demikian, perkembangan pesat JAI tidak sepesat Jemaat Ahmadiyah secara internasional di seluruh dunia. Walau demikian, perkembangan JAI tetap luar
biasa dibandingkan masa lalu. Kemajuan Jemaat Ahmadiyah Indonesia menjadi makin pesat setiap tahun.
58
C. Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia
Pada masa Khalifah II Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Jemaat Ahmadiyah mulai mengembangkan pahamnya ke berbagai negara, termasuk
Indonesia. Ahmadiyah Lahore adalah yang pertama masuk ke Indonesia, yang dibawa oleh seorang mubaligh Khawajah Kamaluddin pada tahun 1922.
59
Ada karakteristik yang berbeda antara kedua aliran tersebut dalam penyebaran pergerakannya. Aliran Lahore banyak menggunakan cara
penyebarannya melalui pengiriman mubaligh-mubalighnya ke berbagai negara meskipun tanpa undangan dari negara yang dituju.
60
Sementara aliran Qadian menyebarkan sayap gerakannya di Indonesia melalui para santri yang belajar di
pesantren Sumatera Thawalib dan melanjutkan sekolah ke Qadian kemudian kambali ke Indonesia dan menyebarkan ajaran Ahmadiyah
61
atas permohonan
58
Ibid, h.42-43
59
M. Amin Djamaluddin, Ahmadiyah dan Pembajakan Al-Qur’an, h. 197
60
A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiyah, h. 24
61
Ibid, h. 24
mereka, seorang mubaligh Ahmadiyah bernama Maulana Rahmat Ali diutus ke Indonesia pada tahun 1925.
62
Pada awalnya, Jemaat Ahmadiyah di Indonesia di beri nama Anjuman Ahmadiyah Qadian Departemen Indonesia, kemudian diganti nama dengan
Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI. JAI adalah bagian Jemaat Ahmadiyah yang semula berpusat di Qadian, India, tetapi sesudah tahun 1947 berpusat di Rabwah,
Pakistan. Kedudukan pimpinan pusat Jemaat Ahmadiyah adalah di London, Ingris. Jemaat Ahmadiyah Indonesia berdiri tahun 1925 sedangkan Gerakan
Ahmadiyah Lahore Indonesia, yang disingkat GAI berdiri tanggal 28 September 1929.
63
Aliran Qadian datang ke Indonesia berawal dari keberangkatan dua santri Sumatera Thawalib ke India yaitu Abu Bakkar Ayyub dan Ahmad Nuruddin. Atas
saran dan nasehat Ibrahim Musa Parabek seorang ulama terkenal di Bukit Tinggi agar melanjutkan sekolah ke Hindustan, karena sudah banyak santri yang
melanjutkan ke Timur Tengah dan pada waktu itu kualitas pendidikan di Hindustan menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dan pendidikan yang
bermutu tinggi serta memiliki para tokoh intelektual yang ternama.
64
Akhirnya pada tahun 1922 M mereka berangkat ke India dengan tujuan Lucknow dan bertemu dengan seorang ulama besar bernama Abdul Bari Anshari,
62
M. Amin Djamaluddin, Ahmadiyah dan Pembajakan Al-Qur’an, h. 198
63
Ibid, h.198
64
Iskandar Zulkarnaen,Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 11
kemudian mereka di sarankan belajar di sekolah Nizamiah yang dipimpinnya. Di kota tersebut mereka menjadi bertiga karena salah seorang temannya bernama
Zaini Dahlan yang baru datang dari Padang Panjang bergabung dengan mereka. Setelah dua bulan, mereka memutuskan untuk meninggalkan sekolah tersebut
karena mereka mengetahui ternyata gurunya adalah seorang yang menyembah kuburan seorang kiyai. Kemudian mereka malanjutkan perjalanan ke Lahore dan
di kota ini mereka mulai mengenal Ahmadiyah. Mereka juga mengenal beberapa tokoh Ahmadiyah yang pernah datang ke Indonesia seperti Maulana H.Kawadja
Kamaluddin. Di Lahore mereka belajar kepada ulama yaitu Maulana Abdullah Malabari, Maulana Syaikh Abdul Khalid, dan Maulana Taqi yang waktu itu
sengaja datang ke Lahore untuk +berdebat dengan pimpinan Anjuman Ahmadiyah Lahore, Maulana Muhammad Ali. Melalui ketiga gurunya mereka mengenal
Ghulam Ahmad pendiri Ahmadiyah yang di makamkan di Qadian.
65
Setelah menetap selama enam bulan di Lahore, tepatnya tahun 1923 M mereka pergi menuju Qadian untuk menemui Bashiruddin Mahmud Ahmad yang
menjabat sebagai khlaifah II Ahmadiyah Qadiyan, putera dari Ghulam Ahmad untuk belajar agama, kemudian mereka berbai’at kepada khalifah II. Setelah itu,
mereka mengirimkan informasi perkembangan belajarnya di Qadian yang sangat positif kepada keluarga, para guru, dan teman-temannya di Indonesia. Khususnya
mengenai biaya hidup dan beasiswa yang mereka terima secara gratis. Melalui
65
Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Riwayat Hidup Maulana Rahmat Ali, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1996, h. 30
informasi itu, pada tahun 1926 M, banyak para pelajar Indonesia yang tertarik untuk belajar ke Qadian mengikuti jejak teman-temannya. Pada tahun 1926 M.
Mubaligh Maulana Rahmat Ali HAOT yang ketika itu secara khusus diutus oleh pimpinan Ahmadiyah Internasional membawa Ahmadiyah masuk ke
wilayah Indonesia melalui kota Tapaktuan, Aceh pada tanggal 2 Oktober 1925 M.
66
Kemudian ia tinggal Tapaktuan di rumah mantan pelajar Indonesia yang belajar di Qadian yaitu Muhammad Samin. Kegiatan pengajian dan ceramah ke
berbagai pelosok desa di Tapaktuan yang dilakukan Maulana Rahmat Ali telah menarik banyak orang untuk masuk Ahmadiyah. Apalagi materi yang
disampaikannya seputar Mirza Ghulam Ahmad dan Imam Mahdi, kewafatan Isa bin Maryam pintu kenabian, dan lain-lain. Banyaknya orang yang tertarik dengan
Ahmadiyah sampai akhirnya berdirilah cabang Ahmadiyah di Tapaktuan. Setahun kemudian ia berangkat ke Padang, kota yang sangat ramai dan pusat perdagangan.
Kedatangannya mengundang banyak reaksi dari ulama yang ada di Bukit Tinggi dan Padang Panjang, sampai akhirnya harus dibuat sebuah “komite mencari hak”
pimpinan Tahar Sutan Marajo, tetapi pertemuan yang direncanakan dengan tujuan akan dilakukan diskusi antara kedua belah pihak akhirnya gagal terlaksana karena
para ulama tersebut tidak datang.
67
Reaksi keras pun datang dari Dr. H. Karim Amrullah yang mengecam bahwa Ahmadiyah adalah di Luar Islam, sesat dan kafir. Bahkan ejekan dan
66
Munasir Sidik, Dasa-Dasar Hukum dan Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 20
67
JAI, Riwayat Hidup Maulana Rahmat Ali, Bogor: JAI, 2000, h.40
penghinaan menjadi warna setiap hari dari kegiatan dakwah mubaligh Ahmadiyah. Banyak orang yang ternyata juga tertarik dengan Ahmadiyah dari
berbagai kalangan dan latar belakang sosial di Padang. Tidak lama kemudian datang yang sudah lulus belajar di Qadian dan menjadi mubaligh Ahmadiyah di
Padang. Bertambahnya tenaga mubaligh membantu gerakan tabligh Ahmadiyah sehingga berdirilah Jemaat Ahmadiyah Qadiyan di Padang. Dengan demikian,
sebenarnya Maulana Rahmat Ali dan para pemuda Indonesia yang belajar di Qadian adalah orang yang membawa ajaran Ahmadiyah Qadiyan ke Indonesia
dan sebagai perintis Ahmadiyah di Indonesia.
68
Dari sana Jemaat Ahmadiyah berkembang ke wilayah Sumatera Barat dan pada tahun 1931 masuk ke Batavia
sekarang Jakarta. Pada tahun 1932, Jemaat Ahmadiyah telah berkembang di wilayah Jakarta dan Bogor.
69
Kepengurusan organisasi Jemaat Ahmadiyah di Kedua wilayah itu pun ketika itu terbentuk yakni pengurus Jemaat Ahmadiyah Betawi dan Jemaat
Ahmadiyah Bogor. Dari wilyah Betawi dan Bogor Jemaat Ahmadiyah kemudian berkembang ke wilayah pulau Jawa lainnya seperti Tanggerang, Cianjur,
Sukabumi, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Karawang, dan lain-lain. Setelah Jemaat Ahmadiyah tersebar dan kepengurusannya terbentuk di
beberapa kota di Sumatera dan hampir di seluruh bagian pulau Jawa, maka pada tahun 1935 Jemaat Ahmadiyah Indonesia membentuk Hoofdbestur atau pengurus
68
Ibid, h. 44-45
69
Munasir Sidik, Dasar-Dasar Hukum dan Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 20
besar. Dan pada tangal 12-13 Juni 1937, Jemaat Ahmadiyah di Indonesia menyelenggarakan kongres yang pertama di Masjid Hidajath, Jl. Balikpapan 110
Jakarta di wakili oleh wakil-wakil Ahmadiyah dari cabang-cabang yang ada ketika itu untuk membahas AD dan ART Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan
nama AADI yaitu Anjuman Ahmadiyah Departeman Indonesia. Pada tahun 1949 atau 3-4 tahun setelah Republik Indonesia berdiri, Jemaat Ahmadiyah Indonesia
atau yang ketika itu bernama AADI kembali menyelenggarakan kongres di Jakarta pada tanggal 9 sd 11 Desember 1949 yang di hadiri oleh cabang-cabang
AADI. Kongres tersebut menyetujui AD dan ART yang baru dan menyetujui penggantian nama Anjuman Ahmadiyah Departemen Indonesia atau AADI
menjadi Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
70
Pada akhir tahun 1952, Pengurus Besar Jemaat Indonesia mengajukan surat kepada pemerintah Republik Indonesia yaitu surat permohonan pengesahan
AD dan ART Jemaat Ahmadiyah untuk di akui sebagai badan hukum. Dan pada tanggal 13 maret 1953 Menteri Kehakiman RI Indonesia melalui surat keputusan
No. JA 523131 menetapkan, bahwa perkumpulan atau organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia diakui sebagai sebuah badan hukum. Surat keputusan
menteri kehakiman tersebut dimuat dalam tambahan berita negara RI tanggal 31 Maret 1953 No.26
71
70
Ibid, h.20
71
Munasir Sidik, Dasar-Dasar Hukum dan Legalitas Ahmadiyah Jemaat Indonesia h 21
Berbeda dengan Ahmadiyah Lahore yang tidak terlalu struktural pada awal berdirinya, hanya saja inisiatif dari Djojosugito dan Muhammad Husni yang
ingin membuat wadah untuk berdiskusi dan berkumpul bersama. Tepatnya pada tahun 1928 M. mereka mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia Centrum
Lahore dan secara resmi mendapatkan badan hukum pada tahun 1929 M. dengan nama Gerakan Ahmadiyah Indonesia GAI Lahore sampai sekarang.
72
Aliran Lahore yang berdiri tanggal 28 September 1929 di Yogyakarta. Pedoman besar GAI pada saat didirikan adalah di ketuai oleh, R. Ng.
H.Minhadjurrahman Djojosugito, wakil ketua oleh KH. A. Sya’rani. Penulis dan bendahara Muhammad Husni, penulis II di jabat oleh R. Soedewo PK. Anggota:
Muhammad Irsyad, Muhammad Sabitun, Muhammad Kafi, Muhammad Idris L. Latjuba, KH. Abdurrahman, S. Hardjo Subroto dan R. Suprarolo.
Cabang-cabang GAI yang dibentuk kemudian: 5 cabang yang pertama: Purwokerto, diketuai Kiyai Ma’ruf, Purbalingga diketuai oleh KH. A. Sya’rani,
Pliken diketuai oleh KH. Abdurrahman, Yogyakarta oleh R. Supratolodan Surakarta R. Ng. Muhammad Kusban. Setelah itu menyuusul cabang-cabang;
Sukabumi, Malang, Madiun, Bandung, Jakarta, Cirebon, Wonosobo, dan Magelang.
Nama pergerakan ini telah beberapa kali mengalami perubahan yaitu, pada zaman kolonial Belanda bernama “Gerakan Ahmadiyah Indonesia Centrum
72
Gerakan Ahmadiyah Lahore dan Qadian, Buku kenang-kenangan 50 Tahun, hal. 85. lihat juga S. Yasir Ali dan Yatimin, 100 Tahun Ahmadiyah, Yogyakarta: Pedoman Besar GAI Bagian
Tabligh dan Tarbiyah, h.35
Lahore”. Pada zaman kemerdekaan sampai tahun 1973 bernama “Gerakan Ahmadiyah Lahore Aliran Lahore”. Sejak tahun 1975-1994 bernama “Gerakan
Ahmadiyah Lahore Indonesia” dan sejak 1994 sampai sekarang bernama “Gerakan Ahmadiyah Indonesia” disingkat GAI. Alamat GAI mula-mula di jalan
A.M Sangaji Jetis Pasiraman rumah Bapak Djojosugito, lalu pindah ke. Jl. Suroto No.2, di rumah Bapak Bachrum, dan sekarang di Jl. Kemuning No.14
sebelumnya Jl. Kemuning No. 1, semuanya di kota Yogyakarta.
73
D. Kebijakan Pemerintah terhadap Keberadaan Jamaah Ahmadiyah Indonesia