Otentikasi hadis-hadis di atas

Boleh saya ambil air ini? Kemudian ia menggiring untanya untuk minum. Ternyata lelaki itu adalah Rasulullah saw. Maka kami mengatakan: Sungguh, silahkan Lalu ia menundukkan untanya dan unta itupun minum dan menyisakan sedikit air. Kemudian Jabir Ibn Abdullah melanjutkan ceritanya kepada kami: Kemudian beliau mendekat dan mendudukkan untanya di hamparan pasir bagian sungai yang tidak berair batha’ di al-‘Arj. Kemudian beliau pergi untuk suatu keperluan, sementara aku menuangkan air wuduknya. Lalu kemudian beliau berwuduk, kemudian memakai kain pingangnya, lalu aku berdiri di sebelah kirinya dan beliau memindahkanku ke sebalah kanannya. Kemudian datang orang lain dan berdiri di sebelah kirinya, maka Rasulullah saw maju ke muka sambil shalat, dan kami salat bersamanya tiga belas rakaat dengan witir [HR Ibnu Khuzaimah, III: 87-88, hadis no. 1674]. Sedangkan ath-Thabarani juga meriwayatkan hadis ini tetapi dengan versi amat pendek sebagai berikut: راسي نع تمقف يلصي ملسو هيلع ها ىلص ها لوسر ماق لاق رباج نع ها لوسر مدقتف راسي نع ماقف رخص نب رابج ىتأ ُ ه يَ نع ِلوحف هفلخ ا مقف ملسو هيلع ها ىلص . ديزي نب دلاخ نع ثيدحا اذه وري م ةعيه نبا اإ [ يرطلا اور ] Artinya: Dari Jabir diwartakan bahwa ia berkata: Rasulullah saw berdiri shalat, maka aku berdiri di sebelah kirinya, maka ia memindahkanku ke sebelah kanannya. Kemudian Jabbar Ibn Shakhr datang dan berdiri di kirinya, maka Rasulullah saw maju sehingga kami berada di belakangnya. Hanya Ibnu Lahi‘ah saja yang meriwayatkan hadis ini dari Khalid [HR ath- Thabrani, al- Mu‘jam al-Ausath, VIII: 375, hadis no. 8918]. At-Turmudzi meriwayatkan hadis versi lain pendek yang juga digunakan untuk menjadi dasar imam maju ke muka, sebagai berikut: ًةَثَاَث اُّك اَذِإ َمّلَسَو ِهْيَلَع ُهّللا ىّلَص ِهّللا ُلوُسَر اَنَرَمَأ َلاَق ٍبَدُْج ِنْب َةَرََُ ْنَع اَنُدَحَأ اََمّدَقَ تَ ي ْنَأ [ يذمرلا اور . ] Artinya: Dari Samurah Ibn Jundab diriwayatkan bahwa ia berkata: Rasulullah saw menyuruh kami, apabila ada tiga orang, agar salah seorang maju ke muka [HR. at-Turmudzi].

3. Otentikasi hadis-hadis di atas

Bagimana kesahihan hadis-hadis di atas? Dengan mengikuti prosedur penelitian hadis, seperti dikemukakan terdahulu, dapat dikatakan bahwa hadis Muslim sahih sanadnya. Rangkaian rawi dalam sanad Muslim adalah: Muslim – Harun dan Muhammad – Hatim – Ya‘qub Ibn Mujahid – ‘Ubadah Ibn al-Walid – Jabir yang merupakan Sahabat yang menjadi sumber hadis ini. Setelah melakukan proses penelitian dengan langkah-langkah seperti disebutkan pada permulaan tulisan ini diperoleh data bahwa semua rawi dalam sanad Muslim di atas adalah terpercaya tsiqah, sanadnya sendiri muttasil bersambung dan marfuk sampai kepada Nabi saw. Hanya saja perlu dijelaskan bahwa tentang Hatim Ibn Isma‘il dalam sanad tersebut ada pernyataan an- Nasa‘i bahwa dia daif. Akan tetapi ahli-ahli hadis lain menyatakannya tsiqah terpercaya. Ia adalah rawi yang dipakai oleh jamaah ahli hadis, khususnya ahli hadis yang enam termasuk al- Bukhari dan Muslim. Ibn Sa‘ad w. 230844 menegaskan: ia adalah seorang terpercaya dan dapat dihandalkan tsiqah ma‘mun [At-Thabaqat al-Kubra, V: 425]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam daftar rawi terpercaya [ats-Tsiqat, VIII: 210-211]. Al- ‘Ijli w. 261875 dan Ibnu Ma‘in w. 233847 menyatakannya terpercaya tsiqah. Ia berasal dari Kufah, kemudian pindah dan tinggal di Madinah. Ia meninggal tahun 186802 atau 187803. Ibnu Hajar w. 8521449 ada menyatakan, “Saya membaca pada tulisan adz-Dzahabi dalam al-Mizan bahwa an- Nasa‘i mengatakan: Hatim tidak kuat laisa bil-qawi [at-Tahdzib, II: 110]. Setelah dicek dalam al-Mizan memang adz-Dzahabi w. 7481348 menegaskan sebagai berikut: Hatim Ibn Isma‘il – rawi yang dipakai al-Bukhari dan Muslim, orang Madinah – adalah terpercaya dan masyhur lagi jujur shaduq; an- Nasa‘i mengatakan: tidak kuat laisa bil-qawi; sejumlah ahli hadis menyatakannya terpercaya; Ahamd mengatakan: mereka menganggap padanya ada sedikit kealpaan fihi ghaflah [Mizan al- I‘tidal, II: 162]. Benarkah an- Nasa’i mengatakan Hatim laisa bil-qawi seperti ditegaskan oleh adz- Dzahabi? Dari pelacakan terhadap kitab-kitab karya an- Nasa’i tidak ditemukan pernyataan semacam itu. Bahkan dalam karyanya Kitab adl- Dlu‘afa’ wa al-Matrukin tempat di mana an- Nasa’i mendaftar nama-nama rawi daif, an-Nasa’i tidak membuat entri nama Hatim Ibn Isma‘il. Hatim Ibn Isma‘il hanya disebut dua kali di bawah entri nama lain, yaitu entri ke-143 [I: 33] dan entri ke-670 [I:116] sebagai berikut: 040 - يوقلاب سيل ليعاَإ نب َاح ه ع يوري رخص نب ديم 073 - يوقلاب سيل ليعاَإ نب َاح ه ع يوري طابسأا وبأ 143- Humaid Ibn Shakhr, yang meriwayatkan hadis darinya adalah Hatim Ibn Isma‘il, tidak kuat laisa bil-qawi; 670- Abu al- Asbath, yang meriwayatkan hadis darinya adalah Hatim Ibn Isma‘il, tidak kuat laisa bil- qawi. Hanya pada dua tempat ini saja an- Nasa’i menyebut nama Hatim dalam Kitab adl-Dlu‘afa wa al-Matrukin. Jelas dari dua pernyataan an- Nasa’i di atas bahwa yang didaifkan bukan Hatim Ibn Isma‘il, melainkan nama yang menjadi entri kitab, yaitu Humaid dan Abu al-Asbath. Walhasil tidak dapat dibuktikan bahwa an- Nasa’i mendaifkan Hatim. Bahkan an-Nasa’i sendiri dalam dua kitab hadisnya, yaitu Sunan al-Mujtaba yang lebih dikenal dengan Sunan an- Nasa’i dan as-Sunan al-Kubra menggunakan Hatim Ibn Isma’il sebagai rawi dalam sanad-sanad hadisnya. Seandainya an- Nasa’i memang mendaifkannya, maka di sisi lain lebih banyak kritikus hadis menyatakannya terpercaya. Dalam hal seperti ini, suatu pernyaaan daif harus dijelaskan sebab kedaifannya. Jika tidak, maka didahulukan pernyataan yang mentsiqahkan. Berhubung tidak ada penjelasan mengapa ia didaifkan, maka dipegangi pendapat yang mentsiqahkan Hatim, yang memang jumlahnya lebih banyak. Sedangkan pernyataan Ahmad bahwa fihi ghaflah ada sedikit kealpaan tidak menjadi unsur pencacat. Yang menjadi unsur pencacat adalah fahsyul- ghalath keliru mencolok dan katsratul ghaflah banyak kealpaan. Adapun sesekali keliru atau terkadang lengah adalah hal yang manusiawi dan ada pada setiap orang. Atas dasar itu, maka Hatim Ibn Isma‘il dipandang sebagai rawi yang terpercaya seperti dinyatakan oleh banyak ahli hadis. Oleh karena itu hadis Muslim yang dikutip di atas adalah sahih sanadnya dan ini sesuai dengan pernyataan al-Hakim bahwa hadis ini sahih. Adapun dua hadis Ibnu Khuzaimah di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Sanadnya adalah: Ibnu Khuzaimah – Yunus Ibn ‘Abd al-A‘la – Yahya Ibn ‘Abdullah Ibn Bukair – al-Lais Ibn Sa‘ad – Khalid Ibn Yazid – Sa‘id Ibn Abi Hilal – ‘Amr Ibn Sa‘id [dalam hadis kedua ‘Amr Ibn Abi Sa‘id] – Jabir, yaitu Sahabat yang menjadi sumber hadis. Perlu diperhatikan pada hadis kedua dari Ibn Khuzaimah sanadnya bukan ‘Amr Ibn Sa‘id, melainkan ‘Amr Ibn Abi Sa‘id. Setelah biografi para rawi dalam sanad ini diteliti secara keseluruhan ditemukan data sebagai berikut. Pertama bahwa sanad Ibn Khuzaimah memuat rawi bernama Sa‘id Ibn Abi Hilal. Terdapat penilaian yang berlawanan tentang dirinya. Kebanyakan ahli hadis menyatakannya sebagai rawi yang dapat diterima. Abu Hatim w. 277890, Ibn Sa‘ad w. 244848, dan as-Saji w. 309920, menyatakannya sebagai rawi tsiqah terpercaya. Begitu pula al- ‘Ijli w. 261875, Ibn Khuzaimah w. 311923, ad-Daraqutni w. 385995, al-Baihaqi w. 4581066, dan al-Khathib al-Baghdadi w. 4631071 semuanya mentsiqahkannya. Akan tetapi Imam Ahmad w. 241855 dan Ibn Hazm w. 4561062 mendaifkannya. Imam Ahmad mengatakan: Saya tidak mengerti hadis macam apa hadisnya, ia melakukan kekacauan dalam hadis [at-Tuhfah al-Lathiah, I: 407]. Jadi alasan Ahmad mendaifkannya karena ia melakukan kekacauan at-takhlith dalam hads-hadis. Al- A‘zhami yang mentahqiq kitab Shahih Ibn Khuzaimah membuat catatan yang menunjukkan keraguannya tentang kesahihan hadis ini. Ia mengatakan: Sanadnya sahih, kecuali Sa‘id, ia mengalami kekacauan [Catatan kaki dalam Shahih Ibn Khuzaimah, III: 18]. Untuk hadis nomor 1674 ia mengutip catatan al-Albani: Rijal sanad ini terpercaya, kecuali ‘Amr Ibn Abi Sa‘id, tidak saya kenali, di samping itu Sa‘id Ibn Abi Hilal mengalami kekacauan ikhtalatha [III: 87, catatan kaki]. Sanad hadis Ibnu Khuzaimah ini memang problematik. Problemnya, di samping ada rawi yang dipertentangkan ketsiqaha nnya, juga adanya kekacauan nama rawi dari siapa Sa‘id Ibn Abi Hilal menerima hadis. Apakah dia adalah ‘Amr Ibn Sa‘id seperti tertera dalam sanad hadis nomor 1536 atau ‘Amr Ibn Abi Sa‘id seperti pada sanad hadis nomor 1674, yang keduanya adalah hadis yang sama dengan sanad yang sama. Bahkan al-Bukhari [at-Tarikh al-Kabir, V: 338] dan Ibnu Abi Hatim [al-Jarh wa at- Ta‘dil, VI: 271] menyebut namanya ‘Amr Abu Sa‘id Ibn diganti Abu. Siapakah gerangan rawi ini? Apabila ia adalah ‘Amr Ibn Sa‘id, maka ada tiga ke mungkinan. Pertama, ‘Amr Ibn Sa‘id Ibn a-‘Ash Abu Umayyah al-Ansari, mantan gubernur Madinah untuk Muawiyah dan Yazid. Ia meninggal tahun 69688 atau tahun 70689, seorang rawi hadis terpercaya. Kalau memang inilah dia, berarti sanad ini terputus dan karena itu daif, sebab Sa‘id Ibn Abi Hilal yang menerima hadis darinya lahir di Mesir tahun 70689 sehingga tidak ada muasarah dan tidak mungkin bertemu liqa’ dengan ‘Amr Ibn Sa‘d Abu Umayyah. Kemungkinan kedua ia adalah ‘Amr Ibn Sa‘id al-Khaulani, maka ini adalah rawi lemah “yang tidak halal menulisnya dalam buku”, begitu ia dideskripsikan. Kalau ia adalah rawi ini, maka sanad hadis ini berarti daif. Kemungkinan ketiga ialah bahwa ia adalah ‘Amr Ibn Sa‘id Abu Sa‘id al-Qurasyi ats-Tsaqafi, seorang Tabiin, rawi terpercaya. Namun tidak ada petunjuk yang meyakinkan bahwa rawi kita ini adalah ‘Amr ats-Tsaqafi ini. Dalam buku-buku biografi isyarat malah mengarah kepada Abu Umayyah di atas. Dalam Tahdzib al-Kamal disebutkan bahwa Sa‘id Ibn Abi Hilal meriwayatkan hadis dari Abu Umayyah dan tidak menyebut-nyebut ‘Amr ats-Tsaqafi. Kitab Tarikh Madinah Dimasyq yang memuat riwayat hidup ats-Tsaqafi secara panjang tidak memberikan isyarat bahwa di antara orang yang meriwayatkan hadisnya adalah Sa‘id Ibn Abi Hilal. Selanjutnya apabila rawi kita ini adalah ‘Amr Ibn Abi Sa‘id, maka nama ini sama sekali tidak tercatat dalam kitab-kitab rijal hadis, dan berarti ia adalah majhul. Kalau ia adalah ‘Amr Abu Sa‘id, maka keterangan tentang ‘Amr Abu Sa‘id ini juga tidak ada. Abu Hatim hanya menyatakan singkat: “‘Amr Abu Sa‘id meriwayatkan hadis dari Jabir; yang meriwayatkan hadis darinya adalah Sa‘id Ibn Abi Hilal” [al-Jarh wa at-Ta‘dil, VI: 271], tanpa ada keterangan tentang identitas dan kualifikasinya sebagai rawi hadis. Adapun hadis singkat ath-Thabarani sanadnya adalah: ath-Thabarani – Miqdam – Asad Ibn Musa – Ibn Lahi‘ah – Khalid Ibn Yazid – Abu az-Zubair – Jabir yang merupakan Sahabat yang menjadi sumber hadis tersebut. Setelah melakukan pelacakan terhadap rawi-rawi yang merangkai sanad ini ditemukan hal- hal sebagai berikut ini. Pertama dalam sanad itu ada nama Miqdam. Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr Miqdam Ibn Dawud Ibn ‘Isa Ibn Talid al-Ra‘ini al-Misri. Para biografer yang dirujuk sejauh ini tidak mencatat kelahiranya, namun disebutkan wafatnya tahun 283896 [al-Mizan, VI: 507. Lisan al-Mizan, VI: 84]. Ia adalah fakih dan mufti, namun dari segi periwayatan hadis ia dinilai lemah. An- Nasa‘i menyatakannya tidak tsiqah. Ibnu Yunus mengatakan: ia menjadi omongan takallamu fih. Muhammad Ibn Yusuf al-Kindi mengatakan: ia adalah fakih dan mufti yang riwayat hadisnya tidak terpuji. Abu al- ‘Abbas Ibn Dilhats mendaifkannya [adz-Dzahabi, Tarikh, XXI: 309]. Dalam al-Kasyf al-Hatsits, kitab yang menghimpun nama-nama rawi yang tertuduh memalsukan hadis, ada isyarat bahwa Miqdam tertuduh meriwayatkan hadis mauduk [I: 261]. Kemudian hal kedua yang perlu dicatat adalah bahwa dalam sanad ini terdapat pula Ibnu Lahi‘ah yang juga dinilai lemah oleh banyak ahli hadis, tetapi ada yang menilainya diterima. Al- Bukhari mencatat nama lengkapnya sebagai ‘Abdullah Ibn Lahi‘ah Ibn ‘Uqbah Abu ‘Abdur- Rahman al-Hadlrami [at-Tarikh al-Ausath, II: 207]. Ia adalah hakim Mesir, diangkat tahun 155772 oleh Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur dengan gaji 30 dinar Rp. 12.750.000,- per bulan. Lahir tahun 97717 dan tahun 170786 rumah dan buku-bukunya terbakar dan pada tahun 174790 ia meninggal [Tadzkirah a-Huffazh, I: 239]. Yahya al-Qattan menilainya sebagai rawi tidak ada apa-apanya laisa bi sayai’. ‘Abdur-Rahman Ibn Mahdi menyatakan: Jangan meriwayatkan hadis darinya sedikit ataupun banyak. Ahmad Ibnu Hanbal mendaifkannya. Yahya Ibnu Ma‘in pernah ditanya tentang riwayat Ibnu Lahi‘ah dari Abu az-Zubair, dia menjawab: Ibnu Lahi‘ah lemah hadisnya. Abu Zur‘ah menilainya sebagai rawi yang tidak dabit dan hadisnya tidak dapat menjadi hujjah [al-Jarh wa at- Ta‘dil, V: 145]. Ahmad Ibn Hanbal cenderung menerima. Jadi hadis ath-Thabarani ini juga daif karena di dalamnya ada rawi yang disepakati lemah, yaitu Miqdam, dan diperselisihkan, tetapi lebih banyak yang menyatakannya lemah, yaitu Ibnu Lahi‘ah. Atas dasar apa yang dikemukakan di atas terlihat bahwa hadis-hadis tentang imam maju ke muka apabila ada orang masuk ke dalam jamaah yang makmumnya satu orang adalah lemah dan tidak bisa menjadi hujjah. Apakah tidak mungkin bahwa hadis-hadis yang dibicarakan di atas bercerita tentang kisah pada waktu yang berlainan, dalam arti suatu kali Rasulullah saw memundurkan jamaah satu orang di sampingnya ketika ada orang lain masuk seperti riwayat Muslim, dan pada ketika yang lain beliau maju ke muka seperti dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dan ath-Thabarani? Apabila dilihat keseluruhan hadis itu, ternyata semuanya sesungguhnya berbicara tentang kisah yang sama dengan variasi matan yang berbeda bahkan bertentangan. Dengan kata lain hadis Ibnu khuzaimah dan ath-Thabarani adalah varian dari hadis Muslim dkk. Hal ini tampak jelas dengan membaca hadis Ibnu Khuzaimah versi yang lebih panjang, yang detailnya mirip dengan hadis Muslim dkk. Mata air tempat Jabir dan Shakhr mengambil air dan kemudian Rasulullah shalat di situ adalah Mata Air al-Utsayah, yang terletak pada rute perjalanan Madinah – Mekah setelah melewati Zulhulaifah. Berhubung dalam satu peristiwa yang mengisahkan kisah yang sama terdapat episode yang mengandung detail yang bertentangan, yaitu di satu sisi dinyatakan Rasulullah mendorong Jabir dan Shakhr agar mundur ke belakang, dan di sisi lain Rasulullah yang maju ke muka, maka berarti dalam hadis-hadis ini ada pertentangan matan. Manakah yang mahfuz dan mana yang syazz. Hasil kajian memperlihatkan bahwa hadis Muslim mahfuz dan karena itu hadis Ibnu Khuzaimah dipandang syazz karena sanad Muslim lebih kuat dan lebih banyak rawi yang meriwayatkan dengan matan yang menyatakan Nabi saw mendorong Jabir dan Shakhr agar mundur ke belakang. Ibnu ‘Abdil-Barr juga mengatakan bahwa hadis Jabir melalui ‘Ubadah ini adalah mahfuz [at-Tamhid, XXIV: 271]. Oleh karena itu hadis Ibnu Khuzaimah dan ath- Thabarani harus ditolak karena ada kekacauan sanad dan bertentangan dengan hadis Muslim dkk yang sanadnya lebih kuat. Sedangkan hadis at-Turmudzi ternyata juga daif karena di dalam rangkaian sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama Abu Ishak Ismail Ibn Muslim al-Basri, termasuk generasi Tabiin kecil, dari suku al-Azd, berasal dari Kufah dan tinggal di Mekah [Tahdzib al-Kamal, III: 189]. Ia sebenarnya seorang fakih dan memberi fatwa serta orang jujur. Namun dari segi periwayatan hadis ia banyak melakukan kekacauan hadis, dan sering melakukan kesalahan. Oleh karena itu para ahli hadis menilainya daif. Sufyan ats-Tsauri w. 161778 menegaskan bahwa ia adalah seorang yang kacau. Imam Ahmad w. 264855 mengatakan bahwa hadisnya munkar. Yahya Ibn Ma‘in w. 233847 menyatakan ia seorang yang tidak bermutu laisa bi syai‘. ‘Ali Ibn al-Madini w. 234848 menyatakan bahwa hadisnya tidak ditulis la yuktabu hadisuh. Al- Juzajani w. 259873, Abu Zur‘ah w. 264878, dan Abu Hatim w. 277890, ketiganya ahli hadis terkemuka, menyatakannya sebagai sangat lemah dan kacau [Tahdzib at-Tahdzib, I: 289]. Oleh karena itu hadis at-Turmudzi di atas tidak dapat dijadikan hujah. Lagi pula sebenarnya hadis ini tidak berbicara tentang masbuk yang masuk jamaah yang makmumnya satu orang, melainkan berbicara tentang jamaah dua orang di mana posisi berdirinya apakah di kiri dan kanan imam, atau di belakang imam. Hadis ini menegaskan bahwa posisi berdiri dua makmum itu di belakang imam, bukan di kanan dan kiri imam sebagaimana pendapat Ibnu Mas‘ud, seperti ditegaskan oleh at-Turmudzi setelah mengutip hadis dimaksud. Jadi atas dasar itu semua yang dapat dijadikan hujjah adalah hadis Muslim dkk. Menurut hadis ini, makmum seorang yang berdiri di samping imam mundur apabila ada makmum yang baru datang hendak ikut berjamaah dan makmum yang baru datang itu berdiri bersamanya di belakang imam. Praktik seperti ini dilakukan pula oleh Sahabat Nabi saw sebagaimana disebutkan dalam sebuah asar dari ‘Abdullah Ibn ‘Utbah: يِبَأ ْنَع َةَبْتُع ِنْب ِهّللا ِدْبَع ِنْب ِهّللا ِدْيَ بُع ْنَع ِنْب َرَمُع ىَلَع ُتْلَخَد َلاَق ُهّنَأ ِه َُءاَذِح َِِلَعَج َّح َِِبّرَقَ ف َُءاَرَو ُتْمُقَ ف ُحّبَسُي ُهُتْدَجَوَ ف ِةَرِجاَْهاِب ِباّطَْْا َُءاَرَو اَْفَفَصَف ُتْرّخَأَت اَفْرَ ي َءاَج اّمَلَ ف ِهِيََِ ْنَع [ كلام اور ] Artinya: Dari ‘Ubaidillah Ibn ‘Abdillah, dari ayahnya yaitu ‘Abdullah Ibn ‘Utbah, diriwayatkan bahwa ia berkata: Aku mendatangi ‘Umar Ibn al-Khattab di tengah hari, dan aku menemukannya tengah mengerjakan shalat tathawwu‘, maka aku berdiri di belakangnya, lalu dia menarikku dan menempatkanku di sebelah kanannya sejajar dengannya. Ketika Yarfa [Yarfa adalah salah seorang pembantu rumah tangga Umar Ibn al-Khattab] datang, aku mundur dan kami berdiri bersaf di belakangnya [HR Malik]. Para fukaha juga banyak mengikuti pendapat ini. Al-Mawardi w. 4501058, dalam ensiklopedi fikihnya al-Hawi al-Kabir, menyatakan bahwa apabila imam mengimami seorang makmum laki-laki, maka makmum itu berdiri di samping kanannya, kemudian bilamana orang lain datang untuk ikut berjamaah, maka yang lebih utama adalah bahwa makmum tersebut mundur dan berdiri di belakang imam bersama orang baru datang itu, dan bukan imam yang maju bergeser dari tempatnya. Hal itu karena Nabi saw menggeser Ibnu ‘Abbas dari kiri ke sebelah kanannya dan bukan beliau yang bergeser tempat. Begitu pula dalam kasus Jabir dan Ibnu Shakhr [al-Hawi al-Kabir, II: 340]. Ibnu ‘Abidin w. 12581888 menegaskan bahwa pendapat yang jelas adalah bahwa makmumlah yang harus mundur apabila datang orang ketiga, atau jika tidak, orang ketiga itu menariknya ke belakang … Ini didukung oleh riwayat dalam Shahih Muslim tentang kisah Jabir [Hasyiyah, I: 568]. Asy-Syaukani, dalam kitab as-Sail al-Jarrar , menegaskan, “Adapun mengenai masyruknya menarik makmum yang berdiri di samping imam, hal itu ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim dan kitab-kiab hadis lain dari Jabir bahwa Nabi saw menyuruhnya berdiri di samping kanan beliau dan kemudian seseorang lain datang dan berdiri di samping kirinya, lalu Nabi saw memegang kedua tangan mereka dan mendorong mereka agar berdiri di belakang beliau” [I:264].

4. Kesimpulan