa n skrip si ini a d a la h p e ne litia n d e skrip tif (de skrip tif re se a rc h). Pe ne litia n ya ng d ima ksud ka n untuk me ng e ksp lo ra si d a n me ng kla rifika si sua tu fe no me na a ta u ke nya ta a n so sia l d e ng a n c a ra me nd e skrip sika n se jumla h va rib e l ya ng b e rke na a n d e ng a n ma sa la h d a n unit ya ng d ite liti.7

7 Fa isa l Sa na p ia h, Fo rma t-Fo rma t Pe ne litia n So sia l, Da sa r-Da sa r da n Ap lika sinya , (Ja ka rta : PT. Ra ja wa li Pe rs, 2003), c e t. ke -6, h.20


(22)

Ad a p un p e nd e ka ta n p e ne litia n ini d ila kuka n me la lui p e nd e ka ta n surve i a ta u o b se rva si d e ng a n me ng g una ka n me to d e d e skrip tif a na lisis ya itu m e to d e ya ng m e ng g a m b a rka n d a n me mb e rika n a na lisa te rha d a p ke nya ta a n d i la p a ng a n. Se d a ng ka n ya ng d ima ksud p e ne litia n d e ng a n me ng g una ka n p e nd e ka ta n surve i a ta u o b se rva si ya itu p ro se d ur p e ne litia n ya ng me ng ha silka n d a ta d e skrip tif b e rup a ka ta -ka ta te rtulis a ta u lisa n d a ri o ra ng -o ra ng a ta u p e rila ku ya ng d ia ma ti.

2. Da ta Pe ne litia n

a. Da ta p rime r ya ng d ib utuhka n untuk m e nja wa b se m ua p e rma sa la ha n d i a ta s a d a la h a ma r p utusa n ha kim Pe ng a d ila n Ag a ma Sume d a ng d a la m p e rka ra No mo r 416/ Pd t.G / 1995/ PA.Smd . te nta ng p e mb a ta la n p e rka wina n ya ng te la h Be rke kua ta n Hukum Te ta p se rta ha sil wa wa nc a ra d e ng a n ha kim ya ng me nyid a ng ka n p e rka ra te rse b ut.

b. Da ta se kund e r d a la m p e ne litia n ini te rd iri d a ri p e ne litia n hukum no rma tif (p e ne litia n hukum ke p usta ka a n) d a n p e ne litia n hukum ya ng d ila kuka n d e ng a n c a ra me ne liti b a ha n p usta ka ya itu b a ha n ya ng d iha silka n d a ri b a ha n hukum te rha d a p Und a ng -Und a ng No mo r 1 ta hun 1974 te nta ng p e rka wina n, Ko mp ila si Hukum Isla m d a n b a ha n


(23)

11

hukum la innya se p e rti b uku-b uku ya ng me nd ukung d a n me mp e rje la s b a ha n hukum te rse b ut.

3. Me to d e Pe ng ump ula n Da ta a. Inte rvie w/ wa wa nc a ra

Wa wa nc a ra d ila kuka n untuk me nd a p a tka n d a ta ya ng d ib utuhka n untuk me nja wa b se mua p e rma sa la ha n p e ne litia n. Da ta ya ng d ip e ro le h d a ri wa wa nc a ra ini a ka n d isine rg ika n d e ng a n d a ta -d a ta ya ng d ip e ro le h d a ri stud i d o kume nta si.


(24)

b. O b se rva si

Ag a r le b ih me nd a p a tka n ha sil ya ng ma ksima l, ma ka d ib utuhka n o b se rva si ke la p a ng a n. O b se rva si d ila kuka n d e ng a n la ng sung d a ta ng ke p e ng a d ila n a g a ma Sum e d a ng .

4. Te knik Pe ng o la ha n Da ta

Da ta ya ng te la h te rkump ul a ka n d io la h, d ia na lisis d a n d iinte rp re ta sika n untuk d a p a t me nja wa b p e rma sa la ha n ya ng te la h d irumuska n d e ng a n la ng ka h-la ng ka h se b a g a i b e rikut:

a. Se le ksi d a ta : se te la h me mp e ro le h d a ta d a n b a ha n-b a ha n p e ne litia n n-b a ik me la lui o n-b se rva si, stud i d o kume nta si ma up un wa wa nc a ra , la lu d ip e riksa ke mb a li sa tu p e rsa tu a g a r tid a k te rja d i ke ke lirua n.

b. Kla sifika si d a ta : se te la h d a ta d a n b a ha n d ip e riksa la lu d ikla sifika sika n d a la m b e ntuk d a n je nis te rte ntu, ke mud ia n d ia mb il ke simp ula n.

5. Ana lisis Da ta

Te khnik a na lisis ya ng d ig una ka n a d a la h c o nte nt a na lysist d a n a na lisis wa c a na . Da la m ha l ini, se tia p d a ta a ka n d ia na lisis d a ri b e b e ra p a sud ut p a nd a ng . Da ta ya ng


(25)

13

d ia na lisis m e rup a ka n d a ta ya ng b e rsumb e r d a ri sumb e r d a ta , b a ik ya ng d id a p a t me la lui wa wa nc a ra , o b se rva si a ta up un stud i d o kume nte r.

6. Pe d o ma n Pe nulisa n Skrip si

Te knik p e nulisa n skrip si ini b e rp e d o ma n p a d a “ Buku Pe d o ma n Pe nulisa n Skrip si ta hun 2007” ya ng d ite rb itka n o le h Fa kulta s Sya ria h d a n Hukum UIN Sya rif Hid a ya tulla h Ja ka rta d e ng a n b e b e ra p a p e ng e c ua lia n se b a g a i b e rikut: a. Da la m d a fta r p usta ka a l-Q ur’ a n d ite mp a tka n p a d a

uruta n p e rta ma

b. Te rje m a ha n a l-Q ura n d a n Ha d its d itulis 11/ 2 sp a si wa la up un kura ng d a ri e na m b a ris.

F. SISTEM A TIKA PEN ULISA N

Siste ma tika p e nulisa n ya ng d ig una ka n d a la m p e nyusuna n skrip si ini a d a la h BAB p e rb a b , d ima na a nta ra BAB ya ng sa tu d e ng a n BAB ya ng la innya me mp unya i ke te rka ita n. Siste ma tika p e nulisa n ya ng d ima ksud ka n a d a la h se b a g a i b e rikut:

BA B I Me rup a ka n b a b p e nd a hulua n d a la m m e m b uka p e nulisa n

skrip si ini, d e ng a n ura ia n b a ha sa n m e lip uti : la ta r b e la ka ng ma sa la h, id e ntifika si ma sa la h, ma ksud d a n tujua n p e ne litia n, stud i


(26)

re vie w te rd a hulu, me to d e d a n te knik p e ne litia n d a n siste ma tika p e nulisa n.

BA B II Be rke na a n d e ng a n p e ng e rtia n p e rka wina n me nurut Und a ng

-Und a ng No mo r 1 Ta hun 1974 me rup a ka n b a b te o ritis se c a ra umum me mb a ha s me ng e na i: Sya ra t d a n Rukun Pe rka wina n d itinja u d a ri Pe rsp e ktif fikih, und a ng -und a ng p e rka wina n d a n Ko mp ila si Hukum Isla m. Se la njutnya te nta ng Po lig a mi ya ng me lip uti Pe ng e rtia n d a n d a sa r hukum , Hukum d a n sya ra t p o lig a mi. Po lig a mi Lia r, Ma d ha ra t Po lig a mi, Hikma h Po lig a mi, Pe mb a ta la n Pe rka wina n, Akib a t Hukum Pe mb a ta la n Pe rka wina n, d a n Pe nc a ta ta n Nika h.

BA B III Ba b ini me nje la ska n d e skrip si Pe ng a d ila n Ag a ma Sume d a ng

d a n p utusa n p e rka ra p e mb a ta la n p e rka wina n ka re na ta np a izin p e ng a d ila n d a n iste ri p e rta ma , se rta a na lisa p e nulis te nta ng p e rka ra te rse b ut.

BA B IV Ba b ini a d a la h p e nutup ya ng me rup a ka n ke simp ula n d a ri

ke se luruha n b a b te rd a hulu ya ng ma na d id a la mnya jug a d ike muka ka n sa ra n-sa ra n se b a g a i ja la n p e mikira n p e nulis d a la m ra ng ka me mb a ntu me ng e muka ka n ja la n ke lua r d a ri p e rma sa la ha n ya ng d ite muka n d a la m p e nulisa n skrip si.


(27)

BAB II

PEMBATALAN PERKAWINAN POLIGAMI LIAR A. Syarat dan Rukun Perkawinan

Menelaah syarat dan rukun perkawinan merupakan suatu kajian yang membutuhkan pengetahuan yang luas serta analisis yang tajam mengingat masalah tersebut begitu banyak perbedaan pendapat di kalangan Fuqaha. Perbedaan tersebut berkenaan dengan apa yang termasuk rukun dan mana yang tidak. Bahkan perbedaan itu juga terjadi dalam menentukan mana yang termasuk rukun dan mana yang termasuk syarat. Bisa jadi sebagian ulama menyebutnya sebagai rukun dan ulama lainnya menyebutnya sebagai syarat.

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya dan tidak merupakan unsurnya1.

Dalam menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan dikalangan ulama dimana perbedaan ini tidak bersifat substansial. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh karena berbeda dalam melihat fokus perkawinan, laki-laki yang akan kawin, perempuan yang akan kawin, wali dari mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan akad perkawinan, dan mahar atau maskawin.

1 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, Agustus 2007), cet.ke 2.h.59


(28)

1. Perspektif Fikih

Menurut Hanafiyah,

دﻮﻬ ﺎ

ﺎﻬ

و

ﺪ ﺎ ﺎ

ﺎﻬ

و

ﺎﻬ

طوﺮ

حﺎﻜ

.

2

Artinya : ”Nikah itu terdiri dari syarat-syarat yang terkadang berhubungan dengan sighat, berhubungan dengan dua calon mempelai dan berhubungan dengan kesaksian”

Oleh karena itu, yang menjadi rukun perkawinan menurut golongan ini hanyalah akad nikah yang dilakukan oleh dua pihak yang melangsungkan perkawinan, sedangkan yang lainnya seperti kehadiran saksi dan mahar dikelompokkan kepada syarat perkawinan. Ulama Hanafiyah membagi syarat itu kepada:

1. Syuruth al-In’iqad, yaitu syarat yang menentukan terlaksananya suatu

akad perkawinan. Karena kelangsungan perkawinan tergantung pada akad, maka syarat di sini adalah syarat yang harus dipenuhi karena ia berkenaan dengan akad itu sendiri. Bila syarat-syaratnya itu tertinggal, maka akad perkawinan disepakati batalnya. Misalnya, pihak-pihak yang melakukan akad adalah orang yang memiliki kemampuan untuk bertindak hukum.

2. Syuruth al-Shihhah, yaitu sesuatu yang keberadaannya menentukan

dalam perkawinan. Syarat tersebut harus dipenuhi untuk dapat

2 Abdurrahman al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh `Ala Mazahib Al-`Arba’ah, Juz I-V, (Dar Ibnu


(29)

16

menimbulkan akibat hukum, dengan kata lain bila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perkawinan itu tidak sah; seperti adanya mahar dalam setiap perkawinan.

3. Syuruth al-Nufuz, yaitu syarat yang menentukan kelangsungan suatu

perkawinan. Akibat hukum setelah berlangsung dan sahnya perkawinan tergantung kepada adanya syarat-syarat itu tidak terpenuhi menyebabkan fasadnya perkawinan, seperti wali yang melangsungkan perkawinan adalah seseorang yang berwenang untuk itu.

4. Syuruth al-Luzum, yaitu syarat yang menentukan kepastian suatu

perkawinan dalam arti tergantung kepadanya kelanjutan berlangsungnya suatu perkawinan sehingga dengan telah terdapatnya syarat tersebut tidak mungkin perkawinan yang sudah berlangsung itu dibatalkan. Hal ini berarti selama syarat itu belum terpenuhi perkawinan dapat dibatalkan, seperti suami harus sekufu dengan isterinya.3

Menurut Syafi’iyah, yang dimaksud dengan perkawinan disini adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan perkawinan dengan segala unsurnya, bukan hanya akad nikah itu saja. Syarat perkawinan itu adakalanya menyangkut sighat, wali, calon suami-isteri dan syuhud (saksi). Berkenaan dengan hukumnya, bagi mereka ada lima:

a. Calon mempelai suami

3


(30)

b. Calon mempelai isteri

c. Wali dari mempelai yang akan mengakadkan perkawinan d. Dua orang saksi

e. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh calon suami.

Mahar yang harus ada dalam setiap perkawinan tidak termasuk ke dalam rukun, karena mahar tersebut tidak harus disebut dalam akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian, mahar itu termasuk ke dalam syarat perkawinan.4

Menurut Malikiyah, rukun nikah itu ada lima, yaitu: wali, mahar, calon suami-isteri dan sighat. Dari penjelasan di atas, kita bisa memahami bahwa para ulama tidak saja berbeda dalam menggunakan kata rukun dan syarat tetapi juga berbeda dalam detailnya. Malikiyah misalnya, tidak menempatkan saksi sebagai rukun, sedangkan Syafi’iyah menjadikan dua orang saksi sebagai rukun.

Untuk menyatukan persepsi tentang syarat dan rukun di atas, menurut

jumhur ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun itu memiliki

syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pembahasan maka uraian rukun perkawinan akan disamakan dengan uraian syarat-syarat dari rukun tersebut.

1) Calon suami, syarat-syaratnya: 1. Beragama Islam

2. Laki-laki


(31)

18

3. Jelas orangnya

4. Dapat memberikan persetujuan 5. Tidak terdapat halangan perkawinan


(32)

2) Calon isteri, syarat-syaratnya:

1. Beragama, meskipun Yahudi atau Nashrani 2. Perempuan

3. Jelas orangnya

4. Dapat dimintai persetujuannya 5. Tidak terdapat halangan perkawinan 3) Wali nikah, syarat-syaratnya:

1. Laki-laki 2. Dewasa

3. Mempunyai hak perwalian

4. Tidak terdapat halangan perwaliannya 4) Saksi nikah.

1. Minimal dua orang laki-laki 2. Hadir dalam ijab qabul

3. Dapat mengerti maksud akad 4. Islam

5. Dewasa

5) Ijab qabul, syarat-syaratnya:

1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai

3. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut

4. Antara ijab dan qabul bersambungan 5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

6. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang Ihram Haji atau Umrah


(33)

20

7. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu

calon mempelai wanita dan dua orang saksi.

Walaupun dalam hal-hal tertentu, seperti wali dan saksi masih ikhtilaf di kalangan ulama, namun mayoritas ulama sepakat dengan rukun yang lima ini.5

Para ulama sepakat menempatkan ijab dan qabul itu sebagai rukun perkawinan. Untuk sahnya akad perkawinan disyaratkan beberapa syarat. Di antara syarat tersebut ada yang disepakati oleh para ulama dan ada yang diperselisihkan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Ijab

adalah penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Qabul

adalah penerimaan dari pihak laki-laki.

2. Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan.

3. Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambung tanpa terputus walaupun sesaat. Ulama Malikiyah memperbolehkan terlambatnya ucapan qabul dari ucapan ijab, bila keterlambatan itu hanya dalam waktu yang pendek.

4. Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan.

5. Ijab dan qabul harus menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang. Tidak boleh menggunakan ucapan sindiran.6

5 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Juli 2006), cet.ke-3.h.62-63.


(34)

2. Perspektif Undang-Undang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan) sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan. Undang-Undang Perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan.

Di dalam BAB II pasal 6 dijelaskan bahwa syarat-syarat perkawinan adalah: 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur

21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka

6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan


(35)

22

tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini. 6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Jika kita melihat pada pasal di atas, maka kita hanya menemukan bahwa ternyata Undang-Undang Perkawinan melihat persyaratan perkawinan itu hanya menyangkut persetujuan kedua calon dan batasan umur serta tidak adanya halangan perkawinan antara kedua calon mempelai tersebut. Ketiga hal ini sangat menentukan untuk pencapaian tujuan perkawinan itu sendiri. Persetujuan kedua calon mempelai meniscayakan perkawinan itu tidak didasari oleh paksaan. Syarat ini setidaknya mengisyaratkan adanya emansipasi wanita sehingga setiap wanita dapat dengan bebas menentukan pilihannya siapa yang paling cocok dan maslahat sebagai suaminya.7

Selanjutnya tentang usia, hal ini sebenarnya sesuai dengan prinsip perkawinan yang menyatakan bahwa calon suami dan isteri harus telah masak jiwa dan raganya. Tujuannya adalah agar tujuan perkawinan untuk menciptakan keluarga yang kekal dan bahagia secara baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat dapat diwujudkan. Kebalikannya perkawinan di bawah umur atau yang sering diistilahkan dengan perkawinan dini


(36)

seperti yang telah ditentukan oleh undang-undang semestinya dihindari karena membawa efek yang kurang baik, terutama bagi pribadi yang melaksanakannya.

3. Perspektif Kompilasi Hukum Islam

Berbeda dengan apa yang termaktub dalam Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dalam membahas rukun perkawinan tampaknya mengikuti sistematika fikih yang mengkaitkan rukun dan syarat. Hal Ini bisa di lihat dalam pasal 14. Walaupun KHI menjelaskan lima rukun perkawinan sebagaimana fikih, akan tetapi ternyata dalam uraian persyaratannya KHI mengikuti Undang-Undang Perkawinan yang melihat syarat hanya berkenaan dengan persetujuan kedua calon mempelai dan batasan umur.

Ada beberapa hal yang patut kita cermati dalam KHI yaitu pada pasal-pasal berikutnya juga dibahas tentang wali (pasal 19), saksi (pasal 24), akad nikah (pasal 27), namun sistematikanya diletakkan pada bagian yang terpisah dari pembahasan rukun. Sampai di sini, KHI tidak mengikuti skema fikih, juga tidak mengikuti Undang-Undang Perkawinan yang hanya membahas persyaratan perkawinan menyangkut kedua calon mempelai.

Sedangkan wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita, hal tersebut sesuai dengan pasal 19 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.”

Adapun yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan balig. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 20 Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan Pasal 21 mengatur


(37)

24

mengenai wali nasab yang terdiri dari empat kelompok dimana pelaksanaannya harus sesuai dengan urutan berikut, Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.8

Syarat-syarat perkawinan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perkawinan sangat berbeda dengan fikih Islam baik skema maupun materinya9. Undang-Undang Perkawinan tetap memfokuskan syarat perkawinan pada kedua calon mempelai. Jadi sahnya suatu perkawinan terletak pada mereka berdua.

Sebenarnya pergeseran yang terjadi dari konsep-konsep fikih ke Undang-Undang Perkawinan dan KHI bisa dikatakan tidak terlalu signifikan. Hanya saja dalam beberapa hal, Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam memberikan penegasan terhadap konsep-konsep fikih seperti menyangkut batasan umur yang tidak di atur di dalam kitab-kitab fikih.

Dengan adanya penyesuaian antara pandangan fikih terhadap kultur budaya masyarakat Indonesia, maka diharapkan adanya suatu penetapan aturan yang

8 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Peraturan

Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2001.h.


(38)

dapat berjalan dengan efektif karena tidak adanya aturan yang secara signifikan berbenturan dengan adat masyarakat sebagai objek dari suatu aturan.


(39)

26

B. POLIGAMI

1. Pengertian dan Dasar Hukum

Poligami berasal dari bahasa Yunani dan merupakan penggalan dari kata

poliu atau polus yang berarti banyak dan gamen atau games yang berarti

perkawinan. Dengan demikian poligami dapat dikatakan perkawinan banyak dan

bisa jadi dalam jumlah tak terbatas. Term ini sebenarnya punya makna umum yaitu memiliki dua orang atau lebih suami atau isteri pada saat bersamaan. Tetapi pada perkembangannya istilah ini mengalami penyempitan makna menjadi suami yang memiliki isteri dua atau lebih pada waktu bersamaan. Sedangkan isteri yang memiliki dua suami atau lebih secara bersamaan biasa disebut dengan poliandri.10

Dalam keterangan lain dijelaskan bahwa kata “poligami” terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara etimologi, poli artinya “banyak”, dan gami artinya “isteri”. Jadi poligami itu artinya beristeri banyak. Secara terminologi, poligami yaitu “seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu isteri”.11 Atau “seorang laki-laki beristeri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.12

10Siti Anshariyah, Poligami (Pergulatan Sisi Kemanusiaan), (Jakarta: UIN press, ),h.81

11 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, Juli 2003), h. 129

12

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai


(40)

Poligami merupakan budaya yang sudah mengakar kuat dalam tradisi kehidupan manusia terutama di Arab yang lebih dikenal dengan istilah Ta’adudu

Zaujah yang artinya berbilangnya isteri.13 Setelah datangnya Islam ke negeri

Arab, Islam tidak melarang poligami tetapi juga tidak membiarkannya bebas tanpa aturan, Islam mengatur poligami dengan syarat-syarat imaniyah yang jelas disebutkan dalam hukum-hukum al-Quran. Maka Islam membatasi poligami hanya sampai empat orang, di mana zaman Jahiliyah dulu tanpa batas. Ayat yang berkaitan dengan poligami adalah surat an-Nisa ayat 3.

)

ءﺎ ا

: 3 ( .

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang

demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS.

An-Nisa:3)

Di antara keagungan ayat ini tampak jelas bahwa bolehnya poligami dan pembatasannya dengan empat orang, datang dengan dibarengi kekhawatiran berlaku zhalim kepada perempuan yatim.

Ibnu Arabi berpendapat “yang dimaksud `takut` pada ayat di atas adalah dugaan kuat semata yang tidak disebutkan dengan kalimat jelas akan tetapi

13

“Poligami” dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT.


(41)

28

maknanya ada didalamnya. Kalian boleh menikahi empat orang, tapi apabila kalian memiliki dugaan kuat bahwa kalian tidak akan mempu untuk berlaku adil di antara keempat orang tersebut, maka cukup tiga orang, jika di antara ketiga orang tersebut kalian juga memiliki dugaan kuat tidak akan bisa berlaku adil, maka cukup dua orang dan jika terhadap dua orang masih juga ada dugaan kuat tidak bisa berlaku adil, maka cukup satu orang saja.”14

Menurut pendapat lain, maksud dari “Apabila kamu takut tidak akan dapat

berlaku adil…” adalah jika ada perempuan yatim dalam perlindunganmu dan

kamu khawatir tidak dapat memberinya mahar yang memadai maka beralihlah kepada wanita lainnya, sebab wanita lain juga masih banyak dan Allah tidak mempersulitnya. Sedangkan “dua, tiga atau empat” nikahilah wanita yang kamu kehendaki selain anak yatim. Jika kamu mau nikahilah dua, tiga atau empat. Sunnah Rasulullah SAW yang menerangkan informasi dari Allah SWT menunjukkan bahwa seorangpun tidak boleh selain Rasulullah SAW, menikahi lebih dari empat orang wanita, sebab yang demikian itu merupakan kekhususan untuk Rasulullah SAW.15

Menurut Quraish Shihab, ayat yang menjelaskan tentang poligami ini tidak membuat peraturan baru tentang poligami karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syari’at agama serta adat-istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Ayat ini tidak juga menganjurkan apalagi mewajibkan

14Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Pandangan Islam, Nasrani Dan Yahudi. (Jakarta:

Darul Haq, Februari 2007), H.28 15

Muhammad Nasib Ar-Rifai, Kemudahan dari Allah: Ringkasasan Tafsir Ibnu Katsir,


(42)

poligami, tetapi ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang sangat amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan.16

2. Hukum dan Syarat Poligami a. Perspektif Fikih

Kedatangan Islam dengan ayat-ayat poligaminya, walaupun tidak menghapus praktik ini, namun Islam membatasi kebolehan poligami hanya sampai empat orang isteri dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti keharusan berlaku adil di antara para isteri. Syarat-syarat ini ditemukan di dalam dua ayat poligami yaitu surat an-Nisa ayat 3.

)

ءﺎ ا

: 3 (

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka

(kawinilah) seorang saja17, atau budak-budak yang kamu miliki. yang

demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS.

An-Nisa:3). An-Nisa ayat 129.

16

Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual: Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta:

Gema Insani Press, 2003), cet-1, h. 270.

17 Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini

poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.


(43)

30 ⌧ ☺ ☺ ⌧ ☺ ⌧ ⌧ ⌧ ☺ ) ءﺎ ا : 129

(

Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya

Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa:129).

Dalam pandangan Asghar, sebenarnya dua ayat di atas menjelaskan betapa al-Quran begitu berat untuk menerima institusi poligami, tetapi hal itu tidak dapat diterima dalam situasi yang ada maka al-Quran membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang isteri dengan syarat harus adil. Dengan mengutip al-Tabari, menurut Asghar, inti ayat di atas sebenarnya bukan pada kebolehan poligami, tetapi bagaimana berlaku adil terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini mereka.18

Berbeda dengan pandangan fikih, poligami yang dalam kitab-kitab fikih disebut ta’addud al-zaujat, sebenarnya tidak lagi menjadi persoalan. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, bahwa ulama sepakat tentang kebolehan poligami, kendatipun dengan persyaratan yang bermacam-macam. As-sarakhsi menyatakan kebolehan poligami dan mensyaratkan pelakunya harus berlaku adil. Al-Kasani menyatakan lelaki yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap isteri-isterinya. As-Syafi’i juga mensyaratkan keadilan di antara para isteri, dan menurutnya


(44)

keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik, misalnya mengunjungi isteri di malam atau siang hari.19

Landasan hukum tentang kebolehan poligami selain terdapat di dalam al-Quran, juga terdapat dalam hadis Nabi yang salah satunya mengenai batas jumlah isteri yaitu hanya boleh empat orang saja.

ﺮ ﺎﻓ

ﺎﻓ

ةﻮ

و

ا

ا

نﻼ

نا

ا

ﺎً را

نا

و

ﷲا

ا

)

ﺬ ﺮ و

ﺪ ﺣا

ور

(

20

Artinya : “Dari Salim dari ayahnya r.a. bahwasannya Ghailan binti Salamah masuk Islam sedang ia mempunyai sepuluh orang isteri dan mereka pun masuk Islam bersamanya maka Nabi SAW. menyuruh agar ia

memilih empat orang dari isteri-isterinya.” (HR. Ahmad dan

Turmudzi).

Hadis lain yang mengatur poligami adalah hadis dari Abi Hurairah.

ا

ه

ة

ﷲا

ر

لﺎ

:

نأ

ﷲا

لﻮ ر

م

ص

ةﻮ

رأ

أ

ن

:

ا

أ

ة

و

و

ةأﺮ او

ﻬﺎ

.

)

ﺔ ﺎ ﺠ ا

اور

21

.(

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW melarang empat wanita untuk dipoligami. yaitu, seorang wanita

dengan bibinya dari jalur ayah dan seorang bibinya dari jalur ibu.”

(HR. Jama’ah).

19Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Juli 2006), cet.ke-3.h.98.

20 Muhammad bin Ismail Shan’ani, Subulu al-Salam,al-Mausilah ila al-Maram min

Jami’adillah al-Hakam, (Kairo: Dar Ibnu Jauziyah, 2008 ), juz 6, h.66.

21Abi al-Hasan Muslim bin al-Hijaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Bierut: Dar


(45)

32

Kedua hadis di atas pada dasarnya hanya menjelaskan tentang batas kebolehan beristeri lebih dari seorang dan larangan berpoligami antara seorang wanita dengan bibinya dari jalur ayah dan seorang bibinya dari jalur ibu. Akan tetapi jika kita telaah lebih jauh bahwa hadis di atas merupakan penjelasan lebih lanjut dari ayat al-Quran yang menjelaskan tentang poligami.

Menurut Wahbah az-Zuhaili, alasan pembatasan poligami sampai empat orang adalah karena pada lahirnya kemampuan suami dalam berlaku adil, membayar nafkah, pembagian waktu dan sebagainya hanya sampai empat orang isteri dengan pengaturan mingguan dalam satu bulan. Lebih dari itu, disangsikan suami tidak mampu memberi perhatian sempurna dan tidak sanggup menunaikan hak-hak isteri-isterinya. Karena itu kebolehan berpoligami setidaknya harus memenuhi dua persyaratan. Pertama, berlaku adil antara isteri-isteri dan anak-anaknya. Kedua, kesanggupan membayar nafkah atau belanja nikah rumah tangganya, sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW tentang perlunya biaya nikah

(al-ba’ah) bagi calon suami. (HR.al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud).22

Jika kita sederhanakan, pandangan normatif al-Quran dan al-Hadis yang selanjutnya diadopsi oleh para ulama fikih setidaknya menjelaskan tiga persyaratan yang harus dimiliki dan diperhatikan suami. Pertama, seorang laki-laki yang akan berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya isteri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan semua isterinya dengan adil, tiap isteri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain. Ketiga,

22 “Poligami” dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT.


(46)

hanya boleh empat orang isteri dengan ketentuan bukan merupakan bibi atau kaka beradik.

Berkenaan dengan alasan-alasan darurat yang membolehkan poligami, menurut Abdurrahman, setelah merangkum pendapat fuqaha, setidaknya ada delapan keadaan, yaitu:

1. Isteri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit untuk disembuhkan.

2. Isteri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak dapat melahirkan.

3. Isteri sakit ingatan (gila).

4. Isteri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai isteri. 5. Isteri memiliki sifat buruk.

6. Isteri minggat dari rumah,

7. Ketika terjadi ledakan perempuan (jumlah perempuan yang banyak) misalnya dengan sebab perang,

8. Kebutuhan suami beristeri lebih dari satu, dan jika tidak dipenuhi menimbulkan kemadharatan di dalam kehidupan dan pekerjaannya.23

b. Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami seperti yang terdapat di dalam pasal 3 yang menyatakan, “seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai

23


(47)

34

seorang suami”,24 Namun pada bagian yang lain dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan. Klausul kebolehan poligami di dalam Undang-Undang Perkawinan sebenarnya hanyalah pengecualian dan untuk itu pasal-pasalnya mencantumkan alasan-alasan yang membolehkan tersebut.

Dalam pasal 4 Undang-Undang Perkawinan dinyatakan: Seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dengan adanya pasal-pasal yang membolehkan untuk poligami walaupun dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa asas yang dianut oleh Undang-Undang Perkawinan sebenarnya bukan asas monogami mutlak melainkan disebut monogami terbuka. Di samping itu, lembaga poligami tidak semata-mata kewenangan penuh suami tetapi atas dasar izin dari hakim (pengadilan). Oleh sebab itu pada pasal 3 ayat 2 ada pernyataan: “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.25

Dengan adanya ayat ini, jelas sekali Undang-Undang Peradilan telah melibatkan pengadilan agama sebagai institusi yang cukup penting untuk

mengabsahkan kebolehan poligami bagi seorang, sesuatu yang tidak ada preseden

24

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media,

Desember 2003), H.269. 25

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Peraturan

Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2001


(48)

historisnya di dalam kitab-kitab fikih. Di dalam penjelasan pasal 3 ayat 2 tersebut dinyatakan, “Pengadilan agama dalam memberikan putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut pada pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami”.26

Berkenaan dengan pasal 4 di atas setidaknya menunjukkan ada tiga alasan yang dijadikan dasar mengajukan permohonan poligami. Pertama, isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. Kedua, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan (menurut dokter). Ketiga,

tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang suami yang ingin melakukan poligami adalah:

1. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

3. Adanya jaminan bahwa suami akam berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka.

Ayat (2)

Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun,

26


(49)

36

atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilain dari hakim pengadilan.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, persyaratan beristeri lebih dari seorang dibatasi hanya sampai empat orang isteri dengan syarat utamanya adalah berlaku adil. Hal ini sesuai dengan pasal 55 yaitu:

1. Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.

2. Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.

Sedangkan pasal 56 menjelaskan tentang seorang suami yang hendak beristeri lebih dari seorang harus mendapat ijin dari pengadilan agama, pasal 58 menjelaskan tentang harus adanya persetujuan isteri baik secara lisan atau tulisan. Apabila seorang isteri tidak mau memberikan persetujuan, maka pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian izin. Dalam hal penetapan ini, baik suami atau isteri dapat mengajukan banding atau kasasi. Ketentuan tersebut sebagaimana dijelaskan dalam pasal 59.27

Dari penjelasan pasal-pasal di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa aturan Perundang-Undangan Perkawinan Indonesia tentang poligami sebenarnya telah berusaha mengatur agar laki-laki yang melakukan poligami adalah laki-laki yang benar-benar:

27 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum


(50)

1. Mampu secara ekonomi menghidupi dan mencukupi seluruh kebutuhan (sandang, pangan dan papan) keluarga (isteri-isteri dan anak-anak), 2. Mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya sehingga isteri-isteri dan

anak-anak dari suami poligami tidak disia-siakan. Selain itu, suami yang akan melaksanakan poligami harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan isteri atau para isteri.

C. POLIGAMI LIAR

Pembenaran poligami di kalangan umat muslim sering kali didasarkan pada dalil naqli yaitu surat an-Nisa` ayat 3 yang didalamnya terkandung pembahasan tentang anak yatim. Jika kita hanya melihat sepintas dari ayat ini untuk dijadikan petunjuk pembenaran kebolehan poligami karena didalamnya terdapat kalimat,

...

Artinya : “Kawinlah perempuan-perempuan yang kau sukai, dua, tiga, atau empat....” (QS: an-Nisa: 3).

Apabila kita melihat makna ayat di atas, maka ayat tersebut cenderung mengesankan bahwa ayat ini merupakan perintah atau setidaknya anjuran untuk berpoligami karena mengandung kata perintah (fi’il amr) yakni “nikahilah”. Sementara sebagian orang menangkap kesan dari kata perintah ini bahwa al-Quran menganjurkan atau setidaknya mempersilahkan kepada kaum laki-laki untuk berpoligami. Lebih jauh pendapat ini suka menarik logika yang tampak


(51)

38

benar. “jika Allah saja memperbolehkan (poligami), lantas apa haknya kaum perempuan melarang suami mereka berpoligami?”.28

Namun perlu kita pahami bersama bahwa petunjuk al-Quran tidak dapat dipahami secara utuh dan benar hanya dengan menunjuk pada bagian tertentu dari satu ayat dan mengabaikan bagian ayat yang lain. Seharusnya, sebuah ayat hendaknya dilihat secara utuh, tidak dipotong-potong apalagi hanya mengambil bagian ayat yang menguntungkan dan menafi’kan bagian lainnya yang dirasa tidak menguntungkan.

Jika kita telaah dengan seksama makna dari kandungan surat an-Nisa mulai dari ayat pertama, kedua dan ketiga, maka kita akan melihat secara jelas bahwa substansi kandungan ayat-ayat tersebut terfokus pada perintah untuk berlaku adil, terutama terhadap anak yatim. Wujud perilaku adil tersebut antara lain tidak memutuskan hubungan silaturahim dengan mereka, tidak menyalahgunakan harta mereka dan tidak berbuat aniaya dengan cara mengawini mereka tanpa memberikan hak-haknya.

Poligami liar yang dimaksud dalam skripsi ini adalah poligami tanpa adanya izin pengadilan agama dan persetujuan isteri. Perkawinan itu dilakukan dengan memanipuasi identitas, selain itu perkawinan ini juga dilakukan di bawah tangan yaitu perkawinan menurut ajaran agama (Islam) atau hukum adat, dan tidak

28

Anshorie Fahmi, Siapa Bilang Poligami Itu Sunnah, (Jakarta: Pustaka IIMaN, 2007),


(52)

merujuk pada hukum positif. Alhasil pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Kantor Catatan Sipil (KCS).29

Poligami seperti ini tidak menggunakan perjanjian yang kuat (mitsaqon

ghalidho) karena tidak tercatat secara hukum. Apabila terjadi masalah yang

menjurus pada perceraian atau ditinggalkan oleh suami, istri tidak bisa menggugat suami. Kalaupun ingin menggugat cerai, penyelesaiannya diserahkan kepada pemimpin agama.

Persoalannya akan bertambah rumit jika sampai pasangan poligami itu mempunyai anak. Status anak mereka tidak jelas karena untuk memperoleh kejelasan status dibutuhkan data akta kelahiran. Padahal untuk memperoleh akta kelahiran, disyaratkan adanya akta nikah. Hal ini memberikan implikasi pada pembagian harta warisan, dimana sang anak akan kesulitan mendapatkan hak warisnya. Lebih dari itu, istri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal, misalnya asuransi. Apabila suami sebagai pegawai, maka istri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami.

D. MADHARAT POLIGAMI

Menurut al-Athar dalam kitabnya ta’addud al-zawzat, sebagaimana dikutip oleh Karam30 mencatat empat dampak negatif poligami. Pertama, poligami dapat menimbulkan kecemburuan di antara para isteri. Kedua, menimbulkan rasa kekhawatiran isteri kalau-kalau suami tidak bisa bersikap bijaksana dan adil.

Ketiga, anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang berlainan sangat rawan untuk

29 Makalah Menguak Sisi Gelap Poligami (Sabtu, 23 Desember 2006),

www/hukumonline.com

30Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Pandangan Islam, Nasrani Dan Yahudi. Jakarta:


(53)

40

terjadi perkelahian, permusuhan dan saling cemburu. Keempat, kekacauan dalam bidang ekonomi.

Selain itu, dalam buku Relasi Suami Istri Dalam Islam, dijelaskan bahwa poligami bisa membawa madharat. Pertama, adanya orang yang tersakiti (isteri pertama) dengan adanya poligami baik secara fisik maupun psikis. Dari sini kekerasan dalam rumah tangga kerap terjadi, baik kekerasan dalam fisik, nafkah, pendidikan anak dan lain-lain. Kedua, banyaknya perceraian karena tidak adanya persetujuan isteri pertama.

Kedua hal di atas sesuai dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim yaitu:

Ali bin Abi Thalib meminang anak perempuan Abu Jahal pada saat masih ada Fatimah, ketika Fatimah mendengar kabar tersebut ia mendatangi Rasul dan mengatakan bahwa kaummu membicarakan mu bahwa engkau tidak marah untuk anakmu karena Ali akan menikahi anak perempuan Abu Jahal, Amma Ba’d maka Nabi berkata sesungguhnya Fatimah adalah belahan jiwaku dan aku khawatir ia terjerumus dalam fitnah dalam agama, karena demi Allah anak Rasul tidak akan berkumpul dengan anak musuhnya selamanya. Kemudian Ali membatalkan

pinangnnya.31

Dalam interpretasi hadis ini, terdapat pandangan beragam. Menurut al-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, Jilid 16, ketidak setujuan Rasul bukan pada poligaminya, tetapi pada siapa yang akan dipinang Ali yaitu anak Abu Jahal yang terkenal kekafirannya dengan ungkapan “aku tidak akan menghalalkan

sesuatu yang haram dan begitupun seballiknya”.32

31Abi al-Hasan Muslim bin al-Hijaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Bierut: Dar

al-Kutub al-‘Arabi, 2004), 91.


(54)

Alasan ideologi ini nampaknya kurang relevan, karena Rasulallah saw. juga menikahi Ummu Habibah anak Abu Sofyan seorang tokoh kafir Makkah dan juga menikahi Shafiyah Binti Huyay, salah seorang tokoh Yahudi. Artinya bahwa pelarangan Nabi bukan terletak pada ideologi tentang siapa yang akan dinikahi Ali, tetapi pada iidza (tersakitinya) Fatimah. Karena menyakiti Fatimah berarti menyakiti Nabi. Oleh karena itu, undang-undang perkawinan di Indonesia mengharuskan adanya izin dari isteri atau isteri. Hal ini dimaksudkan agar dalam pernikahan tersebut tidak ada yang merasa disakiti dan didhalimi.


(55)

42

E. HIKMAH POLIGAMI

Menurut Rasyid Ridho 33 bahwa poligami memiliki beberapa manfaat, yaitu:

1. Untuk mendapatkan anak bagi suami yang subur dan isteri yang mandul, 2. Menjaga keutuhan keluarga tanpa harus mencerai isteri pertama meski ia tidak berfungsi semestinya sebagai isteri karena cacat fisik dan sebagainya,

3. Untuk menyelamatkan suami yang hiperseks dari perbuatan zina. Tercatat di beberapa negara barat yang melarang poligami mengakibatkan merajalelanya praktek prostitusi dan free sex (kumpul kebo) dan lahirnya anak-anak hasil zina mencapai jumlah yang cukup tinggi,

4. Menyelamatkan harkat dan martabat wanita dari krisis akhlak (melacur) bagi mereka yang tinggal dinegara yang jumlah wanitanya lebih banya dibandingkan laki-laki seperti dikarenakan akibat peperangan

Sedangkan menurut al-Jurwaji dalam kitabnya, hikmah al-tasyri’ wa

falsafatuhu34 menjelaskan ada empat hikmah yang dikandung poligami. Pertama,

kebolehan poligami yang dibatasi sampai empat orang menunjukkan bahwa manusia sebenarnya terdiri dari empat campuran di dalam dirinya. Kedua, batasan empat juga sesuai dengan empat jenis mata pencaharian laki-laki; pemerintahan, perdagangan, pertanian dan industri. Ketiga, bagi seorang suami yang memiliki empat orang isteri berarti ia mempunyai waktu senggang tiga hari dan ini merupakan waktu yang cukup untuk mencurahkan kasih sayang.

Kita boleh sepakat atau tidak dengan hikmah yang digali oleh al-Jurwaji di atas, namun setidaknya pernyataan di atas cukup sebagai bukti betapa para ulama

33Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, (Mesir: Darul Manar, 1374 M),h.357.

34

Ali Ahmad Al-Jarwaji, Hikmah Al-Tasyri’wa Falsafatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), Juz


(56)

fikih selalu mencoba melakukan rasionalisasi agar poligami bisa diterima dengan baik.


(57)

44

F. PEMBATALAN PERKAWINAN 1. Perspektif Fikih

Dalam literatur fikih tidak mengenal lembaga pencegah perkawinan akan tetapi fikih Islam mengenal dua istilah yang berbeda walaupun hukumnya sama yaitu nikah fasid dan nikah batil. Menurut Aljaziry, nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil

adalah apabila tidak terpenuhinya rukun. Hukum nikah fasid dan nikah batil

adalah sama-sama tidak sah.

Dalam terminologi Undang-Undang Perkawinan, nikah fasid dan batil dapat digunakan untuk pembatalan bukan pada pencegahan. Bedanya pencegahan itu lebih tepat digunakan sebelum perkawinan berlangsung sedangkan pembatalan mengesankan perkawinan telah berlangsung dan ditemukan adanya pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan baik syarat ataupun rukun serta perundang-undangan. Baik pencegahan dan pembatalan tetap saja berakibat tidak sahnya sebuah perkawinan.35

Jika kita analisis tentang diaturnya masalah pencegahan dan pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam merupakan sebuah upaya efektif untuk menghindari terjadinya perkawinan yang

35Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Juli 2006), cet.ke-3.h.98.


(58)

terlarang karena melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan oleh agama juga sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat.


(59)

46

2. Perspektif Undang-Undang No. 1 tahun 1974

Masalah pembatalan perkawinan sudah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan yang dinyatakan dengan tegas pada pasal 22 yaitu “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.

Dalam penjelasannya, kata “dapat” dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal

atau bisa tidak batal, apabila menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Istilah dapat dibatalkan dalam undang-undang ini berarti dapat difasidkan jadi relatif nietig. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap ketentuan aturan tertentu.36

Pada dasarnya, terjadinya pembatalan perkawinan bisa disebabkan dua kemungkinan. pertama, adanya pelanggaran terhadap prosedural perkawinan. Misalnya tidak terpenuhinya syarat-syarat wali nikah, tidak dihadiri para saksi dan alasan prosedural lainnya. Kedua, adanya pelanggaran terhadap materi perkawinan. Misalnya perkawinan dilakukan di bawah ancaman, terjadi salah sangka mengenai calon suami isteri 37.

Adapun Pasal 24 menjelaskan bahwa suatu perkawinan dapat diajukan pembatalan apabila salah satu dari kedua belah pihak masih terikat perkawinan

36

Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Tahun 2001.h. 154.

37


(60)

dengan orang lain. Selain itu, dalam pasal 27 dijelaskan bahwa suatu perkawinan dapat diajukan pembatalan karena adanya ancaman dari salah satu pihak.

Sedangkan yang berkenaan dengan saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan dimuat di dalam pasal 28 ayat (1) yaitu “Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan”.

3. Perspektif Kompilasi Hukum Islam

Mengenai sebab-sebab batalnya perkawinan dan permohonan pembatalan perkawinan di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam secara rinci menjelaskan sebagai berikut :

Dalam pasal 70 dijelaskan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:

a. Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam `iddah talak raj’i

b. Seseorang menikahi isterinya yang telah dili’annya

c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa `iddahnya.


(61)

48

d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau ayah tirinya;

4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan;

e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya.38

Sedangkan pasal 71 menjelaskan tentang aturan dimana suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan poligami tidak mendapatkan izin dari pengadilan agama.

Selanjutnya berkenaan dengan pihak-pihak yang dapat membatalkan perkawinan diatur dalam pasal 73 yaitu, a) Para keluarga dalam garis keturunan

38 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum


(1)

73

Muslim bin al-Hijaj, Abi al-Hasan, al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Bierut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 2004),

Nasib Ar-Rifai, Muhammad, Kemudahan dari Allah: Ringkasasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet-1.

Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal, HUKUM PERDATA ISLAM di INDONESIA Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004.cet ke-IV.

Ramulyo, Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, Desember 2006. Cet-ke IV

Ridha, Rasyid, Tafsir Al-Manar, (Mesir: Darul Manar, 1374 M)

Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Toko Kitab Hidayah, Surabaya

Shan’ani, Muhammad bin Ismail, Subulu al-Salam, al-Mausilah ila al-Maram min Jami’adillah al-Hakam, (Kairo: Dar Ibnu Jauziyah, 2008 ), juz 6.

Sholeh, Asrorun Ni’am, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta: Graha Paramuda, 2008. cet. ke-2.

Sosroatmojo, Arso dan Aulawi, Wasit, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Syarifudin, Amir, HUKUM PERKAWINAN ISLAM di INDONESIA Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, Januari 2006.cet-ke 1

Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada, 2007. Cet ke-2.

Tihami, M.A., dan Sahrani, Sohari, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 2009.

Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokus Media, 2000. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

www.legalitas.com, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Zain, Muhammad dan Alshodiq, Mukhtar, Membangun Keluarga Humanis, Jakarta: Grahacipta, Januari 2005.


(2)

Nama : Drs. Eman Sulaeman, SH. Jabatan : Hakim PA Sumedang Hari/tanggal : Senin, 8 Maret 2010

Waktu/tempat : 10.30 WIB di Ruang Hakim

Pertanyaan : Faktor apa sajakah yang menjadikan suatu perkawinan dapat dibatalkan?

Jawaban : Jika kita merujuk pada Kompilasi Hukum Islam, ada dua istilah pembatalan perkawinan yaitu perkawinan batal demi hukum dan perkawinan dapat dibatalkan. Faktor-faktor perkawinan yang batal demi hukum dapat kita lihat di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 70 jo Pasal 8 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dan faktor-faktor perkawinan yang dapat dibatalkan terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 71 dan 72 yang diantaranya karena suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama dan persetujuan isteri.

Dalam hal kawin yang batal demi hukum, maka dalam hal ini perkawinan tersebut mutlak harus dibatalkan. Tetapi untuk perkawinan yang sifatnya dapat dibatalkan, maka perkawinan tersebut boleh dibatalkan dan boleh juga dilanjutkan dengan cara memperbaharui perkawinannya yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Pertanyaan : Alasan-alasan apa saja yang dapat dijadikan pertimbangan Pengadilan Agama untuk

memberikan izin bagi suami yang hendak beristeri lebih dari seorang?

Jawaban : Sebagai lembaga hukum dimana setiap perbuatan atau kebijakan pasti merujuk pada aturan hukum yang ada. Pertimbangan Pengadilan Agama dalam mengambil suatu keputusan tentunya tidak akan terlepas dari undang-undang perkawinan. Begitu juga dalam memberikan izin bagi suami yang hendak beristeri lebih dari seorang, coba kita lihat pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:


(3)

77 1. Dalam hal seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana

tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan pembatalan perkawinan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

2. Pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Sedangkan syarat kumulatif tercantum dalam pasal 5 Undang-Undang Perkawinan, yaitu:

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:

a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kaber dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Apabila yang bersangkutan merupakan Pegawai Negeri Sipil, maka ada aturan tersendiri dimana salah satu ketentuannya adalah harus ada ijin dari atasan


(4)

Jadi, apabila alasan tersebut tidak terdapat pada isteri pertama, maka pengadilan tidak akan mengabulkan permohonan poligami kecuali isteri pertama menghendakinya dan suami dipandang mampu untuk berpoligami.

Pertanyaan : Apakah poligami yang dilakukan dengan memanipulasi data akan tetapi perkawinannya tercatat di Kantor Urusan Agama termasuk melanggar hukum?

Jawaban : Tentu, karena disini jelas terdapat pemalsuan data yang merupakan tindak pidana. Persyaratan untuk berpoligami sendiri adalah adanya surat izin beristeri lebih dari seorang dari Pengadilan Agama dan selanjutnya disampaikan kepada Kantor Urusan Agama tempat si suami melangsungkan akad nikah. Kantor Urusan Agama seharusnya tidak akan menikahkan apabila surat izin ini tidak ada karena hal ini di atur dalam pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan BAB VIII mengenai beristeri lebih dari seorang yang menyatakan:

“Pegawai pencatat dilarang untuk mencatatkan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan Agama.”

Dengan berpijak pada rumusan pasal di atas, sangatlah jelas bahwa Kantor Urusan Agama dilarang menikahkan seorang suami yang berpoligami tanpa izin pengadilan. Andaikan lolos (berpoligami tanpa izin-pen), kemungkinan besar si suami telah memanipulasi statusnya dengan bantuan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Pertanyaan : Seperti yang kita ketahui bahwa dalam hukum acara, kita mengenal azas sederhana, cepat dan biaya ringan, menurut bapak, apakah kasus pembatalan ini sudah sesuai dengan azas tersebut?

Jawaban : Dalam hal azas sederhana, cepat dan biaya ringan, kami pikir hal ini tidak dapat di prediksi karena pembatalan nikah termasuk perkara contentious dimana para pihak bisa mengajukan upaya hukum, yaitu Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali.


(5)

79 Pertanyaan : Dalam pasal 80 ayat 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 menjelaskan bahwa

pemeriksaan suatu perkara dilakukan oleh majelis selambat-lambatnya 30 hari. Sedangkan persidangan pada kasus ini baru dimulai lebih dari 30 hari, apa yang menjadi pertimbangan bapak dalam menyidangkan kasus ini?

Jawaban : Memang, pada dasarnya persidangan itu harus dilaksanakan sebelum 30 hari setelah perkara itu didaftarkan ke panitera. Akan tetapi kita juga harus mempertimbangkan tentang kepatutan dalam pemanggilan, sehubungan salah satu dari para pihak yaitu tergugat I dan III yang tinggal di luar wilayah hukum Pengadilan Agama Sumedang, dengan berpedoman kepada pasal 122 HIR yang menyatakan:

“Ketika menentukan hari persidangan ketua menimbang jarak antara tempat kediaman atau tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat Pengadilan Negeri bersidang dan kecuali dalam hal perlu benar perkara itu dengan segera diperiksa, dan hal itu disebutkan dalam surat perintah, maka tempat antara hasil pemanggilan kedua belah pihak dari hari persidangan tidak boleh kurang dari tiga hari kerja” Dan dalam pasal 29 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dinyatakan: “Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau pihak kuasa mereka.”

Jadi yang menjadi bahan pertimbangan kami dalam menyidangkan perkara ini adalah pasal-pasal di atas tadi.

Pertanyaan : Menurut bapak, apakah putusan pembatalan perkawinan ini menguntungkan penggugat (isteri pertama) atau tergugat I (suami)?

Jawaban : Perlu kita fahami, bahwa dalam persidangan itu sebenarnya tidak ada yang dirugikan dan diuntungkan atau menang dan kalah, karena persidangan itu kan pada dasarnya untuk mencari kebenaran dan keadilan. Nah, kalau para pihak dapat memberikan bukti-bukti yang kuat yang menjadi dasar argumentasi mereka, majelis hakim pasti mempertimbangkan hal itu. Berkenaan dengan kasus ini, bukti-buktinya kan jelas, tergugat juga mengakui semuanya, ya kita putus sesuai dengan fakta yang ada.


(6)

Kalau kita melihat pada siapa yang mengajukan gugatan, pasti yang merasa menang ya penggugat, karena gugatannya dikabulkan. Tapi kalau kita melihat pada tergugat, ya pasti mereka merasa dirugikan terutama tergugat II yang dalam hal ini baru menikah. Tapi itu sudah menjadi konsekuensi hukum yang harus kita patuhi bersama ketika kita memang berada pada posisi yang salah.

Sumedang, 22 Maret 2010

Narasumber, Pewawancara,

Drs. Eman Sulaeman, SH. Arud Badrudin