Perceraian karena isteri Riddah (analisa putusan pengadilan agama Jakarta Timur Perkara No.1147/Pdt.G/2009/PAJT)

(1)

Perkara No. 1147/Pdt.G/2009/PAJT ) Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Zubir Lubis.SH.

Renny Verawati NIM : 107044102167

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAK

ULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1432 H / 2011 M


(2)

PENGESAHAN PANITIA SKRIPSI

Skripsi berjudul PERCERAIAN KARENA ISTRI RIDDAH (Analisa Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara No. 1147/Pdt.G/2009/PAJT) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S. sy) pada Program Studi Peradilan Agama.

Jakarta, 23 Juni 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA, MM NIP. 19550505 198203 1 012

PANITIA UJIAN

1. Ketua Majelis : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA (.………..) NIP. 19500306 197603 1 001

2. Sekretaris : Dra. Hj. Rosdiana, MA (.……….…)

NIP. 196906 10200312 2 001

3. Pembimbing : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA (…….…………) NIP. 195703 12198503 1 003

4. Penguji I : Dr. Abdul Halim, MA (.………)

NIP. 196706 08199403 1 005

5. Penguji II : Arip Purqon,M.Ag (.………)


(3)

(4)

i

PERCERAIAN KARENA ISTRI RIDDAH

( Analisa Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara No. 1147/Pdt.G/2009/PAJT )

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

OLEH :

Renny Verawati NIM : 107044102167

Di Bawah Bimbingan:

Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA 195703121985031003

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(5)

ii

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhin salah satu persyaratan memperoleh gelar stara 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan asli hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 6 Juni 2011

Renny Verawati

NIM: 107044102167


(6)

iii

KATA PENGANTAR ميح رلا نمح رلا ها مسب Assalamu’alaikum Wr. Wb

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia yang tidak terhingga banyaknya. Demikian pula tak luput penulis ucapkan salawat beriring salam kepada imamnya para nabi dan rasul, imamnya para orang-orang yang bertaqwa yaitu Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.

Alhamdulillah, akhirnya penulis dapan menyelesaikan skripsi ini dengan judul

“PERCERAIAN KARENA ISTRI RIDDAH ( Analisa Putusan Pengadilan Agama

Jakarta Timur Perkara No. 1147/Pdt.G/2009/PAJT )” sebagai persyaratan untuk

memperoleh gelar Sarjana Syariah. Dalam proses penyelesaian skripsi ini, banyak sekali hikmah dan manfaat yang penulis petik dan menjadi kesan tersendiri bagi penulis.

Maka atas tersusunnya skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada para pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan,

petunjuk, serta dukungan. Terutama kepada orang tua penulis yakni Bpk. M. Rifa’i

SH, MH dan Ibunda Suwarti serta Richana Irawati selaku adik penulis yang selalu mencurahkan kasih saying tiada hentinya semoga amal ibadah keduanya mendapat balasan yang setimpal disisi Allah SWT. Amin


(7)

iv

dan Hukum.

2. Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA sebagai pembimbing penulis yang dengan penuh kesabaran telah menjadi konsultan sampai skripsi ini selesai.

3. Dr. Abdul Halim, MA dan Arip Purqon, M.Ag selaku penguji penulis yang telah banyak memberikan koreksian kepada penulis.

4. Drs. H. A Basiq Djalil, SH, MA. Ketua Program studi Ahwal Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum sekaligus dosen penasehat akademik Jurusan Peradilan Agama kelas A angkatan 2007 yang telah memberikan kami semua arahan untuk menjadi mahasiswa yang baik serta bertanggung jawab hingga skripsi ini selesai.

5. Pengadilan Agama Jakarta Timur, khususnya Hj. Yustimar B, S.H selaku hakim yang memberikan penulis kesempatan untuk wawancara mengenai tema judul skripsi ini serta para staf Pengadilan Agama Jakarta Timur atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis untuk memperoleh data-data dalam penyelesaian skripsi.

6. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mengamalkan ilmunya kepada penulis, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dunia akhirat. Dan seluruh staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah atas pelayanannya yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(8)

v

7. Lutfi Ali Nur Fatah, S.Kom. terima kasih telah mengisi kebahagiaan ini dan banyak memberikan penulis nasehat, kasih sayang serta do’a yang tiada henti sehingga penulis mempunyai semangat dan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini, kamu takkan tergantikan.

8. Sahabat-sahabat tercintaku, Nina Uswatun Hasanah, S.ked., Inelia Ferliani, Am.Keb., Indri Januari Sabatini, S.Pd., dan Citra Fristianova, SP. yang telah memberikan penulis dukungan moral serta beribu kenangan yang tak akan penulis lupakan.

9. Untuk seluruh teman-teman penulis, yakni teman-teman seperjuangan yang telah mewarnai hari-hari penulis dengan hal-hal positif terutama teman-teman peradilan agama angkatan 2007 yang memberikan kesan tersendiri bagi penulis selama menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh komponen yang berjasa

yang telah memberikan bantuannya. Tidak ada balasan dari penulis kecuali do’a

semoga Allah membalas amal budi baik kalian. Amin

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb

Jakarta, 6 Juni 2011


(9)

(10)

vi DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Studi Kajian Terdahulu ... 9

E. Kerangka Konseptual ... 10

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II PERCERAIAN DAN RIDDAH A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya ... 15

B. Macam-Macam dan Alasan Perceraian ... 22

C. Akibat Hukum dari Perceraian ... 29

D. Pengertian dan Unsur Riddah ... 33

BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR A. Sejarah Peradilan Agama Jakarta Timur ... 41

B. Dasar Pembentukan dan Yurisdiksi ... 47


(11)

vii

Timur ... 57

BAB IV PUTUSAN RIDDAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

A. Tinjauan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dengan Perkara No.1147/Pdt.G/2009/PAJT dan Akibat Hukum dari Perceraian

dengan Alasan Istri Riddah ... 63 B. Analisis Penulis ... 65

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 74 B. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA


(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk sosial, sebagai kehendak “sang pencipta” yang telah

memberikan perlengkapan “rukun” sehingga realitas ini dicetuskan oleh Aristoteles

yang pada 300 (tiga ratus tahun) Sebelum Masehi mengucapkaan bahwa manusia

adalah suatu “zoon politikon”, ucapan ini biasa diartikan sebagai “manusia sebagai makhluk sosial”, yang berarti manusia itu mempunyai sifat untuk mencari

kumpulannya dengan sesama manusia yaitu dengan suatu pergaulan hidup. Dimana pergaulaan hidup yang akrab antara manusia dipersatukan dengan cara-cara tertentu oleh hasrat kemasyarakatan mereka.

Hasrat yang dimiliki oleh setiap manusia inilah yang mendorong masing-masing individu untuk mencari pasangan hidupnya yaitu dengan membentuk suatu keluarga. Keluarga adalah sebuah kelompok manusia terkecil yang didasarkan atas ikatan perkawinan, sehingga membentuk sebuah rumah tangga. Untuk dapat melangsungkan suatu perkawinan harus memenuhi syarat sahnya perkawinan. Dengan demikian perkawinan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. (pasal 2 ayat 1 UU No.1 tahun 1974).

Pernikahan dalam Islam merupakan anjuran bagi kaum muslimin. Dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang wanita dan seorang pria sebagai suami isteri dengan tujuan


(13)

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan

Yang Maha Esa.”1

Sedang dalam Kompilasi Hukum Islam “Perkawinan yang sah menurut hukum Islam merupakan pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan

ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”2

Dari pengertian di atas, pernikahan memiliki tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sehingga baik suami maupun isteri harus saling melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.3

Dengan adanya perkawinan sepasang suami isteri dapat memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunannya dalam suasana saling mencintai (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) antara suami isteri. Perkawinan juga merupakan cara untuk melangsungkan kehidupan umat manusia di muka bumi, karena tanpa adanya regenerasi, populasi manusia di bumi ini akan punah. Dan perkawinan memiliki dimensi psikologis yang sangat dalam, karena dengan perkawinan ini kedua insan, suami dan isteri, yang semula merupakan orang lain kemudian menjadi satu keluarga.4

1

Undang-undang No. 1 Tahun 1974, pasal 1. 2

Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000, h.14.

3

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet, I, 1995), h.56.

4Masykuri Abdillah, “Distorsi Sakralitas Perkawinan Pada Masa Kini”, dalam

Mimbar Hukum No. 36 Tahun IX 1998, h.74.


(14)

3

Sebenarnya menjadi kewajiban tiap suami istri untuk tetap memelihara hubungan baik antara keduanya. Selain menetapi kewajiban masing-masing dengan dasar saling mencinta, menyayangi, menolong, lapang dada dengan ikhlas. Dengan demikian mereka dapat mengenyam kebahagiaan hidup berumah tangga sebagaimana yang mereka dambakan. Keduanya harus ulet didalam menegakkan rumah tangganya agar tidak sampai goyah.

Dengan itu dapat disimpulkan bahwa Nikah atau perkawinan adalah aqad

(ijab/qabul) antara laki-laki dan perempuan untuk memenuhi tujuan hidup berumah

tangga sebagai suami istri yang sah dengan memenuhi syarat dan rukunnya yang

telah ditentukan oleh syara’.5

Sebagaimana tujuan perkawinan yang disebutkan dalam Pasal 1 undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, memang pada mulanya setiap pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan pasti memiliki tujuan yang sama.

Tidak selalu tujuan perkawinan itu dapat dilaksanakan sesuai cita-cita, walaupun telah diusahakan sedemikian rupa oleh pasangan suami istri jika ada masalah yang mengganggu kerukunan pasangan ini sampai menimbulkan permusuhan maka perceraianpun terjadi.

5Ustadz Dja’far Amir

,Fiqh Bagian Nikah, Seluk Beluk Perkawinan Dalam Islam, Ab Sitti Syamsiyah, (Solo: 1983), h.7.


(15)

Perceraian merupakan akibat perkawinan dari kurang harmonisnya pasangan suami istri yang disebabkan banyak faktor antara lain percekcokan atas dasar pindah agama.

Dalam kehidupan bernegara orang bebas untuk meyakini salah satu agama dan melaksanakan ajaran agamanya. Kebebasan beragama itu bukan berarti orang bebas untuk setiap saat berpindah agama. Ajaran agama Islam menyebutkan orang yang berpindah agama disebut murtad. Orang yang murtad adalah orang yang keluar dari agama Islam atau seseorang yang semula beragama Islam kemudian mengganti atau berpindah memeluk agama lain.

Dalam hal murtadnya salah satu pihak dari pasangan suami isteri, menyebabkan ketidaknyamanan dalam rumah tangga. Alasannya, dalam agama Islam tidak menghendaki adanya perbedaan agama dalam rumah tangga karena hubungan keduanya akan dihukumi dengan zina.

Jika salah satu diantara mereka menjadi murtad, secara otomatis, disadari maupun tidak, perjalanan biduk perahu rumah tangga tersebut tidak lagi berjalan mulus. Karena masing-masing memiliki keyakinan yang berbeda yang tentunya tidak bisa disatukan visi dan misi dari masing-masing keyakinan tersebut, sehingga tidak bisa tercipta tujuan perkawinan sebagaimana yang terdapat pada pasal 3 Bab II KHI, yaitu : “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”.

Dari semua agama yang diakui di Indonesia, dalam masalah perkawinan masing-masing mempunyai ketetapan bahwa perkawinan itu hanya bisa dilakukan


(16)

5

oleh orang yang seagama. Dalam agama Islam ketetapan ini ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 116 (huruf h) yang berbunyi “Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga”.6

Berkenaan dengan berbagai macam hal yang telah tersebut di atas, yang akan dibicarakan adalah mengenai perceraian karena istri pindah agama, khususnya pembahasan disini adalah mengenai putusan dengan perkara putusan Nomor. 1147/Pdt.G/2009/PAJT.

Selanjutnya Sayyid Sabiq berpendapat, Jika salah satu pihak dari suami atau isteri murtad maka keduanya tidak boleh kembali rusak akadnya disebabkan kemurtadannya.7 Karena perkawinan adalah jalan yang sangat terhormat, ketika dalam suatu perkawinan salah satu pihak murtad, maka hubungan yang sebelumnya terhormat dan berkedudukan tinggi dihadapan Allah SWT akan menjadi rendah yang disebabkan salah satu pihak murtad, bahkan hubungan suami isteri yang sebelumnya menjadi haram.

Dalam perkara ini yang menjadi fokus utama adalah mengenai talak yang dijatuhkan dari suami yang muslim terhadap istri yang murtad (keluar dari agama Islam) karena banyaknya kasus di pengadilan agama objek pelaku murtad biasanya dilakukan oleh suami dengan itu penulis mengambil keunikan satu putusan yang murtadnya dilakukan oleh istri disebabkan minimnya perkara tersebut di pengadilan

6

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Jakarta, 2000, h.29.

7


(17)

dan mencoba menganalisa putusan yang dijatuhkan oleh hakim dari Pengadilan Agama mengenai perkara permohonan perceraian tersebut. Suami yang hendak memutuskan hubungan perkawinan, pasal 14 sampai dengan 18 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.8

Bila talak telah terlaksana, istri terhadap suami telah menjadi orang lain, sudah tidak menjadi tanggung jawab suaminya.9 Melihat dari kasus di atas, penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih lanjut lagi tentang pengajuan perceraian kepada isteri yang sudah murtad ke Pengadilan Agama, karena Pengadilan Agama adalah pengadilan yang mengurusi segala permasalahan kaum muslim. Hal ini didasarkan pada UU No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama di BAB I tentang Ketentuan Umum, khususnya pasal 1 (1) dan pasal 2, yang berbunyi “Peradilan Agama adalah Peradilan bagi orang - orang beragama Islam” dan “Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang - Undang ini”.10

8

Muh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari UUP Tahun 1974 dan KHI, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h.131.

9

Musthafa Dhiibu Bhigha, Fiqh Menurut Mazhab Syafi’i, alih bahasa ; Drs. H. Moh. Rifa’i,

Kyai Baghawi Mas’udi, (Semarang: Cahaya Indah, 1986), h.267.

10

Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, Pedoman Pelaksanaan Penyuluhan Hukum, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, Jakarta, 2006, h.68.


(18)

7

Bertitik tolak dari penjelasan diatas, maka penulis membuat skripsi yang

berjudul “PERCERAIAN KARENA ISTRI RIDDAH (Analisa Putusan

Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara No. 1147/Pdt.G/2009/PAJT).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Sepertinya yang telah kita ketahui bahwasannya masalah ini merupakan masalah yang sangat menarik untuk dikaji karena saat ini banyak sekali dan maraknya pada suatu perkawinan seeorang laki-laki ataupun wanita yang terjadinya pernikahan adalah non muslim tetapi ketika menikah salah satu dari mereka rela masuk islam dan ketika sah menjadi suami isteri, salah satu dari keduanya kembali ke agama asalnya.

Agar pokok pembahasan skripsi ini tidak terlalu meluas dan tetap pada jalurnya, maka penulis membatasi ruang lingkup ini hanya berkisar pada perceraian yang dilatarbelakangi adanya perpindahan agama (Riddah) yang dilakukan oleh satu pihak yaitu istri.

2. Perumusan Masalah

Dalam kitab Fiqih menjelaskan bahwasannya seorang muslim halal menikahi perempuan ahli kitab baik dari kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani akan tetapi dalam kenyataan yang telah berlaku di Indonesia perkawinan tersebut dibatalkan dan diputuskan dimuka pengadilan. Dari permasalahan tersebut penulis merumuskan permasalahannya sebagai berikut:


(19)

1. Bagaimana akibat hukum apabila terjadi Perceraian karena istri pindah dari agama Islam (riddah) ditinjau dari Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi hukum Islam dan Perspektif agama (Fikih)? 2. Atas pertimbangan apa saja Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur

memutus perkara perceraian karena isteri pindah agama (riddah)?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Adapun beberapa tujuan dari skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui akibat hukum dari perceraian karena istri pindah agama

(riddah) menurut Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 maupun

Kompilasi hukum Islam dan Perspektif agama (Fikih).

2. Untuk mengetahui pertimbangan apa saja yang dilakukan Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam memutuskan perkara perceraian karena istri pindah agama (riddah).

Adapun kegunaan dari penelitian ini:

1. Bagi akademisi; untuk menambah kajian keilmuan dalam bidang hukum perkawinan ditinjau dari Perspektif agama (fikih) dan Undang-undang perkawinan maupun KHI serta untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah.

2. Bagi elit pengambil kebijakan; untuk mengembangkan pemikiran dan kepastian hukum bagi pejabat di Pengadilan Agama mengenai peraturan-peraturan perkawinan yang berada di Indonesia dan untuk memberikan


(20)

9

wawasan keilmuan dalam bidang hukum perkawinan beserta peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia.

D. Studi Review

Penulis melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan judul proposal, diantaranya sebagai berikut:

1. Mufrina, Judul skripsi: Akibat Hukum Perpindahan Agama Dalam Suatu Perkawinan Menurut UU No. 1 tahun 1974 dan KHI (UIN/Syariah dan Hukum/Peradilan Agama/2003), membahas mengenai Fasakh nikah bagi salah satu pihak yang murtad serta mengkomparasikan antar UU No.1 Tahun 1974 dan KHI. Perbedaan dengan skripsi ini adalah penulis menjelaskan sebab-sebab terjadinya perceraian diikuti dengan penjelasan mengenai riddah serta Menganalisa tentang hak asuh anak dan akibat hukum cerai gugat karena suami riddah.

2. Lilis Suryani, Judul Skripsi : Akibat Hukum dari Perceraian dengan Alasan Suami Murtad (Analisa putusan No. 1154/Pdt.G/2007/PA.JS), (UIN/Syariah dan Hukum/Peradilan Agama/2008), membahas mengenai pengertian murtad dan syarat-syaratnya serta menjelaskan tentang alasan-alasan perceraian dan akibat hukumnya, Perbedaan dengan skripsi ini adalah penulis menganalisa data putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur tentang cerai gugat dengan alasan suami riddah dan akibat hukumnya serta menganalisa tinjauan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur


(21)

tentang akibat-akibat hukum bagi para pihak beserta anak hasil dari perkawinan mereka dan mengenai harta yang mereka peroleh selama masa perkawinan.

E. Kerangka Konseptual

Talak menurut bahasa yaitu cerai atau lepas. Maksud dari kata “lepas” melepaskan ikatan perkawinan melalui lafaz talak atau lafaz cerai. Talak adalah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami istri dengan keridhoan dari keduanya.

Murtad (riddah) ialah orang yang keluar dari agama Islam yang dianutnya kemudian pindah (memeluk) agama lain atau sama sekali tidak beragama.11

Latar belakang mengapa penulis memilih judul skripsi dengan judul

“Perceraian Karena Istri Riddah” karena untuk mengetahui bagaimana akibat-akibat

hukum bagi para pihak dan untuk mengetahui pertimbangan hukum yang diterapkan oleh Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam memutus perceraian karena atas dasar salah satu pihak pindah agama.

11

Harun Nasution (ketua Tim), Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan,1992), h.696.


(22)

11

F. Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis akan menggunakan metode: 1. Jenis Penelitian

Sebagai sebuah karya ilmiah, jenis penelitian ini merupakan penelitian ilmiah yaitu menganalisa data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh di lapangan secara mendalam.12

Sementara M. Natsir mendefinisikan penelitian ilmiah ini sebagai suatu analisa secara sistematis, faktual dan akurat mengenai faktor-faktor, sifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti.13

2. Pendekatan Masalah

Dengan kata lain pendekatan masalah penelitian ini adalah kualitatif yaitu study kasus dalam hal bertujuan menyajikan pandangan objek yang diteliti dengan melakukan analisa isi, menganalisa isi dari putusan yang penulis dapatkan tersebut kemudian menghubungkannya dengan masalah yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki dalam penulisan skripsi ini.

3. Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu:

12

Suharsimi Ari Kunto, Metode Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta), cet.ke-2. h.309. 13 Muhammad Natsir, Metode Penelitian, (Bandung: Rineka Cipta, 1993), cet.ke-3, h.63.


(23)

a. Data Primer

Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder, yaitu:

1. Di dapatkan dari Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan nomor perkara 1147/Pdt.G/2009/PAJT.

2. Wawancara terhadap hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur.

Kemudian data tersebut di analisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang dikaji.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang akan penulis ajukan. Dokumen yang dimaksud adalah: Al-Qur’an, Hadist, buku-buku karangan ilmiah, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1875, serta buku dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang di ajukan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Menganalisa terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No.

1147/Pdt.G/2009/PAJT.

b. Interview atau wawancara yaitu mengumpulkan data yang dilakukan penulis dengan jalan mengadakan dialog langsung dengan narasumber


(24)

13

yaitu yang telah dipilih sebelumnya yaitu Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur.

4. Teknik Analisa Data

Setelah proses pengumpulan data dikumpulkan melalui beberapa teknik, maka data yang sudah ada akan diolah dan dianalisis supaya mendapatkan suatu hasil akhir yang bermanfaat bagi penelitian ini. Pengolahan data dilakukan dengan mengadakan studi dengan teori kenyataan yang ada di tempat penelitian. Sedangkan teknik penulisan mengikuti pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta 2011.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini disusun dalam lima bab, dimana tiap bab terdiri dari beberapa sub bab. Sistematika penulisan merupakan uraian ringkas secara garis besar mengenai hal-hal pokok yang dibahas, guna mempermudah dalam memahami dan melihat hubungan suatu bab dengan yang lainnya.

Adapun uraian pada setiap bab ialah sebagai berikut:

Bab Pertama berisikan pendahuluan dengan uraian yaitu mengungkapkan latar belakang masalah kajian skripsi ini, merumuskan identifikasi permasalahan, menunjukkan maksud dan tujuan penelitian, kajian studi terdahulu, kegunaan penelitian, kerangka konseptual dan mengungkapkan metodologi yang dipergunakan sebagai kerangka menuju uraian yang sistematis dan terakhir yaitu sistematika penulisan.


(25)

Bab Kedua berisikan tentang penjelaskan mengenai perceraian dan dasar hukumnya, sebab-sebab terjadinya perceraian, serta macam-macam perceraian lalu diikuti dengan penjelasan mengenai pengertian dan unsur riddah.

Bab Ketiga berisikan tentang profil Pengadilan Agama Jakarta Timur serta dasar pembentukan dan yurisdiksinya, struktur organisasi dan uraian tugas, gedung dan perlengkapannya, dan sekilas tentang Kota Jakarta Timur.

Bab Keempat berisikan tentang penjelasan mengenai akibat hukum dari perceraian karena istri riddah, diuraikan juga mengenai tinjauan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dengan memutuskan perkara perceraian karena istri riddah dan yang terakhir adalah mengenai analisa kasus putusan perceraian tersebut dengan perkara putusan Nomor. 1147/Pdt.G/2009/PAJT.

Bab Kelima berisikan tentang penutup yang mana didalamnya adalah kesimpulan serta saran-saran dari penulis.


(26)

15 BAB II

PERCERAIAN DAN RIDDAH A. Definisi Perceraian dan Dasar Hukum Perceraian

Secara bahasa (etimologi), talak artinya melepaskan ikatan dan membebaskan. Sedangkan menurut istilah (terminologi) para Ulama mengemukakan rumusan yang berbeda tentang arti talak. Al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arbaah merumuskan:

اطلا

وص ظ ب ل اح اصق أ ا نلا ل ا إ

1

Artinya: “Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau bisa juga disebut mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu.”

Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata cerai diartikan dengan pisah atau putus hubungan suami istri.2 Sedangkan perceraian dalam bahasa arab adalah talak.

Kata

اطلا

berasal dari kata

(

ا اطا

_

طي

_

ط

)

yang artinya lepas dari ikatan, berpisah, menceraikan, pembebasan.3 Ibnu Hajar dalam kitabnya Bulugh al-Maram merumuskan talak dengan:

1

Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arb’ah, (Kairo: Daarul Hadits, 2004), Juz IV, h. 278.

2

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h. 163.

3

Ahmad Warson Munawir, AlMunawir kamus besar Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Cet. 14, h. 861.


(27)

وح اط ظ ب ا نلا دي ح

4

Artinya:“Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafadz talak atau

semisalnya”.

Menurut Sayyid Sabiq talak berasal dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan menurut syara, talak yaitu:

ح

ار

طب

لا

ءا إ

ا علا

يج لا

5

Artinya: “Sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya

mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri”.

Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali mendefinisikan talak sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan ikatan perkawinan di masa yang akan datang. Yang dimaksud secara langsung adalah tanpa terkait dengan sesuatu dan hukumnya langsung berlaku ketika ucapan talak tersebut dinyatakan suami. Sedangkan yang dimaksud di masa yang akan datang adalah berlakunya hukum talak tersebut tertunda oleh sesuatu hal.6

Prof. Subekti SH, mengatakan bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntunan salah satu pihak dalam perkawinan itu.7 Dalam ensiklopedi Islam Indonesia talak diartikan sebagai pemutusan ikatan

4

Ibnu Hajar al-„asqalani, Bulugh al-Maram, (Jakarta: Dar al-Islamiyah, 2002), h. 245.

5

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Daarul Fikr, 1983), Juz II, h.206.

6

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Talak Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru An Hoeve, 1994), Cet. Ke-3, jilid 5, h. 53.

7


(28)

17

perkawinan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri secara sepihak dengan menggunakan lafal talak atau seumpamanya.8

Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.9 Hal ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 115 dikatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.10

Bila kita melihat dari redaksi di atas bahwa yang dinamakan perceraian adalah menghilangkan atau melepas ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan tersebut maka tidak lagi halal bagi bagi suami atas isterinya.

Tetapi dari pengertian diatas ada perbedaan bahwa para ulama mendefinisikan perceraian bisa dilakukan kapanpun dan dimana pun, tetapi hal ini berbeda jika kita melihat dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam bahwa perceraian hanya dapat dilangsungkan hanya di pengadilan agama.

8

Departemen Agama, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam/Proyek Peningkatan Srana PT IAIN, 1987), Cet. Ke-3, h. 940.

9

R. Subekti, S.H dan R.Tjirtrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006), Cet Ke-37, h. 549.

10


(29)

Sehingga apabila ada orang Islam yang berada di negara Indonesia yang melakukan pernikahan secara sah baik secara agama atau negara dan melakukan perceraian diluar pengadilan agama maka perceraian itu tidak sah demi hukum atau batal demi hukum.

Tentang hukum cerai ulama fiqh berbeda pendapat. Pendapat yang paling benar diantara semua itu yaitu yang mengatakan “terlarang” kecuali karena alasan yang benar. Mereka yang mengatakan hal ini adalah golongan Hanafi dan Hambali. Ini disebabkan bercerai itu kufur terhadap nikmat Allah, sedangkan kawin adalah suatu nikmat, dan apabila seseorang muslim melakukan kufur terhadap nikmat tanpa suatu alasan yang benar maka hukumnya haram. Jadi tidak halal bercerai kecuali karena darurat.

Hal darurat yang membolehkan perceraian yaitu apabila suami meragukan kebersihan tingkah laku isterinya atau sudah tidak mempunyai rasa cinta lagi terhadapnya, hal ini karena perkara hati hanya terletak dalam genggaman Allah. Akan tetapi, jika tidak ada alasan apapun, bercerai yang demikian berarti kufur terhadap nikmat Allah karena berlaku jahat kepada isteri itu dibenci dan dilarang oleh agama.

Talak itu dibenci bila tidak ada suatu alasan yang benar, sekalipun Nabi SAW menamakan talak sebagai perbuatan halal karena ia merusak perkawinan yang mengandung kebaikan-kebaikan yang dianjurkan oleh agama. Karena itu, talak seperti ini dibenci.


(30)

19

Al-Qur‟an adalah kitab terakhir yang diturunkan sebagai mukjizat Nabi

Muhammad SAW sebagai pedoman dan tuntunan umat Islam di seluruh dunia, akan tetapi tidak semua masalah kehidupan tertuang didalamnya, hal ini dapat dijelaskan melalui hadits Nabi. Sama halnya seperti masalah perceraian, tidak semua masalah terdapat dalam Al-Qur‟an ayat-ayat yang menyuruh atau melarang eksistensi perkawinan itu, namun isinya hanya sekedar mengatur bila talak terjadi. Di dalam hal perceraian dasar-dasar perceraian itu dapat kita lihat dari beberapa ayat Al-Qur‟an atau Hadits, seperti:

1. Al-Baqarah Ayat 232

                                                      { روس رق لا / : }

Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi

dengan bakal suaminya11, apabila Telah terdapat kerelaan di

antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” {QS. Al-Baqarah (2): 23}.

2. At-Thalaq Ayat 1

                   11


(31)

                                                 { روس اطلا / : }

Artinya: “Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. {QS: At-Thalaq (65): 1}.

3. Hadits Nabi Muhammad SAW

دح

انث

ري ك

ب

دي ع

ّصمحلا

دح

انث

دمح

ب

دلاح

ع

دي ع

ها

ب

ولا

ديل

ّفاصضولا

ع

راح

ب

را تا

ع

د ع

ها

ب

رمع

ّضر

ها

ام نع

:

ا

وسر

ها

ى ص

ها

ي ع

س

:

اطلا ها ىلا احلا ضغبأ

)

با ا ر

جا

(

12

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Katsir bin Uba’id al- Himsi, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khalid dari Ubaidillah bin Walid al-Dzashofi dari Muharib bin Itsar dari Abdullah bin Umar R.A. : telah berkata Rasulullah Saw.: Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah Talak atau perceraian (HR. Ibnu Majah)”.

Dalam perundang-undangan Indonesia mengenai perceraian ini diatur dalam Undang Nomor 1 tahun 1974 pada pasal 38-41. Pada pasal 38

12

Abi Abdullah bin Yazid Al-Qawainiy, Sunan Ibnu Majah, (Beirut, Lebanon, Daar al-Fikr, 1994), h. 633.


(32)

21

Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa: “Perkawinan dapat putus karena: a.

Kematian; b. perceraian; c. atas keputusan pengadilan”. Hal ini sejalan dengan

Kompilasi Hukum Islam pasal 113.

Dalam perundang-undangan Indonesia membedakan antara perceraian atas kehendak suami dan perceraian atas kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian sehingga proses penyelesaiannya pun berbeda.13 Maksud dari hal ini perceraian dapat terjadi akibat talak yang dilakukan oleh suami kepada isteri seperti halnya talak yang dijelaskan oleh hukum Islam, dan perceraian dapat terjadi akibat gugatan perceraian yang dilakukan oleh isteri terhadap suami. Namun hal ini harus dilakukan di depan pengadilan seperti dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.14

13

Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003), Cet. Ke-4, h.206.

14


(33)

B. Macam-Macam dan Alasan Perceraian

a. Macam-Macam Perceraian

Di dalam hukum Islam maupun undang – undang nomor 1 tahun 1974 terdapat berbagai bentuk perceraian berdasarkan tata cara dan alasan pengajuannya. Undang-undang membedakan antara perceraian atas kehendak suami dan perceraian atas kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik hukum islam dalam perceraian memang menghendaki demikian. Sehingga proses perceraian atas kehendak suami berbeda dengan proses perceraian atas kehendak isteri.

Dari ketentuan-ketentuan mengenai perceraian di dalam undang-undang perkawinan pasal 39 sampai dengan pasal 41 dan tentang tata cara perceraian dalam peraturan pelaksanaan pasal 14 sampai dengan pasal 36 menurut K. Wantjik Saleh, SH dalam bukunya Perkawinan Indonesia, dapat ditarik kesimpulannya ada 2 macam perceraian, yaitu :

1. Cerai talak

Istilah cerai talak disebut dalam penjelasan pasal 14 peraturan pelaksanaan. Dan tentang perceraian ini di atur dalam pasal 14 sampai dengan pasal 18 peraturan pelaksanaan yang merupakan penegasan dari pasal 39 undang-undang perkawinan.

Cerai talak ini hanya khusus untuk yang beragama Islam seperti yang dirumuskan oleh pasal 14 peraturan pelaksanaan sebagai


(34)

23

berikut “Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut

Agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada pengadilan ditempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya di sertai dengan alasan– alasan serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu”.15

Perlu juga di tegaskan bahwa yang diajukan oleh suami tersebut adalah suatu surat permohonan akan tetap merupakan surat pemberitahuan yang memberitahukan ia akan menceraikan isterinya dan untuk itu ia meminta kepada pengadilan agar mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian itu. Dan jika terjadi perceraian di muka pengadilan itu, maka ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian yaitu surat penetapan atau surat putusan. 2. Cerai gugat.

Sedangkan yang di maksud dengan cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada pengadilan dan dengan suatu putusan pengadilan. Menurut K. Wantjik Saleh, SH. Suatu perceraian yang di dahulukan oleh suatu gugatan dari salah satu pihak kepada pengadilan dinamakan cerai gugat. Dalam undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya tidak

15

K.Wantjik Saleh,Hukum Perkawinan Indonesia, ( J a k a r t a : Ghalian Indonesia,1996) , h. 38.


(35)

menamakan hal ini cerai gugat, tetapi hanya menyatakan bahwa perceraian itu dengan suatu gugatan.

Peraturan pelaksanaan dalam penjelasan pasal 20 menegaskan

sebagai berikut “gugatan perceraian di maksud dapat dilakukan oleh

seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh suami atau seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain Agama Islam.”

Gugat perceraian di ajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat. Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan dan tentang bagaimana tata cara gugatan perceraian diatur dalam peraturan pelaksanaan dari pasal 20 sampai dengan pasal 36.16

Suatu perceraian dianggap terjadi dalam cerai gugat bagi yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan yang tidak beragama islam sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan di

16

Drs. H. Mukti Arto, SH, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1979), h. 224.


(36)

25

Kantor Pencatatan oleh Pegawai Pencatat.

Dengan berlakunya undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama terhitung mulai tanggal 29 Desember 1989 maka tata cara perceraian yang diatur dalam PP. No. 9 tahun 1975 pasal 14 sampai dengan pasal 18 dan ketentuan tentang gugatan cerai pasal 20 sampai dengan pasal 36 hanya berlaku bagi orang-orang yang melakukan perkawinan tidak menurut Agama Islam sepanjang telah diatur dalam undang-undang No. 7 tahun 1989.

b. Alasan Perceraian

Atas dasar Firman Allah SWT dan sabda Nabi Muhammad SAW tersebut dapat disimpulkan bahwa perceraian antara suami isteri diperbolehkan dalam ketentuan hukum Islam. Namun demikian perceraian tersebut meskipun diperbolehkan oleh hukum Islam, dianjurkan untuk dihindari dan bahkan diberi kesempatan bagi keduanya untuk ruju` atau kembali sebagai pasangan suami isteri. Dalam hal ini, perceraian hanya dapat dilakukan dihadapan sidang pengadilan setelah meneliti alasan-alasan perceraian yang telah diajukan oleh pihak yang bersangkutan.

Alasan-alasan perceraian menurut Hukum Islam antara lain meliputi: 1. Karena suami miskin

2. Karena salah satu pihak gila


(37)

4. Karena pelanggaran terhadap taklik talak. 5. Karena cacat dan ketidakpuasan seksual.17

Sesuai ketentuan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pada Pasal 113 ditetapkan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian atau keputusan Pengadilan. Sedangkan dalam Pasal 114 diatur bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

Dalam Pasal 116 juga diatur mengenai alasan-alasan terjadinya perceraian yang meliputi:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami.

17

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h.150.


(38)

27

f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik talak.

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Sedangkan didalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yaitu pada Pasal 38 diatur mengenai putusnya perkawinan dapat disebabkan karena kematian, perceraian, atau atas putusan pengadilan. Lebih lanjut dalam Pasal 39 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian tersebut harus ada cukup alasan, bahwa antara kedua belah pihak tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri.18

Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan tersebut, lebih lanjut diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yang meliputi:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sifatnya sukar disembuhkan.

18


(39)

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau isteri.

f. Antara suami dan isteri secara terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.19

Mengenai alasan salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit tersebut bagi Pegawai Negeri Sipil tidak dapat diterapkan sebagai alasan perceraian. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 7 ayat ( 2 ) Peraturan Pemerintah No.1 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yaitu :

“Namun demikian, seorang Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian karena alasan isteri tertimpa musibah tersebut tidaklah

19

H. Kilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, Mandar, (Bandung, 1990), h. 171.


(40)

29

memberikan keteladanan yang baik, meskipun ketentuan peraturan perundang-undangan memungkinkannya. Oleh karena itu izin untuk bercerai dengan alasan tersebut tidak diberikan.”

C. Akibat Hukum dari Perceraian

Perkawinan dalam Islam adalah ibadah dan mitsaqan ghalidzan (Perjanjian suci). Oleh karena itu, apabila perkawinan putus atau terjadi perceraian, tidak begitu saja selesai urusannya, akan tetapi ada akibat-akibat hukum yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai. Terlebih akibat hukum perkawinan yang terputus tersebut, bukan saja karena perceraian, namun karena kematian salah satu pihak, juga memiliki konsekuensi hukum tersendiri.

Apabila perkawinan yang diharapkan tidak tercapai dan perceraian yang diambil sebagai jalan keluarnya maka akan timbul akibat dari perceraian itu sendiri. Dalam hal ini baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur hal tersebut pada pasal-pasal berikut ini, yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 197420

Pasal 41

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

20


(41)

a. Baik ibuatau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)21

Pasal 149

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;

b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;

c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;

d. memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun

Pasal 150

Bekas suami berhak melakukan ruju` kepada bekas istrinya yang masih dalam iddah.

Pasal 151

Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.

21


(42)

31

Pasal 152

Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz.

Pasal 156

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. ayah;

3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah

dari ayah atau ibunya;

c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmanidan rohanianak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;

d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);

e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama membverikan putusannya berdasrkan huruf (a),(b), dan (d);

f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Dalam Al-Qur‟an tidak ada ayat yang menyuruh atau melarang eksistensi perceraian, sedangkan untuk perkawinan ditemukan beberapa ayat yang menyuruh untuk melakukannya.


(43)

Dalam mengalami suatu kejadian pasti menemukan hikmah yang akan didapatkan, seperti pada permasalahan perceraian, ada beberapa pelajaran yang dapatkan baik bagi sang suami maupun bagi sang isteri. Talak pada dasarnya sesuatu yang halal tetapi hal yang palin dibenci Allah SWT, hikmah dibolehkannya talak itu adalah dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga itu. Dalam keadaan begini jika dilanjutkan akan menimbulkan mudharat bagi kedua belah pihak baik itu sang suami ataupun sang isteri bahkan kepada sang anak itu sendiri.22

Allah SWT Yang Maha Bijaksana menghalalkan talak tetapi membencinya, kecuali untuk kepentingan suami, isteri atau keduanya, atau untuk kepentingan keturunannya. Karena sudah ada ketentuannya yang telah lama ditentukan oleh Allah SWT sehingga diharapkan semua peristiwa yang di alami dapat diambil hikmah atau sebagai pembelajaran untuk kehidupan kita kedepan agar lebih baik dan bisa lebih mendekatkan diri dengan Sang Pencipta yaitu Allah SWT.

22

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh dan Munakahat dan UU Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 109-200.


(44)

33

D. Pengertian Dan Unsur Riddah

Secara etimologi (bahasa), kata riddah merupakan mashdar dari kata:

ري

-

ر

yang berarti keadaan mundur, mengembalikan dan kembali ke belakang.23 Arti tersebut antara lain terdapat didalam firman Allah Ta‟ala:

                         { روس دمح / ٧ : }

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan Telah menjadikan mereka

mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.”{QS.

Muhammad (47): 25}.

Kata riddah juga mempunyai arti leksikalnya “arruju’ ‘an syain ilaa ghoirihi” kembali dari sesuatu kepada sesuatu yang lain.24 Sayyid Sabiq berpendapat riddah

adalah:

عوجر

سملا

اعلا

غلا لا

ع

ألا

اس

ّلأ

ر لا

ع

رايتخأ

اركأ

دحا

ءاوس

ّف

كل

روك لا

ا اا

25

“Riddah kembalinya orang yang telah beragama Islam yang berakal dan dewasa kepada kekafiran karena kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari orang

lain baik yang kembali itu dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan”.

23

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawir. Cet. Ke-14, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 486.

24

Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1989), Juz VI, h.183.

25


(45)

Wahbah az-Zuhaili, riddah adalah:

عوجرلا

ع

ي

ا سأا

ىلأ

ر لا

ءاوس

ينلاب

أ

ع ب

ر ملا

أ

وقلاب

ءاوس

لا

ءا تسأ

أ

ا انع

أ

ا اقتعأ

26

̌Kembali menuju dari agama Islam kepada kekafiran, baik hal itu dilakukan

dengan sebatas niat dengan perbuatan yang akibatnya pelaku dianggap telah kafir maupun dengan ucapan baik ucapannya itu sebagai penghinaan, penentang maupun

sebagai keyakinan̍.

Abdul Qodir Audah berpendapat riddah adalah:

وجرلا

ع

ع

ي

أا

ا س

أ

عط

ا سأا

ا ك

ير عتلا

ىنعمب

دحا

27

“Kembali dari agama Islam atau memutuskan diri dari Islam, baik kembali meninggalkan Islam maupun memutus keduanya bermakna satu.”

Sedangkan secara terminologi, didalam Ensiklopedia Islam di Indonesia,

riddah adalah makna asal dari kembali (ke tempat atau jalan semula), namun

kemudian istilah dalam penggunaannya lebih banyak dikhususkan untuk pengertian kembali atau keluarnya seseorang dari agama Islam ke kukufuran atau pindah kepada agama selain Islam. Dari pengertian riddah ini dapat dikemukakan tentang pengertian murtad, yaitu orang Islam yang keluar dari agama (Islam) yang dianutnya kemudian pindah (memeluk) agama lain atau sama sekali tidak beragama.28

26

Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, cet. IV, h. 5576.

27

Abdul Qadir Audah, at- Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqarranan bi al-qonun al-wad’, cet XI, Jil. II (Beirut: Muassah Ar-Risalah, 1992), h. 706.

28

Harun Nasution (Ketua Tim), Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 696.


(46)

35

Menurut Zainuddin al-Mibari salah seorang murid Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Fath al-Muin, riddah adalah:29

رلا

اعرش

عط

ف

ا اسإ

ر ب

ا ع

أ

الو

أ

اعف

اقتعأب

أ

انع

أ

ءا تسأ

ى نك

ع اص

ّ

دحج

عم

ي ع

و س

و مب

ّف

ر ك

30

“Riddah secara terminologi adalah sikap memutuskannya seorang mu’allaf dari agama Islam dengan kekufuran, baik sikap itu berupa niat, ucapan, perbuatan disertai keyakinan, penentangan atau penghinaan seperti sikap tiak mengakuiAllah sebagai pencipta, mengingkari seorang Nabi, sikap menolak sesuatu yang telah disepakati dan sikap bersujud kepada makhluk serta sikap maju mundur (ragu-ragu dalam kekufuran”

Menurut hukum Islam, orang yang kelua dari agama Islam (murtad), maka saat ia bercita-cita dan telah di hukumi murtad, yaitu kafir dan pada saat itulah gugurlah segala amal ibadah yang telah dikerjakannya. Akan tetapi, bila ia bertaubat kembali, maka tidaklah hilang amalan yang telah berlalu itu. Dia tidak wajib mengulangi kembali ibadahnya sebelum ia murtad itu.31

Adapun seseorang dianggap murtad jika telah mukallaf dan menyatakan kemurtadannya secara terang-terangan atau dengan kata-kata yang menjadikannya

29

Zainuddin bin Abdul Aziz al-Mirabi, Fath al-Muin bi Syarh Qurrah al-Ain, (Semarang: Toha Putera, t.t), h. 127-128.

30

Zainuddin bin Abdul Aziz al-Mirabi, Fath al-Muin bi Syarh Qurrah al-Ain, (Semarang: Toha Putera, t.t), h. 127-128.

31Ibnu Mas‟ud dan Zainal Abdillah S, Fiqh Mazhab Syafi’i

, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), cet. Ke-1, h.529.


(47)

murtad atau dengan perbuatan yang mengandung unsur-unsur kemurtadannya. Adapun seseorang yang dinyatakan murtad dengan persyaratan sebagai berikut:

1. Baligh (dewasa)

Tidak sah murtadnya anak kecil yang telah mencapai mumayiz

menurut ulama Syafi‟iyah.32

Adapun pernyataan murtad dari anak kecil mumayiz (berakal) di perselisihkan oleh para fuqaha.

Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad yang dikutip

dalam buku „Ala‟ ad-din Al-Kasali, baligh (dewasa) bukan merupakan syarat

untuk sahnya murtad. Dengan demikian murtadnya anak kecil yang sudah berakal (mumayiz) hukumnya sah.

Sedangkan menurut Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa anak mumayiz apabila menyatakan Islam maka hukumnya sah, dengan demikian pula sebaliknya apabila ia menyatakan murtad, hukumnya juga sah. Hal ini karena iman dan kafir kedua-duanya merupaka perbuatan nyata yang keluar dari hati sebagai salah satu anggota badan. Pengakuan dari anak kecil yang sudah berakal (mumayiz) menunjukkan adanya hal tersebut (iman dan

kufur). Menurut fuqaha Syafi‟iyah yang dikutip dalam buku Jalal Ad-Din Abu

Bakar As-Suyuthi berpendapat murtadnya anak kecil dan Islamnya hukumnya tidak sah. Pendapat ini juga merupaka pendapat Imam Zufar dari pengikut

32

Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Hukum Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. Ke-1, h. 64.


(48)

37

mazhab Hanafi, Zhahiriyah dan Syi‟ah Zaidiyah. Mereka beralasan dengan hadist Nabi yang diriwayatnya oleh Ahmad, Abu Daud, Nasa‟i, Ibnu Majah

dan Hakim dari „Aisyah bahwa Rasulullah bersabda:

ع

ئاع

ا

وسر

ها

ا

:

عفر

قلا

ع

ا ث

ث

:

ع

ئانلا

ىتح

ضقيتسي

ع

ا غلا

ىتح

تحي

ع

ون ملا

ىتح

ي ي

“Pena itu diangkat (beban dibebaskan) dari tiga kelompok; orang tidur sampai bangun, orang gila sampai berakal, serta anak kecil sampai dewasa” (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah dan Hakim).

Meskipun demikian, kelompok Syafi‟iyah telah mengakui keislaman anak kecil, karena ia mengikuti kedua orang tuanya atau salah satunya yang masuk Islam.

2. Berakal

Tidak Sah kemurtadan orang gila dan anak kecil yang belum berakal karena akan menjadi syarat kecakapan dalam masalah aqidah (keyakinan) dan masalah lainnya.

3. Kehendak Sendiri

Karena tidak sah murtadnya orang yang dipaksa, dengan catatan harinya bersiteguh dalam agamanya. Umpamanya jiwanya terancam kalau tidak melakukannya, tidaklah ia dihukumi kafir atau murtad selama hatinya tetap seperti yang dikehendaki Islam.33

33Ibnu Mas‟ud dan Zainal Abdillah S,Fiqh Mazhab Syafi’i,

(Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-1, h.529.


(49)

Selanjutnya dapat diketahui bahwa unsur-unsur riddah itu ada dua macam,34 yaitu:

1. Kembali (keluar) dari Islam

Unsur yang pertama dari riddah adalah keluar dari Islam. Pengertian keluar dari Islam itu adalah meninggalkan agama Islam setelah

tadinya mempercayai dan meyakininya.

Keluar dari Islam bisa terjadi dengan salah satu dari tiga cara, yaitu:

a. Dengan perbuatan atau menolak perbuatan; b. Dengan ucapan atau perkataan;

c. Dengan itikad atau keyakinan.35

Keluar dari Islam dengan perbuatan terjadi apabila seseorang melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Islam dengan menganggapnya boleh atau tidak haram, baik ia melakukannya dengan sengaja atau melecehkan Islam, menganggap ringan atau menunjukkan kesombongan. Contohnya seperti sujud kepada berhala, matahari, bulan atau bintang, melemparkan mushaf Al-Qur‟an atau kitab hadist ke tempat yang kotor atau menginjak-injaknya, melecehkan atau tidak mempelajari ajaran yang dibawa oleh Al-Qur‟an. Termasuk juga dalam kelompok ini

34

Ahmad Wardi Muslich, HUKUM PIDANA ISLAM, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 121.

35

Abd Al-Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, (Beirut: Daar Al-Kitab Al-Arabi, tt), Juz II, h. 707.


(50)

39

orang yang melakukan perbuatan yang haram, seperti zina, pencurian, minum-minum keras (khamr) dan membunuh dengan keyakinan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut hukumnya halal.

Adapun yang dimaksud dengan menolak melakukan perbuatan adalah keengganan seseorang untuk melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh agama (Islam), dengan diiringi keyakinan bahwa perbuatan tersebut tidak wajib. Contohnya seperti enggan melaksanakan shalat, zakat, puasa dan haji, karena merasa semuanya tidak wajib.

Keluar Islam juga bisa terjadi dengan keluarnya ucapan dari mulut seseorang yang berisi kekafiran. Contohnya seperti pernyataan bahwa Allah punya anak, mengaku menjadi Nabi, mempercayai pengakuan seseorang sebagai Nabi, mengingkari Nabi, malaikat dan lain-lain.

Di samping itu, keluar dari Islam juga bisa terjadi dengan itikad atau keyakinan yang tidak sesuai dengan akidah Islam. Contohnya seperti seseorang yang meyakini langgengnya alam atau keyakinan bahwa Allah itu makhluk atau keyakinan bahwa Al-Qur‟an itu bukan dari Allah atau bahwa Nabi Muhammad itu bohong, Ali sebagai Nabi atau menganggapnya sebagai Tuhan dan lain-lain yang bertentangan dengan

Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul.

Adapun keyakinan semata-mata tidak menyebabkan seseorang menjadi murtad (kafir), sebelum mewujudkan dalam bentuk ucapan atau perbuatan.


(51)

Dengan demikian, seseorang yang baru beritikad dalam hatinya dengan itikad yang bertentangan dengan Islam, belum dianggap keluar dari Islam dan di dunia secara lahiriah ia tetap dianggap sebagai muslim dan tidak dikenakan hukuman.36

2. Adanya niat yang melawan hukum (kesengajaan).

Terwujudnya riddah disyaratkan bahwa pelaku perbuatan itu sengaja melakukan perbuatan atau ucapan yang menunjukkan kepada kekafirannya, padahal ia tahu dan sadar bahwa perbuatan atau ucapannya itu berisi kekafiran. Dengan demikian, apabila seseorang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kekafiran tetapi ia tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut menunjukkan kekafiran, maka ia tidak termasuk kafir atau murtad. Demikian pula seseorang yang tanpa sengaja karena kaget atau gembira mengucapkan kata-kata kufur, seperti Laa llah (tidak ada Tuhan) maka ia tidak otomatis menjadi kafir.

.

36


(52)

(53)

(54)

41 BAB III

PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR A. Sejarah Peradilan Agama Jakarta Timur

Sejarah kelahiran Pengadilan Agama Jakarta Timur erat berkait mata rantainya dengan sejarah pembentukan Pengadilan Agama pada umumnya diseluruh kepulauan Indonesia, terutama di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.1

Secara khusus sejarah lahirnya Pengadilan Agama Kelas IA Jakarta Timur adalah dibidani oleh Menteri Agama RI sebagaimana tersebut dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor 67 Tahun 1963 jo Nomor 4 Tahun 1967. adapun secara kronologis saat-saat lahirnya Pengadilan Agama Jakarta Timur sebagai berikut : a. Pada saat itu Pengadilan Agama di tanah tumpah darah si Pitung ini hanya

memiliki satu Pengadilan Agama yaitu “Pengadilan Agama Istimewa Jakarta

Raya” yang dibantu 2 (dua) Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah.

Kemudian warga Ibukota ini kian bertambah sehingga terbitlah Keputusan Menteri Agama Nomor 67 tahun 1963 yang berbunyi antara lain “Membubarkan Kantor-kantor Cabang Pengadilan Agama (bentuk lama) dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.

b. Pada tahun 1966 Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta melalui keputusan beliau Nomor Ib.3/I/I/1966 tanggal 12 Agustus 1966 membentuk Ibukota negara ini menjadi 5 (lima) wilayah dengan sebutan Kota Administratif.

1


(55)

Dengan pembentukan kota Administratif tersebut, secara yuridis formil keberadaan Pengadilan Agama Istimewa berikut 2 (dua) kantor cabangnya dipadang sudah tidak aspiratif lagi untuk melayani kepentingan masyrakat pencari keadilan yang berdomisili di 5 (lima) wilayah. Secara cerdik, Kepala Inspektorat Peradilan Agama menyambut baik kebijakan Gubernur dimaksud seraya megnajukan nota usul kepada Direktorat Peradilan Agama melalui surat beliau Nomor B/I/100 tanggal 24 Agustus 1966 tentang usul pembentukan kantor cabang Pengadilan Agama dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya sesuai dengan pembagian 5 (lima) wilayah administrasi yang baru terbentuk. Dengan memetik rekomendasi brilian tersebut, secara sigap Direktur Peradilan Agama meneruskan nota usul dimaksud kepada Menteri Agama RI melalui surat beliau Nomor B/I/1049 tanggal 19 September 1966 tentang persetujuan atas usul Kepala Inspektorat Pengadilan Agama. Kedua surat pejabat teras Pengadilan Agama tersebut menjadi bahan pertimbangan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 4 Tahun 1967 tentang Perubahan Kantor-kantor Cabang Pengadilan Agama dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, tanggal 17 Januari 1967 yang berbunyi antara lain sebagai berikut :

1. Membubarkan Kantor-kantor Cabang Pengadilan Agama (bentuk lama) dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, yaitu :

a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara dan b. Kantor Cabang pengadilan Agama Jakarta Barat.

2. Membentuk Kantor-kantor Cabang Pengadilan Agama yang baru sederajat/setara dengan Kantor Pengadilan Agama Tingkat II, yaitu:


(56)

43

a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara; b. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat; c. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan d. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur.

3. Pengadilan Agama Istimewa Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya yang daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, adalah Kantor Induk Pengadilan Agama Jakarta Raya, ditetapkan berkedudukan di Kota Jakarta Pusat dan secara khusus bertugas pula sebagai Pengadilan Agama sehari-hari bagi wilayah kekuasaan Jakarta Pusat.

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, akhirnya melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor Ib.3/I/I/1966 tanggal 12 Agustus 1966, maka pada tanggal 18 Februari 1967 diresmikanlah sebutan maupun operasional Pengadilan Agama di 5 (lima) wilayah Daerah Khusus Ibukota, terutama Pengadilan Agama Jakarta Timur menjadi sebagai berikut :

1. Pengadilan Agama Jakarta Pusat; 2. Pengadilan Agama Jakarta Utara; 3. Pengadilan Agama Jakarta Barat; 4. Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan 5. Pengadilan Agama Jakarta Timur.


(57)

Sejarah Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Timur Dalam Kepemimpinannya

Tonggak sejarah berdirinya PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR mengalami beberapa pergantian pimpinan/periode :

1. Periode tahun 1962-1970, bahwa kantor tersebut menempati rumah Bapak Ketua Pengadilan Agama yang pertama yaitu Bapak KH. M. Ali dan dibantu oleh Panitera/Sekretaris H.M. Rosyid, dengan jumlah pegawai 9 orang (PNS) dan ditambah tenaga honorer 5 orang yang berkantor di alamat Jl. Raya Bekasi Pulogadung, Jakarta Timur/Depan Kantor Kencamatan Pulogadung Jakarta Timur.

2. Periode tahun 1970-1980, Kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur, menempati di sebelah Walikota Jakarta Timur (Jatinegara) dengan status sewa, dengan ketuanya Bpk KH. Irsyad Muin, SH. dan di Bantu oleh H. M. Rosyid dan Ali Syafie sebagai Panitera/Sekretaris, dengan dibantu 11 orang pegawai.

3. Periode tahun 1980-1983 Kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur terpecah menjadi 5 wilayah dan mengikuti perkembangan kota DKI menjadi 5 wilayah Jakarta, yakni Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat. Akan tetapi wilayah yuridis belum dibagi. Dengan ketuanya Bapak Drs. Asmui Kasim Lubis dengan dibantu paniteranya Bapak Ali Syafie dengan periode inilah Kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur mulai membangun dan menambah sarana dan prasarana gedung dan peralatan dengan dana DIPA Depag RI.


(58)

45

Seperti halnya instansi-instansi lainnya, Pengadilan Agama Jakarta Timur, mengalami beberapa kali pergantian pimpinan yaitu :

No. N A M A MASA JABATAN

1. KH. Moh. Ali 1962 – 1967

2. KH. Muhtar 1967 – 1969

3. KH. Irsyad 1969 – 1980

4. Drs. H. Asmu‟i Kasim Lubis, SH 1980 -1985

5. Drs. H. Supangat, SH 1985 – 1989

6. Drs. H. Muhail 1989 – 1992

7. Drs. H. Abdul Manan Lc, SH 1992 – 1994

8. H. Abdullah, SH 1994 – 1996

9. Drs. H. Sudirman Malaya 1996 – 1999

10. Drs. H. Hasan Bisri, SH, M. Hum 1999 – 2001

11. Drs. H. Sayed Usman, SH 2001 – 2004

12. H. Helmy Bakrie, SH 2004

13. Drs. H. Ruslan Harunarrasyid, SH.MH 2004 – 2006

14. Drs. H. Sarif Usman, SH., MH 2007 – 2009

15. Drs. H. Wakhidun AR., SH., M.Hum 2009 s/d sekarang

Pada tanggal 1 Maret 2004 Kantor Lama di Jalan Raya Bekasi KM 18 Pulogadung Jakarta Timur, pindah ke Kantor Barunya di Jalan PKP No. 24 Kelapa Dua Wetan Ciracas Jakarta Timur dan segala pelayanan masyarakat dan sidang berpindah pula di kantor tersebut. pada tanggal 16 Maret 2004, bersamaan dengan itu dilantik H. Helmy Bakrie, SH sebagai ketua yang menjabat sampai dengan tanggal


(59)

30 Nopember 2004.Dan selanjutnya diketuai oleh Drs. H. Ruslan Harunarrasyid, SH., MH. sampai dengan tanggal 06 juni 2006. Selanjutnya Pengadilan Agama Jakarta Timur diketuai oleh Drs. H. Sarif Usman, SH, MH. sampai tanggal 20 Oktober 2008. Dan saat ini Pengadilan Agama Jakarta Timur dipimpin oleh Drs. H. Wakhidun AR., SH., M.Hum., calon doktor dari Universitas Muhammadiyah Surakarta yang merupakan mantan ketua dari Pengadilan Agama Semarang, Jawa Tengah.

Sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat yang dibungkus dengan konstitusi made in bangsa Indonesia sendiri, dimana setelah 25 tahun (seperempat abad) lelap dalam mimpi indah yang panjang, kemudian tersentak bangun sehingga terbitlah undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pada pasal 2 ayat (2) jo pasal 10 ayat (1) dari Undang-undang yang baru disebutkan, terukir bahwa lembaga Peradilan Agama dilegitimasi dan disejajarkan dengan badan-badan peradilan lainnya.

Untuk selanjutnya atas berkat Rahmat Allah SWT yang dicurahkan kepada umat Islam di bumi pertiwi ini, maka terbit pula Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut diatas telah diperbaiki dengan lahirnya Undang-Undang Republik Indoesia Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970. pada pasal 11 ayat (1) menyebutkan bahwa “Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) secara organisasi administrative dan financial berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung RI” sedangkan pada pasal 11 A ayat (2) menyebutkan bahwa “Pengadilan organisasi, administrasi, dan financial


(60)

47

bagi Peradilan Agama waktunya tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama lima (5) tahun sejak undang-undang ini berlaku yaitu tanggal 31 Agustus 1999.”

Menyikapi aspirasi tentang langkah untuk memasuki satu atap dibawah Mahkamah Agung RI sebagaimana tercermin pada pasal 4 ayat (1) Kepres Ri tahun 2004 tersebut diatas, maka diserah terimakan Badan Peradilan Agama itu dari Departemen Agama RI ke Mahkamah Agung RI pada hari Rabu, tanggal 30 Juni 2004 Auditorium Mahkamah Agung RI, Jalan Medan Merdeka Utara NO. 9-13 Jakarta, dengan dihadiri Bapak Ketua Mahkamah Agung RI Prof. DR. Baqir Manan, SH, M.Cl dan Menteri Agama RI Prof. DR.Said Agil Al Munawar, MA.

B. Dasar Pembentukan dan Yurisdiksi

Pengadilan Agama Jakarta Timur, dibentuk dan berdiri berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI No.4 tahun 1967 tertanggal 17 Januari 1967. Pendirian Pengadilan Agama Di Wilayah Hukum Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.2

Wilayah yurisdiksi yang dimaksud pada pembahasan ini bermuara pada istilah kewenangan memeriksa, memutuskan dan meyelesaikan suatu perkara bagi pengadilan.

2

http://www.pa-jakartatimur.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id, diakses tanggal 3 juni 2011.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri. 1998. “Distorsi Sakralitas Perkawinan Pada Masa Kini”, dalam Mimbar Hukum No. 36 Tahun IX.

Abdurrahman, 1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Persindo.

Abdurrahman, H. 1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Banjarmasin.

al-Mirabi, Zainuddin bin Abdul Aziz. Fath al-Muin bi Syarh Qurrah al-Ain, Semarang: Toha Putera.

al-„asqalani, Ibnu Hajar. 2002. Bulugh al-Maram, Jakarta: Dar al-Islamiyah.

Al-Jaziri, Abdurrahman. 2004. Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arb’ah, Kairo: Daarul Hadits.

Al-Qawainiy, Abi Abdullah bin Yazid. 1994. Sunan Ibnu Majah, Beirut: Lebanon, Daar al-Fikr.

Amir, Ustadz Dja‟far. 1983. Fiqh Bagian Nikah, Seluk Beluk Perkawinan Dalam Islam, Ab Sitti Syamsiyah, Solo.

Ari Kunto, Suharsimi. Metode Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta.

Arto, Mukri. 2003. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Jakarta: Pustaka Pelajar.

Asy Syaukani, Al- Imam Muhammad. 2001. Nailul Author, Semarang: Asy Syifa Audah, Abd Al-Qadir. Al-Tasyri’ Al-Jinaiy Islamiy, Beirut: Daar Kitab

Al-Arabi, tt

Audah, Abdul Qadir. 1992. at- Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqarranan bi al-qonun al-wad’, Beirut: Muassah Ar-Risalah.

az-Zuhaili, Wahbah. 1989. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Daar al-Fikr. Bhigha, Musthafa Dhiibu. 1986. Fiqh Menurut Mazhab Syafi’i, alih bahasa ; Drs. H.

Moh. Rifa‟i, Kyai Baghawi Mas‟udi, Semarang: Cahaya Indah.

Departemen Agama RI, 2009. Al-Qur‟an Tajwid dan Terjemahnya, Bandung: Jabal Raudhotul Jannah.


(2)

Departemen Agama, Ensiklopedi Islam Indonesia. 1987. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam/Proyek Peningkatan Srana PT IAIN.

Departemen Agama RI. 2000. Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.

Departemen Agama RI . 1996. Kompilasi Hukum Islam.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 1994. Talak Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru An Hoeve.

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama RI. 2000. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta; Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI.

Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Departemen Agama RI. 2006. Pedoman Pelaksanaan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama.

Giri P, EM. 2007. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Jakarta: Trans Media. Handikusuma, Hilma. 1983. Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Alumni. Hosen, Ibrahim. 1971. Fiqh Perbandingan, Jakarta: Yayasan Ihya Ulumudin. Http://www.pa-jakartatimur.go.id/

Kusuma, Kilman Hadi. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, Bandung: Mandar.

Mas‟ud, Ibnu. dan Zainal Abdillah S. 2000. Fiqh Mazhab Syafi’i, Bandung: Pustaka Setia.

Muchtar, Kamal. 1984. Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang.

Munawir, Ahmad Warson, 1997. Al-Munawir kamus besar Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif.


(3)

Natsir, Muhammad. 1993. Metode Penelitian, PT. Rineka Cipta.

Nasution (Ketua Tim), Harun. 1992. Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan,

Poerwadarminto, WJS. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.

Ramulyo, Muh. Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari UUP Tahun 1974 dan KHI, Jakarta: Bumi Aksara.

Rofiq, Ahmad. 1995. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sabiq, Sayyid. 1983. Fiqh al-Sunnah, Beirut: Daarul Fikr.

Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah, (Daarul Tsaqofah Islamiyyah), jilid 2.

Saleh, K.Wantjik. 1996. Hukum Perkawinan Indonesia, J a k a r t a : Ghalian Indonesia.

Subekti. 1995. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa.

Subekti, R. dan R.Tjirtrosudibio. 2006. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Suma, Muhammad Amin. dkk. 2001. Pidana Hukum Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh dan Munakahat dan UU Perkawinan, Jakarta: Prenada Media.

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1.


(4)

SURAT PERNYATAAN

Bismillahirrohmanirrohim

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Renny Verawati NIM : 107044102167 Prodi : Ahwal Syakhsiyyah Konsentrasi : Peradilan Agama Tgl Ujian : 21 Juni 2011

Menyatakan akan menyelesaikan perbaikan skripsi terhitung dari sejak tanggal ujian maksimal 3 (tiga) bulan. Apabila saya tidak dapat memenuhinya, saya siap dikenakan sanksi sesuai dengan aturan, yaitu melakukan ujian munaqasah ulang.

Demikian surat pernyataan ini dibuat, agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, 23 Juni 2011 Yang menyatakan,


(5)

Wawancara

PERCERAIAN KARENA ISTRI RIDDAH

(Dengan Penggugat Dalam Putusan PA Jakarta Timur Perkara No. 1147/Pdt.G/2009/PAJT)

Nama Penggugat : Sad Waskito Nugroho bin Moeljoso Posisi : Penggugat

Tempat, Tanggal : Rumah Kediaman, 26 Juli 2011 Waktu : 11.00 – 11.45

1. Selain apa yang dikemukakan dalam putusan, adakah alasan lain yang mendorong bapak untuk mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama Jakarta Timur?

Jawab : Tidak ada, selain apa yang saya kemukakan di dalam surat keputusan,

yaitu isteri saya jika dinasehati selalu melawan (tidak mau mendengarkan ucapan saya sebagai suami), isteri saya pergi meninggalkan rumah tanpa seijin saya yang sebelumnya terjadi pertengkaran yang sangat tajam (maaf, saya tidak bisa menjelaskan pokok pertengkarannya)

2. Apakah bapak benar-benar telah mencari keberadaan sang isteri selain dari pihak keluarga?

Jawab: Saya benar-benar mencari keberadaan isteri saya jauh sebelum saya

mengajukan perceraian ini, mulai dari pihak keluarga sampai semua kerabat dekat yang saya anggap mengetahui keberadaan isteri saya tetapi mereka tidak sama sekali mengetahuinya.

3. Kira-kira menurut sepengetahuan bapak apa alasan kuat yang membuat sang isteri pergi dari kediaman bapak?

Jawab: maaf saya tidak bisa menjelaskan, semua alasan sudah tertera dalam

putusan.

4. Apakah bapak ingin bisa kembali kepada isteri bapak jika suatu saat ia hadir kembali kepada bapak dan menjelasan alasan-alasan mengapa ia pergi meninggalkan bapak?


(6)

Jawab: Mungkin bisa saya pertimbangkan kembali akan tetapi tergantung

situasi dan kondisi hari-hari kedepan nanti.

5. Menurut bapak, apakah kinerja Pengadilan Agama Jakarta Timur cepat dan tanggap dalam menangani masalah-masalah perceraian yang sedang bapak ajukan?

Jawab: Kinerjanya cukup bagus dan sangat tanggap karena saya tidak merasa

komplain, saya hanya mengikuti alur yang ada saja dalam mengajukan hingga keluarnya putusan perceraian saya.

Penggugat,