BAB II TINJAUAN UMUM AHMADIYAH
A. Sejarah Lahirnya Ahmadiyah
Terbentuknya sekte Ahmadiyah seiring dengan “kenabian” Mirza Ghulam Ahmad. Mirza lahir di Qadian, India. Pada tanggal 15 Februari 1835 M dan
meninggal tanggal 26 Mei 1908.
18
Sejarah Ahmadiyah lahir di India pada akhir abad ke-19 di tengah suasana kemunduran umat Islam di bidang agama, politik,
sosial politik, ekonomi, dan bidang kehidupan lainnya. Terutama setelah pecahnya revolusi India tahun 1857 yang berakhir dengan kemenangan East India
company yang menjadikan India sebagai salah satu koloni Inggris terpenting di
Asia. Sebenarnya, kesadaran umat Islam untuk mencari solusi atas
keterbelakangannya dalam segala bidang, termasuk bidang agama, telah muncul pada pertengahan abad ke-18 yang dimotori oleh seorang ulama yang terkenal,
Syah Waliyullah. Kemudian diteruskan oleh pengikutnya, termasuk Ahmad Khan. Dialah yang pertama memunculkan ide-ide pembaruan untuk kemajuan
umat Islam. Di tengah-tengah kondisi umat Islam seperti itu, Ahmadiyah lahir.
Kelahiran Ahmadiyah juga berorientasi pada pembaruan pemikiran. Di sini Mirza
18
Wawan H. Purwanto, Menusuk Ahmadiyah, Jaktim: CMB Pres, 2008, hal.14
Ghulam Ahmad yang mengaku telah diangkat Tuhan sebagai al-Mahdi dan al- Masih merasa mempunyai tanggung jawab moral untuk memajukan Islam dengan
memberikan interpretasi baru terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sesuai tuntunan zaman dan “ilham” Tuhan kepadanya. Motif Mirza Ghulam Ahmad ini
tampaknya didorong oleh gencarnya serangan kaum misionaris Kristen dan propaganda Hindu terhadap umat Islam pada saat itu.
19
Jemaat Ahmadiyah didirikan pada tahun 1889 M dan bertepatan tahun 1306 H menurut aliran dari Qadiyan. Hal ini di dasarkan pada permulaan
pembai’atan yang dilakukan banyak orang terhadap Mirza Ghulam Ahmad. Sedangkan dari aliran Lahore berpendapat bahwa Ahmadiyah berdiri tahun 1888
M. Karena berdasarkan ilham yang diterimanya untuk mendirikan bahtera dan melakukan bai’at kepada Mirza Ghulam Ahmad.
20
Jemaat berarti kumpulan Individu yang bersatu padu dan bekerja untuk suatu program bersama. Ahmadiyah adalah nama dari ajaran Islam, jadi
Ahmadiyah adalah suatu perkumpulan, himpunan atau organisasi yang bersatu padu dan bekerja untuk suatu program yang sama yaitu Islam.
21
Ahmadiyah diambil dari salah satu nama Rasulullah SAW. Yang diinformasikan kepada Nabi
19
Iskandar Zulkarnaen, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Yogyakarta: LKIS 2005, cet. 1, h.58
20
Saleh A. Nahdi, Ahmadiyah Selayang Pandang, Jakarta: Yayasan Raja Pena, 2001, cet. IV, h. 5
21
Muslim Fathoni, Faham Mahdi Syiah dan Ahamdiyah Dalam Perspektif, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1994, h. 53.
Isa A.S dalam surat ash-shaf ayat 6 yang menyatakan bahwa akan datang seorang nabi dan rasul bernama Ahmad.
22
Tujuan Ahmadiyah didirikan adalah untuk memperbaiki kehidupan beragama orang Islam dan mempersatukan umat Islam. Tujuan tersebut sejalan
dengan tugas yang dibawa oleh Mirza Ghulam Ahmad bahwa kehadirannya untuk memajukan agama Islam dan menegakkan syari’at Islam.
23
Selain itu juga mempunyai tujuan yuhyiddyna wayuqiymus-syariah yaitu menghidupkan kembali
agama Islam, dan menegakkan kembali syariat Qur’aniah dalam arti yang mendalam adalah menghimbau umat manusia kepada Allah SWT. Dengan
memperkenalkan mereka sosok sejati Rasulullah SAW. Dan menciptakan perdamaian serta persatuan antar berbagai kalangan manusia.
24
Sebagai himpunan atau golongan, Ahmadiyah mengklaim dan menyatakan diri bahwa jemaatnya merupakan pengikut dari Mirza Ghulam
Ahmad atau mereka sering menyebutnya dengan gelar Hadhrat.
25
Aliran Ahmadiyah meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi, Al-Masih Ma’ud, dan nabi. Namun demikian kenabian yang di
yakini tidaklah membawa syariat baru dan hanya mengikuti syariat yang telah ada
22
Maulana Muhammad Ali, Mirza Ghulam Ahmad of Qadian: his life and Mission, Lahore: Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, 1959, h, 12
23
Saleh A. Nahdi Ahmadiyah Selayang Pandang, h. 14-15
24
Wawan H. Purwanto, Menusuk Ahmadiyah, h. 16
25
Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah, Kami Orang Islam, Bogor: JAI,1984, h, 6
yaitu syariat Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai pelangsung dari ajaran yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
26
Tetapi oleh sebagian umat Islam, pandangan ini dinilai sebagai permulaan perdebatan dan berakhir dengan permusuhan antara Ahmadiyah dengan mayoritas
umat Islam, karena menurut sebagian umat Islam, Ahmadiyah telah masuk ke dalam wilayah prinsipil dan sudah tidak ditawar lagi pemaknaannya.
27
Sejak tahun 1872 Hz. Mirza Ghulam Ahmad sudah giat membela Islam membalas serangan-serangan dari kelompok Hindu khususnya Arya Samaj dan
Brahmu Samaj. Beliau banyak menulis artikel-artikel berkenaan dengan itu di berbagai media masa. Antara lain jurnal Manshur Muhammadi yang terbit dari
Bangalore, Maysore, India Selatan, setiap 10 hari sekali. Kemudian pada beberapa surat kabar yang terbit dari Amritsar antara lain, Wakil, Safir Hind,
Widya Prakash, dan Riaz Hind. Demikian pula pada Brother Hind Lahore, Aftab Punjab lahore, Wazir Hind Sailkot , Nur Afshan Ludhiana dan
Isyaatus-Sunnah Batala. Begitu juga pada Akbar –e Aam Lahore. Melihat serangan terhadap Islam makin menjadi jadi, dan tidak ada upaya
yang berarti yang dilakukan oleh pemuka-pemuka Islam, berdasarkan bimbingan Allah SWT. Mirza menulis buku Barahiin Ahmadiyya. Jilid 1 dan 2 diterbitkan
pada tahun 1880; jilid 3 terbit pada tahun 1882; dan jilid 4 pada tahun 1884. Intinya ia memaparkan bukti-bukti keunggulan dan hidupnya agama Islam serta
26
A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiyah, Jakarta: RMBooks, 2006, h.15
27
Ibid, hal. 5
ketinggiankemuliaan Kitab suci Al-Qur’an dan Rasulullah SAW. Sebagai perbandingan dengan agama Hindu, Kristen, dan agama-agama lainnya.
Pada jilid pertama beliau memfokuskan pada balasan serangan terhadap ajaran Arya Samaj yang menghina Rasulullah SAW, Nabi Isa AS, dan Nabi Musa
AS. Serta yang menuduh kitab-kitab suci para nabi tersebut adalah palsu. Selain itu Mirza menyerang akidah Arya Samaj yang menyatakan bahwa ruh tidak
diciptakan oleh Tuhan, melainkan telah ada dengan sendirinya. Jilid kedua masih berkenaan dengan akidah-akidah Arya Samaj.
Kemudian mengenai kedudukan dan perlunya wahyu. Mengenai keunggulan Kitab Suci Al-Qur’an atas kitab-kitab agama lainnya. Juga ia menekankan kaidah
dasar pembuktian kebenaran suatu agama yang harus berdasarkan pada kitab suci yang diakui oleh agama itu sendiri. Pada jilid ketiga Mirza merinci keindahan dan
kemuliaan Al-Qur’an. Beliau menjawab serangan-serangan yang ditujukan kepada Al-Qur’an. Mirza menyatakan telah menerima wahyu-wahyu dari Allah
SWT. Dan beliau bersedia untuk membuktikan kebenarannya. Pada jilid keempat Mirza membahas tentang bentuk asli bahasa umat
manusia; tentang kedudukan mukjizat dan pentingnya nubuatun-nubuatunkhabar- ghaib seorang nabi berkenaan masa mendatang. Beliau memaparkan konsep-
konsep agama Buddha, Kristen, dan Hindu Arya Samaj tentang Tuhan, dan membuktikan keunggulan ajaran Islam. Kitab-kitab Yahudi pun beliau paparkan
sebagai perbandingan dengan Al-Qur’an.
Salah satu aspek yang sangat ia tekankan dan ia tampilkan sebagai bukti tetap hidupnya agama Islam hingga hari kiamat adalah adanya hubungan
komunikasi yang hidup antara Tuhan dengan hamba-hamba-Nya. Mirza paparkan sendiri pengalaman-pengalaman rohaniahnya dalam bentuk wahyu, ilham, rukya-
rukya, maupun kasyaf.
28
Dalam rangka merealisasikan ide pembaruannya, pada bulan Desember 1888 Mirza Ghulam Ahmad secara terang-terangan menyatakan diri mendapat
perintah Tuhan melalui ilham Ilahi untuk menerima bai’at dari para pengikutnya. Wahyu berbahasa Arab yang ia terima berbunyi:
“Jika sudah kamu putuskan dalam hatimu maka bertawakallah pada Allah; dan buatlah bahtera di bawah tilikan Kami dan wahyu Kami. Orang-orang yang
melakukan bai’at dengan engkau, mereka sebenarnya melakukan bai’at dengan Allah. Tangan Tuhan berada di atas tangan mereka”
Perintah Tuhan dalam wahyu tersebut menuntut Mirza Ghulam Ahmad untuk melakukan dua hal. Pertama, menerima bai’at dari pengikutnya; kedua,
membuat bahtera, yakni membuat wadah untuk menghimpun suatu kekuatan yang dapat menopang misi dan cita-cita kemahdiannya guna menyerukan Islam ke
seluruh dunia. Perintah Tuhan untuk menerima bai’at belum dilaksanakan oleh Mirza Ghulam Ahmad dengan mendirikan Ahmadiyah. Oleh karena itu, pada
tahun 1888 oleh Ahmadiyah Lahore di anggap sebagai tahun berdirinya Ahmadiyah.
28
Wawan H. Purwanto, Menusuk Ahmadiyah, h. 24-26
Pembai’atan baru dilaksanakan pada tanggal 11 Maret 1889 di kota Ludhiana di rumah Mia Ahmad Jaan. Orang yang melakukan bai’at pertama
adalah Maulana Nuruddin Sahib yang sekaligus menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri paham ini. Setelah itu, diikuti oleh sekelompok
kecil, antara lain Mir Abbas Ali, Mian Muhammad Husain Moradabadi, dan M. Abdullah Sanauri. Pelaksanaan pembai’atan tidak dilakukan di kota Qadian,
tempat kelahiran Ghulam Ahmad, tetapi di Ludhiana. Menurut A.R.Dard, Ludhiana adalah sebuah kota yang jauh lebih penting dibanding Qadian, karena
merupakan pusat aktivitas misionaris Kristen dan merupakan tempat penerbitan jurnal Kristen Noor Afshan pertama terbit pada bulan Maret 1873. Di samping
itu, Ludhiana merupakan salah satu tempat sekolah atas bagi misionaris Mission Hight School tertua di India dan tempat para tokoh Islam, seperti Maulana Abdul
Qadir dan Abdul Aziz dan Muhammad yang aktif ambil peran dalam pemberontakan 1875 melawan Inggris.
Pembai’atan terhadap para pengikutnya tersebut dilakukan setelah Mirza Ghulam Ahmad menerima wahyu berbahasa urdu pada akhir tahun 1890, wahyu
itu menegaskan bahwa Nabi Isa A.S telah wafat dan Mirza Ghulam Ahmad adalah Al-Masih yang dijanjikan. Wahyu itu berbunyi:
“Masih Ibnu Maryam, Rasul Allah telah meninggal. Sesuai dengan janji, engkau menyadang dengan warnanya
” Sejak menerima wahyu, Mirza Ghulam Ahmad menyatakan bahwa dirinya
sebagai al-Masih yang dijanjikan sebagai sekaligus sebagai al-Mahdi. Akan
tetapi, hal itu baru diumumkan pada awal tahun 1891. Menurut Ahmadiyah Qadian, setelah diadakan pembai’atan tahun 1889 Mirza Ghulam Ahmad
mengorganisasi para pengikutnya menjadi suatu paham baru yang merupakan bagian dari gerakan baru dalam Islam dengan nama gerakan Ahmadiyah. Tahun
terbit dinyatakan sebagai tahun berdirinya Ahmadiyah.
29
Pada tahun 1900, Mauluvi Abdul Karim, seorang khatib sholat Jum’at, menyampaikan khutbahnya dengan menggunakan kata-kata nabi dan Rasulullah
untuk Mirza Ghulam Ahmad. Kejadian ini sangat menyakitkan Mauluvi Sayyid Muhammad Ahsan Amrohawai. Ketika Maulivi Abdul Karim mengetahui hal ini,
dalam khutbahnya yang lain, ia meminta Mirza agar mencabut pernyataannya, kalau ia salah dalam membuat pangakuan nabi. Setelah selesai sholat Jum’at,
Maluvi Abdul Karim memegang pakaian Mirza serta meminta untuk membenarkan keyakinannya yang keliru. Mirza kemudian berbalik dan
mengatakan bahwa ia juga memiliki keyakinan yang sama. Sementara itu Mauluvi Muhammad Ahsan sangat gusar dengan isi
khutbah itu dan dengan kemarahan langsung melangkah ke atas masjid. Ketika Mauluvi Abdul Karim kembali, ia mulai terlibat adu mulut dengannya. Ketika
suara mereka terdengar keras, Mirza keluar dari rumahnya dan membacakan ayat Al-Qur’an:
29
Iskandar Zulkarnaen, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, hal.63-65
... ر 49: 2
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu meninggalkan suara di atas suara nabi”
QS. Al-Hujurat49: 2 Khutbah Mauluvi Abdul Karim menandakan sebuah fase baru dalam karir
Mirza Ghulam Ahmad. Khutbah ini memberikan keyakinan yang amat ia butuhkan bahwa para pegikutnya telah mempunyai keyakinan tak tergoyahkan
kepada dirinya sehingga mereka akan menerima klaim apapun yang ia kemukakan.
Anaknya sendiri,
Mirza Bashiruddin
Mahmood, telah
menggambarkan perkembangan ini dengan menyatakan bahwa Mirza memang mengklaim bahwa dirinya telah dikaruniai beberapa sifat yang hanya didapatkan
dalam diri seorang nabi namun meskipun demikian, ia tetap menyangkal bahwa dirinya adalah seorang nabi.
Ketika ia sadar akan ketidakkonsistennya dan mulai menyadari bahwa sifat-sifat itu adalah sifat kenabian, ia mulai menyatakan kenabiannya.
Bashiruddin Mahmood menuliskan : “Pendeknya sejak awal mula Isa al-Masih Mirza meyakini bahwa definisi nabi
adalah seseorang yang membawa syariah baru, atau yang menghapuskan beberapa perintah agama, atau seseoranng yang langsung ditunjuk oleh Tuhan;
jadi, meskipun semua sifat dan karakter yang dibutuhkan oleh seorang nabi ada pada dirinya, ia masih menolak untuk menunjuk dirinya sebagai nabi. Tetapi
kemudian, ketika ia mulai sadar bahwa sifat pengakuannya adalah pengakuan kenabian, ia mulai menyatakan dirinya sebagai nabi
”. Namun, apakah Mirza menahan diri dari menyatakan bahwa ia adalah nabi
hingga keraguannya hilang dan kemudian telah diperintahkan Tuhan untuk
menyatakan kenabiannya, atau ia sedang menunggu saat yang tepat untuk membuat pernyataannya, tidak diragukan lagi bahwa pada akhirnya ia
menyatakan kenabiannya. Dan ini merupakan konsekuensi logis dari sejumlah klaim yang ia buat sebelumnya.
Masalah kenabian akhirnya telah diputuskan pada tahun 1901 dan Mirza Ghulam Ahmad mulai menulis mengenai hal itu secara ekplisit dalam tulisannya.
Kumpulan artikel yang disebut Arba’in penuh dengan pernyataan dan uraian tentang misi barunya. Pada 1902, ia menulis sebuah buku berjudul Tuhfat an-
Nadwah yang ditujukan kepada para ulama yang ikut andil dalam “Konfrensi
Nadwah” yang diselenggarakan di Amritsar pada 1902. Dalam buku tersebut, ia menuliskan :
“Seperti yang aku katakan berkali-kali bahwa apa yang aku bacakan kepadamu adalah benar-benar kalam Allah, sebagaimana Al-Qur’an dan Taurat adalah
kalam Allah dan bahwa aku adalah seorang nabi Zilli dan setiap Muslim harus mematuhikiu dalam masalah-masalah agama. Dan siapa saja yang mengetahui
kabar tentang diriku, tetapi tidak menjadikanku sebagai hakim dalam memutuskan masalahnya, ataupun tidak mengakui wahyu yang aku terima dari
Tuhan, ia akan mendapat azab di akhirat karena ia telah menolak apa yang seharusnya ia terima. Aku tidak hanya mengatakan bahwa aku menghendaki
kematian sekiranya aku adalah pembohong; aku juga mengatakan bahwa aku adalah orang yang benar bahkan sebagaimana Musa dan Isa dan Muhammad,
dan bahwa Tuhan telah menunjukan lebih dari sepuluh ribu tanda untuk menguatkan pernyataanku. Rasulullah telah beraksi dan para nabi sebelumnya
telah menunjukkan zaman kemunculanku, yaitu zaman sekarang ini. Al-Qur’an juga telah menunjukan masa tugasku pada zaman ini. Langit dan bumi pun telah
beraksi untuk mendukungku. Dan tak ada seorang nabi pun yang tidak beraksi untuk membela ku”.
Jadi wahai orang-orang dari umat Muhammad, akulah satu-satunya yang telah menerima bagian besar dari wahyu Tuhan dan pengetahuan tentang alam
ghaib. Tak seorang pun dari orang suci sebelumku yang diberi karunia seperti
ini. Atas dasar ini, aku telah dipilih sebagai seorang nabi dan tak akan ada lagi yang berhak menyandang gelar ini.
Seluruh tulisan Mirza selanjutnya, penuh dengan uraian tentang klaim kenabiannya. Terlalu banyak untuk disebutkan dalam buku itu. Bagi mereka yang
tertarik untuk mengetahui secara lebih detail, maka harus mempelajari bukunya Haqiyat al-Wahy,
dan buku yang ditulis Bashiruddin Mahmood Haqiqat al- Nubuwwah.
30
Pintu kenabian masih terbuka karena Miza Ghulam Ahmad mempunyai beberapa alasan dan ia mempusatkan perhatian terhadap dalil Al-Qur’an yang
maknanya juga didukung oleh Sunnah Nabawiyah. Dalil yang dipergunakan adalah firman Allah dalam surat Al-Ahzab, yaitu :
ﺏ ﺡ ,ر
- .ر 0 1- 22 - 0 3 ﺏ 4 5206 7 833: 40
“Muhammad tiadalah bapak salah seorang dari laki-laki di antara kamu, tetapi di adalah utusan Allah dan penutup nabi-nabi”
QS. Al-Ahzab33: 40 Mirza berusaha menafsirkan kalimat “khatam” penutup di luar makna
yang diketahui oleh umat Islam pada umumnya yang telah diwarisi oleh mereka secara turun-temurun. Pemikiran Mirza terhadap dalil ini berkisar seputar dua
poin yang sederhana. Pertama,
pemikiran mengenai “tanasukh” inkarnasi setelah ia memberikan pernik baru. Dia misalnya mengaku bahwa sebenarnya dia-lah
30
Sayid Abul Hasan Ali Nadwi, Tikaman Ahmadiyah Terhadap Islam, Penerjemah Tubagus Mundzir, Jakarta: Fadlindo Media Utama, 2005 cet. 1, hal.67-71
Muhammad itu atau Nabi Muhammad SAW. Telah dipersiapkan kembali untuk menyatu di dalam diri Mirza Ghulam Ahmad. Apabila Muhammad SAW telah
dipersiapkan kembali untuk menjadi seorang nabi, tentu hal ini tidak menafikan tertutupnya pintu kenabian. Sebab Muhammad telah menutup pintu kenabian
pada saat menjadi nabi untuk pertama kalinya di tengah-tengah masyarakat Quraisy. Pintu kenabian pun masih tertutup pada saat Nabi Muhammad SAW
kembali menjadi nabi untuk kedua kalinya di tengah-tengah masyarakat Qadian di India. Jadi, di sana tidak terdapat dua sosok, melainkan hanya satu sosok saja
yang telah menutup pintu kenabian. Pernyataan Mirza mengenai hal ini sangat jelas dia berkata :
Akulah Muhammad, namun sebatas samaran. Oleh karena itu, kedudukannya sebagai nabi penutup tidak berakhir. Sebab kenabian Muhammad
SAW masih berlangsung dan terjadi dalam sosok Muhammad itu sendiri. Dengan kata lain, Muhammad sendirilah yang tetap menjadi Nabi sampai sekarang”.
“Jika aku sebagai Muhammad dalam bentuk inkarnasi, dan seluruh bentuk kesempurnaan Muhammad telah berpencar kepadaku dengan kenabian secara
samaran, siapa lagi yang akan mengaku sebagai nabi independent”
Kedua, pemikiran yang dijadikan pijak, oleh Mirza adalah bahwa makna
Muhammad sebagai penutup para nabi adalah ia telah diberikan syarat-syarat dan karakteristik sebagai nabi penutup. Dengan demikian hanya beliau pula yang
berhak memberikan syarat karakteristik itu kepada umatnya yang di kehendakinya. Barang siapa yang diberikan kenabian secara abstrak oleh beliau,
orang itu pun menjadi seorang nabi tanpa menyalahi akidah tentang nabi akhir zaman. Ini apabila kita telah memahami prinsip nabi penutup dalam artian bahwa
beliau memiliki syarat dan karakteristik nabi penutup, lalu syarat dan karakteristik itu diberikan kepada salah seorang umatnya yang dikehendaki.
31
Untuk menyebarkan kemahdian Mirza Ghulam Ahmad dengan buku-buku karangannya diperlukan dana. Untuk itu, Mirza Ghulam Ahmad menghimbau
perlunya chandah ungkapan yang sifatnya himbauan tentang perlunya chandah diungkapkan pertama kali pada tanggal 5 Juli 1903. Mirza Ghulam Ahmad
memberikan landasan bahwa dengan memberikan chndah, iman akan bertambah kuat karena ini adalah urusan kecintaan dan keikhlasan.
Pada tanggal 20 Desember 1905 Mirza Ghulam Ahmad mencanangkan gerakan al-Washiyyat. Intinya, siapa pun yang tergabung menjadi anggota
Jema’at ini wajib mewasiatkan 110 sampai 13 dari harta kekayaan dan pendapatan bulanannya, di samping bertakwa, meninggalkan hal-hal yang haram,
dan tidak berbuat syirik. Mereka yang menjadi anggota gerakan al-Washiyyat kelak jika meninggal jenasahnya akan dikuburkan di makam Bahesti Makbarah
Taman Surga di Qadian. Penyisihan harta kekayaan dan pendapatan bulanan sesuai dengan janji yang dibuat dalam Chandah Washiyyat.
32
Gerakan Al- wasiyyat
juga dimaksudkan untuk memajukan dan menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia.
33
31
Thaha Dasuki Hubaisyi, Munculnya Aliran-Aliran Sesat di Abad Modern, Penerjemah Amirullah Kandu, Bandung: Cv Pustaka Setia , 2006, h. 292-293
32
Iskandar Zulkarnaen,Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 66-67
33
Wawan H. Purwanto, Menusuk Ahmadiyah, h. 32
Tahun 1906 M. Ghulam Ahmad mendirikan sebuah lembaga yang bernama Sadr Anjuman Ahmadiyah, yang berpusat di Qadian dan bertugas
mengurus sekolah, majalah, badan wasiat dan lainnya. Lembaga tersebut berjumlah lima belas orang, empat belas orang dipilih oleh Ghulam Ahmad.
Beliau mewasiatkan tentang akan adanya silsilah khilafah yang akan menggantikan beliau dan akan misi tersebut. Mirza wafat di Lahore pada tanggal
26 Mei 1908. Jenazah beliau dibawa ke Qadian dan dikebumikan di sana.
34
Pada 1891 ketika Mirza menyatakan bahwa dirnya adalah al-Mahdi al- muntadzar, kemudian pada 1910, bahwa ia adalah seorang nabi Allah, ulama
Muslim mulai mengecam dan menentangnya. Di antara mereka yang gigih menentang Mirza adalah Maulana Sanaullah Amritsari, editor majalah Ahlul
hadist . Pada 5 April 1907, Mirza Ghula Ahmad mengeluarkan pernyataan yang
ditujukan kepada Maulana Sanaullah: “Sekiranya aku adalah seorang pembohong besar seperti yang anda
gambarkan dalam majalah anda, maka aku akan mati di saat anda masih hidup, karena aku tahu bahwa masa hidup seorang pembuat kejahatan dan pembohong
tidak akan lama dan pada akhirnya ia akan mati sebagai sorang yang gagal dalam keadaan terhina dan sengsara di saat musuh besarnya masih hidup.
Namun sekiranya aku bukan seorang pembohong dan penipu tetapi seorang yang telah mendapat kemuliaan melalui wahyu Tuhan, serta Imam Mahdi dan al-
Masih yang telah dijanjikan, maka aku memohon dengan rahmat Tuhan dan seiring dengan sunnatullah, anda tidak akan selamat dari hukuman karena anda
menolak kebenaran. Hukuman itu bukan berasal dari tangan manusia tetapi dari tangan Tuhan, yaitu berupa penyakit dan kolera. Namun sekiranya penyakit itu
tidak menimpa anda di saat aku masih hidup, maka aku bukan utusan Tuhan”
34
Ibid, hal.32-33
Setahun setelah dipublikasikannya pernyataan ini, pada 25 Mei 1908 Mirza Ghulam Ahmad jatuh sakit terserang penyakit kolera di Lahore. Dalam
kondisi yang lemah, ia juga muntah-muntah. Ia langsung mendapat perawatan khusus, namun kondisi Mirza semakin melemah dan kritis. Pada hari berikutnya,
tanggal 26 Mei ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Tentang kematian Mirza Ghulam Ahmad, mertuanya, Mir Nasir Nawab
menceritakan: “Malam di mana Mirza Ghulam Ahmad jatuh sakit, saya sedang tidur di
tempat saya. Ketika ia merasa sangat tersiksa, saya terbangun. Ketika ia menyapa saya dan berkata, “Mir Shahib aku terkena penyakit kolera”. Setelah
kejadian ini, dalam pendapat saya, Mirza tidak bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas sampai ia meniggal hari berikutnya jam sepuluh”.
Pada 27 Mei 1908 proses pemakaman berlangsung dan Hakim Nuruddin dipilih sebagai penggantinya, menjadi seorang khalifah pertama gerakan
Ahmadiyah.
35
Sebenarnya kurang lebih dari satu tahun menjelang kewafatannya Ghulam Ahmad telah mengangkat penggantinya yaitu H. Hakim Nuruddin, seorang guru
agama di Madinah dan merupakan salah satu keturunan khalifah kedua dari khulafaurasyidin
yaitu Umar bin Khatab ra. Rasa persaudaraan, kebersamaan dan soliditas gerakan Ahmadiyah masih dapat dilihat dan dirasakan pada Ghulan
Ahmad sampai pada khalifah I. Pada masa khalifah I Ahmadiyah telah mengalami kemajuan yang pesat
dan mulai di kenal di kalangan umat Islam secara luas, tetapi setelah
35
Sayid Abul Hasan Ali Nadwi, Tikaman Ahmadiyah Terhadap Islam, h.16-18
kepemimpinan khalifah I berakhir, tepatnya setelah wafat pada 30 Mei 1908 M bibit perpecahan sudah mulai terlihat di kalangan mereka. Soliditas dan solidaritas
sudah tidak tampak lagi di kalangan mereka. Menurut Bashir Ahmad, ada tiga faktor yang menyebabkan aliran Ahmadiyah terpecah yaitu, masalah khalifah,
iman kepada Ghulam Ahmad, dan masalah kenabian.
36
Permasalahan khilafah, di kalangan Ahmadiyah terjadi perbedaan pendapat yang cukup signifikan. Perbedaan ini sangat berpengaruh pada
manejemen organisasi Ahmadiyah yang telah mempunyai jangkauan sangat luas, baik di kalangan muslim non muslim. Ada dua pendapat yang berbeda tentang
masalah tersebut di kalangan Ahmdiyah. pertama, kelompok yang mengatakan bahwa organisai khilafat masih diperlukan untuk mengikuti apa yang telah
diajarkan Ghulam Ahmad. Aliran ini meyakini bahwa Ahmadiyah harus berada dan bergerak dengan sistem khilafah sebagaimana yang ada terdahulu pada masa
Ghulam Ahmad dan khilafah I yang sudah berjalan. Sistem khilafah juga harus ada pada masa yang akan datang dan seterusnya harus tetap ada.
37
Sementara pendapat yang kedua, mengatakan bahwa organisasi khilafah sudah tidak diperlukan lagi dan sudah cukup dengan organisasi Anjuman yang
sudah terbentuk saja, tetapi untuk menghormati wasiat khilafah I boleh ditetapkan seorang Amir dan posisinya tidak wajib ditaati oleh jemaat dan Sadr Anjuman
36
Mirza Bashiruddin Ahmad, Silsilah Ahmadiyah, penerjemah Abdul Wahid H. A. Kemang : 1997, h.71
37
Ibid, h. 40
Ahmadiyah , bahkan jabatannya terbatas dan mempunyai syarat-syarat yang cukup
ketat. Lebih lanjut kelompok ini cenderung menjadikan sistem kepemimpinan dalam Ahmadiyah pada masa yang datang menggunakan sistem kepemimpinan
kolektif kolegial. Kedua
, yang menjadi titik perpecahan di kalangan Ahamadiyah adalah masalah iman kepada Ghulam Ahmad. Terjadi perbedaan yang sengit, di antara
dua kelompok dalam Ahmadiyah. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa iman kepada Ghulam Ahmad adalah suatu kewajiban yang harus ditaati. Siapa
saja orang yang tidak mempercayainya Adalah kafir dan keluar dari Islam. Kelompok ini yang oleh sebagian umat Islam dinilai telah melampaui batas dan
dikategorikan kelompok radikal yang sesat. Sementara kelompok kedua, adalah kelompok yang mengatakan bahwa mereka yang tidak beriman kepada Ghulam
Ahmad tidak ada masalah, karena mereka mempunyai kebebasan untuk tidak melakukan hal itu selama mereka mengucapkan dua kalimah syahadat. Menurut
Maulana Muhammad Ali, faktor yang kedua adalah faktor yang paling memicu perpecahan di kalangan Ahmadiyah.
Faktor yang ketiga yang menjadi pemicu perpecahan di kalangan Ahmadiyah adalah masalah kenabian Ghulam Ahmad. Di kalangan Ahmadiyah
terjadi perbedaan pendapat yang cukup tajam di antara dua kelompok. Permasalahan tersebut sangat krusial, karena masalah kenabian seperti yang
sudah disebutkan di atas merupakan masalah yang khas dari Ahmadiyah dan kontroversial di kalangan umat Islam. Dua kelompok tersebut antara lain,
pertama , kelompok yang mengatakan bahwa kenabian sesudah Rasullah SAW
tetap terbuka sampai kapan pun, sementara pendapat kedua, mengatakan sesudah Nabi Muhammad SAW pintu kenabian sama sekali sudah tertutup dan mengakui
Ghulam Ahmad tidak mendakwakan diri sebagai nabi.
38
Pendapat yang kedua merupakan paham yang dianut oleh kelompok yang kemudian dinamakan aliran
Lahore. Aliran Lahore memperkuat argumentasinya melalui Qanun Asasi Ahmadiyah Lahore
yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir dan sesudah beliau tidak akan datang lagi nabi, baik nabi baru maupun
nabi lama.
39
Munculnya perbedaan pendapat tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad sebenarnya berakar dari Ghulam Ahmad sendiri dalam dua buku karangannya
yang mengakibatkan timbulnya penafsiran yang berbeda antara satu dan yang lain.
Dari uraian itu, jelaslah bahwa sikap para pengikut Mirza Ghulam Ahmad ternyata tampak lebih agresif dari pada sikap pendiri gerakan ini. Di antara
mereka ada yang suka menuduh muslim lain kafir dan ada pula yang tidak. Sejak munculnya dua pendapat yang kontroversial dari internal Ahmadiyah, pada tahun
1914 secara ril Ahmadiyah terpecah menjadi dua golongan. Pertama, golongan Ahmadiyah Qadiani yang ajarannya mencela tuduhan muslim lain sebagai kafir.
38
PB.GAI, Benarkah Ahamdiyah Sesat, Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2003, cet. ke-2, h.10
39
PB. GAI, Anggaran Dasar Qanun Asasi, Yogyakarta: PB. GAI, h.85-86
Golongan yang berkeyakinan bahhwa kenabian tetap terbuka sesudah Rasulullah SAW ini dipimpin oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad. Golongan ini juga
berpandangan bawa Mirza Ghulam Ahmad tidak hanya sebagai mujadid, tetapi juga sebagai nabi dan rasul yang seluruh ajarannya harus ditaati.
Golongan kedua adalah golongan Ahmadiyah Lahore yang disebut juga dengan dengan Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam. Golongan ini dipimpim oleh
Maulana Muhammad Ali dan Kwaja Kamaluddin yang tidak menyetujui prinsip golongan pertama. Golongan ini berkeyakinan bahwa pintu kenabian setelah Nabi
Muhammad SAW telah tertutup. Dengan demikian, Mirza Ghulam Ahmad bukanlah seorang nabi, melainkan seorang mujaddid, selain sebagai al-Masih dan
al-Mahdi
40
. Menurut Syafi’i R. Batuah, seorang pegikut golongan Qadian, golongan
Ahmadiyah Lahore bermula dari kegagalan Maulana Muhammad Ali dalam mencapai ambisinya untuk menjadi Khalifah II. Oleh Karena itu, ia dan
pengikutnya memisahkan diri dan membentuk golongan baru yang berpusat di Lahore.
Munculnya Ahmadiyah Qadian, menurut Maulana Muhammad Ali, karena yang terpilih sebagai khalifah II tahun 1914 dan pengganti Maulvi Hakim
Nuruddin adalah Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad. Ia mengumumkan kepercayaan baru yakni, pendiri Gerakan Ahmadiyah adalah benar-benar nabi,
beliaulah Ahmad yang diramalkan dalam Al-Qur’an Suci ash-Shaff ayat 6, semua
40
Iskandar Zulkarnaen,Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 72-73
orang Islam yang tidak bai’at kepada Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad adalah kafir dan berada di uar Islam.
41
Dengan terpilihnya Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad sebagai kahlifah II tidaklah mendapat dukungan penuh dari seluruh warga Ahmadiyah.
Tampaknya, perpecahan akibat perbedaan pandangan tersebut sangat sulit untuk dipersatukan kembali. Meski demikian, kedua golongan tersebut sangat aktif dan
intensif dalam usaha mewujudkan cita-cita kemahdian, terutama di kalangan masyarakat Kristen barat.
Terpilihnya khalifah II Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad yang memangku jabatan tersebut dari tahun 1914 hingga 1965 kemudian, digantikan
oleh khalifah III Hadhrat Hafiz Nasir Ahmad yang meninggal dunia 1982. Selanjutnya kekhalifahan di jabat oleh khalifah IV Hadhrat Mirza Taher Ahmad
42
dan khalifah V yaitu Hz. Mirza Masroor Ahmad, atba, hinga sekarang.
43
B. Perkembangan dan Penyebaran Ahmadiyah