Pengaruh Proses Rendaman Dingin dan Fumigasi terhadap Serangan Faktor Biologis Perusak Kayu di Dua Lokasi Pengujian

(1)

COLD BATH AND FUMIGATION

EFFECTS ON THE ATTACK OF WOOD

BIOLOGICAL-DESTROYING FACTORS

AT TWO TESTING SITES

Singgih Mukti Wibowo, Imam Wahyudi and Istie Sekartining Rahayu

INTRODUCTION. The availability of timber from community forests tends to increase year by year. These timbers have important role for many wood industries in Indonesia. Compared to that of the natural forest, unfortunately, such kind of timber is commonly inferior especially in its strength and durability. Therefore, their quality have to be improved before being used, for an example is by wood preservation. Therefore, this research aims to study the influence of two treatments, namely the cold bath process of preservation using boron with several concentrations and the simple fumigation process using ammonia with several volumes, on the percentage of weight loss, the damage of wood surface and the attack intensity at the two testing sites.

MATERIALS AND METHOD. The main materials used were sengon (Paraserianthes falcataria), petai (Parkia speciosa)-, manii (Maesopsis eminii)-, karet (Hevea tree brasiliensis)- and pinus (Pinus merkusii) woods. Other materials consisted of boron solution with 3 concentrations (5-, 10-and 15%) 10-and ammonium hydroxide (technical) with 5 volumes (2-, 4-, 6-, 8- 10-and 10 litres). The cold bath method for 2 hours was applied for wood preservation, while the exposure of ammonia gasses for 4 days was applied for wood fumigation. All treated wood were then burried. Grave yard test for 3 months following the ASTM D 1756 2008 was carried out for these two purposes. Data was statistically analyzed using a factorial experimental design by 3 factors randomly ie. wood species, the concentration of boron or the volume of ammonia (depended on the treatment), as well as the testing sites (resettlement and experimental forest area), with three replications.

RESULT AND DISCUSSIONS.In case of boron treatment, it showed that the weight loss of karet treated-wood burried at the experimental forest area was the highest (53.98%), while in case of sengon treated-wood burried at the resettlement area was the lowest (7.03%). The damage of wood surface of karet treated-wood burried at the resettlement area was the highest (98.31%), while sengon treated-wood at the same site was the lowest (1.92%). Karet treated-wood burried at the resettlement area has the most severe damage (all wood samples destroyed; scoring = 0); while sengon treated-wood burried at the same site was not attack (wood sample relatively exsist; scoring = 9.33). In case of ammonia treatment, it was shown that the weight loss of manii treated-wood burried at the resettlement area was the highest (70.57%), while the same species burried at the experimental forest area was the lowest (28.33%). The damage of wood surface of petai treated-wood burried at the experimental forest area was the highest (98.15%), while sengon treated-wood at the same site was the lowest (47.10%). Manii treated-wood burried at the resettlement area as well as petai treated-wood at the experimental forest area have the most severe damage (all sample destroyed; scoring = 0), while sengon treated-wood burried at the experimental forest area was not attack (wood partly exsist; scoring = 5.4). Either of boron concentration effect or ammonia volume effect on the tree parameters studied was varied. Generally, boron-treated wood was not resistant to wood biological-destroying factors exsist in the experimental forest, but resistant enough to those of similar factors exsist in the resettlement. As the contrary, ammonia-treated wood was resistant enough to wood biological-destroying factors exsist in the experimental forest area, but was not resistant to those of similar factors exsist in the resettlement.

Key words: Wood preservation, cold bath, fumigation, Paraserianthes falcataria, Parkia speciosa, Maesopsis eminii, Hevea brasiliensis, boron, amonia.


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hutan rakyat di Indonesia sampai dengan tahun 2003 tercatat ada sekitar 1.265.000 ha yang tersebar di 24 provinsi. Lima ratus ribu ha diantaranya terdapat di Pulau Jawa (Djajapertjunda (2003) dalam Mindawati et al. 2006). Potensi tegakan hutan rakyat tersebut diperkirakan mencapai 43 juta m3 per tahun dengan jenis-jenis kayu utama adalah sengon, akasia, jati, mahoni, sonokeling dan kayu-kayu penghasil buah lainnya.

Jumlah kayu rakyat cenderung terus meningkat. Dalam beberapa dekade terakhir ini, produksi kayu rakyat mencapai 5 juta m3 per tahun atau lebih dari setengah produksi hutan alam. Kayu rakyat bahkan sudah mampu berperan sebagai bahan baku industri perkayuan di Indonesia terbukti dari banyaknya industri perkayuan yang menggunakan kayu rakyat sebagai bahan baku meskipun tidak semua jenis dapat menggantikan fungsi kayu konvensional yang selama ini digunakan. Apabila dibandingkan dengan kayu hutan alam, kayu rakyat cenderung kurang kuat dan kurang awet. Itulah sebabnya kayu-kayu tersebut perlu ditingkatkan kualitasnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui proses pengawetan kayu karena seberapapun kuatnya suatu jenis kayu, pemanfaatannya menjadi kurang berarti apabila kayu tersebut kurang awet.

Pengawetan kayu adalah proses memasukan bahan pengawet beracun terhadap organisme perusak agar kayu menjadi lebih tahan lama. Menurut Nandika et al. (1996), melalui pengawetan maka nilai guna kayu-kayu yang selama ini tidak dimanfaatkan karena kurang awet akan meningkat secara nyata, biaya perbaikan dan penggantian kayu dalam suatu penggunaan akan berkurang, serta dalam jangka panjang turut berkonstribusi pada kelestarian sumberdaya hutan karena konsumsi kayu per satuan waktu menjadi lebih rendah. Hal ini sesuai dengan tujuan utama dari proses pengawetan itu sendiri yaitu untuk memperpanjang umur pakai kayu (Hunt & Garrat 1986).

Pengawetan kayu dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari yang sederhana (biasanya tanpa tekanan) hingga metode yang menggunakan vakum tekan. Apapun metode yang digunakan, masuknya bahan pengawet ke dalam kayu


(3)

pada umumnya akibat adanya aliran (flow) bahan pengawet yang sudah dilarutkan dalam pelarut tertentu dengan konsentrasi tertentu, baik yang masih berupa cairan maupun pasta. Dalam bentuk gas, kegiatan semacam itu tidak disebut sebagai proses pengawetan, melainkan proses fumigasi.

Mengingat penelitian peningkatan kualitas kayu rakyat baik melalui pengawetan maupun fumigasi masih terbatas, maka dilakukanlah penelitian ini. Proses pengawetan yang dipilih adalah metode rendaman dingin karena sederhana dan tidak membutuhkan peralatan khusus, menggunakan senyawa boron dengan beberapa konsentrasi; sedangkan proses fumigasinya adalah fumigasi dalam ruang sederhana dengan amonia sebagai fumigan pada beberapa volume. Kayu yang sudah diawetkan dan sudah difumigasi selanjutnya dikubur untuk menilai ketahanannya terhadap faktor-faktor perusak kayu.

1.2 Tujuan

Penelitian yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas kayu-kayu rakyat sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku alternatif bagi industri perkayuan melalui teknik pengawetan dan fumigasi ini bertujuan untuk:

1. Mempelajari pengaruh perbedaan jenis perlakuan antara pengawetan rendaman dingin dalam larutan boron pada berbagai konsentrasi dan fumigasi dalam amonia pada berbagai volume terhadap persentase kehilangan berat, kerusakan luas bidang permukaan dan intensitas serangan faktor perusak terhadap contoh uji.

2. Mengetahui pengaruh perbedaan lokasi pengujian terhadap daya tahan kayu rakyat yang sudah diberi perlakuan.

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan kayu-kayu rakyat yang memiliki tingkat keawetan yang lebih baik sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku khususnya untuk industri kreatif di tanah air.


(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rakyat

Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungan yang pemilikannya berada pada rakyat (Ditjen RRL Departemen Kehutanan 1996). Menurut SK Menteri Kehutanan No.49/Kpts-II/1997, hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau tanaman sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar.

Hutan rakyat yang dikembangkan secara swadaya oleh masyarakat telah lama bekembang dan memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat (Martinet al. 2003). Hutan rakyat dalam bentuk agroforestri tradisional sudah memainkan peranan penting dalam perbaikan produktivitas dan keberlanjutan sistem pertanian tradisional maupun yang semakin berorientasi pasar (Djogo 1993).

2.2 Pengawetan Kayu

Tidak semua jenis kayu mempunyai tingkat keawetan alami yang sama. Tingkat keawetan kayu sangat beragam menurut jenis dan umurnya: semakin tua umur kayu maka semakin awet juga kayunya. Dari 4000 jenis kayu yang ada di Indonesia, hanya sebagian kecil (15-20%) yang memiliki keawetan tinggi sedangkan sisanya termasuk jenis kayu yang kurang awet (Duljapar 2001).

Keawetan alami suatu jenis kayu bersifat relatif karena dipengaruhi oleh beberapa faktor mulai dari zat ekstraktif, organisme perusak, suhu dan kelembaban (Muslich & Sumarni 2007). Jenis kayu yang tahan terhadap suatu organisme perusak belum tentu mempunyai ketahanan yang sama terhadap organisme perusak lainnya. Keadaan iklim mempunyai efek yang nyata terhadap umur pakai kayu yang tidak diawetkan, karena cuaca panas lembab lebih cocok bagi pembusukan kayu dari pada cuaca kering atau dingin (Hunt & Garrat 1986).


(5)

Keterawetan kayu adalah tingkat mudah-tidaknya kayu dimasuki oleh bahan pengawet. Menurut Martawijaya dan Barly (2000), 4 faktor utama yang mempengaruhi keterawetan kayu, adalah:

a. Jenis kayu, yang ditandai oleh sifat yang melekat pada kayu itu sendiri seperti struktur anatomi (trakeida, pori/pembuluh, serabut, dan saluran damar), permeabilitas, kerapatan dan sebagainya.

b. Keadaan kayu pada saat dilakukan pengawetan seperti kadar air, bentuk kayu, gubal atau teras.

c. Metoda pengawetan yang digunakan. d. Sifat bahan pengawet yang digunakan.

2.3 Pengawetan Kayu Secara Rendaman Dingin

Metode rendaman dingin merupakan salah satu proses sederhana dalam metode pengawetan. Metode ini biasa dilakukan untuk mengawetkan kayu yang akan digunakan pada tempat-tempat yang daya serang organisme perusaknya tergolong sedang atau pada lokasi yang tidak bersentuhan langsung dengan tanah (Bowyer et al. 2003). Proses rendaman dingin dilakukan dengan cara kayu direndam dalam bak yang berisi larutan bahan pengawet. Bak pengawetan dapat dibuat dari besi, kayu atau beton bergantung pada keperluan. Lama waktu perendaman bergantung pada jenis kayu dan ukuran tebal sortimen. Perendaman dihentikan apabila berat contoh uji sebelum dan semudah diawetkan menunjukkan nilai retensi yang dikehendaki. Cara tersebut sangat cocok untuk mengawetkan kayu yang memiliki kelas keterawetan mudah atau sedikit sukar diawetkan.

2.4 Fumigasi

Fumigasi adalah perlakuan pengendalian hama (rayap, kutu buku, tikus, kecoa, ngengat, kumbang dan lain-lain) dengan menggunakan gas beracun methyl bromide (CH3Br). Teknik fumigasi memiliki tingkat penetrasi yang tinggi dan mampu membunuh semua stadia kehidupan hama tanpa mengotori bahan yang difumigasi (Hendrawan 2007). Giler (2006) menyatakan bahwa fumigan adalah zat kimia atau campuran dari bahan kimia aktif dan tidak aktif (jika ada) yang diramu untuk menghasilkan satu fumigan. Formulasi fumigan dapat berupa zat padat, cair dan gas. Fumigan yang ideal memiliki ciri-ciri berikut:


(6)

1. Memiliki tingkat racun yang tinggi terhadap hama yang dijadikan target, namun tidak berbahaya bagi manusia, tumbuhan, organisme lain yang bukan menjadi sasaran, komoditas dan lingkungan.

2. Tersedia di pasaran dan hemat dalam penggunaan

3. Tidak terbakar, tidak merusak dan tidak meledak dalam keadaan penggunaan normal.

4. Mudah menguap dengan penetrasi yang baik.

Amonia merupakan senyawa kimia dengan rumus NH3. Senyawa ini

merupakan senyawa yang berbahaya, bersifat kaustik, korosif dan dapat merusak kesehatan. Amonia bahkan mampu menyebabkan terjadinya kematian apabila terjadi kontak langsung dengan gas amonia yang berkonsentrasi tinggi. Penampilan senyawa ini berupa gas yang tidak berwarna dengan bau tajam yang khas bersifat iritan dan mudah larut dalam air (Moran et al. 2004).

Amonia memiliki titik didih pada suhu -33ºC dan titik lebur -77ºC, oleh karena itu cairan amonia harus disimpan pada suhu yang sangat rendah atau disimpan dalam tekanan yang sangat tinggi. Amonia memiliki berat molekul 17, tekanan uap 400 mmHg (-45,4ºC), berat jenis uap 0,60 dan memiliki suhu kritis 133ºC (Moran et al. 2004).

2.5 Rayap

Rayap termasuk binatang purba karena sudah ada sejak 200 juta tahun silam. Jenis serangga yang sangat kecil ini (panjang sekitar 3 mm) merupakan faktor perusak (biologis) kayu yang paling dikenal. Menurut Lensufie (2008), ada tiga jenis rayap, yaitu: rayap kayu kering, rayap pohon, dan rayap tanah. Makanan utama rayap adalah kayu atau bahan yang mengandung selulosa sehingga hampir semua kayu dapat terserang rayap. Pada beberapa kasus, lignin juga didekomposisi. Hal tersebut tergantung dari jenis rayap (Lee & Wood 1971). Namun ada jenis-jenis kayu tertentu yang tahan terhadap rayap, misalnya ulin, merbau, dan sengon laut.

Rayap tergolong serangga sosial yang hidup dalam suatu komunitas yang disebut koloni dan tidak memiliki kemampuan untuk hidup lebih lama bila tidak


(7)

berada dalam koloninya (Nandika et al. 2003). Berdasarkan Tambunan dan Nandika (1989), rayap mempunyai beberapa sifat penting yaitu:

1. Trophalaksis, yaitu sifat untuk berkumpul saling menjilat dan mengadakan

pertukaran bahan makanan.

2. Cryptobiotik, yaitu sifat untuk menjauhi cahaya. Sifat ini tidak berlaku pada rayap yang bersayap (calon kasta produktif) dimana mereka selama periode yang pendek di dalam hidupnya memerlukan cahaya.

3. Kanibalisme, yaitu sifat untuk memakan individu sejenis yang lemah atau

sakit. Sifat ini lebih menonjol bila rayap berada dalam keadaan kekurangan makanan.

4. Necrophagy, yaitu sifat untuk memakan bangkai sesamanya.

Menurut Tarumingkeng (2000), terdapat beberapa kasta dalam koloni rayap yang wujudnya berbeda, yaitu:

1. Kasta reproduktif

Terdiri dari individu-individu seksual yaitu betina (abdomennya biasanya besar) yang tugasnya bertelur, dan jantan (raja) bertugas membuahi betina. Raja tidak sepenting ratu karena setelah sekali kawin dia akan mati. Sperma dapat disimpan oleh betina dalam kantong khusus, sehingga mungkin sekali tidak diperlukan kopulasi berulang-ulang. Biasanya ratu dan raja adalah individu pertama koloni, yaitu sepasang laron yang mulai menjalin kehidupan bersama. Pasangan ini disebut reproduktif primer.

2. Kasta prajurit

Kasta ini ditandai dengan bentuk tubuh yang kekar karena penebalan

(sklerotisasi) kulitnya agar mampu melawan musuh dalam rangka

mempertahankan kelangsungan hidup koloninya. Mereka bergerak hilir mudik diantara para pekerja yang sibuk mencari dan mengangkut makanan. Jika terowongan kembara diganggu, tidak jarang kita saksikan pekerja-pekerja diserang oleh semut, sedangkan para prajurit sibuk bertempur melawan semut-semut. Pada umumnya prajurit tersebut kalah karena semut lebih lincah bergerak dan menyerang. Prajurit biasanya dilengkapi dengan mandibel (rahang) yang berbentuk gunting. Sekali mandibel menjepit musuhnya, biasanya gigitan tidak akan terlepas walaupun rayap tersebut akhirnya mati.


(8)

3. Kasta pekerja

Kasta ini membentuk sebagian koloni rayap. Tidak kurang dari 80% populasi dalam koloni merupakan individu-individu pekerja. Tugasnya hanya bekerja tanpa henti mencari makanan dan mengangkutnya ke sarang, membuat terowongan-terowongan, menyuapi dan membersihkan rayap reproduktif, prajurit maupun kasta pekerja sendiri. Rayap pekerja ini mandul, tanpa sayap, dan buta warna. Warna rayap pekerja lebih muda dan ukurannya sedikit lebih pendek. Meskipun dengan ciri-ciri rahang yang kurang nampak, tetapi rahang bawah rayap pekerja ini telah disesuaikan secara khusus untuk menggigit putus potongan-potongan kayu. Kasta inilah yang membuat segala macam kerusakan pada kayu.

Menurut Tarumingkeng (2000), hingga saat ini telah tercatat kira-kira 2000 jenis rayap dan tersebar di seluruh dunia, sedangkan di Indonesia telah ditemukan lebih kurang 200 jenis rayap. Dari sekian banyak jenis rayap, diketahui bahwa kerusakan kayu lebih banyak ditimbulkan oleh golongan rayap subteran (rayap tanah).

Rayap subteran adalah golongan rayap yang bersarang di dalam tanah dan membangun liang-liang kembara yang berfungsi untuk menghubungkan sarang dengan benda yang diserang. Golongan rayap subteran selalu menghindari cahaya dan membutuhkan kelembaban yang tinggi dalam kehidupannya. Karena sifatnya yang cryptobiotic dan membutuhkan air untuk melembabkan kayu, liang kembara biasanya tertutup dengan bahan-bahan tanah. Coptotermes curvignathus lebih sering dikenal dengan sebutan rayap tanah, berukuran besar dan menyebabkan serangan yang paling parah di Indonesia.

2.6 Jenis Kayu Hutan Rakyat 2.6.1 Kayu Karet

Tanaman karet (Hevea brasiliensis) termasuk salah satu anggota famili Euphorbiaceae. Tanaman ini sering juga disebut hevea atau rubber-tree (Inggris);

rubberboom (Belanda); atau seringueria (Spanyol). Di Indonesia jenis ini banyak

ditanam di Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan sebagai tanaman perkebunan besar dan perkebunan rakyat untuk produksi getah (Boerhendy dan Agustina


(9)

2006). Bila pohon telah mencapai umur 25-30 tahun, perlu segera diremajakan karena tidak ekonomis lagi untuk disadap.

Kayu karet memiliki berat jenis (BJ) sekitar 0,61 (0,55-0,70), tergolong kayu dengan kekerasan sedang dan Kelas Awet V (Mandang dan Pandit 1997). Variasi BJ kayu disebabkan beberapa hal, antara lain perbedaan genetik, tempat tumbuh, dan contoh yang dianalisis (Budiman 1987 dalam Boerhendy dan Agustina 2006). Kayu karet mudah digergaji dengan hasil gergajian yang cukup halus, serta mudah dibubut dengan permukaan yang rata dan halus. Selain itu, kayu karet mempunyai sifat perekatan yang baik dengan semua jenis perekat industri. Kayu karet umumnya digunakan sebagai bahan baku perabot rumah tangga, panel dinding, bingkai gambar/lukisan, lantai parkit, peti kemas, finir, kayu lamina, dan papan balok (Pandit dan Kurniawan 2008).

2.6.2 Kayu Manii

Manii dengan nama latin Maesopsis eminii Engl. termasuk ke dalam famili Rhamnaceae. Tanaman ini banyak terdapat di daerah Jawa Barat. Bagian kayu gubal berwarna putih, sedangkan bagian terasnya kuning gelap hingga coklat. Teksturnya kasar dan berbau masam. Pada habitat alaminya, tanaman ini tumbuh di dataran rendah sampai di ketinggian 1.800 mdpl. Kayu manii biasanya ditanam di dataran rendah dan tumbuh baik pada ketinggian 600-900 m dpl dengan curah hujan 1200-3600 mm per tahun dan musim kering sampai 4 bulan (Joker 2002). Kayu yang ber-BJ 0,38-0,48 ini masuk ke dalam Kelas Kuat III dan Kelas Awet III-IV sehingga banyak dimanfaatkan untuk konstruksi ringan-sedang di bawah atap, peti kemas, box, dan kayulapis (Abdurachman dan Hadjib 2006). Menurut Wahyudi et al. (2007), keterawetan kayu manii tergolong sedang. Manii merupakan jenis pohon cepat tumbuh dan serbaguna serta banyak ditanam sebagai sumber kayu bakar.

2.6.3 Kayu Sengon

Sengon atau Paraserianthes falcataria termasuk ke dalam famili Mimosaceae. Penyebarannya ada di seluruh Jawa, Maluku, hingga Papua. Kayu sengon memiliki ciri umum: teras berwarna hampir putih atau coklat muda pucat (seperti daging) dengan bagian gubal yang tidak berbeda dengan kayu teras. Teksturnya agak kasar dan merata dengan arah serat lurus, bergelombang lebar


(10)

atau berpadu. Permukaan agak licin dan agak mengkilap. Kayu yang masih segar berbau petai. Kayu ini termasuk Kelas Awet IV/V dan Kelas Kuat IV-V dengan BJ sekitar 0,33 (0,24-0,49). Kayunya lunak dan mempunyai nilai penyusutan arah radial dan tangensial dari kondisi basah sampai kering tanur berturut-turut adalah 2,5% dan 5,2%. Kayunya mudah digergaji tetapi tidak semudah kayu meranti merah, dan dapat dikeringkan dengan cepat tanpa cacat yang berarti. Cacat pengeringan yang lazim adalah melengkung atau memilin (Martawijaya & Kartasujana 1997).

2.6.4 Kayu Petai

Petai (Parkia speciosa atau P. timoriana (DC) Merr.) adalah salah satu tanaman asli dari Malaysia, Brunei, Indonesia dan Semenanjung Thailand. Pohon dapat mencapai tinggi 50 cm dengan permukaan kulit batang halus berwarna coklat kemerahan. Daun majemuk menyirip ganda dua (bipinnate). Tanaman ini sering ditanam mulai dari dataran rendah hingga ke ketinggian 1.500 m dpl, namun tumbuh optimal pada ketinggian 500-1000 m dpl (Abdurrohim 2007).

Kayu teras putih kekuning-kuningan, sedangkan bagian kayu gubalnya hampir putih sehingga sukar untuk dibedakan. Corak kayu polos, tekstur agak kasar, arah serat agak berpadu, permukaan kayu mengkilap, dan memiliki tingkat kekerasan yang lunak. Lingkar tumbuh kayu petai agak jelas, ditandai dengan adanya lapisan-lapisan yang berbeda kepadatannya dan ketebalan dinding seratnya.

Menurut Oey Djoen Seng (1990), kayu petai memiliki berat jenis minimum 0,35 dan maksimum 0,53 dengan rata-rata 0,45 serta termasuk ke dalam Kelas Awet V dan Kelas Kuat III-V. Dari kelas awet dan kelas kuatnya, maka kayu petai tidak cocok untuk kayu konstruksi dengan pembebanan yang besar, tetapi dapat digunakan untuk bangunan ringan sementara, kayu pertukangan, meubel, kabinet, moulding, perlengkapan interior, pelapis, cetakan beton, peti krat, korek api, usungan, sumpit, pelampung jala, pulp dan kertas, serta kayu energi.


(11)

2.6.5 Kayu Pinus

Pinus memiliki nama botani Pinus merkusii Jungh. Et de Vries. Nama lainnya adalah merkusee pine (Amerika dan Inggris), merkustall (Swedia) atau Sumatrakiefer (Jerman). Kayu pinus juga memiliki nama daerah damar batu, damar bunga, huyam, uyam dan sala (Sumatera). Kayu ini memiliki tekstur yang agak kasar dan serat lurus tapi tidak rata. Warna kayu terasnya sukar dibedakan dari bagian gubal kecuali pada pohon berumur tua, dimana terasnya kuning kemerahan sedangkan gubalnya putih krem. Kekerasan kayu pinus tergolong sedang, sedangkan berat tergolong agak ringan sampai agak berat. Dengan berat jenis rata-rata sebesar 0,55, kayu pinus termasuk kelas kuat III. Kayu pinus termasuk ke dalam kelas awet IV (Pandit dan Kurniawan 2008).


(12)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Sifat Dasar, Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dan di Laboratorium Biologi Hasil Hutan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB dari bulan Juni sampai Desember 2011. Lokasi pengujian ketahanan kayu yang sudah diberi perlakuan dibedakan menurut intensitas serangan dan jenis faktor biologis perusak kayu yang ada, yaitu: a) Arboretum Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata-Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor mewakili daerah dengan jenis perusak biologis yang beragam dan diperkirakan memiliki intensitas serangan yang tinggi, dan b) Perumahan di lingkup Kampus IPB Darmaga yang mewakili daerah bekas kebun karet dengan jenis perusak biologis yang hidupnya dekat dengan permukiman dan diperkirakan masih memiliki intensitas serangan yang cukup tinggi.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1. Rendaman Dingin

Bahan dan alat yang digunakan adalah boraks (Na2B407.10H20) dengan konsentrasi 5%, 10% dan 15% (b/v), lima jenis kayu yaitu karet (Hevea brasiliensis), manii (Maesopsis eminii), sengon (Paraserianthes falcataria), petai

(Parkia speciosa) dan pinus (Pinus merkusii), bak rendaman, kompor gas, panci, timbangan elektrik, alat tulis, linggis, tali rafia, plastik, karung, trash bag, sikat, kompressor, dan kamera digital.

3.2.2. Fumigasi

Bahan dan alat yang digunakan terdiri dari larutan amonia 2, 4, 6, 8, dan 10 liter, 4 jenis kayu yaitu karet, manii, sengon, petai dan pinus, alat tulis, terpal plastik, lakban, selang, karung, kipas angin, linggis, tali rafia, plastik, karung,

trash bag, sikat, kompressor, kamera digital dan peralatan pengaman fumigasi (sarung tangan, helm, masker fumigasi) dan ruang uji fumigasi.


(13)

3.3 Pengawetan secara Rendaman Dingin

Ukuran contoh uji yang digunakan adalah (2 x 2 x 45) cm3 dalam kondisi kering udara (kadar air <18%). Total contoh uji yang dibuat 78 buah dengan perincian: 4 jenis kayu (karet, manii, sengon dan petai) x 3 konsentrasi larutan bahan pengawet (5%, 10% dan 15%) x 2 lokasi x 3 ulangan, ditambah 6 buah kontrol yaitu kayu pinus (masing-masing 3 buah per lokasi pengujian).

Contoh uji yang sudah ditimbang dan diukur kadar airnya disusun rapi menggunakan ganjal di dalam bak rendaman dan diberi pemberat, lalu ke dalam masing-masing bak rendaman dimasukkan larutan bahan pengawet sesuai dengan konsentrasi yang telah disiapkan hingga contoh uji terendam sempurna. Perendaman dilakukan selama 2 jam dalam suhu kamar. Setelah 2 jam, contoh uji ditiris kemudian ditimbang, lalu dikering udarakan selama 2 minggu. Dalam penelitian ini, data retensi dan penetrasi pada masing-masing kayu yang diteliti mengacu pada hasil penelitian Djauhari (2012).

3.4 Proses Fumigasi Amonia

Contoh uji yang digunakan berukuran (2 x 2 x 45) cm3 dalam kondisi kering udara (kadar air <18%). Total contoh uji yang digunakan 120 buah dengan perincian: 4 jenis kayu (karet, manii, sengon dan petai) x 5 volume larutan amonia (2, 4, 6, 8, dan 10 liter) x 2 lokasi x 3 ulangan. Amonia yang digunakan adalah amonia cair teknis (ammonium hidroksida 100%) yang tersedia di pasar.

Proses fumigasi dilakukan di dalam ruang fumigasi yang berbentuk kotak bujur sangkar berukuran 2 m x 1 m x 1 m dan terbuat dari rangka kayu dengan plastik transparan sebagai penutup (Gambar 1).


(14)

Contoh uji kayu yang telah ditimbang berat awalnya ditumpuk dan disusun rapi di dalam ruang fumigasi. Ke dalam ruang fumigasi kemudian dimasukkan larutan amonia dengan konsentrasi tertentu. Ruang fumigasi selanjutnya ditutup rapat dengan lakban dan contoh uji dibiarkan terpapar gas amonia selama 4 hari, kemudian dikeluarkan dari ruang fumigasi lalu dikeringkan dalam oven 60°C selama 48 jam dan ditimbang.

3.5 Pengujian Lapangan dan Pengumpulan Data

Pengujian lapangan dilakukan dengan mengikuti standar ASTM D1756-2008 tentang uji kubur (grave yard test). Penguburan dilakukan di arboretum DKSHE Fakultas Kehutanan IPB dan di kawasan perumahan kampus IPB (Gambar 2).

Gambar 2 Lokasi pengujian di permukiman (kiri) dan di arboretum (kanan).

Contoh uji yang sudah diberi perlakuan (pengawetan rendaman dingin atau fumigasi) dan telah diketahui kadar air (KA) serta berat awalnya (W1) dikubur secara acak selama tiga bulan di masing-masing lokasi, berikut contoh uji kontrolnya. Jarak antar contoh uji adalah 30 cm, sedangkan jarak antar baris adalah 60 cm dengan kedalaman penguburan 25-30 cm. Setelah tiga bulan, sampel dicabut dengan hati-hati, dibersihkan dengan air dan kompressor, diamati kerusakan yang terjadi, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu (103±2)ºC sampai konstan dan ditimbang (W2). Nilai persentase kehilangan berat contoh uji dihitung menggunakan rumus:

P = [(W1* - W2) / W1*] x 100%

Dimana:

P = Penurunan berat (%)


(15)

= W1 / [1 + (KA/100)]

W2 = Berat contoh uji kering tanur setelah dikubur (gram)

Ketahanan kayu hasil perlakuan dinilai berdasarkan standar ASTM 2008 dan SNI 2006. Menurut ASTM 2008, ketahanan kayu dinilai berdasarkan derajat atau intensitas kerusakan secara keseluruhan pada contoh uji (Tabel 1) dan pada

cross section contoh uji (Tabel 2), sedangkan menurut SNI 2006 berdasarkan nilai rata-rata persentase penurunan berat kayu (Tabel 3). Kerusakan atau kehilangan pada cross section dihitung menggunakan rumus:

Kerusakan = (A1

A2) / A1 x 100%

Dimana:

A1 = Luas permukaan contoh uji sebelum dikubur (cm2) A2 = Luas permukaan contoh uji setelah dikubur (cm2)

Tabel 1 Penilaian tingkat kerusakan contoh uji

Nilai Kondisi Serangan

10 Utuh, lubang gerek di permukaan

9 Serangan ringan

7 Serangan sedang, terjadi penetrasi

4 Serangan berat

0 Hancur

Sumber: ASTM 2008

Tabel 2 Penilaian hasil pengujian lapangan

Nilai Kerusakan oleh Rayap

10 Tidak ada serangan : 1 - 2 lubang gerek kecil

9 Lubang gerek mencapai 3% dari cross section

8 Penetrasi mencapai 3 - 10% dari cross section

7 Penetrasi mencapai 10 - 30% dari cross section

6 Penetrasi mencapai 30 - 50% dari cross section

4 Penetrasi mencapai 50 - 75% dari cross section

Sumber: ASTM 2008

Tabel 3 Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah

Kelas Ketahanan Penurunan Berat (%)

I Sangat tahan < 3,52

II Tahan 3,52 - 7,50

III Sedang 7,50 - 10,96

IV Buruk 10,96 - 18,94

V Sangat buruk 18,94 - 31,89

Sumber: SNI 2006

3.6 Pengolahan Data

Data yang dihasilkan dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007 dan


(16)

(Rancangan Acak Lengkap) faktorial dengan 3 faktor, yaitu: faktor A (jenis kayu yaitu sengon, petai, manii dan karet), faktor B (konsentrasi larutan bahan pengawet atau volume amonia (tergantung perlakuan), yaitu 5%, 10% dan 15% (konsentrasi larutan) atau 2 liter, 4 liter, 6 liter, 8 liter dan 10 liter (volume amonia), serta faktor C (lokasi uji kubur yaitu permukian dan arboretum), dengan masing-masing 3 kali ulangan (Mattjik dan Sumertajaya 2002).

Model rancangan percobaan statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Yijkl= μ+ αi+ j + k+ (α )ij+ (α )ik+ ( )jk+ (α )ijk+ εijkl Dimana:

Yijkl = Nilai pengamatan pada masing-masing jenis kayu ke-i, konsentrasi atau volume larutan ke-j, lokasi pengujian ke-k dan ulangan ke-l

μ = Rataan umum

αi = Pengaruh jenis kayu ke-i

j = Pengaruh konsentrasi atau volume ke-j (tergantung perlakuan) k = Pengaruh lokasi pengujian ke-k

(α )ij = interaksi pengaruh jenis kayu ke-i dengan konsentrasi/volume ke-j

(α )ik = interaksi pengaruh jenis kayu ke-i dengan lokasi ke-k

( )jk = interaksi pengaruh konsentrasi/volume ke-j dengan lokasi ke-k

(α )ijk = interaksi pengaruh jenis kayu ke-i, konsentrasi/volume ke-j dan lokasi ke-j

εijkl = Kesalahan percobaan

Perlakuan yang berpengaruh terhadap respon dalam analisis sidik ragam, kemudian diuji lanjut dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test

(DMRT). Analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer SAS 9.1.


(17)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kehilangan Berat, Kerusakan Luas Bidang Permukaan dan Intensitas Serangan pada Contoh Uji yang Diawetkan secara Rendaman Dingin di Dua Lokasi Percobaan

4.1.1 Kehilangan Berat Kayu

Rata-rata persentase kehilangan berat contoh uji di dua lokasi percobaan yang berbeda (permukiman dan arboretum) disajikan pada Gambar 3 dan 4. Hasil lengkap perhitungan disajikan pada Lampiran 1 dan 2.

Gambar 3 Persentase kehilangan berat kayu hasil rendaman dingin di permukiman.

Dari Gambar 3 diketahui bahwa kayu awetan petai berkonsentrasi 10% memiliki persentase kehilangan berat tertinggi (59,40%), sedangkan kayu awetan sengon 10% memiliki persentase kehilangan berat terendah (3,64%). Dibandingkan dengan kayu pinus (kontrol), secara keseluruhan diketahui pula bahwa kayu awetan petai, manii dan karet ternyata kurang tahan terhadap serangan faktor perusak. Kayu awetan sengon malah lebih tahan. Rata-rata kehilangan berat kayu awetan sengon 7,03% sedangkan rata-rata kehilangan berat kayu kontrol 8,36%.

Berbeda halnya dengan yang di permukiman (Gambar 3), dari Gambar 4 diketahui bahwa keempat jenis kayu yang diteliti (sengon, petai, manii dan karet),


(18)

meskipun sudah diawetkan ternyata semuanya tidak tahan terhadap serangan faktor perusak dibandingkan dengan kayu pinus (kontrol). Rata-rata kehilangan berat masing-masing jenis kayu yang diteliti pada semua tingkat konsentrasi bahan pengawet lebih tinggi dibandingkan dengan kontrolnya. Rata-rata kehilangan berat kayu kontrol sebesar 6,07%, sedangkan rata-rata kehilangan berat kayu awetan sengon, petai, manii dan karet berturut-turut adalah 25,62%, 31,83%, 44,13% dan 53,98%. Selanjutnya diketahui pula bahwa kayu awetan yang dikubur di arboretum mengalami rata-rata kehilangan berat yang lebih tinggi untuk jenis yang sama, kecuali pada kayu awetan petai. Kehilangan berat kayu awetan sengon, manii dan karet di permukiman berturut-turut hanya 7,03%, 20,52% dan 39,04%. Kehilangan berat kayu awetan petai relatif sama antara yang di permukiman dengan yang di arboretum (34,02% berbanding 31,83%).

Gambar 4 Persentase kehilangan berat kayu hasil rendaman dingin di arboretum.

Dari Gambar 3 dan 4 juga dapat diketahui bahwa kehilangan berat pada masing-masing jenis kayu awetan di dua lokasi penelitian tidak memperlihatkan adanya suatu pola yang konsisten terkait dengan meningkatnya konsentrasi larutan bahan pengawet, kecuali pada kayu awetan petai. Pola kehilangan berat pada kayu yang sesuai dengan teori, yaitu semakin tinggi konsentrasi bahan pengawet akan semakin rendah kehilangan beratnya, hanya terdapat pada kayu awetan sengon di arboretum.


(19)

Hasil analisis sidik ragam atau ANOVAnya (Lampiran 13) menunjukkan bahwa kehilangan berat contoh uji hanya dipengaruhi oleh faktor tunggal yaitu jenis kayu, konsentrasi larutan bahan pengawet dan lokasi pengujian, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 14) menunjukkan bahwa kehilangan berat kayu awetan karet sebanding dengan yang terjadi pada kayu awetan petai dan manii. Ketiganya berbeda dibandingkan dengan kehilangan berat kayu awetan sengon. Rata-rata kehilangan berat pada kayu awetan petai, manii dan karet berturut-turut adalah 32,93%, 32,32% dan 46,51%, sedangkan pada kayu awetan sengon hanya 16,33% (Gambar 5).

Gambar 5 Rata-rata kehilangan berat berdasarkan jenis kayu.

Pengaruh jenis kayu terhadap persentase kehilangan berat dapat dimaklumi karena masing-masing jenis kayu memiliki karakteristik yang berbeda. Dalam penelitian ini, perbedaan nilai kehilangan berat antar jenis kayu lebih disebabkan oleh adanya perbedaan tingkat keterawetan kayu karena keempat jenis kayu yang diteliti memiliki kelas awet yang relatif sama, yaitu Kelas Awet IV (manii), IV-V (sengon dan petai), serta V-IV (karet). Meskipun kelas awetnya sama, ketahanan kayu terhadap serangan faktor perusak akan berbeda apabila tingkat keterawetannya berbeda. Inilah sebabnya mengapa kehilangan berat pada kayu awetan sengon paling rendah dibandingkan dengan ketiga jenis kayu lainnya. Kayu sengon tergolong kayu yang mudah diawetkan (tingkat keterawetannya sedang), sedangkan petai, manii dan karet tergolong sulit hingga agak sulit diawetkan (Abdurrohim et al. 2004; Martawijaya et al. 2005).


(20)

Gambar 6 memperlihatkan pengaruh konsentrasi larutan bahan pengawet terhadap persentase kehilangan berat contoh uji. Konsentrasi 10% menghasilkan kehilangan berat tertinggi (37,90%), kemudian diikuti oleh konsentrasi 5% (34,62%), dan yang paling rendah adalah konsentrasi 15% (23,55%). Berdasarkan uji Duncan (Lampiran 14), pengaruh konsentrasi 10% relatif sama dengan pengaruh konsentrasi 5% dan pengaruh konsentrasi 5% relatif sama dengan pengaruh konsentrasi 15%, tetapi pengaruh konsentrasi 10% berbeda nyata dibandingkan dengan pengaruh konsentrasi 15%. Dengan kata lain, konsentrasi larutan bahan pengawet 5% sama pengaruhnya dengan konsentrasi 10% maupun 15% terhadap persentase kehilangan berat contoh uji.

Gambar 6 Rata-rata kehilangan berat berdasarkan konsentrasi.

Pengaruh konsentrasi larutan bahan pengawet terhadap persentase kehilangan berat hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang berlaku dimana semakin tinggi konsentrasi akan semakin rendah pula persentase kehilangan berat. Semakin tinggi konsentrasi larutan bahan pengawet, peluang terjadinya penetrasi yang dalam dan retensi yang lebih banyak akan semakin besar sehingga kayu menjadi lebih tahan terhadap serangan faktor perusak. Menurut Hunt dan Garrat (1986), meski penetrasi tidak selalu berkolerasi dengan retensi, penetrasi yang dalam cenderung meningkatkan nilai retensi sehingga kayu menjadi lebih awet. Namun demikian, mengingat harga bahan pengawet yang relatif mahal, maka penggunaan larutan bahan pengawet dengan konsentrasi 5% sangat disarankan.

Gambar 7 memperlihatkan pengaruh perbedaan lokasi pengujian terhadap persentase kehilangan berat contoh uji. Rata-rata kehilangan berat contoh uji yang


(21)

dikubur di arboretum lebih tinggi (38,89%) dibandingkan dengan yang dikubur di permukiman (25,15%). Perbedaan ini diduga terkait dengan perbedaan intensitas serangan dan atau perbedaan jenis serta jumlah faktor perusak yang ada di masing-masing lokasi akibat kondisi lingkungan yang berbeda. Menurut Tarumingkeng (1993); Nandika et al. (2003), aktifitas manusia dapat menyebabkan terganggunya ketenteraman dan kenyamanan hidup rayap serta perusak biologis kayu lainnya. Lebih beragamnya jenis dan jumlah faktor perusak yang ada di arboretum dibandingkan dengan yang ada di permukiman serta tingginya intensitas serangan faktor perusak tersebut diduga merupakan faktor penyebab.

Gambar 7 Rata-rata kehilangan berat berdasarkan lokasi pengujian.

Tabel 4 dan 5 memuat perbandingan kelas awet kayu sebelum dikubur (keawetan alami) dan setelah dikubur berdasarkan rata-rata persentase kehilangan berat contoh uji di dua lokasi. Data yang tersaji membuktikan bahwa persentase kehilangan berat contoh uji yang dikubur di arboretum secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan yang dikubur di permukiman kecuali kayu sengon. Kondisi arboretum yang lebih tenang karena tidak banyak gangguan manusia merupakan habitat ideal bagi berbagai jenis faktor biologis perusak kayu.


(22)

A

Tabel 4 Kelas awet kayu hasil rendaman dingin setelah uji kubur di permukiman Jenis

Kayu

% Kehilangan Berat Keawetan Alami

Kelas Awet Setelah Uji Kubur

5% 10% 15% 5% 10% 15%

Sengon 8,03 3,64 9,43 IV-V III III III

Petai 31,03 59,40 11,63 IV-V V V IV

Manii 16,90 28,15 16,51 IV IV V IV

Karet 39,37 46,37 31,38 V-IV V V V

Tabel 5 Kelas awet kayu hasil rendaman dingin setelah uji kubur di arboretum Jenis

Kayu

% Kehilangan Berat Keawetan Alami

Kelas Awet Setelah Uji Kubur

5% 10% 15% 5% 10% 15%

Sengon 40,27 22,40 14,20 IV-V V IV IV

Petai 33,90 50,38 11,22 IV-V V V IV

Manii 50,41 51,12 30,85 IV V V V

Karet 57,04 41,76 63,14 V-IV V V V

Gambar 8 memperlihatkan kondisi contoh uji sebelum dan sesudah dikubur di masing-masing lokasi pengujian.

Gambar 8 Kondisi sebelum dan sesudah dikubur di permukiman (A dan B) dan di arboretum (C dan D).

4.1.2 Kerusakan Luas Bidang Permukaan

Rata-rata persentase kerusakan luas bidang permukaan (untuk selanjutnya ditulis kerusakan LBP) di permukiman maupun di arboretum disajikan pada Gambar 9 dan 10. Data lengkap hasil perhitungan disajikan pada (Lampiran 3 dan 4).

A B


(23)

Gambar 9 Persentase kerusakan LBP hasil rendaman dingin di permukiman.

Gambar 9 diketahui bahwa kayu awetan karet berkonsentrasi 10% mengalami kerusakan LBP yang tertinggi (98,42%), sedangkan kayu awetan sengon 15% memiliki kerusakan LBP terendah (0,83%). Dibandingkan dengan kayu pinus (kontrol), secara keseluruhan diketahui pula bahwa kayu awetan petai, manii dan karet meskipun telah diawetkan ternyata masih kurang tahan terhadap serangan faktor perusak. Kayu awetan sengon (pada semua tingkat konsentrasi) dan kayu awetan manii berkonsentrasi 15% malah lebih tahan. Rata-rata kerusakan LBP kayu awetan sengon 1,92%, sedangkan pada kayu awetan manii 15% adalah 1,08%. Rata-rata kerusakan LBP pada kayu kontrol 10,50%.

Gambar 9 juga memperlihatkan bahwa kayu awetan karet dengan konsentrasi larutan bahan pengawet yang berbeda memiliki nilai kerusakan LBP yang hampir sama, berturut-turut sebesar 98,33% (konsentrasi 5%), 98,42% (konsentrasi 10%) dan 98,17% (konsentrasi 15%). Keadaan ini terkait dengan kelas awet dan keterawetan kayu karet. Dengan Kelas Awet V-IV dan keterawetan yang tergolong sulit (Wahyudi et al. 2007), maka kayu awetan karet tetap mudah diserang oleh faktor biologis perusak kayu.


(24)

Gambar 10 Persentase kerusakan LBP hasil rendaman dingin di Arboretum.

Berbeda dari Gambar 9, dari Gambar 10 diketahui bahwa kayu awetan karet pada ketiga tingkat konsentrasi, kayu awetan manii 5% dan 15%, kayu awetan petai 5% dan 10% serta kayu awetan sengon 5% memiliki kerusakan LBP yang lebih tinggi dibandingkan kontrolnya. Kerusakan LBP kayu awetan petai 15% serta kayu awetan sengon dengan 10% dan 15% berturut-turut sebesar 19,33%, 5,33% dan 6,17%. Kerusakan LBP kayu awetan manii 10% tidak jauh berbeda dibandingkan dengan kerusakan LBP kayu pinus (kontrol), yaitu 35,42% berbanding 38,50%.

Hasil analisis sidik ragam atau ANOVA pada (Lampiran 15) menunjukkan bahwa persentase kerusakan LBP dipengaruhi oleh jenis kayu, konsentrasi larutan bahan pengawet, lokasi pengujian, interaksi antara kayu dan konsentrasi serta interaksi antara konsentrasi dan lokasi. Hasil uji lanjut Duncannya (Lampiran 16) dan Gambar 11 menunjukkan bahwa kerusakan LBP kayu awetan petai 10% setara dengan kerusakan LBP pada semua tingkat interaksi antara jenis kayu dan konsentrasi bahan pengawet, kecuali pada kayu awetan manii 10% dan sengon pada seluruh tingkat konsentrasi. Kerusakan LBP kayu awetan karet 10% dan 15% berbeda nyata dengan kerusakan LBP kayu awetan manii 5% dan 10% serta sengon pada seluruh tingkat konsentrasi. Kerusakan LBP tertinggi (98,88%) terdapat pada kayu awetan karet 15%, sedangkan yang terendah pada kayu awetan sengon dengan konsentrasi 15% (3,50%).


(25)

Gambar 11 Rata-rata kerusakan LBP berdasarkan interaksi antara jenis kayu dan konsentrasi larutan bahan pengawet.

Perbedaan kerusakan LBP sebagaimana di atas dipastikan ada hubungannya dengan perbedaan struktur anatomi penyusun masing-masing jenis kayu karena langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi keterawetan kayu. Disini kerapatan kayu relatif tidak ada pengaruhnya karena kayu dengan kerapatan yang sama menghasilkan persentase kerusakan LBP yang berbeda. Rata-rata kerapatan kayu sengon, petai, manii dan karet yang diteliti berturut-turut adalah 0,33 g/cm3, 0,59 g/cm3, 0,35 g/cm3 dan 0,58 g/cm3 (Rahayu et al. 2009).

Gambar 12 menunjukkan pengaruh perbedaan lokasi pengujian pada masing-masing tingkat konsentrasi larutan bahan pengawet terhadap kerusakan LBP. Hasil uji lanjut Duncannya menunjukkan bahwa konsentrasi 5% di arboretum berbeda nyata dengan konsentrasi 10% dan 15% di arboretum serta konsentrasi 5% dan 15% di permukiman. Konsentrasi 10% di permukiman sebanding dengan konsentrasi 10% dan 15% di arboretum serta konsentrasi 5% dan 15% di permukiman.

Dari Gambar 12 diketahui bahwa interaksi antara konsentrasi larutan bahan pengawet dan lokasi memberikan hasil yang berbeda. Pada konsentrasi 5%, kerusakan LBP contoh uji yang dikubur di arboretum dua kali lebih besar dibandingkan dengan yang dikubur di permukiman (95,69% berbanding 41,13%). Pada konsentrasi 10% dan 15%, perbedaan itu tidak begitu besar, dan memperlihatkan hasil yang saling berlawanan: pada konsentrasi 10%, kerusakan


(26)

LBP contoh uji yang dikubur di permukiman lebih banyak, sedangkan untuk konsentrasi 15%, kerusakan LBP contoh uji yang dikubur di permukiman lebih sedikit dibandingkan dengan yang dikubur di arboretum.

Gambar 12 Rata-rata kerusakan LBP kayu berdasarkan interaksi antara konsentrasi larutan bahan pengawet dan lokasi pengujian.

Rata-rata kerusakan LBP tertinggi berdasarkan interaksi antara konsentrasi larutan bahan pengawet dan lokasi adalah 95,69% (konsentrasi 5% di arboretum), sedangkan yang terendah adalah 32,60% (konsentrasi 15% di permukiman).

Secara keseluruhan dapat diketahui bahwa kerusakan LBP pada contoh uji yang dikubur di arboretum cenderung berkurang dengan meningkatnya konsentrasi larutan bahan pengawet, sedangkan di lokasi permukiman berfluktuasi. Kerusakan LBP yang dikubur di permukiman meningkat dengan meningkatnya konsentrasi larutan bahan pengawet (5% ke 10%), namun kemudian cenderung berkurang dengan meningkatnya konsentrasi larutan bahan pengawet (10% ke 15%).

Gambar 13 memperlihatkan kerusakan LBP contoh uji di masing-masing lokasi pengujian.

Gambar 13 Kerusakan LBP contoh uji di permukiman (A dan B) dan di arboretum (C dan D).


(27)

4.1.3 Intensitas Serangan

Rata-rata nilai intensitas serangan di dua lokasi percobaan yang berbeda (permukiman dan arboretum) disajikan pada Gambar 14 dan 15. Data lengkap hasil perhitungan disajikan pada (Lampiran 5 dan 6).

Gambar 14 Nilai intensitas serangan kayu hasil rendaman dingin di permukiman.

Dari Gambar 14 diketahui bahwa intensitas serangan faktor biologis perusak kayu terhadap kayu karet pada semua tingkat konsentrasi larutan bahan pengawet boron, maupun pada kayu awetan petai dan manii pada konsentrasi 10% tergolong tinggi, yang dibuktikan dengan hancurnya contoh uji (nilai = 0). Contoh uji lainnya termasuk kontrol relatif utuh (nilai = 6-10), yang menandakan bahwa intensitas serangan terhadap kayu kontrol tergolong rendah: tidak ada serangan kecuali 1-2 buah lubang gerek kecil dan penetrasi faktor perusak hanya 30-50% dari luas penampang permukaan contoh uji.

Sama halnya dengan yang di permukiman, intensitas serangan terhadap kayu awetan karet pada konsentrasi 5% dan 15%, kayu sengon dan manii 5% serta kayu awetan petai 5% dan 10%, tergolong tinggi dimana contoh ujinya hancur (Gambar 15). Contoh uji lainnya termasuk kontrol relatif utuh, yang menandakan bahwa intensitas serangan tergolong sedang hingga rendah (nilai = 4-8). Secara keseluruhan intensitas serangan tertingi lebih banyak terjadi pada contoh uji yang dikubur di permukiman daripada di arboretum. Hal ini merupakan petunjuk bahwa jenis faktor biologis perusak yang ada di dua lokasi pengujian adalah berbeda.


(28)

Gambar 15 Intensitas serangan kayu hasil rendaman dingin di arboretum.

Hasil analisis sidik ragamnya (Lampiran 17) menunjukkan bahwa jenis kayu, konsentrasi larutan bahan pengawet, lokasi pengujian, serta interaksi antara kayu dan konsentrasi, maupun interaksi antara konsentrasi dan lokasi pengujian mempengaruhi intensitas serangan. Hasil lanjut Duncan (Lampiran 18) dan Gambar 16 menunjukkan bahwa intensitas serangan pada kayu awetan sengon dengan konsentrasi 10% dan 15% berbeda nyata dibandingkan dengan intensitas serangan terhadap kayu awetan sengon 5%, maupun terhadap kayu awetan manii (5% dan 10%), kayu awetan petai (5% dan 10%), dan kayu awetan karet (semua tingkat konsentrasi). Intensitas serangan pada kayu manii dan petai (konsentrasi 15%) berbeda nyata dengan intensitas serangan pada kayu awetan manii dan petai (5% dan 10%), serta kayu awetan karet (semua tingkat konsentrasi). Intensitas serangan tertinggi terdapat pada kayu awetan karet 5% dan 15%, sedangkan intensitas serangan terendah pada kayu awetan sengon yang diawetkan dengan bahan pengawet berkonsentrasi 15%.


(29)

Gambar 16 Rata-rata nilai intensitas serangan berdasarkan interaksi antara jenis kayu dan konsentrasi larutan bahan pengawet.

Perbedaan nilai intensitas serangan berhubungan dengan perbedaan kelas awet kayu setelah diawetkan dimana kelas awet tersebut dipengaruhi oleh struktur anatomi penyusun kayu khususnya tingkat keterawetan kayu. Itulah sebabnya kayu karet meskipun sudah diawetkan masih disukai oleh faktor biologis perusak kayu karena sulit diawetkan. Menurut Martawijaya dan Barly (1982), selain ditentukan oleh teknik pengawetan dan bahan pengawet yang digunakan, keberhasilan suatu proses pengawetan juga ditentukan oleh jenis dan kondisi kayu.

Intensitas serangan juga terkait dengan nilai kerusakan LBP contoh uji. Semakin tinggi persentase kerusakan LBP, akan semakin tinggi pula intensitas serangan. Tingginya intensitas serangan akan menghasilkan nilai (scoring) yang semakin rendah.

Hasil lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa konsentrasi 15% di permukiman berbeda nyata dengan konsentrasi 10% di permukiman dan 5% di arboretum. Konsentrasi 10% dan 15% di arboretum berbeda nyata dengan konsentrasi 5% di arboretum. Gambar 17 menunjukkan pengaruh perbedaan lokasi pengujian pada masing-masing tingkat konsentrasi larutan bahan pengawet terhadap intensitas serangan. Secara keseluruhan, derajat intensitas serangan tertinggi terjadi di arboretum pada konsentrasi 5% (nilai = 0), sedangkan yang terendah di permukiman pada konsentrasi 15% (nilai = 6,75). Dengan demikian maka konsentrasi larutan sebesar 15% merupakan konsentrasi yang paling efektif mencegah serangan faktor biologis perusak kayu yang ada di kedua lokasi pengujian.


(30)

Gambar 17 Rata-rata nilai intensitas serangan berdasarkan interaksi antara konsentrasi larutan bahan pengawet dan lokasi pengujian.

Rata-rata nilai intensitas di lokasi arboretum sesuai dengan teori dimana seiring meningkatnya bahan pengawet maka nilai intensitas serangan semakin tinggi (kayu relatif utuh). Dengan kata lain, semakin tinggi nilai intensitas semakin tahan kayu terhadap serangan oleh faktor biologis perusak kayu.

Efektifnya konsentrasi 15% dibandingkan dengan konsentrasi 5% dan 10% disebabkan oleh nilai retensi dan penetrasinya yang lebih tinggi. Menurut Djauhari (2012), rata-rata retensi dan penetrasi senyawa boron pada masing-masing konsentrasi berturut-turut adalah 1,64 kg/m3 dan 18,69% (konsentrasi 5%), 3,58 kg/m3 dan 39,07% (konsentrasi 10%) serta 6,40 kg/m3 dan 98,14% (konsentrasi 15%). Ditambah pula dengan curah hujan yang tinggi (151-300 mm) saat pengujian berlangsung (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 2011) sehingga boron yang ada pada kayu-kayu awetan 5% dan 10% lebih mudah tercuci sehingga kayu mudah diserang oleh faktor biologis perusak dibandingkan dengan kayu awetan berkonsentrasi 15%.

Gambar 18 memperlihatkan kondisi contoh uji setelah di serang oleh faktor biologis perusak kayu yang ada di masing-masing lokasi pengujian.


(31)

Gambar 18 Perbedaan intensitas serangan terhadap contoh uji di permukiman (A dan B) dan di arboretum (C dan D).

4.2 Kehilangan Berat, Kerusakan Luas Bidang Permukaan dan Intensitas Serangan pada Contoh Uji yang Diawetkan secara Fumigasi di Dua Lokasi Percobaan

4.2.1 Kehilangan Berat Kayu

Rata-rata persentase kehilangan berat contoh uji kayu yang sudah difumigasi dengan amonia di dua lokasi percobaan (permukiman dan arboretum) disajikan pada Gambar 19 dan 20. Hasil lengkap perhitungan disajikan pada Lampiran 7 dan 8.

Gambar 19 Persentase kehilangan berat kayu hasil fumigasi di permukiman.

B A


(32)

Gambar 20 Persentase kehilangan berat kayu hasil fumigasi di arboretum.

Dari Gambar 19 diketahui bahwa kayu petai yang difumigasi dengan amonia 10 l memiliki persentase kehilangan berat tertinggi (90,05%), sedangkan kayu sengon yang difumigasi dengan amonia 2 l memiliki persentase kehilangan berat terendah (6,68%). Dibandingkan dengan kayu pinus (kontrol), secara keseluruhan diketahui bahwa semua kayu, selain sengon yang difumigasi dengan 2 l amonia, walaupun sudah difumigasi ternyata masih dapat diserang atau tidak tahan terhadap serangan faktor perusak. Rata-rata kehilangan berat kayu sengon, petai, manii dan karet berturut-turut adalah sebesar 38,86%, 63,33%, 70,57% dan 62,20%, sedangkan rata-rata kehilangan berat kayu kontrolnya hanya 8,36%.

Sama halnya dengan Gambar 19, dari Gambar 20 dapat diketahui bahwa secara umum semua jenis kayu yang diteliti (sengon, petai, manii dan karet) yang difumigasi dengan amonia tidak tahan terhadap serangan faktor perusak dibandingkan dengan kayu pinus (kontrol), kecuali kayu sengon dan manii yang difumigasi dengan amonia 4 l karena persentase kehilangan beratnya lebih tinggi dibandingkan dengan kayu kontrol. Rata-rata kehilangan berat kayu kontrol sebesar 6,07%, sedangkan rata-rata kehilangan berat kayu sengon, petai, manii dan karet masing-masing adalah sebesar 34,70%, 69,02%, 28,33% dan 37,26%. Dibandingkan dengan yang dikubur di arboretum (Gambar 20), ternyata kayu-kayu yang dikubur di permukiman mengalami rata-rata kehilangan berat yang lebih tinggi. Terkait dengan meningkatnya volume amonia, diketahui juga bahwa


(33)

kehilangan berat masing-masing jenis kayu di dua lokasi penelitian tidak memperlihatkan suatu pola yang konsisten (Gambar 19 dan 20).

Hasil analisis sidik ragam atau ANOVA (Lampiran 19) memperlihatkan bahwa kehilangan berat contoh uji dipengaruhi oleh jenis kayu, volume amonia, lokasi pengujian, interaksi antara jenis kayu dan lokasi pengujian, serta interaksi antara jenis kayu, volume dan lokasi pengujian. Uji lanjut Duncan (Lampiran 20) dan Gambar 21 menunjukkan bahwa kehilangan berat kayu manii yang dikubur di permukiman, kayu petai yang dikubur di permukiman maupun di arboretum, serta kayu karet yang dikubur di permukiman ketiganya berbeda nyata dengan kehilangan berat kayu sengon yang dikubur di permukiman maupun di arboretum serta kayu manii dan karet yang dikubur di arboretum. Kehilangan berat kayu manii di permukiman sebanding dengan kehilangan berat kayu petai yang dikubur di arboretum dan di permukiman serta kayu karet yang dikubur di permukiman. Kehilangan berat kayu sengon yang dikubur di permukiman juga sebanding dengan kehilangan berat kayu sengon, manii dan karet yang dikubur di arboretum. Kehilangan berat tertinggi (70,57%) terdapat pada kayu manii yang dikubur di permukiman, sedangkan yang terendah pada kayu sengon yang dikubur di arboretum (23,89%).

Gambar 21 Rata-rata kehilangan berat berdasarkan interaksi antara jenis kayu dan lokasi pengujian.

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kayu sengon yang sudah difumigasi relatif lebih tahan terhadap serangan faktor perusak kayu dibandingkan dengan ketiga jenis kayu yang diteliti, baik di permukiman maupun di arboretum (Gambar 21). Kehilangan berat kayu sengon baik yang dikubur di permukiman maupun di arboretum merupakan nilai terendah, berturut-turut sebesar 39,38%


(34)

dan 23,89%. Berbeda dengan kayu yang diawetkan dengan boron, ternyata kayu yang difumigasi lebih tahan terhadap serangan faktor biologis perusak kayu yang ada di arboretum. Ini menandakan bahwa amonia tidak disukai oleh faktor perusak yang ada diarboretum, sedangkan faktor perusak yang ada di permukiman tidak terpengaruh dengan adanya amonia. Ini memperkuat dugaan bahwa jenis perusak biologis yang ada di dua lokasi penelitian adalah berbeda.

Gambar 22 memperlihatkan rata-rata kehilangan berat berdasarkan interaksi antara jenis kayu, volume amonia dan lokasi penelitian. Dari Gambar 22 diketahui bahwa kehilangan berat kayu petai yang difumigasi dalam amonia 8 l dan 10 l serta kayu manii dalam amonia 2 l yang dikubur di permukiman berbeda nyata dengan kehilangan berat kayu sengon yang difumigasi dalam amonia 2 l, 4 l, 6 l, 8 l, dan 10 l dan dikubur di arboretum, juga dengan kayu sengon 2 l, 4 l, dan 8 l yang dikubur di permukiman, maupun dengan kayu manii 2 l, 4 l, 6 l, dan 8 l di arboretum serta dengan kayu karet 2 l, 4 l dan 6 l yang dikubur di arboretum. Kehilangan berat kayu sengon yang difumigasi dalam 6 l amonia dan dikubur di permukiman, kayu petai 4 l dan 6 l di arboretum, dan kayu karet 6 l di lokasi permukiman berbeda nyata dengan kehilangan berat kayu sengon 2 l, 4 l dan 6 l yang dikubur di arboretum, kayu sengon 2 l dan 4 l di permukiman, kayu manii 2 l dan 4 l di arboretum, serta dengan kayu karet 2 l dan 4 l yang dikubur di arboretum. Kehilangan berat kayu petai 2 l dan 8 l yang dikubur di arboretum, kayu manii 8 l di permukiman serta kayu karet 8 l dan 10 l di permukiman berbeda nyata dengan kehilangan berat kayu sengon yang difumigasi dalam amonia 2 l dan dikubur di permukiman, kayu sengon 2 l dan 4 l di arboretum, kayu manii 4 l dan 6 l di arboretum serta kayu karet 4 l di permukiman. Kehilangan berat kayu petai yang difumigasi dalam amonia 6 l dan dikubur di permukiman serta kayu karet 2 l di permukiman berbeda nyata dengan kehilangan berat kayu sengon yang difumigasi dalam amonia 4 l dan dikubur di arboretum serta kayu manii 4 l di arboretum. Kehilangan berat kayu petai yang difumigasi dalam amonia 8 l dan 10 l serta kayu manii 2 l di permukiman berbeda nyata dengan kehilangan berat kayu sengon dan manii 4 l di arboretum. Kehilangan berat kayu petai 2 l dan 4 l di permukiman, kayu karet 4 l di permukiman dan


(35)

kayu karet 8 l di arboretum tidak berbeda nyata dengan kehilangan berat semua kombinasi lainnya.

Gambar 22 Rata-rata kehilangan berat berdasarkan interaksi antara jenis kayu, volume dan lokasi.

Secara umum dapat disebutkan bahwa kehilangan berat tidak menunjukkan adanya suatu pola yang konsisten seiring dengan meningkatnya volume amonia pada setiap lokasi. Rata-rata kehilangan berat tertinggi terjadi pada kayu manii yang dikubur di permukiman (70,57%). Nilai ini tidak jauh berbeda dengan kehilangan berat kayu petai di permukiman (63,33%) maupun di arboretum (69,02%), serta dengan kayu karet di permukiman (62,20%). Persentase kehilangan berat terendah terdapat pada kayu sengon yang dikubur di arboretum (23,89%). Semua jenis kayu yang difumigasi dengan amonia relatif masih tidak tahan terhadap organisme perusak kayu dibandingkan dengan kayu kontrolnya. Kehilangan berat kayu kontrol di permukiman dan di arboretum masing-masing sebesar 8,36% dan 6,07%.

Selain diakibatkan oleh perbedaan jenis faktor biologis perusak yang ada di masing-masing lokasi pengujian, perbedaan nilai kehilangan berat kayu diduga juga terkait dengan perbedaan struktur anatomi penyusun masing-masing jenis kayu yang akan mempengaruhi tingkat keterawetan dan kelas awet kayu setelah kayu difumigasi. Banyak-sedikitnya gas amonia yang masuk ke dalam kayu sangat menentukan ketahanan kayu terhadap serangan faktor biologis perusak. Hal ini diperkuat oleh data pada Tabel 6 dan 7 dimana hampir semua kayu yang


(36)

telah difumigasi memiliki kelas awet yang lebih rendah dibandingkan keawetan alaminya. Ini menandakan bahwa amonia tidak berikatan dengan komponen dinding sel kayu namun hanya terdapat di dalam rongga sel kayu terutama rongga sel pembuluh (pori-pori). Semakin kecil diameter rongga pori-pori kayu maka akan semakin sedikit pula volume amonia yang masuk. Kondisi ini diperparah dengan sifat amonia yang mudah menguap.

Tabel 6 Kelas awet kayu hasil fumigasi setelah uji kubur di permukiman Jenis

Kayu

% Kehilangan Berat Keawetan

Alami

Kelas Awet Setelah Uji kubur

2 l 4 l 6 l 8 l 10 l 2 l 4 l 6 L 8 l 10 l

Sengon 6,68 16,85 76,57 35,43 48,75 IV - V III IV V V V

Petai 45,55 47,03 52,39 81,62 90,05 IV V V V V V

Manii 82,63 80,74 64,24 70,35 54,89 IV V V V V V

Karet 53,72 43,25 74,27 67,72 72,06 IV - V V V V V V

Tabel 7 Kelas awet kayu hasil fumigasi setelah uji kubur di arboretum Jenis

Kayu

% Kehilangan Berat Keawetan

Alami

Kelas Awet Setelah Uji kubur

2 l 4 l 6 l 8 l 10 l 2 l 4 l 6 l 8 l 10 l

Sengon 77,03 4,22 25,61 36,66 30,00 IV - V V II V V V

Petai 69,94 74,66 73,78 68,7 58,00 IV V V V V V

Manii 25,39 3,69 14,14 32,64 65,79 IV V II IV V V

Karet 19,93 10,25 33,12 44,88 78,14 IV - V V III V V V

Gambar 23 memperlihatkan kehilangan berat contoh uji sebelum dan sesudah dikubur di masing-masing lokasi pengujian.

Gambar 23 Kehilangan berat contoh uji di permukiman (A dan B) dan di arboretum (C dan D).

A B


(37)

4.2.2 Kerusakan Luas Bidang Permukaan

Rata-rata persentase kerusakan luas bidang permukaan (kerusakan LBP)di dua lokasi pengujian disajikan pada Gambar 24 dan 25. Data lengkap hasil perhitungan disajikan pada Lampiran 9 dan 10.

Dari Gambar 24 diketahui bahwa kayu karet yang difumigasi dengan amonia 6 l mengalami kerusakan LBP yang tertinggi (99,25%), sedangkan kayu sengon yang difumigasi dengan amonia 2 l mengalami kerusakan LBP yang terendah (23,75%). Dibandingkan dengan kayu pinus (kontrol) diketahui bahwa semua kayu yang diteliti meskipun sudah difumigasi ternyata masih kurang tahan terhadap faktor perusak. Rata-rata kerusakan LBP kayu kontrol 10,50%.

Secara keseluruhan diketahui pula bahwa meskipun kerusakan LBP pada semua jenis kayu yang diteliti dan pada setiap volume amonia yang diberikan lebih besar dibandingkan kerusakan LBP kontrolnya, persentase kerusakan LBP tidak berhubungan dengan peningkatan volume amonia. Rata-rata kerusakan LBP kayu sengon, petai, manii dan karet secara keseluruhan berturut-turut adalah 71,43%, 89,95%, 94,83% dan 89,42%. Keadaan ini terkait dengan tingkat keterawetan dan kelas awet kayu setelah kayu difumigasi. Dengan keterawetan yang sulit dan kelas awet dari rendah sampai sangat rendah, maka kayu yang sudah difumigasi pun akan dapat dengan mudah diserang oleh faktor biologis perusak kayu.


(38)

Gambar 24 Persentase kerusakan LBP hasil fumigasi di permukiman.

Gambar 25 memperlihatkan rata-rata persentase kerusakan LBP kayu yang telah difumigasi dan dikubur di arboretum.

Gambar 25 Persentase kerusakan LBP hasil fumigasi di arboretum.

Dari Gambar 25 diketahui bahwa kerusakan LBP kayu petai yang difumigasi dengan amonia 4 l merupakan kerusakan LBP yang tertinggi (99,08%), sedangkan kerusakan LBP kayu sengon yang difumigasi dengan amonia 4 l merupakan kerusakan LBP yang terendah (22,25%). Kayu sengon dan karet yang difumigasi dengan amonia 4 l serta kayu manii yang difumigasi dengan amonia 6 l mengalami kerusakan LBP yang lebih rendah dibandingkan kayu kontrol. Kerusakan LBP kayu sengon dan karet 4 l masing-masing sebesar 22,5% dan 31,92%, sedangkan kerusakan LBP kayu manii 6 l sebesar 26,08%. Kerusakan LBP kayu pinus (kontrol) adalah 38,50%.

Secara keseluruhan diketahui bahwa rata-rata kerusakan LBP pada semua jenis kayu yang diteliti lebih tinggi dibandingkan kerusakan LBP kayu kontrol. Rata-rata kerusakan LBP hasil penelitian ini adalah 47,10% (sengon), 98,15% (petai), 49,18% (manii) dan 58,25% (karet). Kerusakan LBP kayu petai tidak dipengaruhi oleh volume amonia yang digunakan, sedangkan pada sengon, manii dan karet, kerusakan LBP berfluktuasi menurut volume amonia dan tidak konsisten.


(39)

Hasil analisis sidik ragam atau ANOVA (Lampiran 21) menunjukkan bahwa kerusakan LBP dipengaruhi oleh jenis kayu, lokasi pengujian dan interaksi antara jenis kayu dan lokasi. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 22) dan Gambar 26 memperlihatkan bahwa kerusakan LBP kayu petai yang dikubur di arboretum dan kayu manii yang dikubur di permukiman berbeda nyata dengan kerusakan LBP kayu sengon yang dikubur di permukiman maupun di arboretum serta kayu karet, manii, dan sengon yang dikubur di arboretum. Kerusakan LBP kayu petai dan karet yang dikubur di permukiman berbeda nyata dengan kerusakan LBP kayu sengon, manii dan karet yang dikubur di arboretum. Kerusakan LBP kayu petai yang dikubur di arboretum dan kayu manii di permukiman tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kerusakan LBP kayu petai dan karet yang dikubur di permukiman. Selanjutnya diketahui pula bahwa kerusakan LBP kayu petai dan karet yang dikubur di permukiman tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kerusakan LBP kayu sengon yang di permukiman. Kerusakan LBP kayu sengon di permukiman juga tidak berbeda nyata dengan kerusakan LBP kayu karet yang di arboretum. Kerusakan LBP kayu karet di arboretum tidak berbeda nyata dengan kerusakan LBP kayu manii yang di arboretum.

Gambar 26 Rata-rata kerusakan LBP berdasarkan interaksi antara jenis kayu dan lokasi pengujian.

Dari Gambar 26 juga diketahui bahwa kerusakan LBP kayu sengon, manii dan karet yang dikubur di permukiman lebih besar dibandingkan dengan yang dikubur di arboretum, sedangkan pada kayu petai relatif sama. Rata-rata nilai kerusakan LBP tertinggi berdasarkan interaksi antara jenis kayu dan lokasi


(40)

pengujian adalah 98,15% (petai di arboretum), sedangkan yang terendah adalah 47,10% (sengon di arboretum).

Perbedaan nilai kerusakan LBP di atas juga terkait dengan perbedaan macam atau jenis faktor biologis perusak kayu yang ada di dua lokasi serta perbedaan struktur anatomi penyusun kayu. Perbedaan dalam hal struktur anatomi kayu akan mengakibatkan perbedaan jumlah amonia yang masuk dan atau yang bereaksi dengan komponen dinding sel penyusun kayu. Sifat amonia yang mudah menguap juga turut andil dalam perbedaan nilai kerusakan LBP yang terjadi.

Gambar 27 memperlihatkan kerusakan LBP contoh uji di masing-masing lokasi pengujian.

Gambar 27 Kerusakan LBP contoh uji di permukiman (A dan B) dan di arboretum (C dan D).

4.2.3 Intensitas Serangan

Rata-rata nilai intensitas serangan di dua lokasi percobaan yang berbeda (permukiman dan arboretum) disajikan pada Gambar 28 dan 29. Data lengkap hasil perhitungan disajikan pada (Lampiran 11 dan 12).

Dari Gambar 28 diketahui bahwa intensitas serangan faktor biologis perusak kayu yang paling rendah terdapat pada kayu sengon yang difumigasi dengan amonia 2 l. Intensitas serangan ini setara dengan intensitas serangan pada kayu kontrolnya (nilai = 7). Intensitas serangan pada kayu sengon 4 l dan 10 l setara dengan intensitas yang terjadi pada kayu petai dan karet 2 l, tetapi lebih rendah dibandingkan kayu kontrolnya (nilai 4 berbanding 7). Intensitas serangan

A B


(41)

pada contoh uji lainnya tergolong tinggi yang dibuktikan dengan hancurnya contoh uji (nilai = 0).

Gambar 28 Nilai intensitas serangan pada kayu hasil fumigasi di permukiman.

Gambar 29 Nilai intensitas serangan pada kayu hasil fumigasi di arboretum.

Berbeda halnya dengan yang di permukiman, intensitas serangan terhadap kayu petai (semua volume amonia), manii 10 l dan karet 8 l yang dikubur di arboretum tergolong tinggi dimana contoh uji semuanya hancur (nilai = 0). Intensitas serangan yang paling rendah terdapat pada kayu sengon 4 l dan manii 6 l (nilai = 7). Intensitas ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan yang terjadi pada kontrol, sengon 6 l dan 10 l, manii 2 l, 4 l dan 8 l, serta karet 2 l dan 4 l (nilai


(42)

= 6). Intensitas serangan pada contoh uji lainnya relatif lebih tinggi dibandingkan kontrolnya (nilai = 4).

Di arboretum, faktor biologis perusak tampaknya tidak mau menyerang kayu sengon. Tidak ada satupun contoh uji kayu sengon yang hancur (Gambar 29). Pada kayu manii dan karet ada satu perlakuan yang contoh ujinya hancur, sedangkan pada kayu petai semua contoh uji hancur. Hal ini memperkuat dugaan bahwa faktor biologis perusak yang ada di permukiman berbeda dibandingkan dengan yang ada di arboretum.

Hasil analisis sidik ragam atau ANOVA (Lampiran 23) menunjukkan bahwa intensitas serangan dipengaruhi nyata oleh jenis kayu, volume amonia, lokasi pengujian, interaksi antara jenis kayu dan lokasi, serta interaksi antara jenis kayu, volume dan lokasi. Hasil uji Duncan (Lampiran 24) dan Gambar 30 memperlihatkan bahwa intensitas serangan pada kayu manii di arboretum berbeda nyata dengan intensitas serangan pada kayu sengon, petai, manii dan karet di permukiman serta dengan kayu petai di arboretum. Intensitas serangan pada kayu sengon dan karet di arboretum berbeda nyata dengan intensitas serangan pada kayu sengon, manii dan karet di permukiman serta kayu petai di arboretum. Intensitas serangan pada kayu sengon di permukiman berbeda nyata dengan intensitas serangan terhadap kayu manii di permukiman maupun terhadap kayu petai di arboretum.

Gambar 30 Rata-rata nilai intensitas serangan berdasarkan interaksi antara jenis kayu dan lokasi pengujian.

Dari Gambar 30 juga diketahui bahwa rata-rata nilai intensitas serangan untuk semua jenis kayu yang dikubur di arboretum relatif lebih tinggi


(43)

dibandingkan dengan yang di permukiman, kecuali pada kayu petai. Ini berarti kayu-kayu yang dikubur di arboretum relatif masih utuh (intensitas serangan rendah). Di permukiman, intensitas serangan relatif lebih tinggi (nilai rata-rata nya lebih kecil) dan lebih banyak contoh uji yang hancur. Kayu petai yang dikubur di arboretum dan kayu manii yang dikubur di permukiman merupakan jenis yang mengalami intensitas serangan tertinggi (nilai = 0; kayu hancur), sedangkan kayu manii di arboretum merupakan kayu dengan intensitas serangan terendah (nilai = 4,53).

Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 24) dan Gambar 31 diketahui bahwa intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dengan amonia 4 l dan dikubur di arboretum berbeda nyata dibandingkan dengan intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 10 l dan dikubur di arboretum serta dengan kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 4 l, 6 l, 8 l dan 10 l dan dikubur di permukiman. Intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 6 l dan dikubur di arboretum berbeda nyata dibandingkan dengan intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 4 l, 6 l, 8 l dan 10 l dan dikubur di permukiman. Intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 2 l dan dikubur di arboretum berbeda nyata dibandingkan dengan intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 6 l dan 8 l dan dikubur di permukiman. Intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 2 l dan dikubur di permukiman serta kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 8 l dan dikubur di arboretum berbeda nyata dibandingkan dengan intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 6 l dan dikubur di permukiman.


(44)

Gambar 31 Rata-rata nilai intensitas serangan berdasarkan interaksi antara bahan pengawet amonia dan lokasi.

Dari gambar tersebut diketahui juga bahwa intensitas serangan tertinggi (nilai = 0) terjadi pada perlakuan fumigasi dengan 6 l amonia dan dikubur di permukiman, sedangkan intensitas serangan terendah (nilai = 4,58) terjadi pada perlakuan fumigasi amonia 4 l di arboretum.

Gambar 32 memperlihatkan kondisi contoh uji setelah di serang oleh faktor biologis perusak kayu yang ada di masing-masing lokasi pengujian.

Gambar 32 Perbedaan intensitas serangan terhadap contoh uji di permukiman A dan B) dan di arboretum (C dan D).

A B


(45)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Kehilangan berat kayu-kayu yang telah diawetkan dalam boron secara

rendaman dingin hanya dipengaruhi oleh faktor tunggal perlakuan (jenis kayu, konsentrasi larutan bahan pengawet dan lokasi pengujian). Kerusakan luas bidang permukaan dan intensitas serangannya selain dipengaruhi oleh faktor tunggalnya, juga dipengaruhi oleh interaksi antara jenis kayu dan konsentrasi larutan bahan pengawet, serta interaksi antara konsentrasi dan lokasi pengujian.

2. Kehilangan berat kayu-kayu yang telah difumigasi amonia dipengaruhi oleh jenis kayu, volume amonia, lokasi pengujian, interaksi antara jenis kayu dan lokasi serta interaksi antara jenis kayu, volume amonia dan lokasi pengujian. Kerusakan luas bidang permukaannya hanya dipengaruhi oleh jenis kayu, lokasi pengujian dan interaksi antara jenis kayu dan lokasi, sedangkan intensitas serangan terhadap kayu-kayu tersebut selain dipengaruhi oleh jenis kayu, volume amonia, dan lokasi pengujian, juga dipengaruhi secara nyata olah interaksi antara jenis kayu dan lokasi serta interaksi antara volume amonia dan lokasi pengujian.

3. Terhadap kehilangan berat kayu, pengaruh konsentrasi larutan bahan pengawet 5% tidak berbeda nyata dibandingkan dengan pengaruh konsentrasi 10% maupun 15%, tetapi pengaruh konsentrasi 10% berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi 15%. Terhadap kerusakan LBP dan intensitas serangan, pengaruh konsentrasi larutan bahan pengawet 5% tidak berbeda nyata dibandingkan dengan pengaruh konsentrasi 10%, tetapi keduanya berbeda nyata dibandingkan dengan pengaruh larutan berkonsentrasi 15%.

4. Terhadap persentase kehilangan berat, pengaruh amonia 10 l tidak berbeda nyata dibandingkan dengan pengaruh amonia 2 l, 4 l, 6 l dan 8 l; amonia 2 l juga tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan amonia 4 l.


(1)

Lampiran 21 Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Kerusakan Luas Bidang

Permukaan Metode Fumigasi

The SAS System

The GLM Procedure

Class Level Information

Class

Levels

Values

kayu

4

A1 A2 A3 A4

konsentrasi

5

B1 B2 B3 B4 B5

lokasi

2

C1 C2

Number of Observations

Read

120

Number of Observations

Used

120

The SAS System

The GLM Procedure

Dependent Variable: CS

Source

DF

Sum of Squares

Mean Square

F Value

Pr > F

Model

39

78014,2495

2000,3654

2,37

0,0006

Erorr

80

67567,6250

844,5953

Corrected Total

119

145581,8745

Tabel R-Square

R-Square

Coeff Var

Root MSE

KB Mean

0,535879

38,85825

29,06192

74,78958

Tabel Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA)

Source

DF

Type III SS

Mean Square

F Value

Pr > F

kayu

3

18617,23073

6205,74358

7,35

0,0002

volume

4

6520,79375

1630,19844

1,93

0,1134

lokasi

1

16199,44219

16199,44219

19,18

<,0001

kayu*volume

12

8227,42292

685,61858

0,81

0,6376

kayu*lokasi

3

11660,31823

3886,77274

4,60

0,0051

volume*lokasi

4

5471,52917

1367,88229

1,62

0,1774


(2)

Lampiran 22 Hasil Uji Lanjut Duncan Kerusakan Luas Bidang Permukaan

Metode Fumigasi

Uji Duncan masing-masing faktor

1.

Faktor Jenis Kayu

Hasil Uji Lanjut Duncan

Alpha 0,05

Erorr Degrees of Freedom 80 Erorr Mean Square 844,5953

Number of Means 2 3 4

Critical Range 14,93 15,71 16,23

Means with the same letter are not significantly different

Duncan Grouping Mean N Kayu

A 94,050 30 A2

B 73,833 30 A4

B 72,008 30 A3

C 59,267 30 A1

2.

Faktor Lokasi

Hasil Uji Lanjut Duncan

Alpha 0,05

Erorr Degrees of Freedom 80 Erorr Mean Square 844,5953

Number of Means 2

Critical Range 10,56

Means with the same letter are not significantly different

Duncan Grouping Mean N Lokasi

A 86,408 60 C1

B 63,171 60 C2

3.

Interaksi antara Jenis Kayu dan Lokasi

Hasil Uji Lanjut Duncan

Alpha 0,05

Erorr Degrees of

Freedom 48

Erorr Mean Square 884,865

Number of Means 2 3 4 5 6 7 8

Critical Range 21,52 22,65 23,40 23,95 24,38 24,72 25,01 Means with the same letter are not significantly different

Duncan Grouping Mean N Interaksi

A 98,15 15 A2C2

A 94,83 15 A3C1

AB 89,95 15 A2C1

AB 89,42 15 A4C1

BC 71,43 15 A1C1

CD 58,25 15 A4C2

CD 49,18 15 A3C2


(3)

Lampiran 23 Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Intensitas Serangan Metode

Fumigasi

The GLM Procedure

Class Level Information

Class

Levels

Values

kayu

4

A1 A2 A3 A4

konsentrasi

5

B1 B2 B3 B4 B5

lokasi

2

C1 C2

Number of Observations Read

120

Number of Observations Used

120

The SAS System

The GLM Procedure

Dependent Variable: IS

Source DF Sum of

Squares Mean Square

F

Value Pr > F

Model 39 708,991667 18,179274 2,79 < 0,0001

Erorr 80 522,000000 6,525000

Corrected Total 119 1230,991667

Tabel R-Square

R-Square

Coeff Var

Root MSE

IS Mean

0,575952

128,2548

2,554408

1,991667

Tabel Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA)

Source

DF

Type III SS

Mean Square

F

Value

Pr > F

kayu

3

145,0916667

48,3638889

7,41

0,0002

volume

4

57,1166667

14,2791667

2,19

0,0077

lokasi

1

151,8750000

151,8750000

23,28

<,0001

kayu* volume

12

80,6166667

6,7180556

1,03

0,4306

kayu*lokasi

3

98,4250000

32,8083333

5,03

0,0030

volume *lokasi

4

66,0833333

16,5208333

2,53

0,0467


(4)

Lampiran 24 Hasil Uji Lanjut Duncan Intensitas Serangan Metode Fumigasi

Uji Duncan masing-masing faktor

1.

Faktor Jenis Kayu

Hasil Uji Lanjut Duncan

Alpha 0,05

Erorr Degrees of Freedom 80 Erorr Mean Square 6,525

Number of Means 2 3 4

Critical Range 1,313 1,381 1,426

Means with the same letter are not significantly different

Duncan Grouping Mean N Kayu

A 3,2667 30 A1

A 2,2667 30 A3

A 2,2000 30 A4

B 0,2333 30 A2

2.

Faktor Volume

Hasil Uji Lanjut Duncan

Alpha 0,05

Erorr Degrees of

Freedom 80

Erorr Mean Square 6,525

Number of Means 2 3 4 5

Critical Range 1,467 1,544 1,595 1,632

Means with the same letter are not significantly different

Duncan Grouping Mean N Volume

A 3,0000 24 B1

AB 2,5417 24 B2

AB 1,8750 24 B3

B 1,3333 24 B4

B 1,2083 24 B5

3.

Faktor Lokasi

Hasil Uji Lanjut Duncan

Alpha 0,05

Erorr Degrees of

Freedom 80

Erorr Mean Square 6,525

Number of Means 2

Critical Range 0,9281

Means with the same letter are not significantly different

Duncan Grouping Mean N Lokasi

A 3,1167 60 C2


(5)

4.

Interaksi antara Jenis Kayu dan Lokasi

Hasil Uji Lanjut Duncan

Alpha 0,05

Erorr Degrees of Freedom 112 Erorr Mean Square 7,460714

Number of Means 2 3 4 5 6 7 8

Critical Range 1,976 2,080 2,149 2,199 2,238 2,270 2,296 Means with the same letter are not significantly different

Duncan Grouping Mean N Interaksi

A 4,53 15 A3C2

AB 4,27 15 A1C2

AB 3,67 15 A4C2

BC 2,27 15 A1C1

CD 0,73 15 A4C1

CD 0,47 15 A2C1

D 0,00 15 A3C1

D 0,00 15 A2C2

5.

Interaksi antara Volume dan Lokasi

Hasil Uji Lanjut Duncan

Alpha 0,05

Erorr Degrees of Freedom 110 Erorr Mean Square 8,690152

Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Critical Range 2,385 2,510 2,593 2,654 2,701 2,740 2,771 2,798 2,821 Means with the same letter are not significantly different

Duncan Grouping Mean N Interaksi

A 4,583 12 B2C2

AB 3,750 12 B3C2

ABC 3,083 12 B1C2

ABCD 2,917 12 B1C1

ABCD 2,333 12 B4C2

BCDE 1,833 12 B5C2

CDE 0,583 12 B5C1

CDE 0,500 12 B2C1

DE 0,333 12 B4C1


(6)

RINGKASAN

SINGGIH MUKTI WIBOWO. Pengaruh Proses Rendaman Dingin dan

Fumigasi terhadap Serangan Faktor Biologis Perusak Kayu di Dua Lokasi

Pengujian.

Dibawah

bimbingan:

IMAM

WAHYUDI

dan

ISTIE

SEKARTINING RAHAYU.

Dalam beberapa dekade terakhir ini ketersediaan kayu-kayu rakyat cenderung terus meningkat. Kayu rakyat bahkan sudah mampu berperan sebagai intake industri perkayuan di Indonesia. Dibandingkan dengan kayu hutan alam, kayu rakyat cenderung kurang kuat dan kurang awet. Oleh sebab itu salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas kayunya adalah dengan cara mengawetkan kayu. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh perbedaan jenis perlakuan, antara pengawetan secara rendaman dingin dalam boron dengan konsentrasi yang bervariasi dengan fumigasi dalam amonia juga dengan volume yang bervariasi, terhadap persentase kehilangan berat, kerusakan luas bidang permukaan dan intensitas serangan di dua lokasi pengujian yang berbeda. Pengujian uji kubur (grave yard test) dilakukan selama 3 bulan menggunakan prosedur

American Standard for Testing and Material (ASTM) D 1756 2008.

Bahan utama yang digunakan adalah kayu sengon (Paraserianthes falcataria), petai (Parkia speciosa), manii (Maesopsis eminii), karet (Hevea brasiliensis) dan pinus (Pinus merkusii). Bahan lain terdiri dari senyawa boron dengan tiga konsentrasi yaitu 5%, 10%, 15% dan amonia cair teknis (ammonium hidroksida 100%) dengan volume yaitu 2, 4, 6, 8 dan 10 liter. Proses rendaman dingin dilakukan selama 2 jam, sedangkan fumigasi selama 4 hari. Data dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap faktorial 3 faktor, yaitu: jenis kayu (sengon, petai, manii dan karet), konsentrasi larutan bahan pengawet boron atau volume amonia (tergantung perlakuan), serta lokasi uji kubur (pemukiman dan arboretum), masing-masing dengan tiga ulangan.

Untuk proses pengawetan secara rendaman dingin menggunakan boron diketahui bahwa rata-rata kehilangan berat terbesar (53,98%) terdapat pada kayu awetan karet yang dikubur di arboretum, sedangkan kayu awetan sengon yang dikubur di pemukiman memiliki kehilangan berat yang terkecil (7,03%). Kayu awetan karet di pemukiman memiliki nilai kerusakan luas bidang permukaan yang paling besar (98,31%) dan mengalami derajat intensitas serangan yang tertinggi (nilai = 0, kayu hancur), sebaliknya kayu awetan sengon di pemukiman memiliki kerusakan yang paling kecil (1,92%) dengan derajat intensitas serangan yang paling rendah (nilai= 9,33, kayu relatif masih utuh). Untuk proses fumigasi dengan amonia, hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kehilangan berat terbesar (70,57%) terdapat pada kayu manii yang dikubur di pemukiman, sedangkan yang terkecil (28,33%) terdapat pada kayu manii di arboretum. Kayu petai yang dikubur di arboretum memiliki rata-rata kerusakan luas bidang permukaan yang tertinggi (98,15%), sedangkan yang terendah (47,10%) terdapat pada kayu sengon di arboretum. Kayu manii yang dikubur di pemukiman dan kayu petai yang dikubur di arboretum mengalami intensitas serangan yang tertinggi (nilai = 0; kayu hancur), sedangkan kayu sengon di arboretum terendah (nilai= 5,4; kayu relatif utuh).

Pengaruh konsentrasi larutan bahan pengawet boron atau pengaruh volume amonia pada umumnya bervariasi. Secara umum kayu-kayu awetan dengan boron tidak tahan terhadap serangan faktor perusak biologis yang ada di arboretum, tetapi cukup ampuh terhadap serangan faktor perusak biologis yang ada di pemukiman. Sebaliknya kayu-kayu yang difumigasi dengan amonia cukup ampuh menahan serangan faktor perusak biologis yang ada di arboretum, namun tidak tahan terhadap serangan faktor perusak biologis yang ada di pemukiman.