Makmum Masbuq dan Duduk Khutbah Id
Cara Masuk Ke Dalam Jamaah yang Makmumnya Hanya Satu Orang Dan MasalahDuduk Dalam Khutbah ‘Id
Pertanyaan dari: Sugiyanto, guru SMP dan aktivis Persyarikatan disidangkan pada hari Jumat, 22 Jumadal Ula 1428 H 8 Juni 2007 M
Pertanyaan:
Saya ingin mendapat penjelasan tentang beberapa hal berikut. Sepanjang yang saya ketahui adalah bahwa apabila dalam shalat jamaah makmumnya satu orang, maka makmum
tersebut berdiri di sebelah kanan imam. Kemudian apabila ada orang lain yang hendak ikut berjamaah, maka orang itu menarik makmum tersebut agar mundur ke belakang, kemudian orang
tersebut berdiri sejajar dengan makmum yang ditarik mundur tadi. Dalilnya adalah hadis riwayat ath-
Thabarani yang menyatakan bahwa Nabi saw bersabda, “Apabila seseorang kamu hendak masuk ke dalam saf pada hal sudah penuh, maka hendaklah ia menarik seseorang dari saf itu ke
belakang untuk berdiri bersamanya di saf belakang.” Akan tetapi ada pendapat bahwa hadis itu tidak sahih, dan cara masuk ke dalam shalat jamaah yang makmumnya satu orang bukan dengan
menarik makmum satu orang itu ke belakang, melainkan imam yang maju ke muka. Pertanyaan saya dan mohon penjelasan:
1. Apa benar hadis ath-Thabrani di atas itu tidak sahih?
2. Kalau betul tidak sahih, bagaimana cara masuk ke dalam jamaah yang makmumya satu orang,
apa makmum itu ditarik mundur, atau imamnya yang maju ke muka? 3.
Apa dalilnya? Pertanyaan lain adalah bahwa yang saya ketahui dan amalkan kalau khutbah Id itu satu
kali saja dalam arti tidak ada duduk antara dua khutbah seperti shalat Jumat. Ada jamaah yang menganggap cara seperti itu tidak benar, khutbah Id itu harus dua kali diselingi oleh duduk
antara dua khutbah, seperti khutbah Jumat. Mohon penjelasan berikut dalilnya. Jawaban:
Terima kasih diucapkan kepada Bapak Sugianto atas pernyataannya. Jawaban kami meliputi butir-butir sebagai berikut:
Cara Masuk Ke Dalam Jamaah yang Makmumnya Hanya Satu
1. Tentang hadis ath-
Thabarani dari Ibnu ‘Abbas Teks hadis ath-Thabarani yang ditanyakan adalah sebagai berikut:
َلاَق َلاَق ٍساّبَع ِنْبا ِنَع ْمُكُدَحَأ ىَهَ تْ نا اَذِإ َمّلَسَو ِهْيَلَع ُها ىّلَص ِها ُلوُسَر
ِهِبَْج ََِإ هميقي ًاُجَر ِهْيَلِإ بذجيلف ََّ ْدَقَو ّفّصلا ََِإ .
اَذَه ىِوْرَ ي َا مْيِهاَرْ بِإ ُنْب رْشِب هب درفت ِداَْسِإْا اَذَِِ ّاِإ ِها ِلوُسَر ْنَع ثْيِدَحْا
[ يرطلا اور
. ]
Artinya:
Dari Ibn ‘Abbas diwartakan bahwa ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila seseorang kamu hendak masuk ke dalam saf yang sudah penuh, maka hendaklah ia menarik
seseorang ke belakang agar berdiri di sampingnya. Hadis ini diriwayatkan dari Rasulullah saw hanya melalui sanad ini. Basyr Ibn Ibrahim menyendiri dalam meriwayatkannya. [HR. ath-
Thabarani dalam al- Mu‘jam al-Ausath, VII: 374, hadis no. 7764].
Untuk menentukan kesahihan hadis harus dilakukan dua langkah penelitian, yaitu penelitian sanad dan penelitian matan, karena hadis terdiri dari dua bagian, yaitu sanad dan
matan. Hadis yang hanya terdiri dari matan saja dan tidak ada sanadnya, maka itu bukanlah hadis. Begitu pula apabila hanya ada sanad saja tanpa matan, maka itu tidak ada gunanya dan
tidak mungkin ada sanad tanpa matan. Biasanya dalam kutipan-kutipan, yang dikutip memang hanya matannya saja, sekedar untuk keringkasan. Sanadnya ada dalam sumber asli dari mana
hadis bersangkutan diambil. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan sumber asli hadis adalah semua kitab yang penyusunnya memiliki sanad yang menghubungkannya langsung
kepada Nabi saw. Oleh karena itu sumber asli hadis bukan hanya kitab-kitab hadis saja sepeti Shahih Muslim dan sejenisnya, tetapi juga meliputi semua kitab termasuk kitab fikih, tarikh,
sirah, tafsir, atau usul fikih yang penyusunnya memiliki sanad yang menghubungkannya kepada Nabi saw. Jadi kitab Tafsir ath-Thabari, Sirah Ibn Hisyam, serta al-Umm dan ar-Risalah karya
Imam asy-
Syafi‘i, misalnya, adalah sumber asli hadis karena mereka memiliki sanad hingga sampai kepada Nabi saw dan tidak mengutip hadisnya dari kitab hadis lain seperti dari Shahih al-
Bukhari atau Shahih Muslim. Justru al-Bukhari dan Muslim datang lebih kemudian dari asy- Sya
fi‘i dan Ibn Hisyam. Sebaliknya, kitab-kitab hadis seperti Bulughul-Maram, Nailul-Authar, Subulus-Salam bukan sumber asli hadis karena para penyusunnya tidak memiliki sanad yang
menhubungkan mereka kepada Nabi saw. Mereka hanya mengutip hadisnya dari sumber-sumber aslinya.
Suatu hadis dikatakan sahih adalah apabila sanad dan matannya terbukti sahih. Apabila sanadnya saja yang sahih, sedang matannya tidak sahih, maka itu bukan hadis sahih. Sebaliknya
bilamana hanya matannya saja sahih, tetapi sanadnya tidak sahih, maka ini bukan hadis sahih. Sering kita menemukan ahli hadis mengatakan ‘hadis sahih sanadnya’. Ini artinya adalah
sanadnya sahih, tetapi matannya belum tentu sahih, masih perlu diteliti lagi. Lazimnya penelitian hadis itu dimulai dari penelitian sanad, dan bila terbukti sanadnya sahih, maka dilanjutkan
dengan penelitian matan. Bila terbukti matannya juga sahih, maka berarti hadis itu adalah hadis sahih. Bila dalam penelitian sanad, terbukti bahwa sanad hadis yang diteliti itu tidak sahih, maka
otomatis hadis itu dinyatakan tidak sahih dan kerena itu tidak perlu dilanjutkan dengan penelitian matan.
Kriteria kesahihan suatu hadis adalah 1 sanadnya bersambung, 2 para rawinya adalah adil, 3 para rawi itu dabit, 4 bebas dari cacat tersembunyi illat, dan 5 bebas dari
kejanggalan syuzuz. Kriteria no. 4 dan 5 sekaligus juga merupakan kriteria kesahihan matan. Kriteria ini bersifat kumulatif, dalam arti bahwa semua syarat harus dipenuhi sekaligus
sehingga bilamana satu syarat saja tidak terpenuhi, maka hadisnya dinyatakan daif.
Perlu juga diketahui bahwa yang menjadi hujjah bukan hanya hadis sahih, tetapi juga hadis hasan. Dalam ilmu hadis, dari segi kehujjahannya, hadis dibedakan menjadi dua macam: hadis
mardud ditolak, yaitu semua hadis daif, dan hadis maqbul diterima, yaitu hadis sahih dan hadis hasan. Dalam putusan Tarjih pada Munas XXV di Jakarta tahun 2000 dirumuskan,
“Sumber ajaran Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbulah.” Sunah maqbulah meliputi hadis sahih dan hadis hasan. Kriteria keduanya adalah sama seperti tersebut di atas. Perbedaan
hanya terletak pada kriteria ketiga, di mana untuk hadis hasan kedabitan rawi lebih rendah dari kedabitan rawi hadis sahih.
Mari kita coba meneliti hadis ini, apabila sanadnya sahih, maka kita lanjutkan dengan penelitian matan, dan bila ternyata sanadnya daif, otomatis hadis itu dinyatakan daif dan tidak
perlu lagi dilanjutkan ke penelitian matan. Langkah awal dalam penelitian sanad adalah melakukan iktibar al-
i‘tibar, yaitu menghimpun seluruh sanad hadis ini dari berbagai sumber untuk melihat apakah sanadnya garib atau tidak. Dengan kata lain untuk melihat apakah ada
banyak jalur periwayatannya atau hanya melalui satu jalur saja. Setelah melakukan pelacakan intensif dalam berbagai sumber hadis, ternyata bahwa hadis
di atas hanya diriwayatkan oleh ath-Thabarani w. 360971 saja dalam kitabnya al- Mu‘jam al-
Ausath. Tidak ada ahli hadis lain yang meriwayatkannya, sehingga karena itu tidak ditemukan syahid dan mutabaahnya. Artinya hadis ini mempunyai jalur sanad tunggal dan karenanya hadis
ini dapat dikatakan sebagai hadis garib. Ini sesuai pula dengan pernyataan ath-Thabrani sendiri dalam kitab tersebut, “Hadis ini diriwayatkan dari Rasulullah saw hanya melalui sanad ini saja.
Bisyr Ibn Ibrahim menyendiri dalam meriwayatkannya.” Selanjutnya mari kita menyelidiki rangkaian sanad hadis di atas untuk melihat apakah
kriteria kesahihan hadis terpenuhi pada hadis di atas atau tidak. Untuk itu mari kita meneliti para rawi dalam sanadnya. Sanad hadis ini hingga sampai kepada Nabi saw adalah sebagai berikut:
1 ath- Thabarani, 2 Muhammad Ibn Ya‘qub guru ath-Thabarani, 3 Hafsh Ibn ‘Amr ar-
Rabali, 4 Bisyr Ibn Ibrahim, 5 al-Hajjaj Ibn Hassan, 6 ‘Ikrimah, dan 7 Ibn ‘Abbas,
Sahabat yang diklaim menerima hadis ini dari Nabi saw. Ath-Thabarani nama lengkapnya adalah Sulaiman Ibn Ahmad Ibn Ayyub Ibn Mathar al-
Lakhmi ath-Thabarani, lahir tahun 260874 dan berusia panjang, yaitu 101 tahun hijriah kurang dua bulan. Ia meninggal tahun 360971. Ia adalah ahli hadis terkenal, belajar hadis ke berbagai
negeri, jumlah guru yang kepadanya ia mempelajari hadis lebih 1000 orang, dan kitab al- Mu‘jam
ash-Shaghir karyanya memuat hadis-hadis dari seribu gurunya dan kitab itu disusun sistematikanya menurut urutan nama-nama gurunya. Kitab lain yang disusunnya adalah al-
Mu‘jam al-Kabir, al-Mu‘jam as-Ausath dan Musnad asy-Syamiyyin. Dalam kitab al-Mu‘jam al- Ausath, ia merekam hadis-hadis garib dari gurunya. Salah seorang dari gurunya adalah
Muhammad Ibn Ya‘qub.
Nama lengkap guru ini adalah Muhammad Ibn Ya‘qub al-Khathib al-Ahwazi. Ia berprofesi sebagai khatib di kota Ahwaz Iran, dan dari profesi itulah ia dijuluki al-Khathib al-Ahwazi. Ia
merupakan guru hadis yang kepadanya belajar sejumlah murid. Di antara muridnya ada beberapa ahli hadis terkenal, seperti ath-Thabarani sendiri dan Ibnu Hibban w. 354965. Ath-Thabarani
meriwayatkan sejumlah hadisnya dalam berbagai kitab hadisnya. Sementara itu Ibnu Hibban meriwayatkan beberapa hadisnya dalam Sahihnya. Periwayatan hadis sang guru dalam
Shahihnya oleh Ibnu Hibban dapat diartikan bahwa sang guru menurut Ibnu Hibban adalah rawi yang terpercaya.
Catatan biografis tentang Muhammad Ibn Ya‘qub ini memang langka. Sepanjang kitab rijal hadis yang dilacak sejauh ini tidak ditemukan entri namanya, meskipun di berbagai halaman
namanya selalu disebut. Ibnu Hibban yang memasukkan hadisnya ke dalam kitab Shahihnya tidak membuat entri nama sang guru dalam Kitab ats-Tsiqat Kitab tentang Orang-orang
Terpercaya. Tidak diketahui kapan ia lahir dan kapan meninggal. Namun diperkirakan ia hidup pada parohan ke dua abad ke-3 hijriah.
Hafsh Ibn ‘Amr, nama lengkapnya adalah Abu Umar Hafsh Ibn ‘Amr Ibn Rabal Ibn ‘Ajlan al-Raqasyi al-
Basri. Ia adalah guru dari Muhammad Ibn Ya‘qub al-Khathib al-Ahwazi. Ia merupakan ahli hadis dan diakui sebagai rawi yang terpercaya tsiqah. Ibn Hibban
memasukkannya dalam kitabnya ats-Tsiqat dan ad-Daraquthni menegaskan bahwa ia adalah seorang terpercaya lagi handal. Ia meninggal tahun 258872 Tahdzib al-Kamal, VII: 52 dan 54.
Bisyr Ibn Ibrahim nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr Bisyr Ibn Ibrahim al-Anshari al- Basri. Ia berasal dari Damaskus, kemudian tinggal di Basrah. Dikatakan bahwa ia adalah
keturunan Anshar sehingga ia disebut al-Anshari, tetapi ada juga yang mengatakan keturunan Quraisy. Ia mengalami lumpuh sebelah badan. Para biografer hadis mencatat bahwa Bisyr Ibn
Ibrahim ini adalah rawi hadis yang bermasalah. Ia dinyatakan sebagai pemalsu hadis, meriwayatkan hadis-hadis batil dan munkar, serta memalsukan nama-nama rawi terkenal dengan
cara menyandarkan hadis-hadis yang sesungguhnya fiktif kepada mereka.
Para biografer mencatat namanya dalam daftar rawi-rawi lemah dan tercela. Al- ‘Uqaili w.
322934 menyebutnya sebagai orang yang meriwayatkan hadis-hadis mauduk yang dipalsukan atas nama Imam al-
Auza‘i w. 157774 dan yang tidak ada mutabaahnya Kitab adl-Dlu‘afa’, I: 142. Ibn Hibban w. 354965 memasukkannya ke dalam daftar orang-orang tercela dan
mengatakan “Ia adalah penduduk Basrah, lumpuh sebelah badannya, … memalsukan hadis-hadis atas nama para rawi terpercaya, dan karena itu hadisnya tidak boleh ditulis kecuali untuk
menunjukkan cacatnya Kitab al-Majruhin, I: 189 . Ibn ‘Adi w. 365976 melukiskannya
sebagai periwayat hadis-hadis munkar yang dipalsukan kepada para imam terpercaya, pemilik hadis-hadis fiktif dan membuat-buat hadis yang dinisbatkan kepada rawi-rawi terpercaya. Ibn
‘Adi menyebutkan sejumlah contoh hadisnya yang dipalsukan atas nama beberapa imam terkemuka Al-
Kamil fi Dlu‘afa’ ar-Rijal, II: 14. Dengan keterangan ini terlihat bahwa sanad hadis ath-Thabarani di atas adalah daif karena
di dalamnya terdapat rawi yang tertuduh sebagai pemalsu hadis, yaitu Bisyr Ibn Ibrahim. Berhubung juga hadis ini adalah hadis garib, sebagaimana dikemukakan terdahulu, yakni tidak
ada sanad lain selain sanad yang sudah dibicarakan, maka kita tidak mempunyai jalur lagi untuk menguatkannya. Jadi pertanyaan pertama tentang apakah hadis ath-Thabarani ini makbul, dapat
dijawab bahwa hadis ath-Thabarani di atas adalah daif. Oleh karena itu hadis tersebut tidak dapat menjadi hujah untuk menarik makmum seorang di sisi kanan imam ke belakang.
2. Hadis-hadis mengenai cara masuk ke dalam jamaah yang makmumnya satu orang