Pengadilan Agama Jakarta Timur perkara nomor 530/ Pdt.G/2008/PA.JT)Pembatalan perkawinan karena kawin paksa (analisi putusan hakim

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Kumala Nim: 107044102127

K O S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh: Kumala Nim: 107044102127

Dibawah Bimbingan :

Hj. Rosdiana, MA NIP : 196906102003122001

K O S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(3)

(4)

Dengan ini saya menyatakan:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 25 April 2011


(5)

i

KATA PENGANTAR ميحرلا نمحرلا ها مسب

Assalamualaikum Wr.WB

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia yang tidak terhingga banyaknya. Dan sholawat serta salam kepada imamnya para Nabi dan Rasul, serta segala makhluk yang ada bertakwa yakni Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya.

Alhamdulillah, pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa” (Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor 530/Pdt.G/2008/PA.JT). Maka penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bpk. Prof. Dr. H. M. Amin suma, SH., MA., MM., selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

2. Bpk. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku ketua jurusan Akhwal Syakhsiyyah yang selalu memberikan bimbingan serta dukungan dan motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Hj. Rosdiana MA., selaku sekjur dan pembimbing penulis, yang telah meluangkan waktu dan memberikan bimbingan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.


(6)

ii

4. Bpk. H. A. Basiq Djalil, SH.,MA dan Bpk. Dr. Abdul Halim, MA selaku penguji penulis, yang telah memberikan kritik dan saran sehingga penulis dapat merevisi skripsi ini dengan baik dan benar.

5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu-ilmu yang tak ternilai harganya, seluruh staff dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan bagian Tata Usaha Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan pelayanan dengan baik.

6. Teristimewa untuk Ayahanda Asmat dan Ibunda Sundus selaku orang tua penulis, yang selalu memberikan semangat dan doa sehingga penulis merasa terpacu untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Juga kepada saudara-saudara Yulyantih, Sholahuddin, Aini Alfiah, dan Abdul Syakir yang selalu memberikan doa, dukungan dan semangat dengan penuh keikhlasan dan kesabaran yang tiada tara.

7. Dedy Setyo Hartanto selaku orang yang penulis sayangi yang selama ini menyemangati dan terus memberi dukungan penuh kepada penulis.

8. Keluarga Kuliah Kerja Nyata (KKN) Cikembulan Garut 2010 yang selalu memberikan semangat dan hiburan kepada penulis.

9. Teman-teman Program Studi Peradilan Agama Angkatan 2007, khususnya Imamatul Azimah dan Syahri Fajriyyah yang terkenang dalam suka maupun duka serta memberikan dukungan yang tidak terhingga kepada penulis.


(7)

iii

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan banyak yang perlu diperbaiki lebih dalam. Oleh karena itu, saran dan kritik penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan setiap pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik di sisi Allah SWT. Semoga setiap bantuan, doa, dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 25 April 2011


(8)

iv

KATAPENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4

D. Review Studi Terdahulu ... 5

E. Metodologi Penelitian ... . 6

F. Sistematika Penulisan ... . 8

BAB II PERKAWINAN ... 10

A. Pengertian Perkawinan ... 10

B. Hukum Perkawinan ... 11

C. Prinsip Perkawinan ... 16

D. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ... 20

BAB III PEMBATALAN DAN KAWIN PAKSA ... 24

A. Pengertian Pembatalan Perkawinan ... 24

B. Alasan, Tata Cara dan Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan ... 26


(9)

v

BAB IV PUTUSAN PERKARA PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA

KAWIN PAKSA ... 46

A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Timur ... 46

B. Struktur Organisasi ... 47

C. Putusan Pengadilan Agama ... . 51

D. Analisa Putusan Pengadilan ... . 59

BAB V PENUTUP ... 69

A. Kesimpulan ... 69

B. Saran-saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 71

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 76

1. Salinan Putusan Perkara Nomor 530/Pdt. G/2008/PA. JT ... 76

2. Surat Permohonan Pembimbing ... 82

3. Surat Mohon Data dan Wawancara ... 83

4. Surat Keterangan Pengadilan Agama Jakarta Timur ... 84

5. Hasil Wawancara Dengan Hakim ... 85


(10)

1

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa orang lain, hal ini menjadikan mereka berkeinginan untuk mencari dan mendapatkan jodoh yang dapat menemani hidupnya kala senang dan duka. Maka dari itu Allah SWT menciptakan manusia berpasang-pasangan, melalui jalan perkawinanlah kehidupan manusia dapat dilestarikan.

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri yang bertujuan membentuk kehidupan yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang dengan sengaja diciptakan oleh Allah SWT yang diantara lain tujuannya untuk melanjutkan keturunan dan tujuan-tujuan lainnya.2 Menurut Hazairin perkawinan adalah hubungan seksual, menurutnya tidak ada nikah (perkawinan) bila tidak ada hubungan seksual.3

Dalam falsafah hukum Islam dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan berencana antara seorang laki-laki dan perempuan yang telah dewasa atas dasar

1

Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 2

Muhammad Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2003), h. 1

3

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih UU No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 40


(11)

suka sama suka tanpa paksaan untuk membina rumah tangga yang sehat.4 Dan perkawinan juga dapat menjadikan suatu hubungan yang istimewa seperti, hukum kewarisan, hukum benda atau hukum kekayaan.5

Dan dalam kitab lain disebutkan perkawinan menurut syariat adalah akad yang menghalalkan laki-laki dan perempuan untuk membina rumah tangga, jika tidak ada akad, maka akan mengharamkan perbuatan tersebut.6 Perkawinan yang dilakukan manusia merupakan naluri Illahiyah untuk berkembang biak dan melakukan regenerasi yang akan mewarisi tugas mulia dalam rangka mengemban amanat Allah SWT sebagai khalifah di muka bumi.7

Jadi dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan itu adalah ikatan yang dilakukan antara seorang perempuan dengan laki-laki yang bersifat sakral dan mengikat, serta bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Sahnya sebuah perkawinan itu telah ditetapkan bahwa apabila telah terpenuhinya semua syarat dan rukunnya, demikian juga dengan ketentuan hukum perdata yang berlaku di Indonesia. Dan apabila perkawinan yang semacam itu (terlanjur terjadi) sudah terlaksana, maka dapat dibatalkan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku.8 Suatu perkawinan batal dimulai setelah

4

Fuad M. Fachruddin, Filsafat dan Hukum Syariat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), Cet.ke-3, jilid 1, h. 160

5

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indo, 1978), h.3 6

Muhammad Zaid al-Abyani, al- Ahkam as-Syakhsiyat, (Beirut: Baghdad), j I, h. 4

7

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antara Mazhab, (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h.2

8


(12)

putusan pengadilan, karena pengadilanlah yang mempunyai wewenang untuk membatalkan perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam pembatalan perkawinan terdapat dalam Pasal 70 sampai dengan 76,9 sementara dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan terdapat dalam pasal 22 sampai dengan 28.

Pembatalan perkawinan juga bisa terjadi karena adanya paksaan dari orang lain, seperti orang tua kepada anaknya. Dan terdapat kasus yang menarik yang terjadi pada pasangan suami istri yakni laki-laki (suami) yang menikah dengan perempuan (istri) lantaran laki-laki (suami) itu telah dipaksa oleh pihak (orang tua) perempuan (istri), paksaan tersebut berupa ancaman yang mengharuskan laki-laki (suami) mengawini perempuan (istri) tersebut.

Perkawinan seharusnya dilaksanakan dengan dasar cinta, perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan cinta, suka dan sayang akan menimbulkan dampak yang kurang positif atau akibat buruk yakni diantaranya saling membenci dan tidak dapat membentuk keluarga yang harmonis.

Dengan adanya permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka penulis ingin mengangkat permasalahan tersebut untuk diketahui lebih lanjut sebagai bahan penelusuran pembahasan pada skripsi ini dengan judul:

PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA KAWIN PAKSA (Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor 530/Pdt.G/2008/PA.JT).

9


(13)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Adapun yang menjadi pembahasan dalam penulisan karya ini difokuskan pada:

a. Pembatalan Perkawinan yang disebabkan oleh kawin paksa dari pihak perempuan terhadap pihak laki-laki.

b. Pengadilan Agama yang dimaksud di skripsi ini adalah Pengadilan Agama Jakarta Timur, karena terdapat kasus yang termasuk langka.

2. Perumusan Masalah

Pada umumnya kawin paksa terjadi dari orang tua kepada anaknya karena orang tua mempunyai hak ijbar (paksa), akan tetapi pada faktanya pada Pengadilan Agama Jakarta Timur terdapat kasus pembatalan perkawinan karena suami kawin dengan istri lantaran dipaksa oleh pihak istri.

Rumusan tersebut penulis rinci dalam pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa yang menjadi pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta

Timur dalam memutuskan perkara pembatalan perkawinan No. 530/Pdt.G/2008/PAJT?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur

dalam memutuskan perkara pembatalan perkawinan No.


(14)

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:

1. Untuk penulis, memberikan wawasan dan pengetahuan agar lebih bisa memahami tentang pembatalan perkawinan dan juga dalam rangka persyaratan penulis sebagai Sarjana Syariah.

2. Untuk kalangan akademisi (Fakultas), sebagai penambahan literatur Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Untuk masyarakat, memberi kontribusi pada masyarakat dalam mendudukan perkara pembatalan perkawinan menurut perundang-undangan yang berlaku

D. Review Studi Terdahulu

1. Arud Badrudin, Pembatalan Karena Poligami Liar ( Analisa Yurisprudensi Perkara Nomor 416/Pdt.G/1995/PA.Smd). dalam skripsi ini menjelaskan tentang pembatalan perkawinan karena suami melakukan poligami tanpa izin istri.

2. Nur Ulfah Mariana, Pembatalan Perkawinan Poligami Tanpa Izin Istri Menurut UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Pengadilan Agama Jakarta Selatan). Dalam skripsi ini menjelaskan Pembatalan Perkawinan Poligami Tanpa Izin Istri Menurut UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam,

3. Firdaus, Pembatalan Perkawinan Menurut Fiqih dan Undang-Undang 1974, skripsi ini menjelaskan pengertian pembatalan perkawinan menurut Fiqih dan Undang-Undang 1974.


(15)

Dan yang membuat berbeda dari skripsi yang ingin penulis angkat adalah: 1. Wilayah kejadian perkara terdapat di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

2. Penulis ingin membahas tentang pembatalan perkawinan kawin paksa, melihat argumenasi Hakim dalam perkara ini.

E. Metodologi Penelitian

Untuk mendapatkan data yang akurat, maka penulis menggunakan penelitian melalui:

1. Penelitian ini adalah penelitian hukum yang normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan bahan pustaka atau data sekunder yang mungkin mencakup data primer. Dan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu dengan melakukan analisis isi putusan dengan cara mengurai dan mendiskripsikan putusan, kemudian dihubungkan dengan masalah yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis.

2. Sumber pengumpulan data

Untuk memecahkan isu hukum mengenai apa yang diteliti, diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan berupa bahan hukum primer dan sekunder.10 Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni perilaku warga masyarakat melalui penelitian, data sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku dan seterusnya.11 Data primer dalam skripsi ini diperoleh dari putusan perkara No.

10

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 141 11

Soerjono Soekanto, pengantar penelitian hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia 1986), h. 12-13


(16)

530/pdt.G/2008/PA.JT dan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur yang memutus perkara No.530/Pdt.G/2008/PA.JT, sedangkan sekunder diperoleh dari buku-buku yang berkaitan dengan skripsi tersebut.

3. Teknik pengumpulan Data

Teknik pengunpulan data yang dilakukan adalah wawancara terhadap Hakim yang menangani langsung perkara No. 530/pdt.G/2008/PA.JT, dan para Majlis Hakim tersebut adalah:

a. Hj. Yustimar B. SH (selaku Ketua Majlis) b. H. Abdillah, SH (selaku Hakim anggota)

c. Drs. H. Fauzi M. Nawawi (selaku Hakim anggota) 4. Teknik Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh kemudian dikumpulkan setelah itu diolah, dianalisis dan diinterpretasikan untuk dapat menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

5. Analisa Data

Setiap data yang dianalisis dari beberapa sudut pandang, merupakan data yang bersumber dari sumber data, baik itu dati wawancara atau observasi. 6. Pedoman Penulisan Skripsi

Pedoman penulisan skripsi ini bepedoman pada “Buku Pedoman Penulisan

Skripsi Tahun 2007” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN


(17)

a. Dalam daftar pustaka al-Qur’an ditempatkan pada urutan pertama.

b. Terjemahan al-Qur’an dan Hadis ditulis 11/2 spasi walaupun kurang dari enam baris.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah bab perbab, dimana antara bab satu dengan bab yang lainnya itu memiliki keterkaitan, sistematika yang penulis maksud adalah:

Bab pertama tentang pendahuluan dalam membuka penulisan skripsi ini, dengan uraian bahasa meliputi: latar belakang, pembatasan masalah, maksud dan tujuan penelitian, studi review terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua tentang perkawinan, menjelaskan tentang pengertian perkawinan, hukum perkawinan yang didalamnya juga termasuk rukun dan syarat perkawinan, prinsip perkawinan, dan tujuan serta hikmah perkawinan.

Bab ketiga tentang pembatalan perkawinan dan kawin paksa meliputi, pengertian pembatalan perkawinan, alasan, tata cara dan akibat hukum pembatalan perkawinan, pengertian kawin paksa, akibat hukum kawin paksa, serta pengaruh kawin paksa terhadap keharmonisan rumah tangga.

Bab keempat tentang putusan perkara pembatalan perkawinan karena kawin paksa di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Meliputi profil, perkara


(18)

pembatalan perkawinan, putusan, dan analisis putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur tentang pembatalan perkawinan karena kawin paksa.

Bab kelima tentang penutup. Meliputi dua hal yaitu, kesimpulan dan saran-saran.


(19)

10

A. Pengertian Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Dan dalam Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk mentaati perintah Allah SWT, dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk-Nya, sebagai sesuatu yang paling baik yang dipilih Allah SWT untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.2

Menurut Paul Scholten, Perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorag pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara.3

Dalam Hadis dikatakan

يِ سي ف يت سب عي ف يت س ا ا

4

1

Pasal 1 Undang-undang Nomor 1974 Tentang Perkawinan 2

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999), h. 9

3

Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), h. 4


(20)

Artinya : “Pernikahan adalah salah satu dari sunnahku, maka barang siapa yang tidak melakukannya (pernikahan) bukan termasuk dari golonganku”.

اق ي يبا با ع

:

ص ها سر اق

.

.

ي ف ي أ ي ع ر ق

ا سي ف

5

Artinya : “Dari Abi Najih berkata: Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang mampu untuk menikah dan ia belum menikah, maka ia bukan termasuk dari golongan kami”.

Dari Hadis diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, pernikahan itu merupakan salah satu sunnah Rasul yang harus diikuti oleh umatnya yang mampu untuk menikah (dengan ketentuan mampu lahir dan batin) dan apabila tidak dikerjakan (sedangkan ia mampu lahir dan batin) maka bukan termasuk golongan pengikut Nabi.

B. Hukum Perkawinan

Hukum perkawinan ditinjau dari kondisi perseorangan adalah sebagai berikut:

1. Wajib, bagi orang-orang yang mempunyai kemauan untuk menikah tidak dapat menahan hawa nafsunya terhadap wanita dan ia mampu untuk menikah.

4

Muhammad bin Ali bin Muhammad Saukani, Nailul Authar, (Darul Fikri, 1655), juz.V, h. 266

5

Abdullah bin Abdurohman bin Fadli Bahrom bin Abdu Somad at-Tamimi, Sunan Darimi, (Darul Fikri, tt), Juz. II, h.132


(21)

2. Sunnah, terhadap orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan sedang ia tidak khawatir jatuh pada perzinahan.

3. Mubah, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk menikah, akan tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tudak akan menelantarkan istri (pendorong dan penghambat untuk kawin itu sama).

4. Makruh, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup untuk menahan diri sehingga tidak kawin, hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.

5. Haram, bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantar dirinya dan istrinya.6

Setelah mengetahui hukum perkawinan, maka ada beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Adapun rukun dan syaratnya adalah:

1. Perempuan sebagai calon istri Syarat-syaratnya adalah:

- Bukan istri dari laki-laki lain, bukan mahram, dan tidak dalam masa iddah - Merdeka, atas kemauan sendiri

6


(22)

- Jelas orangnya

- Tidak sedang berihram/haji 2. Laki-laki sebagai calon suami

Syarat-syaratnya adalah: - Bukan mahram - Tidak terpaksa - Jelas orangnya

- Tidak dalam ihram/haji 3. Wali yang menikahkan

Syarat-syaratnya adalah: - Laki-laki

- Baligh

- Tidak terpaksa - Sehat akalnya - Adil

- Tidak sedang ihram/haji 7 Dalam Hadis,

ع هاشورك ي ب اإ ا ِ ا قع صيا

8

7

Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h.49

8

Imam Takiyuddin bin Abu Bakar bin M. Husain, Kifayatul Akhyar, (Darul Fikri, tt ),juz I-VI , hal. 34


(23)

Artinya: “Tidak disahkan akad dalam suatu pernikahan kecuali dengan wali laki-laki dan dua orang saksi yang adil”

Adapun wali nikah ada empat jenis, yaitu:

1) Wali Nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan, adapun wali nasab terbagi menjadi dua yaitu:

a. Wali Nasab biasa yaitu wali nasab yang tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa menikahkan tanpa izin atau persetujuan dari wanita yang bersangkutan, dengan kata lain wali ini tidak mempunyai kewenangan menggunakan hak ijbar.

b. Wali Mujbir adalah wali nasab yang berhak memaksa kehendaknya untuk menikahkan calon mempelai perempuan tanpa meminta izin kepada wanita yang bersangkutan, hak yang dimiliki oleh wali mujbir disebut dengan hak ijbar.

- Menurut Syafi’i wali mujbir adalah ayah, kakek dan terus ke atas, wali mujbir mempunyai kedudukan istimewa karena boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil dan belum baligh juga boleh menikahkan anak perempuannya yang sudah dianggap dewasa dan masih perawan tanpa minta izin terlebih dahulu kepada anak yang bersangkutan.

- Menurut Hambali wali mujbir adalah ayah dan washi, bila kedua orang ini tidak ada maka yang berhak menyandang wali mujbir


(24)

adalah hakim dengan syarat bahwa perempuan yang bersangkutan sudah layak dinikahkan, kedudukan dan fungsi

wali mujbir sama dengan imam Syafi’i.

- Menurut Maliki wali mujbir adalah ayah, orang lain dapat diangkat menjadi wali mujbir apabila telah mendapat wasiat dari bapak. Wasiat yang diucapkan itu harus ada bukti baik itu tertulis maupun lisan yang diucapkan dengan adanya dua orang saksi. Adapun fungsi dari wali mujbir adalah boleh menikahkan perempuan yang kurang waras baik masih kecil maupun sudah menginjak dewasa.

- Menurut Hanafi wali mujbir adalah setiap orang yang tercantum dalam strukturisasi wali, mereka semua bisa disebut wali mujbir. Dungsi wali mujbir hanya terbatas pada anak-anak kecil baik laki-laki mapun perempuan, baik kepada orang gila yang masih kecil maupun sudah dewasa.

2) Wali Hakim, yang dimaksud dengan wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau aqdhi. Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah pemerintah (sulthan), pemimpin (khalifah), penguasa (roish), atau wanita yang berwali hakim.

3) Wali Tahkim yaitu wali yang diangkat oleh calon suami atau istri. Wali tahkim terjadi apabila wali nasab tidak ada, wali nasab ghaib, tidak ada aqdi atau pegawai pencatat nikah.


(25)

4) Wali Maula adalah wali yang menikahkan budaknya, yaitu majikannya sendiri. Adapun maksud budak disini adalah wanita yang dibawah kekuasaannya/hamba sahaya.9

4. Sighat atau ijab qabul 5. Dua orang saksi

Syarat-syaratnya adalah: - Laki-laki

- Baligh - Sehat akal

- Dapat mendengar atau melihat - Bebas, tidak terpaksa

- Tidak sedang mengerjakan haji

- Memahami bahasa yang dipergunakan dalam ijab qabul.

Menurut para Imam Mazhab Perkawinan itu tidak sah tanpa adanya saksi, dan Hanafi menyatakan saksi itu bisa berupa dua orang perempuan dan satu orang laki-laki tapi tidak diperkenankan hanya dua orang perempuan saja.10

C. Prinsip Perkawinan

Adapun prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam antara lain:

9

Tihami dan Sohari, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 97

10

Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama 1996), h.313


(26)

1. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama

Agama mengatur perkawinan dan memberi batasan rukun dan syarat yang perlu dipenuhi. Apabila rukun dan syaratnya tidak terpenuhi maka perkawinan itu batal (Fasakh). Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan adalah naluri semua makhluk Allah SWT.11 Dalam surat az-Zariyat ayat 49:

















Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu menginat akan kebesaran Allah SWT”.

Dalam surat Yasin ayat 36:































Artinya: “Maha suci Tuhan yang menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik apa ditumbuhkan dari bumi dan dari diri mereka maupun apa yang tidak mereka ketahui”.

2. Kerelaan dan persetujuan

Pihak yang melangsungkan perkawinan itu dirumuskan dengan kata-kata kerelaan atau persetujuan calon istri dan suami. Agar suami dan istri dapat membentuk keluarga bahagia, sejahtera dan kekal, maka diwajibkan kepada calon mempelai untuk kenal terlebih dahulu.

11


(27)

Kedua calon mempelai harus mempunyai suatu kesadaran dan keinginan bersama secara ikhlas untuk mengadakan akad. Dan persetujuan atau partisipasi keluarga juga diharapkan dalam hal perkawinan, dengan demikian dapat terjalin silaturahmi antar keluarga.12

3. Kebebasan memilih jodoh

Memilih jodoh merupakan hak pilih yang bebas bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak melanggar ketentuan yang digariskan oleh syariat. Syariat Islam memberikan petunjuk bagi orang tua agar tidak memaksakan kehendaknya dalam masalah penentuan jodoh anak-anak mereka.13

Meskipun Islam memberikan kebebasan hak pilih dalam mencari pasangan, namun tetap ada rambu-rambu yang diberikan agar tidak salah dalam memilih suami atau istri. Orang tua dilarang memaksa anak-anaknya untuk dijodohkan dengan pria atau wanita pilihannya, melainkan diharapkan membimbing dan menuntut anak-anaknya agar memilih pasangan yang cocok sesuai dengan anjuran agama yang mereka peluk. Sesuai dengan hak asasi manusia, maka kawin paksa dilarang untuk dilaksanakan.

4. Saling melengkapi dan melindungi Dalam surat al-Baqarah: 187,

12

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana 2008), h. 7-8

13

Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999), hal. 11-17


(28)



























































































































































Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

5. Memperlakukan istri dengan baik Dalam surat an-Nisa: 19,






















































(29)



























Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksadan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata, dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

D. Tujuan dan Hikmah Perkawinan

Keluarga yang dituju dengan adanya perkawinan adalah keluarga yang sakinah (tenang), Mawadah (keluarga yang didalamnya terdapat rasa cinta, yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat jasmani) dan Rahmah (keluarga yang didalamnya terdapat rasa kasih sayang).14 Melakukan pernikahan merupakan proses alamiah yang senantiasa dilalui oleh umat manusia, karena disaat mereka mencapai suatu kematangan baik biologis maupun psikologis, maka akan muncul dorongan untuk menjalin ikatan dengan lawan jenisnya.15

Tujuan pernikahan menurut al-Qur’an, yakni ada dua ayat yang menonjol tentang hal pernikahan ini. Pertama, disebutkan bahwa tujuan pernikahan itu

14

Abdul Shomad, Hukum Islam (Panorama Prinsip Syari’ah Dalam Hukum Indonesia), (Jakarta: Kencana 2020), h. 276

15


(30)

adalah untuk bersenang-senang.16 Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-A’raf: 189



































































Artinya: Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang

bersyukur”.

Kedua, dalam surat ar-Rum: 21,





















































Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Menurut Abd Rahman Ghazaly tujuan dari perkawinan adalah: 1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.

16

Ahmad Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Ke-Islaman di Tanah Gayo, (Jakarta: Qalbun Salim, 2007), cet-1, h. 86


(31)

2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayang.

3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan. 4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta

kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.

5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.17

Hikmah perkawinan ialah supaya manusia itu hidup berpasang-pasangan, hidup dua sejoli, hidup suami istri, membangun rumah tangga yang damai dan teratur.18

Untuk itu setiap pasangan dituntut untuk dapat mempertahankan keutuhan rumah tangganya, jika akad sudah dilakukan maka, mereka akan berjanji seia sekata dan dapat membangun rumah tangga yang damai dan teratur.

Jadi dapat difahami bahwa tujuan suatu perkawinan itu disamping terhindar dari kemaksiatan, tapi banyak manfaat yang dapat diperoleh dari sebuah perkawinan, baik itu berdampak baik bagi diri sendiri maupun orang lain, termasuk juga hikmah didalamnya yakni, hidup lebih teratur dan suasana menjadi tentram dan damai lantaran memiliki keluarga.

17

Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat. h.24 18

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Menurut Mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hanbali, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996),cet-15, hal.7


(32)

Secara detail hikmah perkawinan ialah:

1. Sebagai fitrah manusia untuk berkembang biak, dan keinginan untuk

melampiaskan syahwat secara manusiawi dan syar’i.

2. Upaya menghindarkan diri dari perbuatan maksiat akibat penyaluran hawa nafsu yang tidak benar seperti zina.

3. Terwujudnya kehidupan yang tenang dan tentram.

4. Membuat ritme kehidupan seseorang menjadi lebih tertib, teratur, dan mengembangkan sikap kemadirian, serta tanggung jawab.

5. Pernikahan dan keturunan akan mendatangkan rizki.

6. Nikah mempunyai kontribusi di dalam membentuk pribadi untuk berprilaku disiplin seperti disiplin dalam membagi waktu dan pekerjaan.

7. Memperkokoh tali persaudaraan antara masyarakat.

8. Menghasilkan keturunan yang baik, jelas nasabnya dan semakin merekatkan hubungan antar sesama.

9. Dalam salah satu laporan dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dimuat dalam Koran al-Sya’b pada hari Sabtu, 1 Juni 1959, melaporkan bahwa pasangan suami istri akan bertahan hidup lebih lama jika dibandingkan dengan yang bukan pasangan suami istri. 19

19Asrorun Ni’am Sholeh,

Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: eLSAS, 2008), h. 42-44


(33)

25

A. Pengertian Pembatalan Perkawinan

Pembatalan berasal dari kata “batal” yang artinya tidak berlaku, tidak sah, dan pembatalan yaitu sebuah proses untuk menyatakan sesuatu hal yang dianggap tidak sah (batal).1 Sedangkan pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang dibatalkan apabila salah satu pihak ada yang merasa dirugikan baik itu dari pihak suami maupun istri atau salah satu rukun atau syarat perkawinan tidak terpenuhi.2

Dan dalam istilah lain yang mempunyai pengertian yang sama dengan batal adalah fasakh (rusak). Dan menurut Jumhur Ulama, “Tidak ada perbedaan antara batal dengan fasakh baik itu dalam lapangan ibadah maupun mu’amalah”.3 Adapun istilah pembatalan perkawinan itu identik dengan fasakh yakni, pembatalan akad dan melepaskan tali ikatan perkawinan suami istri.4 Sedangkan menurut Undang-undang N0. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pembatalan

1

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 97

2

Wawancara Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, Senin 18 Maret 2011

3

Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Yayasan Penerjemah al-Qur’an, 1993), h. 70

4


(34)

adalah “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat

-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.5

Fasakh berasal dari bahasa Arab yang berarti membatalkan dan fasakh perkawinan menurut Syar’i ialah:

نْجْ ا نْب طبْ ت ت ا طبا ا ح ضْقن ْقع ا خْسف

6

Artinya: Fasakh aqad (perkawinan) adalah membatalkan akad perkawinan dan memutuskan tali perhubungan yang mengikat antara suami istri.

اقاط ع ا ب ْقع حْتام

ا ا خْسف

7

Artinya : Fasakh perkawinan adalah sesuatu yang dapat merusak akad dalam perkawinan dan fasakh bukan termasuk talaq.

Pembatalan perkawinan pada umumnya karena pelanggaran syarat formal seperti yang telah disebutkan diatas, sedangkan bila pelanggaran itu pada larangan materil, seperti perkawinan antara yang berhubungan nasab atau larangan tetap lainnya, perkawinan itu batal dengan sendirinya, dianggap tidak pernah ada,

5

undang Perkawinan di Indonesia dengan Peraturan Pelaksanaannya, Undang-Undang N0.1 Tahun 1974, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1991), cet-11, h. 12

6

Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya 1989), h. 5

7


(35)

sehingga terhadap akibat yang timbul dari hubungan “suami-istri” itu dianggap tidak pernah ada, atau tidak mendapat perlindungan hukum.8

Dari beberapa penjelasan diatas mengenai pengertian pembatalan perkawinan, maka dapat disimpulkan bahwa pembatalan perkawinan adalah suatu tindakan yang dapat merugikan salah satu pihak yang dilakukan baik dari pihak istri maupun suami untuk membatalkan perkawinan dan diajukan kepada Pengadilan Agama.

B. Alasan, Tata Cara dan Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan 1. Alasan Pembatalan Perkawinan

Sebab-sebab terjadinya pembatalan perkawinan yakni sebagai berikut: a. Karena adanya balak (penyakit belang kulit).

b. Karena gila.

c. Karena penyakit kusta.

d. Karena ada penyakit menular, seperti sipilis, dan lain-lain.

e. Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan (bersetubuh).

f. Karena unnah, yakni impoten.

Disamping itu pembatalan juga dapat terjadi karena,

8

Anwar Sitompul, Kewenangan dan Tata Cara Berperkara di Pengadilan Agama, (Bandung: CV. Amrico, 1984), h. 80


(36)

a. Nikah Syigar, misalnya seorang ayah berkata kepada seorang laki-laki:

“Aku nikahkan anak gadisku dengan engkau, dan sebagaimana maharnya

engkau nikahkan pula putrimu dengan aku”.

b. Nikah Mut’ah (nikah kontrak).

c. Nikah Muhrim (dalam keadaan muhrim).

d. Nikah dua orang laki-laki dengan seorang perempuan yang dinikahkan oleh dua orang wali yang berjauhan tempat. Jika diketahui mana yang lebih dahulu, maka akad yang terdahulu yang dianggap sah. Dan bilamana tidak diketahui mana yang lebih dahulu, maka kedua akad nikah itu dianggap batal.

e. Nikah wanita yang sedang beriddah.

f. Nikah laki-laki muslim dengan wanita non muslim, yang beragama Majusi, Yahudi ataupun Nasrani (yang tidak asli sebagai ahlu kitab). g. Nikah wanita muslimah dengan laki-laki non muslim, karena wanita

muslimah tidak dihalalkan menikah dengan non muslim. 9

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pembatalan perkawinan diatur dalam BAB IV Pasal 22 sampai dengan 28 , dalam bab ini dijelaskan alasan-alasan perkawinan, dan para pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan serta akibat hukum dari pembatalan perkawinan.

9


(37)

Adapun pada Kompilasi Hukum Islam pembatalan perkawinan diatur dalam BAB XI Pasal 70 sampai dengan 76, materi rumusannya hampir sama dengan materi yang dirumuskan dalam BAB IV Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Alasan pembatalan perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 22 adalah:

“Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.

Demikian pula dalam pasal 24 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pembatalan perkawinan dapat diajukan dengan ketentuan,

“Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 Undang-undang ini”.

Dalam pasal 26 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan tentang pembatalan perkawinan karena wali atau saksi yang tidak sah, yakni:

1. Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri.

2. Hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat 1 pasal ini gugur apabila mereka setelah hidup bersama sebagai


(38)

suami istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Dalam pasal 27 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan pembatalan perkawinan karena adanya unsur ancaman didalamnya, yakni:

1. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

2. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.

3. Apabila ancaman telah berjenti, atau yang bersalah sangka itu telah menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 70 perkawinan batal apabila, a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad

nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam masa iddah talak raj’i;

b. Seseorang telah menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya;

c. Seseorang telah menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;

d. Perkawinan dilakukan dengan orang yang mempunyai hubungan darah semeda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No.1 Tahun 1974:

e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya;

Dalam pasal 71 Kompilasi Hukum Islam suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila,


(39)

b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud;

c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain; d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana

ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang 1 Tahun 1974;

e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;

f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan;

Dalam pasal 72 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pembatalan perkawinan karena adanya unsur ancaman didalamnya, yakni:

(1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

(2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.

(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

2. Tata Cara Pembatalan Perkawinan

Mengenai tata cara pengajuan pembatalan perkawinan, yakni pada dasarnya pengajuan perkara pembatalan perkawinan sama halnya dengan pengajuan perceraian pada umumnya,10 hal ini terdapat dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Pelaksanaan Undang-undang No. 1 TAhun 1974 tentang Perkawinan Adalah sebagai berikut:

Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan (PP No. 9/1975 Pasal 37). Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri (PP. No. 9/1975 Pasal 38

10


(40)

(1) ). Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian (PP. No. 9/1975 Pasal 38 (2) ).

Dalam pasal 23 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menjelaskan siapa saja yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, yakni:

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri. b. Suami atau istri.

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belumdiputuskan. d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undang-undang ini dan

setiap orang mempunyai kepentingan secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Dalam pasal 25 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menjelaskan tatacara pembatalan perkawinan, yakni:

“Permohonan pembatalam perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri”.

Dalam pasal 73 Kompilasi Hukum Islam, Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan pembatalan perkawinan adalah:

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah dari suami atau istri.

b. Suami atau istri.

c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang.

d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum islam dan peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.


(41)

Dalam pasal 74 Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan tentang tatacara pembatalan perkawinan, yakni:

(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan.

(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Adapun penjelasannya sebagai berikut:

a. Hanya pengadilan yang berwenang membatalkan perkawinan

Gugatan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat perkawinan dilangsungkan, tempat tinggal suami istri, tempat tinggal suami atau tempat tinggal istri

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bagian Ke-Enam, Pasal 85, yakni Kebatalan suatu perkawinan hanya dapat dinyatakan oleh Hakim.11

b. Pemohon atau kuasa hukum mendatangi Pengadilan Agama (UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama), Kemudian semua gugatan/permohonan harus dibuat secara tertulis, bagi penggugat/pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka gugatan/permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan

11

R. Subekti dan R. Tjirosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradya Paramita, 2004), h. 21


(42)

Agama.12 Sebagimana tertulis dalam HIR pasal 118 ayat 1 dan pasal 142 ayat 1 R.B.g.

c. Gugatan pembatalan perkawinan harus memuat, identitas para pihak yang berperkara, posita (alasan yang berdasarkan fakta dan hukum) dan petitum(tuntutan yang diminta oleh penggugat/pemohon).

d. Penetapan Majlis Hakim e. Pemanggilan

f. Pemerikasaan g. Upaya damai h. Pembuktian i. Putusan hakim j. Biaya perkara

k. Berlakunya putusan hakim, batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan agama mempunyai kekuatan hukum tetap berlaku sejak berlangsungnya perkawinan pasal 28 ayat 1 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

3. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan

Ada beberapa hal yang membuat pernikahan menjadi batal,. pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan pisahnya karena talak. Talak itu ada

12

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 40


(43)

dua, raj’i dan bain. Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami istri dengan seketika, sedangkan bain mengakhiri ikatan seketika itu juga. Adapun fasakh, baik yang terjadi belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat atau rukun yang tidak terpenuhi, maka berakhir perkawinan tersebut seketika itu. Pisahnya suami dengan istri karena Fasakh, hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talak, dansuami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talak.13

Sementara iddah bagi pembatalan perkawinan secara umum tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama berkaitan dengan masalah iddah, golongan Zhahiri tidak mewajibkan iddah bagi perempuan yang dicerai

karena perkawinan fasid (fasakh) meskipun sudah terjadi hubungan (ba’da

dukhul) karena tidak ada dalilnya didalam al-Qur’an ataupun sunnah.14 Sementara ada yang menyatakan istri yang dicerai dengan keputusan fasakh oleh pengadilan tidak dapat dirujuk oleh bekas suaminya, yang apabila menghendaki membina rumah tangga kembali sesudah habis masa iddah.15 Menurut Muhammad Satho Dimyati iddah diwajibkan karena dicerai oleh

13

Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap, h. 314 14

Muhammad Isna Wahyudi, Fiqih Iddah Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009), h. 82

15

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995),c.I, h. 143


(44)

suami (yang pernah digauli qubul atau dubur) baik dengan cara talak atau memfasakhkan nikah.16

Dan demikian pula dalam kitab karangan Imam al-A’zam Abi Hanifah An-Ni’man menjelaskan bahwa iddah merupakan bagian dari perkawinan yang mengharuskan kepada setiap perempuan untuk menjalani

masa iddah baik perceraian karena talak ataupun fasakh (ba’da dukhul). 17

Dan dalam pasal 155 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan,

“Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk,

fasakh dan li’an berlaku iddah talak”.

Adapun masa tunggunya adalah sebagai berikut.18

a. Iddah untuk perempuan yang cerai mati, masanya adalah 4 bulan 10 hari. b. Iddah untuk perempuan yang cerai hidup, masanya adalah 3 quru (suci),

menurut Abu Zahrah dalam kitab al-Akhwal al-Syaksiyah menjelaskan bahwa iddah bagi perempuan yang fasakh perkawinannya yakni

selayaknya iddah talak (tiga kali haid) dengan ketentuan ba’da dukhul.19

c. Iddah untuk perempuan yang belum baligh atau menopose, masanya 3

bulan.

16 Abi Bakri al-Mashur bil Barri Bakri Bin Said Muhammad Satho Dimyati, I’antul Tholibin, (Darul Ibnu Ubud: 1997), cet. I, J. IV, h. 46

17

Imam al-A’zam Abi Hanifah an-Ni’man, al-Ahkam as-Syar’iyyah, (Maktabah wa Mutbi’ah Muhammad ala Shobihi wa Waladihi, 1965), h .49

18

Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fikhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer, (Bandung: Angkasa, 2005), h.171-172

19


(45)

d. Iddah untuk perempuan yang dicerai dalam keadaan hamil, masanya sampai melahirkan.

Dalam pasal 28 Undang-undang Perkawinan No.1 1974 tentang Perkawinan menerangkan:

a. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.

b. Keputuan tidak berlaku surut terhadap:

- Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

- Suami atau istri yang bertindak dengan I’tikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang terlebih dahulu.

- Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan I’tikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 75 keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

a. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad; b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

c. Pihak ketiga sapanjang mereka memperoleh hak-hak denga beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

Demikian pula dalam pasal 76 Kompilasi Hukum Islam menerangkan, Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.


(46)

C. Pengertian Kawin Paksa

Kawin paksa dalam bahasa arab disebut ijbar, kata ijbar berasal dari kata ajbara-yujbiru-ijbaaran.20 Wali mujbir yakni wali nasab yang berhak memaksakan kehendaknya untuk menikahkan calon mempelai perempuan tanpa meminta ijin kepada wanita yang bersangkutan. Hak yang dimiliki oleh wali mujbir disebut dengan hak ijbar.21

Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa kekuasaan sang wali hendaknya bukan untuk menjadikan sebuah tindakan memaksakan kehendaknya sendiri dalam memilih jodoh atas pasangan, tanpa memperhatikan asas kerelaan sang anak. Dalam surat an-Nisa Ayat 19, Allah SWT berfirman:

              

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa”.

Dan sesungguhnya perempuan dewasa tidak boleh dipaksa untuk melangsungkan pernikahan karena hal ini sudah ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Ahmad adalah sebagai berikut:

20

Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, 1984), h. 164

21

Muhammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), Cet. 1, h. 77


(47)

ص ا ْنع

.

م

.

اق

:

ن اتْست تح ْ ا ْح ْت ا

,

ْح ْتا

م اتْست تح بْ ا

22

Artinya:” Tidak boleh dinikahkan perawan sampai dimintai izinnya, dan janda sampai dimintai persetujuannya”

ْع ها ض ْ ْ با ْنع

:

ص ا

.

م

.

اق

:

(

م اتْست تح مُ اا ْح ْت ا

,

ْن اتْست تح ْ ا ْح ْتا

)

اق ؟ا نْ ا فْك ها ْ س ا ا اق

( :

ْت ْست ْنا

)

23

Artinya:” Janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah dimintai pendapat dan

perawan tidak boleh dinikahi kecuali setelah dimintai persetujuannya, para sahabat bertanya: ya Rosulullah, bagaimana persetujuannya? Rasulullah bersabda: diam”

ا ْع ها ْض ْ اصْناا ما خ تْب ء اسْخ ْنع

:

ٌبْث

ا جْ ا ابا ْنا

ك ت ف

ص ها ْ س ْتت اف

.

م

.

ف

ح ا ن

(

ا ا ا

)

24

Artinya: ”Diriwayatkan dari Khansa binti Khidzam al-Anshariyyah r.a. bahwa ayahnya menikahkannya yang ketika itu dia seorang janda dan dia tidak menyukai hal itu, maka beliau membatalkan pernikahannya”

Dari ayat al-Qur’an dan ketiga hadis diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Rasulullah SAW telah menyarankan dalam hal memilih jodoh, hendaknya

22

Muhiyuddin Abdush Shomad, Umat Bertanya Ulama Menjawab Seputar Karir, Pernikahan, dan Keluarga, (Jakarta: Rahima, 2008), h. 115

23

Musthofa Dzaibul Bago, Mukhtashar Shahih al-Bukhari, (Yamamah, 1999), h. 617 24


(48)

jika seorang wali (ayah) ingin mengawinkan anaknya dengan seorang laki-laki pilihannya maka sebaiknya mintalah persetujuan (izin) anaknya terlebih dahulu, karena pada dasarnya setiap orang baik laki-laki ataupun perempuan berhak untuk memutuskan (memilih) pasangan hidupnya masing-masing. Seorang laki-laki sebaiknya mengetahui sebelum mengajukan lamaran terhadap pasangan yang diinginkan agar tidak keliru dalam pilihannya atau salah dalam putusannya sehingga akan merusak perkawinan, dan begitu pula sebaliknya.

Perkawinan dalam Islam hanya dijalani dengan persetujuann bebas (kerelaan) dari kedua belah pihak.25 Dan perlu diingat asas perkawinan adalah adanya kesepakatan antara kedua calon suami dan istri, hal ini sesuai dengan Pasal 28 KUHPer, 26

“ Asas Perkawinan menghendaki adanya kebebasan kata sepakat antara kedua calom suami istri”

Jadi kawin paksa adalah, suatu ikatan perkawinan antara perempuan dan laki-laki yang dilakukan dengan terpaksa (paksaan) tanpa didasari keinginan untuk menikah.

D. Faktor Terjadinya Kawin Paksa

Faktor-faktor terjadinya kawin paksa adalah:

1. Kekeliruan dalam menempatkan hak dan kewajiban orang tua terhadap anak dan anak terhadap orang tuanya.

25

Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1992), h. 16 26


(49)

2. Adanya pemikiran bahwa orang tua hanya akan memberikan yang terbaik bagi anaknya.27

3. Nilai dan norma juga merupakan faktor penyebab adanya kawin paksa, baik agama sebagai sebuah keyakinan maupun budaya yang masih kokoh. Seperti kewajiban orang tua untuk mencarikan pasangan hidup sang anak, begitu juga dengan stigma terhadap perempuan yang tidak laku, telah mendorong orang tua untuk mencarikan sekuat tenaga teman hidupnya.28

4. Dari ketiga alasan diatas ternyata pada kenyataannya kawin paksa itu bisa terjadi karena orang tua yang khawatir pada anaknya lantaran takut anaknya ditinggalkan oleh orang lain (pacarnya) sehingga dapat merugikan orang lain.

E. Pengaruh Kawin Paksa Terhadap Keharmonisan Rumah Tangga

Manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami isteri. Akan tetapi banyak orang tua atau wali yang merusaknya dengan memaksakan kehendak kepada anaknya dengan mengawinkan anaknya secara paksa. Adapun pengaruh kawin paksa terhadap keharmonisan rumah tangga dapat berdampak negatif bagi kedua atau salah satu pihak suami atau istri, dampak negatif tersebut adalah:

1. Tidak dapat mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah

27http://www.Google.com/kawin/paksa, diakses Jum’at, 11 Maret 2011

28

Miftahul Huda, Kawin Paksa, Ijbar Nikah dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, (Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009), h. 78


(50)

Salah satu tujuan dari perkawinan adalah mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, hal ini dapat terwujud jika kedua belah pihak dapat saling cinta dan menyayangi, serta dapat menerima kekurangan dan kelebihan pasangannya. Semua ini tidak dapat diwujudkan jika kedua atau salah satu dari pasangan dipaksa menikah oleh walinya.

Memaksa seorang anak untuk menikah dengan orang yang tidak disukai dan dicintainya merupakan awal rumah tangga yang tidak baik, hal ini dikarenakan cinta tidak bisa dipaksakan, sementara cinta itu sangat penting didalam membangun rumah tangga.29 Dan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 16 ayat 1 dan 2 dijelaskan sebagai berikut:

(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai

(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan

Seorang ayah tidak boleh memaksa puteranya menikah dengan wanita yang tidak disukainya, karena sudah banyak orang yang menyesal dikemudian hari lantaran telah memaksa anaknya menikah dengan wanita yang tidak

disukainya. Hendaknya sang ayah mengatakan “kawinilah ia, karena ia adalah puteri saudara saya” atau karena ia adalah dari margamu sendiri” dan ucapan

29

Miftah Faridl, Masalah Nikah dan Keluarga,(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Cet.1, h. 30


(51)

lainnya, oleh karena itu anak tidak mesti harus menerima tawaran ayah, dan ayah tidak boleh memaksakan kehendaknya supaya ia menikah dengan wanita yang tidak disukainya.30

Jika perkawinan sudah bisa tegak diatas dasar perasaan cinta kasih, maka perkawinan perlu dilepaskan dari segala bentuk campur tangan pihak luar, sebab cinta kasih adalah perasaan yang fitri, dia tidak bisa dipaksa dan bahkan menghilangkannya.31

Dalam masalah perkawinan, kawin paksa sangat berpengaruh besar dalam mewujudkan rumah tangga yang harmonis karena dampak yang akan timbul akan merugikan kedua belah pihak, dan alangkah baiknya jika orang tua ingin menjodohkan anaknya dengan orang pilihannya. Baik laki-laki

ataupun perempuan itu terlebih dahulu dipertemukan (ta’aruf).32

Membina/membangun keluarga yang harmonis bagaikan membuat bangunan yang kokoh, maka dari itu cinta dan kasih sayang sebagai pondasi dari bangunan tersebut, dan bahkan jika perkawinan yang dipaksa itu tetap dilaksanakan, maka akan berdampak perceraian.

2. Tidak dapat memenuhi hak dan kewajiban suami istri dengan baik

30

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Fatwa-fatwa terkini, (Jakarta: Daruk Haq, 2003). h. 426-427

31

Al-Thahir al-Hadad, Wanita-wanita dalam Syariat dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), cet. 4, h. 61

32Hasil Wawancara Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur Jum’at 18 Maret 2011


(52)

Dalam mengatur dan melaksanakan kehidupan suami istri untuk mencapai tujuan perkawinan, maka dari itu agama mengatur hak dan kewajiban mereka masing-masing.33 Didalam perkawinan hak suami adalah kewajiban istri dan hak istri adalah kewajiban suami, oleh sebab itu keduanya harus mengetahui dan memahami posisi masing-masing dalam membina rumah tangga. Untuk memahami hak dan kewajiban suami istri terlebih dahulu harus dipahami bahwa, Islam telah memberikan kepada suami, hak untuk memimpin dalam rumah tangga, dan mengharuskan istrinya untuk mentaatinya.34 Dan istri secara mutlak harus mematuhi semua perintah suami selama perintah tersebut tidak menuju kemaksiatan.35 Akan tetapi ada kewajiban suami yang merupakan hak dari istri yakni, menyayanginya, memberi nafkah dan menjaganya. Dalam pasal 77 Kompilasi Hukum Islam No.2 menjelaskan tentang hak dan kewajiban suami istri yakni, “Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain”.

33

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 126

34

Mahmud ash-Shabbag, Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Yogyakarta: CV.Pustaka Mantiq, 1993), h. 155

35

Imam al-Ghazali, Etika Perkawinan Membentuk Keluarga Bahagia, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), h. 112


(53)

Jika suami istri dapat menjalankan tanggung jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah ketenangan dan kebahagian, sehingga dapat sempurnalah kehidupan berumah tangga. Oleh sebab itu, jika pasangan suami istri menikah secara terpaksa maka keduanya tidak dapat menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing karena katerpaksaan tersebut hanya dapat memicu pertengkaran yang akhirnya terjadi perceraian.

3. Tidak dapat menjalankan perintah Allah SWT dan Rasul SAW sesuai dengan syariat Islam

Hukum Islam disyariatkan oleh Allah SWT dengan tujuan utama, yakni merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia, baik kemaslahatan individu maupun masyarakat. 36 Perkawinan merupakan salah satu perintah Allah SWT dan sunnah Rasul, oleh karena itu perkawinan merupakan ibadah jika dilaksanakan dengan niat baik dan mengharapkan ridha Allah SWT, dengan adanya kawin paksa dikhawatirkan ibadah dari perkawinan itu tidak ada.

Dalam Islam ada istilah ibadah ritual yang sifatnya mengikat tapi tidak memaksa, maksudnya adalah ikatan yang timbul dari rasa ikhlas dan ridha antara manusia, dan perkawinan termasuk didalamnya.37 Setiap melakukan

36

Said Agil Husin al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani, 2004), h. 9

37

Rafy Safuri, Psikologi Islam (Tuntutan Jiwa Manusia Modern), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009), h. 62


(54)

sesuatu (nikah) hendaknya disertai dengan niat baik dan ibadah juga disertai dengan keikhlasan, karena tanpa itu semua pekerjaan yang dilakukan akan sia-sia, berdampak buruk bagi orang lain dan dibenci oleh Allah SWT. Islam tidak menganjurkan pernikahan yang diniati untuk menyakiti karena pernikahan yang dilakukan lantaran paksaan hanya dapat menyakiti perasaan orang lain, dan hal ini tidak diperkenankan dalam syariat Islam. Mencintai seseorang karena Allah SWT dan Rasul SAW akan mendatangkan berkah dan kebahagian yang tiada tara.

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, kebahagiaan itu akan terasa mudah didapati jika diniati dengan baik dan tidak merugikan orang lain. Disamping itu pula pernikahan ibarat bangunan yang pondasinya itu berupa cinta dan kasih sayang, bangunan itu tidak akan roboh jika pondasinya kokoh. Sementara rumah tangga ibarat orang-orang yang sedang shalat berjamaah karena didalamnya adanya imam dan makmum ibarat suami dan istri, suami sebagai pemimpin yang selalu mengarahkan sang istri menuju kebaikan dan istri menuruti perintahnya dengan penuh ketaatan. Dan keharmonisan akan terwujud jika keduanya menikah diniati dengan mengharapkan ridha Allah SWT dan Rasul-Nya.


(55)

47

PERKAWINAN KARENA KAWIN PAKSA DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR

A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Timur

Sejarah Pengadilan Agama Kelas 1A Jakarta Timur adalah hasil prakarsa Menteri Agama RI sebagaimana tersebut dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor 67 Tahun 1963 dan Nomor 4 Tahun 1967, berdasarkan Keputusan Menteri Agama Peradilan Agama Jakarta dan diadakan perubahan kantor-kantor cabang Pengadilan Agama dari 2 kantor cabang menjadi 4 kantor cabang, antara lain :

1. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur 2. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan 3. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat 4. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Pusat

Wilayah kekuasaan hukum (yuridiksi) Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah wilayah daerah Kotamadya Jakarta Timur yang terdiri dari 10 (sepuluh) kecamatan dan 65 kelurahan.1

Adapun batas-batas wilayahnya adalah :

1. Sebelah utara dengan : Kodya Jakarta Utara dan Kodya Jakarta Pusat.

1


(56)

2. Sebelah barat dengan : Kodya Jakarta Selatan.

3. Sebelah selatan dengan : Kabupaten Bogor /Kodya Depok. 4. Sebelah timur dengan : Kabupaten Bekasi/Kota Bekasi. 2

B. Struktur Organisasi

Adapun struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah sebagai berikut:

 KETUA

Drs. H. Wakhidun AR., SH, M, Hum

 WAKIL KETUA

Drs. H. Muh. Abduh Sulaeman., SH. MH

 MAJELIS HAKIM

1. Hj. Munifah Djam’an, SH

2. Dra. Hj. Saniyah. KH

3. Dra. Nur’aini Saladdin, SH

4. Dra. Haulillah, MH

5. Drs. H. Fauzi M. Nawawi, MH 6. Hj. Yustimar B., SH

7.Dra. Nurroh Sunah, SH 8.H. Abdillah, SH., MH.

9.Drs. H. Abd. Ghoni, SH, MH. (MARI)

2


(57)

10. Drs. H. Nemin Aminuddin, SH., MH 11. Drs. H. Achmad Busyro, MH. 12. Elvin Nailana, SH., MH. 13. Drs. N a s r u l , MA 14. Drs. Sultoni, MH.

15. Drs. Amril Mawardi, SH.

16. Drs. H. M. Syamri Adnan, SH, MHI 17. Drs. Yayan Atmaja, SH (MARI)

 PANITERA/ SEKERTARIS

Drs. H. Ujang Mukhlis., SH., MH

 WAKIL PANITRA

H. Hafani Baihaqi, Lc, SH

 PANITERA MUDA HUKUM

Pahrurrozi, SH 1. H. Mubarok, SHI 2. Kemas M. Irfan, SE

 PANITERA MUDA GUGATAN

Ali Mustofa, SH

1. Darul Fadli, SHI, MA 2. Zuhairi B. Ashbahi, SHI


(58)

 PANITERA MUDA PERMOHONAN H. Bangbang SP, SH, SP.I, MH

1. Siti Mahbubah, S.Ag

2. Sri Komalasari

3. R. Desy Puspasari, A.Md

4. Monika Septi Indriyani, A.Md

 WAKIL SEKERTARIS

Hj. Siti Waingah, S.Pd.I

 KA. SUB. BAGIAN UMUM

Muhammad Zuhri 1. Sutini, S.Ag 2. Muhammad Arsyi 3. Rd. Yadi Sumiadi W.

 KA. SUB. BAGIAN KEPEGAWAIAN

Hamim Naf’an, SHI

 KA. SUB. BAGIAN KEUANGAN

Dewi Utari, SE

1. Sanjaya Langgeng. S 2. Achmad Mubarok, SHI

 PANITERA PENGGANTI

1. Drs. Ade Faqih 11. Mastanah, SH


(1)

Wawancara

Dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa

Nama Hakim : Drs. H. Fauzi M Nawawi

Tempat : Pengadilan Agama Jakarta Timur Hari/Tanggal : Senin, 20 Juni 2011

1. Menurut Bapak apa yang dimaksud dengan Pembatalan Perkawinan?

- Pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang dibatalkan apabila salah satu pihak ada yang merasa dirugikan baik itu dari pihak suami ataupun istri, seperti suami beristri lebih dari satu dan perkawinan yang kedua itu tidak memperoleh izin dari istri pertama (pengadilan), atau salah satu rukun dan syarat perkawinan itu tidak terpenuhi atau perkawinan tersebut tidak mendapat izin dari orang tua misalnya anak dibawah umur. Dan semua itu tertera dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 70- 76 dan Undang-Undang 1 Tahun 1974 Pasal 22-28.

2. Apa yang menjadi kendala Bapak dalam menangangi perkara pembatalan perkawinan?

- Adanya ketidak sesuaian status, misalnya pada perkara pembatalan dikarenakan suami melakukan poligami, yang status suami tersebut adalah sudah beristri tapi ada fakta lain yang menyebutkan bahwa suami


(2)

itu masih jejaka sehingga perkawinan itu disahkan di KUA, dan adanya kesulitan untuk memutuskan perkara lantaran hati nurani merasa tidak tega jika harus membatalkan perkawinan tersebut karena melihat nasib status anaknya, disatu sisi harus membatalkan perkawinan tersebut, tapi disisi lain ada yang dirugikan, dan kendala yang lain berupa Pihak yang bersangkutan itu tidak datang sehingga mempersulit jalanya persidangan. 3. Apakah ada mediasi pada perkara pembatalan perkawinan?

- Ada karena setiap perkara yang masuk ke Pengadilan Agama itu harus ditempuh mediasi terlebih dahulu sesuai dengan Perma 1 Tahun 2008 4. Bagaimana cara Bapak membuktikan pembatalan perkawinan karena suami

menikah dengan cara dipaksa?

- Pembuktiannya itu berupa adanya saksi-saksi yang disumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan sehingga dapat dibuktikan bahwa Pemohon merasa dipaksa untuk melakukan perkawinan tersebut. 5. Apakah ada masa iddah bagi wanita yang telah dibatalkan perkawinannya

oleh laki-laki?

- Tidak ada karena iddah itu akan ada jika perkawinan tersebut dianggap ada, akan tetapi pada perkara pembatalan, perkawinan tersebut dibatalkan dan dianggap tidak pernah terjadi.


(3)

6. Menurut Bapak seberapa besar pengaruh kawin paksa dalam keharmonisan rumah tangga?

- Pengaruhnya sangat besar, karena menyatukan kedua hati yang tidak mencintai kemudian dipaksa kawin itu berdampak negatif untuk keduanya, karena perkawinan yang dilakukan atas dasar suka sama suka saja sering ada pertengkaran, apalagi atas dasar keterpaksaan.

7. Menurut Bapak, Apakah kawin paksa itu bisa disebut dengan mengambil hak asasi manusia untuk memilih jodoh?

- ya, karena pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk memilih pasangan hidupnya masing-masing dan jika orang tua ingin menjodohkan alangkah baiknya jika ditempuh dengan jalan ta’aruf terlebih dahulu. 8. Bagaimana prosedur untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan

di Pengadilan Agama Jakarta Timur?

- Prosedur pengajuan perkara pembatalan perkawinan sama dengan halnya perceraian pada umumnya.

9. Bagaimana menurut Bapak, Dalam Kompilasi Hukum Islam tertera mengenai pembatalan dapat dilakukan lantaran kawin paksa pasal 71 (f) sedangkan


(4)

10.dalam itu tidak tertera, bagaimana memutuskan perkara tersebut?

- Meskipun tidak tertera dalam Undang-undang 1 Tahun 1974 tentang pembatalan dapat dilakukan apabila perkawinan dilakukan dengan paksa akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam itu semua tertera dan kami mengambil keputusan tersebut merujuk pada hukum yang telah tertera didalamnya.

Hakim Anggota


(5)

HASIL WAWANCARA PEMOHON

SUMBER : Temmy Bin Tomi (samaran)

TANGGAL : 20 Juni 2011

LOKASI : Kediaman Pemohon

1. Mengapa anda ingin membatalkan perkawinan anda? Jawaban:

Karena saya mengawini T dengan keadaan terpaksa dan saya mengawininya hanya untuk menutupi aib dia lantaran dia telah berbadan dua dengan orang lain sehingga saya dipaksa kawin dan saya juga merasa terancam nyawa saya jikalau saya tidak mau menuruti keinginan pihak T, mungkin pada awalnya saya memang pernah pacaran dengan T tapi saya sudah putus lama akan tetapi orang tuanya ataupun keluarganya bahkan masyarat dilingkungan rumahnya hanya mengetahui bahwa T hanya dekat dengan saya sehingga sayalah yang diharuskan untuk menikahinya.

2. Kenapa anda tidak mencoba untuk melawan ancaman dan paksaan dari pihak T dengan cara melaporkan ke polisi?

Jawaban:

Mengenai melapor atau tidaknya saya ke polisi, jujur pada waktu itu saya melarikan diri dari rumah dan keluarga saya karena saya malu dan takut. Sebenarnya yang mengurusi semua hal selama saya kabur adalah kakak saya,


(6)

dan pada waktu itu saya dapat kabar bahwa rumah yang saya tinggalipun sudah tidak aman karena banyak pansus yang mengawasi dan menunggu kedatangan saya maka dari itu kakak saya tidak memilih untuk melorkan ke polisi karena tidak mau proses yang lama dan membuang waktu sehingga kakak saya menemui pihak keluarga T dan berbicara secara baik-baik. Dan akhirnya niat baik itu membuahkan hasil pihak T setuju kalau perkawinan saya dan T harus dibatalkan dengan syarat keluarga saya mengganti semua kerugian yang dikeluarkan mulai dari biaya perkawinan sampai dengan menyewa pansus.

3. Apakah benar bayi yang dikandung itu bukan anak anda? Jawaban:

Benar 100% karena saya belum pernah melakukan hal itu dengan T dan sebenarnya saya mempunyai kekurangan yang seharusnya dimiliki oleh laki-laki yakni saya mempunyai kekurangan di organ vital saya karena saya kurang mengkonsumsi seafood dan itu semua saya ketahui setelah saya menikah dan susah untuk memiliki anak. Dari hal itu saya dapat dibuktikan bagaimana saya dapat membuahi T kalau saya mempunyai kekurangan seperti itu.