Perspektif Undang-Undang Perkawinan Pembatalan perkawinan karena poligami liar (analisa yurisprudensi perkara Nomor 416/Pdt.G/1995/PA.Smd)

2. Perspektif Undang-Undang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan. Undang-Undang Perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan. Di dalam BAB II pasal 6 dijelaskan bahwa syarat-syarat perkawinan adalah: 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 3. Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka 6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan , Jakarta: Prenada Media, Agustus 2007, cet.ke 2.h.62 tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 dalam pasal ini. 6. Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Jika kita melihat pada pasal di atas, maka kita hanya menemukan bahwa ternyata Undang-Undang Perkawinan melihat persyaratan perkawinan itu hanya menyangkut persetujuan kedua calon dan batasan umur serta tidak adanya halangan perkawinan antara kedua calon mempelai tersebut. Ketiga hal ini sangat menentukan untuk pencapaian tujuan perkawinan itu sendiri. Persetujuan kedua calon mempelai meniscayakan perkawinan itu tidak didasari oleh paksaan. Syarat ini setidaknya mengisyaratkan adanya emansipasi wanita sehingga setiap wanita dapat dengan bebas menentukan pilihannya siapa yang paling cocok dan maslahat sebagai suaminya. 7 Selanjutnya tentang usia, hal ini sebenarnya sesuai dengan prinsip perkawinan yang menyatakan bahwa calon suami dan isteri harus telah masak jiwa dan raganya. Tujuannya adalah agar tujuan perkawinan untuk menciptakan keluarga yang kekal dan bahagia secara baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat dapat diwujudkan. Kebalikannya perkawinan di bawah umur atau yang sering diistilahkan dengan perkawinan dini 7 Ibid, Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, h.69 seperti yang telah ditentukan oleh undang-undang semestinya dihindari karena membawa efek yang kurang baik, terutama bagi pribadi yang melaksanakannya. 3. Perspektif Kompilasi Hukum Islam Berbeda dengan apa yang termaktub dalam Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dalam membahas rukun perkawinan tampaknya mengikuti sistematika fikih yang mengkaitkan rukun dan syarat. Hal Ini bisa di lihat dalam pasal 14. Walaupun KHI menjelaskan lima rukun perkawinan sebagaimana fikih, akan tetapi ternyata dalam uraian persyaratannya KHI mengikuti Undang-Undang Perkawinan yang melihat syarat hanya berkenaan dengan persetujuan kedua calon mempelai dan batasan umur. Ada beberapa hal yang patut kita cermati dalam KHI yaitu pada pasal-pasal berikutnya juga dibahas tentang wali pasal 19, saksi pasal 24, akad nikah pasal 27, namun sistematikanya diletakkan pada bagian yang terpisah dari pembahasan rukun. Sampai di sini, KHI tidak mengikuti skema fikih, juga tidak mengikuti Undang-Undang Perkawinan yang hanya membahas persyaratan perkawinan menyangkut kedua calon mempelai. Sedangkan wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita, hal tersebut sesuai dengan pasal 19 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.” Adapun yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan balig. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 20 Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan Pasal 21 mengatur mengenai wali nasab yang terdiri dari empat kelompok dimana pelaksanaannya harus sesuai dengan urutan berikut, Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. 8 Syarat-syarat perkawinan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perkawinan sangat berbeda dengan fikih Islam baik skema maupun materinya 9 . Undang-Undang Perkawinan tetap memfokuskan syarat perkawinan pada kedua calon mempelai. Jadi sahnya suatu perkawinan terletak pada mereka berdua. Sebenarnya pergeseran yang terjadi dari konsep-konsep fikih ke Undang- Undang Perkawinan dan KHI bisa dikatakan tidak terlalu signifikan. Hanya saja dalam beberapa hal, Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam memberikan penegasan terhadap konsep-konsep fikih seperti menyangkut batasan umur yang tidak di atur di dalam kitab-kitab fikih. Dengan adanya penyesuaian antara pandangan fikih terhadap kultur budaya masyarakat Indonesia, maka diharapkan adanya suatu penetapan aturan yang 8 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Peraturan Perundang- Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama , Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2001.h. 9 Ibid, Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, h.74. dapat berjalan dengan efektif karena tidak adanya aturan yang secara signifikan berbenturan dengan adat masyarakat sebagai objek dari suatu aturan.

B. POLIGAMI

1. Pengertian dan Dasar Hukum