Perspektif Fikih Letak dan Sejarah Singkat

F. PEMBATALAN PERKAWINAN

1. Perspektif Fikih

Dalam literatur fikih tidak mengenal lembaga pencegah perkawinan akan tetapi fikih Islam mengenal dua istilah yang berbeda walaupun hukumnya sama yaitu nikah fasid dan nikah batil. Menurut Aljaziry, nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil adalah apabila tidak terpenuhinya rukun. Hukum nikah fasid dan nikah batil adalah sama-sama tidak sah. Dalam terminologi Undang-Undang Perkawinan, nikah fasid dan batil dapat digunakan untuk pembatalan bukan pada pencegahan. Bedanya pencegahan itu lebih tepat digunakan sebelum perkawinan berlangsung sedangkan pembatalan mengesankan perkawinan telah berlangsung dan ditemukan adanya pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan baik syarat ataupun rukun serta perundang- undangan. Baik pencegahan dan pembatalan tetap saja berakibat tidak sahnya sebuah perkawinan. 35 Jika kita analisis tentang diaturnya masalah pencegahan dan pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam merupakan sebuah upaya efektif untuk menghindari terjadinya perkawinan yang 35 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 11974 sampai KHI . Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Juli 2006, cet.ke-3.h.98. terlarang karena melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan oleh agama juga sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat.

2. Perspektif Undang-Undang No. 1 tahun 1974

Masalah pembatalan perkawinan sudah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan yang dinyatakan dengan tegas pada pasal 22 yaitu “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Dalam penjelasannya, kata “dapat” dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, apabila menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Istilah dapat dibatalkan dalam undang-undang ini berarti dapat difasidkan jadi relatif nietig. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap ketentuan aturan tertentu. 36 Pada dasarnya, terjadinya pembatalan perkawinan bisa disebabkan dua kemungkinan. pertama, adanya pelanggaran terhadap prosedural perkawinan. Misalnya tidak terpenuhinya syarat-syarat wali nikah, tidak dihadiri para saksi dan alasan prosedural lainnya. Kedua, adanya pelanggaran terhadap materi perkawinan. Misalnya perkawinan dilakukan di bawah ancaman, terjadi salah sangka mengenai calon suami isteri 37 . Adapun Pasal 24 menjelaskan bahwa suatu perkawinan dapat diajukan pembatalan apabila salah satu dari kedua belah pihak masih terikat perkawinan 36 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan , Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Tahun 2001.h. 154. 37 Ibid, Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, h.107 dengan orang lain. Selain itu, dalam pasal 27 dijelaskan bahwa suatu perkawinan dapat diajukan pembatalan karena adanya ancaman dari salah satu pihak. Sedangkan yang berkenaan dengan saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan dimuat di dalam pasal 28 ayat 1 yaitu “Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan”. 3. Perspektif Kompilasi Hukum Islam Mengenai sebab-sebab batalnya perkawinan dan permohonan pembatalan perkawinan di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam secara rinci menjelaskan sebagai berikut : Dalam pasal 70 dijelaskan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: a. Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam `iddah talak raj’i b. Seseorang menikahi isterinya yang telah dili’annya c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa `iddahnya. d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu: 1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; 2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; 3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau ayah tirinya; 4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan; e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya. 38 Sedangkan pasal 71 menjelaskan tentang aturan dimana suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan poligami tidak mendapatkan izin dari pengadilan agama. Selanjutnya berkenaan dengan pihak-pihak yang dapat membatalkan perkawinan diatur dalam pasal 73 yaitu, a Para keluarga dalam garis keturunan 38 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia , Jakarta: Gema Insani Press, 1994, h.97. lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri, b Suami atau isteri, c Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan menurut undang-undang, d Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67. 39 Dengan demikian, jelaslah bahwa Kompilasi Hukum Islam secara eksplisit mengandung dua pengertian pembatalan perkawinan yaitu, pertama perkawinan batal demi hukum seperti yang termuat pada pasal 70 dan kedua perkawinan yang dapat dibatalkan relatif seperti yang terdapat pada pasal 71. G. AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERKAWINAN Implikasi dari adanya pembatalan perkawinan sebagaimana terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 28 ayat 2 menyatakan bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap: a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. b. Suami atau istri yang bertindak dengan beritikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan adanya perkawinan lain yang lebih dahulu. c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam huruf a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. 39 Ibid, Abdul Gani Abdullah,h.97. Dengan demikian, pembatalan perkawinan tidak menghilangkan status anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, jadi anak-anak tetap mempunyai status hukum yang jelas sebagai anak dari kedua orang tua mereka. Akan tetapi hukum Islam membedakan akibat hukum dari anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah karena kekhilafan dengan perkawinan yang tidak sah karena ada unsur kesengajaan. Menurut Zahry Hamid yang beliau kutip dari kitab Fikih Madzahibul Arba’ah Juz IV. Yaitu: “Jika terjadi akad perkawinan itu tidak sah karena kekhilafan dan ketidak tahuan atau tidak sengaja dan belum terjadi persetubuhan, maka perkawinan dibatalkan, yang bersangkutan tidak dipandang bersalah, dan jika telah terjadi persetubuhan, maka persetubuhan itu dipandang sebagai wathi subhat, tidak dipandang sebagai perzinaan, isteri setelah pembatalan wajib beriddah, anak yang dilahirkan bukan anak zina dan nasabnya dipertalikan kepada ayah dan ibunya. Apabila akad perkawinan yang tidak sah dan terjadi karena kesengajaan, seperti dengan memberi keterangan-keterangan bohong, saksi palsu, atau surat-surat palsu, jika belum terjadi persetubuhan, maka perkawinan wajib dibatalkan, tidak wajib beriddah.......dan jika terjadi persetubuhan, disamping perkawinan itu dibatalkan persetubuhan itu dipandang sebagai zina dikenakan hukuman had zina, nasab anak yang dilahirkan dipertalikan kepada ibunya” . 40 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 75 menyatakan bahwa suatu keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: a. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami istri murtad; b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; c. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 40 Zahry Hamid, Pokok-Pokok Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia , Yogyakarta: Bina Cipta, h. 50 Adapun pasal 76 menjelaskan bahwa “batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya”. Dari penjelasan atau pasal-pasal di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan tentang akibat hukum dari pembatalan perkawinan adalah sebagai berikut: 1. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang dibatalkan adalah anak sah dan merupakan tanggung jawab orang tua dalam pemeliharaannya, kecuali pembatalan perkawinan atas dasar kesengajaan para pihak, karena perkawinan yang idak sah karena unsur kesengajaan anak hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. 2. Penyelesaian terhadap harta bersama yang di dapat dalam perkawinan yang dibatalkan atas dasar adanya ikatan perkawinan yang lebih dahulu atau poligami aturan hukumnya belum jelas. Sedangkan terhadap harta bersama yang di dapat dalam perkawinan diselesaikan menurut hukumnya masing-masing, baik menurut hukum agama, hukum adat, atau hukum lainnya. H. PENCATATAN NIKAH Pencatatan nikah pada dasarnya tidak disyariatkan dalam agama Islam. Namun, jika kita melihat dari segi manfaatnya, pencatatan nikah sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan bahwa suatu perkawinan tidak selalu langgeng. Tidak sedikit terjadi perceraian yang penyelesaiannya berakhir di pengadilan. Apabila pernikahan itu terdaftar di Kantor Urusan Agama dan mendapat Akte Nikah, maka dalam penyelesaian kasus perceraian itu lebih mudah mengurusnya karena adanya akta otentik yang bisa menjadi dasar hukum dilangsungkannya proses perceraian. Hal ini akan berbeda apabila tidak tercatat dan tidak ada akte nikah, maka Pengadilan Agama tidak akan mengurusinya karena pernikahan itu dianggap seolah-olah tidak pernah terjadi. Apabila kita hanya mendasarkan pada realitas fikih semata, maka pernikahan sudah dipandang sah, sesudah memenuhi syarat dan rukun nikah. Dampak yang akan timbul apabila terjadi perselisihan yang menjurus pada perceraian, kurang mendapat perhatian dan dipikirkan serta dipertimbangkan sehingga ada ketidakadilan karena ada yang dirugikan. Pencatatan nikah sudah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 5 yang menyatakan “agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”. Pasal tersebut dipertegas dengan pasal 6 yaitu setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Aturan hukum lain mengenai pencatatan nikah secara lebih rinci di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang- Undang Perkawinan BAB II pasal 2 dan 3 yang menjelaskan tentang pencatatan perkawinan yaitu Pencatatan perkawinan bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Sedangkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil. 41 Dengan demikian, pencatatan menjadi penting dan bukan hanya sekedar sebagai tertib administrasi semata melainkan banyak dampak positif yang ditimbulkan dengan adanya pencatatan nikah tersebut misalnya sebagai fakta autentik ketika terjadi sengketa atau perceraian. 41 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Peraturan Perundang- Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama , Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2001.H.159

BAB III PENYELESAIAN PERKARA NOMOR 416PDT.G1995PA.SMD

DI PENGADILAN AGAMA SUMEDANG

A. DESKRIPSI PENGADILAN AGAMA SUMEDANG

1. Letak dan Sejarah Singkat

Pengadilan Agama Sumedang merupakan Pengadilan Agama Kelas I A yang terletak di Jalan Statistik No. 35 Sumedang. Adapun Dasar Pembentukan Pengadilan Agama tersebut adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Wilayah Daerah Propinsi Jawa Barat dimana di dalamnya termasuk Kabupaten Sumedang dan secara resmi telah mendirikan Pengadilan Agama Sumedang. Selain undang-undang di atas, juga berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 73 Tahun 1993 Pengadilan Agama Sumedang ditetapkan menjadi Pengadilan Agama Sumedang Kelas I A. Wilayah Hukum pengadilan ini meliputi Kabupaten Sumedang dengan luas wilayah hukum berdasarkan Undang-UndangPeraturan saat ini adalah sebagai berikut: Sebelah Utara : Kabupaten Subang dan Indramayu Sebelah Timur : Kabupaten Majalengka Sebelah Selatan : Kabupaten Garut Sebelah Barat : Kabupaten Bandung 48

2. Visi dan Misi Pengadilan Agama Sumedang